43

1159 Words
Berjam-jam Hayato sudah berada di puncak, ia tak mendapatkan apapun dan akhirnya memutuskan untuk turun gunung. Kabut makin menipis karena matahari sudah merangkak naik keatas, sepertinya Hayato bisa lebih cepat sampai kebawah. Meskipun tidak secepat yang ia bayangkan tapi setidaknya tidak seperti ketika ia berangkat kemarin. Jalanan gunung terasa cukup licin dan basah, sepertinya habis hujan. Padahal rasanya saat ia menaiki gunung malam itu jalanan baik-baik saja. Awan pun tak ada yang menggantung di langit, jelas sekali bulan nampak di atas sana. Hayato sampai di bawah sekitar empat jam kemudian, perutnya sedikit lapar. Ia akan pergi ke desa Fujikana mencari makanan, tapi sayangnya saat keluar dari gerbang gunung tanah di dekatnya longsong dan menutupi jalan masuk desa. Hayato mendesah sebal, jalanan tak bisa ia lewati karena hujan yang mengakibatkan longsong, dengan terpaksa ia mencari arah jalan keluar, mungkin ia akan menemukan jalan lain dengan rute yang lebih dekat. Meskipun ia tak yakin akan hal itu. Sebagai seorang yang buta arah dan selalu bernasib sial, ia malah yakin akan ada masalah lain yang menimpanya. Hayato memutar melewati longsong dengan berhati-hati, karena bisa saja akan ada longsor susulan saat ia lewat, dan anehnya kenapa ada longsor sebesar itu tak ada seorang pun ada di sana? Sekedar membersihkan bekas longsor itu. Mungkin juga karena itu belum begitu siang, orang-orang desa Fujikana juga sepertinya jarang yang melintasi gunung itu. Selain di kelilingi hutan lebat, di depan pintu masuk gunung itu juga tertampak sebuah tulisan cukup besar, yang berbunyi "Hutan Keramat" dalam huruf Kanji. Kemungkinan gunung itu memang di keramatkan, dan mungkin tak sembarang orang yang boleh kesana. Atau bisa juga karena banyaknya hewan buas, maka dari itu larangan itu agar orang-orang tak terbiasa kesana. Hayato kini sudah lewati longsor cukup jauh, ia hanya mengikuti jalan setapak yang ada di pinggiran hutan. Ia berharap jalan itu mengarah ke Fujikana atau desa lainnya. Meskipun ia tak hapal arah di keempat wilayah, setidaknya ia bisa bertanya jika sudah menemukan sebuah desa. Hayato terus berjalan, dan ternyata jalan setapak itu malah menuju ke sebuah jurang yang sangat dalam. Saking dalamnya seperti tak berujung. Apa maksud jalan itu? Apa itu jalan yang di buat orang-orang yang hendak bunuh diri? Tanya Hayato sendiri. Hayato kini memutar arah lagi, mencari jalan lain yang entah jalan mana, jika sampai ia tak menemukan jalan lain bisa saja ia kembali tersesat di hutan. Ia bosan melihat hutan terus menerus, sejak enam tahun lalu bersama Shatoru ia selalu melihat hutan. Kabur pun bertemu dengan hutan, begitu juga saat mencari gunung kabut. "Aku lelah," ucap Hayato sendiri. Meskipun mengatakan hal itu ia tetap melanjutkan perjalanannya. Hayato yakin, pasti menemukan jalan keluar dari hutan ini, karena setiap hutan pasti bersampingan dengan desa. Biasanya memang begitu. Entah sudah berapa hari ia meninggalkan Ishuke sendirian, lelaki tua pemabuk itu pasti tak akan mencarinya karena ia terbiada sendiri. Selama pergi itu Hayato juga menyadari bahwa ia bisa hidup sendiri, ia bisa hidup dan menjalani semuanya. Kemudian Hayato berpikir apa maksudnya ujian berat itu adalah bertahan hidup dari ketiadaan, bahkan tubuhnya lebih segar setelah keluar dari gunung itu. Meskipun awalnya ia merasa ingin mati. Tubuhnya tak pernah sesehat ini, luka akibat cakaran beruang juga sudah mengering karena ia ikat dengan baju bekas koyakan. Untung saja saat di serang beruang ia bisa melawan, jika tidak mungkin ia akan benar-benar mati. Mati di gunung kabur, menjadi santapan lewan liar dan tak pernah di temukan oleh orang lain, itu karena gunung kabut begitu sepi. Saat itu cahaya matahari semakin terik, Hayato sesekali berhenti sejenak di pepohonan, untuk sekedar mengatur napasnya yang kadang tersengkal lelah. Hayato berusaha mencari buah di pohon-pohon yang bahkan ia tak tahu apakah buah itu bisa di makan atau tidak. Tapi memang tak ada satupun buah yang terlihat, bunga pun tak ada. Sayang sekali. Saat kembali melanjutkan perjalanan, dari kejauhan Hayato melihat sebuah rumah-rumah, dengan jarak beberapa ratus meter. Wajah lelahnya berganti bahagia, ia senang sekali akhirnya bisa sampai kesebuah desa. Tempat pertama yang akan ia tuju adalah kedai makanan. Mungkin dua sampai tiga mangkok akan cukup mengenyangkan perutnya yang terasa sangat lapar kini. *** Hayato telah sampai di desa yang ia lihat saat di hutan tadi, kini ia berada di sebuah kedai makanan. Ia telah memesan beberapa makanan dan minuman, karena sepertinya perutnya sudah sangat lapar. Tak berapa lama makanan yang ia pesan sudah datang. Hayato makan dengan sangat lahap, ia tak begitu paham citarasa tapi menurutnya semua makanan di kedai itu enak. "Boleh aku bergabung," ucap seorang pria menghampiri meja Hayato. Hayato menghentikan makannya, lalu melihat pria yang mendekat itu. Dari penampilannya sepertinya seorang samurai/bunshi. "Silahkan. Tapi, aku tak ingin berbagi, karena aku sangat lapar," ujar Hayato jujur, ia kembali melanjutkan makannya. "Aku tidak meminta makanan, aku hanya ingin mencari tempat duduk," kata pria itu. "Namaku Shiraisi." Mencari tempat duduk? Hayato menggaris bawahi kalimat itu. Padahal ia yakin masih banyak tempat duduk lainnya. Pria yang sangat mencurigakan. "Kau mencurigakan." Meskipun berkata begitu Hayato tetap melanjutkan makannya. "Jujur sekali kau? Aku hanya penasaran, dari mana kau mendapatkan luka sebesar itu di punggungmu?" tanya Pria yang mengaku Shiraisi. "Luka?" tanya Hayato ketika ia sesaat lupa bahwa ia memiliki luka di punggung akibat cakaran beruang. "Ah, ini luka akibat carakaran beruang, bekas tiga kukunya." "Ada di mana beruang? Apa di hutan kabut?" tanya Shiraisi lagi karena ia penasaran. "Hutan kabut? Kalau maksudmu gunung kabut, iya. Beruangnya besar sekali," ujar Hayato sambil mengecap makananya yang sudah hampir habis. "Kau pergi kegunung kabut seorang diri?" Hayato mengangguk. "Apa yang kau dapatkan?" "Aku dapatkan? Tidak ada, hanya dapat cakaran dan sesak napas, kabutnya tebal sekali." "Bukankah itu gunung keramat? Seharusnya ada sesuatu bahkan harta karun di sana," kata Shiraisi. "Aku tidak menemukan apapun Paman, aku sudah sampai kepuncak dalam satu malam," kata Hayato. Lalu ia berdiri dari duduknya untuk membayar makanan. Setelah membayar ia kembali datang pada pria itu, "Paman, desa ini apa namanya?" "Nakamura, kau mau pergi kemana?" tanya balik Shiraisi. "Yubikana, berapa lama aku kira-kira sampai jika berjalan kaki?" "Empat hari, tapi lebih baik kau menggunakan kereta kuda. Bisa lebih cepat. Kau bisa menyewanya di gerbang luar," kata Shiraisi memberitahu. Hayato mengucapkan terima kasih lalu ia bergegas untuk pergi dan meninggalkan Shiraisi sendiri. Tak lama Shiraisi juga keluar dari kedai makanan itu dengan pikiran bingung. Memikirkan ucapan anak tadi. Orang bilang gunung kabut adalah keramat, banyak larangan pergi kesana, tapi anak itu bisa kembali dengan selamat. Semenjak mengalami masalah memang gunung itu ditutup untuk umum, bahkan militer kekaisaran yang dulu berlatih di sana sudah tidak di perbolehkan lagi. Shiraisi menjadi penasaran, apakah ia harus pergi sendiri kesana? Ia berharap mendapatkan sesuatu hal yang penting yang sejak dulu membuatnya terusik dan bingung, apa yang sebenarnya di cari para militer kekaisaran di gunung yang katanya penuh racun itu? Sementara itu Hayato terus berjalan keluar desa dengan perut kenyang. Ia harus mencari kereta kuda karena menurut Shiraisi hal itu akan lebih cepat. Jika mengggunakan kereta kuda bisa satu hari berarti jarak Yubikana dan Nakamura tak begitu jauh, bahkan mungkin masih dalam satu wilayah yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD