Bab 17

1125 Words
"Kita akan melawan. Pastikan anak-anak aman," jawab Bu Bertha. Bu Bertha menarik napas dalam. Dia tidak mengira bahwa mereka akan diserang dengan jumlah yang banyak seperti ini. Jumlah anak panah yang mengarah ke mereka, cukup untuk memberitahu ada berapa banyak orang yang sedang menunggu mereka keluar dari tameng tanah. Hal itu diketahui karena penduduk asli Negeri Voresham tidak memiliki kekuatan. Hanya ada beberapa persen saja. Dan itu pun sudah dipastikan pendatang. "Bersiap!" Hitungan ketiga, Bu Bertha mengentakkan kaki. Tameng tanah luruh, bersatu dengan tanah. Seketika puluhan anak panah menyerbu mereka. Bu Bertha mengarahkan tangannya ke depan. Wush! Satu ayunan tangan, membuat semua anak panah terjatuh di tanah. Sudah beberapa serangan tidak ada yang berhasil melumpuhkan Bu Bertha dan kawan-kawan, sepertinya membuat orang yang menyerang mereka mengamuk. Tidak terima anak panah mereka dikalahkan dengan mudah, membuat mereka kehilangan kesabaran dan akhirnya menampakkan diri. Ratusan orang yang terdiri dari dua pertiga laki-laki dan sisanya perempuan muncul dari segala arah. Mereka mengenakan pakaian serba coklat tua terbuat dari kulit hewan. Wajah mereka sangat kotor. Tatapan mata mereka ibarat melihat musuh yang harus dihancurkan. Mereka juga mengerang marah. Bu Bertha dan para orang tua mengawasi ratusan orang-orang itu. Kinara menelan ludah. Dia datang ke sini bukan untuk mati cepat seperti ini. Dia datang untuk melatih kekuatannya. Adelina seketika merasa menyesal karena ikut ke negeri ini. Anggara mengingat gadis-gadisnya di bumi. "Kalian semua, berhenti merengek. Pasang posisi bersiap. Jumlah mereka banyak sekali. Hampir dua ratus orang." Laki-laki bertubuh paling atletis, hanya memakai kulit hewan yang dijadikan rok tanpa atasan, melompat dari atas permukaan jamur raksasa paling akhir. Dia adalah kepala dari orang-orang yang telah melompat lebih dulu. "Mau apa kalian ke sini?" tanyanya garang. Rahang tegasnya membuat kesan wajah yang mendukung. Bak melihat sang raja hutan. Tatapan matanya yang setajam elang, menambah kesan seram. Arjuna mengingat sesuatu. Begitu juga Kinara dan yang lainnya. Ini … ini adalah bahasa yang tidak mereka pahami kemarin-kemarin. Bahasa yang entah siapa yang berbicara, menelepon Arjuna dengan nomor 1. Tapi anehnya, mereka bisa memahami bahasa itu sekarang. Bu Bertha maju tiga langkah. "Kami datang bukan untuk merusak atau pun merebut negeri ini. Kamu datang ingin membantu," terang Bu Bertha dengan suara meyakinkan. Laki-laki itu berdecak meremehkan. "Benarkah? Apakah aku bisa mempercayai perkataanmu itu?" Para anggota laki-laki itu tertawa setelah ketua mereka selesai berbicara. "Serang mereka!" Mereka marangsek maju sambil mengarahkan panah. Baiklah. Kalau mereka tidak percaya dengan ucapan Bu Bertha, maka mereka akan melakukan perlawanan. Bu Bertha mengentakkan kakinya. Longsor tanah terbentuk. Para penduduk hutan langsung jatuh ke dalam jurang tanah hampir dua pertiga sekaligus. Sekarang giliran Bi Ijah memperlihatkan kekuatannya. Dia berjongkok, menyentuhkan telapak tangan ke tanah. Akar-akar pohon menjalar mengepung mereka. Bi Ijah menjerit, akar-akar pohon menjalar lebih cepat, langsung mengikat mulai dari kaki hingga seluruh tubuh sebagian besar penduduk asli yang tersisa. Ada tiga puluh orang lagi yang masih bertahan. Akan tetapi tubuh mereka bergetar, terlihat mundur ke belakang. Mereka tidak berani untuk lanjut menyerang. Ketua mereka atau lebih mudah disebut kepala suku meludah. Dia tidak senang melihat anggotanya dikalahkan dengan mudah seperti itu. Kini giliran Sarah. Dia menggerakkan tangannya. Tarian tangan yang indah. Dia membuat gelembung air yang cukup besar untuk menampung semua orang yang telah masuk ke dalam jurang untuk dikeluarkan. Sarah menurunkan pelan-pelan gelembung airnya, kemudian meletuskannya. Plop! Semua orang-orang yang masuk ke jurang berhasil kembali ke