41

1090 Words
Pria pemilik getek itu terus menggerakkan bambunya agar berjalan, sementara Hayato hanya berdiri sambil memandang arah sebaliknya dari pria itu. Sungai Fujikana cukup sepi, airnya pun jernih tak banyak bebatuan tapi arus sungai cukup deras jika sedang pasang. Dari sana, Hayato bisa melihat gunung kabut yang menjulang tinggi, memang tak begitu nampak puncaknya karena ujungnya tertutup kabut putih kehitaman. Entah apa yang akan ia lakukan di sana, Ishuke hanya mengatakan bahwa ia harus bertahan hidup selama mungkin sampai ia mendapatkan jurus baru. Jurus baru? Bahkan saat ini ia hanya membawa belati kecil yang hanya cukup untuk menguliti kelinci. Ishuke memaksanya untuk meninggal Pedang Perjaka Hutan Setan di rumah. Sepertinya kalimat belajar bertahan hidup itu hanya agar dirinya mati di sana? "Anak muda apa yang kau cari di gunung itu?" tanya Pria pemilik getek itu. "Cari?" balik tanya Hayato. "Tidak ada apa-apa di sana, hanya kabut tebal, hewan pun jarang. Jika ingin mendapatkan sesuatu akan sangat sulit," ucap pria itu. Hayato tak membalas ucapannya hanya bisa mengangguk perlahan sambil diam. Jika pemilik getek ini saja mengatakan seperti itu, berarti tak akan ada apa-apa di sana. Lalu apa yang akan Hayato cari? Tak berapa lama Getek itu berhenti di seberang sungai, membiarkan Hayato untuk pergi, lalu ia melanjutkan Fakuinya (Teknik mencari ikan dengan burung Pecuk). Hayato kini berjalan menyusuri jalan, tak jauh dari tempatnya melangkah banyak rumah-rumah tampak atap-atapnya. Ia sampai di desa Fujikana, hanya perlu mencari jalan masuk menuju gunung kabut. Tidak ada orang yang bisa ia tanyai, ia juga ragu untuk bertanya, karena sedikit menggidik mengingat kejadian 30 menit lalu. Hayato terus melangkah, menyusuri jalanan lebih dari dua tapak kaki itu. Saat terus melangkah rumah warga bergitu berjejer di jalanan, banyak warga yang terlihat di sana. "Bibi, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Hayato pada seorang perempuan tua yang tengah berdiri begitu saja di bawah pohon buah persik. Perempuan tua itu menoleh kearah Hayato, melihat Hayato dengan tatapan tayam seolah mengatan siapa yang kau panggil Bibi? "Masa depanmu begitu menakutkan," ucap Perempuan tua itu setelah melihat Hayato dan mendekatinya. "Maksudnya, Bi?" tanya Hayato lagi. "Aku melihat begitu jelas, gambaran kubayangan darah di wajahmu. Kau akan..." ucap Perempuan tua itu terhenti. "Ibu kenapa di luar, ayo masuk," ujar seorang pemuda yang datang dari dalam rumah untuk memanggil perempuan tua itu yang tak lain Ibunya. "Maaf kau siapa?" "Ah, aku hanya seorang pejalan. Aku mau ke gunung kabut, lewat mana?" Kini Hayato bertanya pada pemuda itu. "Kau lurus saja, tak jauh dari pintu keluar desa ini ada jalan setapak menuju gunung kabut," jawab pemuda itu. Hayato mengucapkan terima kasih, setelah itu pemuda itu membawa ibunya berlalu pergi. Melihat keduanya sudah masuk rumah, Hayato juga pergi dari sana. Sambil jalan Hayato mengingat ucapan perempuan tua tadi kalau mukanya penuh darah, apa itu maksudnya wajahnya jelek? Jadi karena itu tak ada perempuan yang mau dengannya, tapi memang karena ia tak pernah ia sukai. Hayato terus berjalan, rumah-rumah sudah mulai jarang dan tak lama ia sudah berada di luar gerbang desa. Ia hanya perlu mencari pintu masuk menuju gunung kabut. Saat Hayato berada di gunung kabut, setelah berjalan beberapa hari. Sementara itu Ishuke tengah berada di rumahnya, karena di tinggal Hayato ia merasa kesepian meskipun memang sebelumnya begitu. Ia tengah memberi pelajaran berharga pada Hayato tentang bertahan hidup, meskipun ia tak pernah mengatakan pada Hayato apa alasan menyuruh Hayato pergi ke gunung kabut. Gunung yang dulu biasa di gunakan para militer kekaisaran untuk melakukan latihan ketangkasan dan melatih jurus baru, tapi tak lagi di gunakan karena kabut di sana sangat tebal, udara menipis dan kadang ada waktu kabutnya bisa berubah menjadi racun. Jika Hayato kembali, berarti Hayato layak menjadi yang terbaik bahkan melebihi dirinya, tapi jika tak ada kabar kembali berarti Hayato mati di sana dan ia harus berhenti melatih orang lagi. Karena memang seharusnya ia berhenti menggeluti dunia beladiri sejak dulu, mengajari Hayato beladiri juga karena desakan hatinya untuk membantu anak itu membalas dendam atas kematian keluarganya. Ishuke tak tahu bagaimana rasanya di tinggal keluarga, tapi pasti itu sangat menyakitkan dirinya. Sebagai anak kecil ia harus menjalani hidup yang begitu rumit, bahkan sampai saat ini tak kunjung usai. Ishuke juga tak tahu sudah sejauh mana luka dan sakit itu menusuk Hayato setiap hari. *** Hayato sudah sampai di depan gerbang Pintu masuk gunung kabut, seketika Hayato merasakan kembali udara dingin seperti yang ada di sungai tadi. Untung saja Hayato memakai baju panjang, jika tidak mungkin ia bisa menggigil. Dengan menarik napas panjang, Hayato memasuki gunung itu. Untuk sampai di puncak ia harus mendaki, meskipun dalam cuaca yang tidak baik. Apalagi dari dekat kabut yang ia lihat tadi semakin tebal, mungkin kabut itu yang membuat udara begitu dingin. Sesekali Hayato menggerakkan tubuhnya agar ia tak merasakan dingin yang semakin menusuk. Kira-kira sudah lebih dari 200 meter ia berjalan menaiki gunung, napasnya mulai terengah-engah. Rasanya udara untuk bernapas mulai berkurang sedikit demi sedikit, jika benar begitu sekitar beberapa ratus meter udara akan habis dan ia tak akan bisa bernapas. Tapi, ia tak mungkin kembali karena ia akan melanjutkan dirinya menguasai jurus-jurus baru. Mungkin juga itu ujian pertama untuknya, ujian itu yang di katakan Ishuke padanya. Sedangkan itu... Reputasi Kelompok pencuri Pendekar Gagang Merah hancur seketika mulai malam itu, malam setelah Ichimaru mengalahkan ketua mereka. Saat itu Ichimaru sudah membawa kudanya keluar dari kuil menyusuri jalanan Sibichu dengan darah yang terciprat di badan dan bajunya. Beberapa orang terus menatapnya selama ia berjalan menuju pintu gerbang keluar kota. Dendamnya terbalas, perasaan lega menyelimutinya. Ia akhirnya bisa membuat istrinya bahagia di surga. Mungkin bukan hanya ia yang merasakan sakit itu, tapi juga banyak orang. Jika memang benar, berarti akan ada banyak orang yang merasa ia untungkan atas kematian Pendekar Gagang Merah. Ichimaru terus memacu kudanya, ia akan pergi ke makam istrinya untuk mengatakan apa yang tengah terjadi padanya hari itu. Beberapa jam berlalu, ia berhenti pada sebuah pemakaman yang cukup besar di dekat hutan tebu, biasanya penduduk Yondama yang meninggal akan di kubur di sana. Ichimaru turun dari kudanya, menuju gundukan tanah. Yang di kubur di sana memang bukan jasad anak dan istrinya, tapi hanya abunya. Ia tak menyimpan abu keduanya, karena ia tak ingin terus teringat bagaimana sakitnya di tinggal mereka. "Tersenyumlah, aku sudah membalas kematianmu dan anak kita," ucap Ichimaru sambil ia memang batu nisan sang istri. Tak jauh dari makam itu, ada makam Bibi Yumi yang hanya di beri batu sebagai penanda bahwa itu ada pemiliknya. Ichimaru banyak berbicara pada makam istrinya seolah istrinya berada di depannya. Sudah hampir 20 tahun lamanya ia tak pernah berbagi cerita dengan istrinya. Rasanya ia begitu merindukannya, kapan ia bisa bertemu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD