Arjuna berterima kasih kepada Bu Bertha. Adelina menatap tidak suka sosok guru itu. Lihat bagaimana dia berkata manis dengan Arjuna. Itu membuatnya merasa jengah. Adelina memilih untuk keluar dari perpustakaan ketimbang melihat pemandangan yang tidak mengenakkan itu.
Bu Bertha menawarkan tumpangan pada mereka.
“Gak usah, Bu. Kami pulang masing-masing aja,” tolak Arjuna halus. Dia tidak ingin merepotkan Bu Bertha. Rumah mereka memang satu jalan, tapi tetap saja, Bu Bertha harus berhenti setidaknya tiga kali untuk menurunkan mereka.
“Lo pulang ke mana, Del?” tanya Kinara. Gadis yang tidak peduli akan penampilannya itu tengah mengorek tambang emas di hidungnya.
Adelina merasa jijik. Dia menepis tangan Kinara, menyuruhnya berhenti mengupil.
“Apaan sih! Lo tau gak gimana rasanya kalau ngupil, tapi upilnya gak berhasil keambil?”
Salah satu daftar kegiatan yang Kinara tidak suka kalau kegiatan itu diganggu orang lain adalah mengupil. Rasanya kesal sekali kalau sedang asyik-asyiknya berusaha meraih upil yang melesak ke dalam hidung, malah diganggu.
“Bodoh amat! Gue pulang ke rumah lo lagi,” jawab Adelina. Hari ini mama dan papanya pulang malam. Mereka lembur. Ponsel mereka sudah ada sinyal sekarang. Mama dan papa Adelina mengirim pesan, mengabarinya kalau mereka berdua tidak pulang malam ini. Mama Arjuna meneleponnya berkali-kali karena khawatir anaknya belum juga pulang sedangkan malam sudah mau menyapa. Juga pembantu Anggara menelepon, merasa heran karena sudah menjelang malam, anak majikannya itu tak kunjung sampai di rumah. Hanya Kinara saja yang tidak ditelepon mamanya.
Arjuna dan Anggara pulang naik taksi. Adelina dan Kinara pulang naik angkot.
“Ra, mama lo sebenarnya peduli gak sih sama lo?” tanya Adelina. Di dalam angkot hanya mereka berdua saja. Di luar sudah gelap. Bulan tampak anggun di atas langit. Jalanan juga mulai padat. Orang-orang pulang dari kantor mereka.
“Entah. Gue juga gak tahu,” jawab Kinara apa adanya. Mereka berdua sebenarnya sama. Mama dan Anak itu sama-sama cuek terhadap sekitar. Seperti yang pernah Adelina bilang bahwa ungkapan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya terbukti adanya pada Kinara dan mamanya.
Sampai di rumah, Winda tidak ditemukan. Adelina bertanya pada Kinara di mana mamanya. Kinara menjawab bahwa mamanya paling sudah tidur. Mendengar jawaban itu membuat Adelina geleng kepala. Di jam setengah delapan malam sudah tidur? Luar biasa! Ibu dan anak sama-sama ratunya tidur.
“Lo gak laper, Ra?” tanya Adelina setelah mereka mengganti seragam. Adelina meminjam baru Kinara.
“Nggak. Gue ngantuk. Lo kalo laper masak sendiri aja, ya. Di kulkas ada banyak bahan-bahan. Lo tinggal masak aja.”
***
Arjuna baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya masih terbalut handuk putih sepinggang. Saat Arjuna membuka lemarinya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Panggilan yang sama seperti di perpustakaan. Arjuna mengangkat. Terdengar suara radio rusak.
“Halo? Dengan siapa?”
Tidak ada suara lain selain suara radio rusak.
Arjuna menyalakan fitus loudspeaker. Dia membuka lemari, mengeluarkan baju kaos hitam dan celana pendek hitam. Sampai Arjuna selesai mengenakannya, sambungan telepon masih belum terputus. Suara radio rusak masih terdengar.
Saat tangan Arjuna menyentuh ponsel, tiba-tiba suara berat terdengar. Itu suara yang Arjuna dengar di perpustakaan tadi. Apa yang dikatakan seseorang di seberang sana sama sekali tidak bisa Arjuna pahami.
“Maaf, saya tidak bisa mengerti apa yang anda katakan,” ujar Arjuna.
Tak lama sambungan telepon terputus. Arjuna datang ke rumah Anggara.
Anggara dan Arjuna tinggal dalam satu kompleks. Rumah Anggara berada di seberang rumah Arjuna. Sampai di kamar, Arjuna langsung menyampaikan tujuannya datang ke rumah Anggara. Melaporkan bahwa nomor 1 kembali meneleponnya.
“Nomor 1 itu negara mana, sih?” tanya Anggara heran. Dia duduk di kursi belajar. Setahunya tidak ada nomor negara mana pun yang hanya punya satu angka seperti itu. Kalau pun nomor itu dirahasiakan, atau simbol-simbol tertentu, atau kode rahasia sekali pun, Arjuna seharusnya bisa mengerti apa yang si penelepon katakan di seberang sana, bukan? Lantas kenapa si penelepon berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak Arjuna pahami.
“Ini aneh, Ngga. Ini sudah kedua kalinya nomor 1 ini nelepon gue. Bahasanya sama sekali gak gue pahami,” jelas Arjuna. Dia merasa heran. “Apa ini ada hubungannya sama ruangan rahasia dan buku mengambang di perpustakaan bawah tanah tadi?” tebak Arjuna.
“Gue juga gak tahu, Jun. Hape kita semua juga kehilangan sinyal di perpustakaan permukaan. Apa kita ke sana lagi besok? Nggak, nggak. Itu bukan ide yang bagus.”
Arjuna pulang ke rumahnya setelah memberitahu pada Anggara kalau nomor 1 itu meneleponnya lagi. Arjuna terus memikirkan siapa gerangan orang yang meneleponnya menggunakan nomor aneh itu. Arjuna tidak bisa fokus pada pelajarannya. Nomor 1 itu memenuhi kepalanya. Bahkan sekarang Arjuna dibuat tidak bisa tidur.
Di luar cuaca sedang tidak bagus. Angin bertiup kencang, hujan lumayan deras. Sesekali kilat menyambar dan petir menggelegar. Arjuna dalam posisi telentang, menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. Tatapan matanya mengarah ke langit-langit kamar.
Tiba-tiba saja Arjuna mendengar suasa ketukan sesuatu. Arjuna mempertajam pendengarannya, berusaha mencaritahu dari mana asal suara ketukan itu. Lengang. Yang terdengar hanya suara hujan. Arjuna duduk. Dia menatap jendela kamarnya yang berada di sebelah kirinya. Arjuna menatap tajam ke arah jendela tanpa rasa takut sedikit pun. Matanya menatap awas. Saat kilat menyambar, Arjuna melihat sosok laki-laki memakai jubah hitam lengkap dengan penutup kepala, berdiri di tengah jalan. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat, Arjuna mengucek matanya, kemudian melihat lagi. Begitu kilat menyambar, sosok laki-laki berjubah masih terlihat berdiri di tengah jalan diguyur hujan.
Alih-alih takut, Arjuna malah bergegas keluar dari kamarnya. Dia berlari menuruni tangga.
“Arjuna, kamu mau ke mana, Nak?” tanya Sarah, mama Arjuna. Saat Sarah tengah menonton televisi di ruang tengah.
“Keluar sebentar, Ma,” jawab Arjuna sambil berlalu. Dia tidak mengenakan payung. Arjuna langsung ke jalan di mana sosok laki-laki berjubah berdiri. Arjuna memastikan bahwa tempatnya berdiri sekarang adalah yang terlihat dari jendela kamarnya. Tidak ada siapa-siapa. Arjuna melihat kanan dan kiri, atas dan bawah. Tidak ada siapa pun di luar sana.
Dalam sekejap baju Arjuna basah kuyup. Hujan kian deras.
Kilat menyambar, Arjuna tidak bisa melihat sosok yang dilihatnya tadi. Laki-laki berjubah hilang entah ke mana.
Setelah sepuluh menit berada di bawah guyuran hujan dan tidak melihat siapa-siapa, Arjuna memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
“Kamu cari siapa, Arjuna?” tanya Sarah. Dia menunggu anaknya di depan pintu sambil memegang handuk. Dia khawatir terhadap Arjuna yang tiba-tiba berlari dari kamar tanpa membawa payung.
Arjuna menerima handuk dari mamanya. “Bukan siapa-siapa, Ma.”
Arjuna naik ke kamarnya. Yang dia lakukan pertama kali bukannya mengganti baju, melainkan melihat kembali dari jendelanya. Tetap tidak ada siapa-siapa di sana. Sosok laki-laki memakai jubah tadi sudah lenyap entah ke mana.