permukaan. "Namaku Bertha. Kami datang benar-benar untuk menolong kalian," kata Bu Bertha mencoba untuk memberitahu kedua kali. *** “Maafkan aku, Bertha. Aku tidak mempercayai perkataanmu,” kata kepala suku disertai rasa bersalah. Setelah melihat bagaimana kondisi semua rakyatnya setelah dikeluarkan dari jurang tanah, membuat kepala suku terkejut. Tidak ada satu pun dari rakyatnya yang terluka. Semuanya dalam kondisi baik-baik saja. Bi Ijah juga melepaskan lilitan akar pohon pada tubuh orang-orang yang tidak masuk ke dalam jurang. Tidak ada bekas lilitan yang tampak. Bi Ijah hanya mencegah agar orang-orang itu tidak bisa menggunakan tangannya. Memanah mereka. Di jurang, Bi Ijah sempat meminta Sarah untuk membuat gelembung air terlebih dahulu, sebagai bantalan saat orang-orang itu jatuh tidak terluka. Bu Bertha tersenyum ramah. “Tidak apa. Aku memaklumimu. Aku pun akan melakukan hal serupa kalau ada yang tiba-tiba datang.” Ratusan penduduk melompat ke atas payung jamur. Hanya tersisa tiga orang dan kepala suku yang akan mengawal mereka ke tempat persembunyian para pemanah itu. Henri bertanya apakah mereka akan aman jika ikut. Bu Bertha menganggukkan kepalanya. Artinya mereka akan aman. Kepala suku terlihat meyakinkan saat ini. “Terima kasih karena sudah mau mengajak kami ke tempat kalian,” tutur Bu Bertha. Dia berjalan bersampingan dengan kepala suku. Yang lainnya mengekor di belakang. Tiga pengawal berada di paling belakang. “Bukan masalah. Kalian pasti lapar, bukan? Apalagi tenaga kalian terkuras sia-sia untuk melawan kami tadi. Sebagai permintaan maaf, kami akan menjamu kalian.” Kinara bersorak dalam hatinya. Itu terdengar sangat menakjubkan. Perutnya benar-benar keroncongan sekarang. Mungkin satu-dua jam lagi Kinara bisa pingsan karena kelaparan. Akan tetapi, alam sepertinya berpihak padanya. Perutnya akan terisi sekejap lagi. Setengah jam berjalan, mereka semua keluar dari hutan jamur raksasa. Yang mereka lihat sekarang adalah hamparan sungai yang sangat indah. Airnya mengalir tenang. Luas sungainya sendiri tiga ratus meter. “Di sini?” tanya Bu Bertha. Bu Bertha mengakui sungai yang mereka lihat sekarang memang indah, akan tetapi di mana tempat kepala suku dan rakyatnya itu tinggal? Apa di bawah sungai? Kepala suku tersenyum, bertepuk tangan. “Aaaa…!!!” Senyuman kepala suku yang tadinya hangat, telah berubah menjadi senyuman penuh kemenangan. “Dasar bodoh!” Begitu tuturnya dalam hati. Sekarang para orang tua dan anak-anak terperangkap di dalam jaring besi berkarat. Aroma karat tercium sangat kuat. Bu Bertha dan yang lainnya berusaha meronta melepaskan diri dari jaring besi karat tersebut. Kepala suku tergelak. “Kalian tidak akan bisa menghancurkannya. Jaring itu cukup kuat.” Namun, dengan kekuatan yang mereka miliki, kepala suku tidak mau mengambil risiko. Dia bertepuk tangan, memanggil rakyatnya. Ada sepuluh orang yang muncul dari hutan jamur raksasa, terengah-engah, kompak mendorong sebuah perahu. Kinara menelan ludahnya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak mengenakkan akan terjadi. Setelah perahu masuk ke sungai, tiga orang mengaitkan besi di jaring besi berkarat. Sepuluh orang masuk ke dalam perahu—mengeluarkan dayung. Inilah rencananya. Kepala suku itu cukup cerdik. Mereka gagal melumpuhkan para orang tua dan anak-anak dengan panah mereka. Maka saatnya bagi kepala suku untuk memainkan otaknya dengan menipu Bu Bertha dan yang lainnya. Bu Bertha tidak mengira ini akan terjadi. Kepala suku itu … berhasil mengelabuinya. “Seret mereka ke dalam air!” Orang-orang di atas perahu mulai mendayung. Para orang tua dan anak-anak terus berusaha meronta melepaskan diri. Tidak ada ruang. Mereka tidak bisa menggunakan kekuatan. Jaring besi mulai bergerak, semakin dekat dengan pinggiran sungai. Kepala suku tertawa besar. Dia merasa menang sekarang. Jebur! Jaring besi masuk ke dalam air.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD