Bab 5

1753 Words
Sama seperti saat mereka berempat pertama kali masuk ke dalam perpustakaan, lorong yang tercipta akibat pergeseran rak buku barusan terlihat cukup gelap. Hanya sedikit cahaya dari lampu perpustakaan yang masuk ke dalam sana. Arjuna membantu Kinara berdiri. “Lo gak apa-apa, Ra?” tanya Arjuna. Kinara menggeleng, bilang tidak apa-apa. Adelina menelan ludah. Apa yang mereka lihat saat ini. Ruangan perpustakaan mereka punya lorong rahasia? Ke mana lorong rahasia itu menuju? “Kita masuk ke dalam?” tanya Kinara. Entah apa yang ada di pikiran gadis satu itu, tapi sepertinya ia tidak punya rasa takut atau semacamnya. Tapi jika kalian atau kita semua berada di dalam situasi semacam itu, pasti akan muncul keinginan lebih untuk mencari tahu ada apa di dalam sana. Itu manusiawi. Manusia selalu punya rasa penasaran terhadap hal-hal yang cenderung tersembunyi. Layaknya lorong rahasia di balik rak buku di hadapan mereka sekarang. Arjuna mengangguk. Sepertinya mencoba untuk masuk ke dalam sana bukan hal yang tidak bisa dicoba. Lagi pula pintu perpustakaan terkunci. Mereka tidak bisa keluar, pulang ke rumah masing-masing. Masuk ke dalam sana tidak ada salahnya untuk dicoba. Anggara dan Adelina mengangguk. Mereka berdua setuju untuk masuk ke dalam sana meski pun ada sedikit rasa takut dan ragu di dalam hati mereka. Arjuna memimpin di depan. Selanjutnya diikuti Kinara, Adelina, dan terakhir Anggara. Yang mereka masuki sekarang adalah lorong gelap. Mereka mengandalkan senter dari ponsel masing-masing. Berjalan selama lima menit, mereka menemukan anak tangga menurun ke bawah. Arjuna mengarahkan senter ponselnya ke depan, tidak terlihat ujungnya. Tampaknya mereka butuh waktu lebih lama untuk turun ke bawah sana. “Lo yakin mau turun ke sana, Jun?” Adelina bertanya. Sekarang dia mulai merinding. Bulu kuduknya berdiri dan degup jantungnya tidak aman. Di kepalanya sekarang, Adelina memikirkan sepertinya lebih baik bagi mereka untuk kembali ke perpustakaan, menghubungi siapa pun, menunggu ada yang bisa mengeluarkan mereka dari sana ketimbang mengikuti ke mana ujung anak tangga itu berakhir. “Gue rasa Adel bener, Jun. Kita gak tahu ada bahaya apa di sana,” timpal Anggara. Sama seperti Adelina, Anggara juga merasakan hal serupa. Lebih baik untuk tidak pergi terus ke dalam. “Lo gimana, Ra?” tanya Arjuna. Kinara mengangkat bahu. “Gue sih ikut aja. Masuk oke, keluar juga oke,” jawab Kinara santai. “Oke, gue rasa lo berdua bener. Kita gak tahu ada bahaya apa di sana. Kita kembali, coba cari bantuan. Tapi kalau sampai malam gak ada yang bisa bantuin kita keluar dari perpustakaan, kita bakal coba masuk ke dalam lorong ini lagi. Siapa tahu lorong ini adalah jalan rahasia menuju keluar.” Yang lainnya mengangguk, menyetujui keputusan. Mereka duduk di kursi. Arjuna mengambil sebuah buku dan sekarang tengah membacanya. Anggara terlihat memainkan game online. Adelina sedang asyik menggulir ponselnya, melihat foto-foto artis korea favoritnya. Sedangkan Kinara, kalian tidak perlu bertanya lagi sedang apa ia sekarang. Satu jam berlalu. Arjuna menelepon Bu Bertha, tidak bisa. Entah kenapa sejak mereka keluar dari lorong tadi, sinyal ponsel mereka berempat hilang. Satu garis pun tidak ada. “Bagaimana sekarang?” tanya Anggara. Ia sudah selesai bermain game. Arjuna menghela napas. Ia memandangi sekeliling perpustakaan. Perpustakaan ini cukup luas. Luasnya sendiri delapan kelas dijadikan satu. Rak-rak berbaris rapi. Saat masuk ke perpustakaan, maka yang akan dilihat pertama kali adalah tempat-tempat duduk yang disediakan untuk murid-murid membaca. Arjuna menjentikkan jarinya. Jendela. Semoga jendela menjadi jawabannya. “Tumpuk meja-meja sampai jendela. Kita coba pecahkan.” Anggara mengangguk. Dia dan Arjuna memindahkan meja-meja, menumpuknya sampai menjangkau jendela. Tipe jendela perpustakaan sekolah mereka sendiri bermodel single-hung. Butuh setidaknya enam meja ditumpuk ke atas agar bisa mencapai jendela. Arjuna naik ke atas, ia mencoba untuk membuka jendela. Macet. Arjuna mengerahkan tenaganya, tidak bisa terbuka. Sama sekali tidak bisa. Arjuna tidak mau putus asa. Dibantu Anggara, dia memindahkan meja-meja yang sudah ditumpuk ke jendela yang lain lagi. Jarak masing-masing jendela dua meter. Tetap tidak bisa juga. “Aneh, kenapa semua jendela terkunci?” gumam Arjuna sambil menyeka peluh di dahinya. “Bagaimana, Jun? Bisa?” Dengan berat hati, Arjuna menggelengkan kepalanya. Harapan bahwa jendela bisa membantu mereka keluar dari perpustakaan pupus sudah. Arjuna dan Anggara menyusun kembali meja-meja seperti semula. Dua jam kemudian. “Sepertinya kita benar-benar akan bermalam di sini,” ujar Adelina lesu. Bisa dibilang dia mulai pasrah. Adelina akan mendapat pengalaman baru kalau sampai malam ini dia dan tiga sahabatnya tidak juga keluar dari perpustakaan; tidur di atas meja. Di luar Langit mulai berubah kemerahan. Matahari sebentar lagi akan tenggelem, siap bertukar tukas dengan bulan, meski kenyataannya tidak benar begitu. Matahari tidak pernah mengenal kata istirahat. Kinara mengangkat kepalanya. Perlahan dia membuka matanya. Sejak tadi dia tidur dan baru sekarang terbangun. Dia bahkan juga tidak tahu kalau Anggara dan Arjuna menumpuk meja untuk mencoba membuka jendela. “Bagaimana? Ada yang bisa membantu kita keluar dari sini?” tanyanya sekenanya. Adelina ingin menjitak kepalanya, akan tetapi dia sudah tidak sanggup. Tenaganya sudah terserap habis. Membayangkan kalau dia akan tidur beralaskan meja membuatnya merasa frustasi sekarang. Arjuna berdiri. Tampaknya tidak ada jalan lain selain masuk kembali ke lorong yang tadi. Lupakan soal kemungkinan buruk yang terjadi. Mereka harus sampai ke rumah sekarang karena kemungkinan orang-orang rumah sedang menunggu kepulangan mereka. Adelina dan Angara ikut berdiri, berjalan di belakang Arjuna. Juga Kinara. Gadis itu berjalan sambil sesekali menguap. Sudah tidur selama itu pun rasa kantuknya belum juga hilang. Rak yang bisa digeser berada di paling ujung. Rak itu sendiri lengket dengan dinding. Rak buku tersebut adalah pintu rahasia menuju lorong bawah tanah. Entah siapa yang membuat rak itu, tidak ada yang tahu. Mereka rasa murid-murid SMA Rajawali juga belum ada yang tahu. Arjuna menganggukkan kepalanya ke arah Kinara, memberinya kode agar melakukan hal serupa seperti yang Kinara lakukan; menggeser rak. Terbuka. Mereka semua bertukar pandang. Arjuna masuk lebih dulu, kemudian diikuti Kinara, Adelina, dan Anggara. Tak lupa mereka menyalakan senter ponsel masing-masing. Sampai di bagian anak tangga, tiba-tiba senter ponsel Adelina padam. Baterai ponselnya habis. Arjuna menarik napas dalam sebelum melangkahkan kaki, menuruni anak tangga. Mereka berjalan santai sambil sesekali melihat kebelakang. Sikap awas merasa pasang. Tidak ada yang tahu kemungkinan buruk apa yang akan terjadi atau bahaya apa yang sedang menunggu mereka di ujung sana. Sepuluh menit berjalan, mereka belum juga sampai diujung. Semakin ke dalam, rasanya ruangan semakin sempit. Kalau tadi mereka bisa berdiri sejajar tiga orang, sekarang hanya bisa dua orang saja. Arjuna mengarahkan senter ponselnya ke depan. Mulai terlihat ujungnya. Tidak. Itu bukan karena cahaya ponsel Arjuna, melainkan di depan sana ada cahaya lain yang entah dari mana sumbernya. “Apakah di sana ada ruangan rahasia lain?” gumamnya. Arjuna melanjutkan langkah kakinya. Sampai. Mata mereka menatap takjub. Suguhan ini cukup membuat mereka ternganga. Kalian tahu, mereka telah sampai di perpustakaan yang ukurannya lima kali lebih besar ketimbang perpustakaan sekolah mereka. Sususan rak yang penuh buku tidak jauh berbeda dengan perpustakaan mereka. Yang ini bahkan lebih tinggi. Sekitar tiga meter. Yang membedakan adalah buku-buku yang tersusun di rak. Kalau di perpustakaan mereka semuanya berwarna, yang ini hanya warna hitam saja. Semua sampul buku berwarna hitam. “Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Adelina. Mereka sudah sampai, dan yang harus dipikirkan selanjutnya apa yang akan mereka lakukan di perpustakaan bawah tanah ini? Harapan mereka semua adalah, berharap semoga anak tangga yang mengarah ke bawah tanah adalah jalan rahasia untuk keluar dari perpustakaan. Ternyata bukan. Lorong bawah tanah tadi mengarahkan mereka ke perpustakaan tersembunyi. Pupus sudah harapan untuk bisa keluar. Arjuna tidak bisa menjawab. Dia melihat layar ponselnya. Masih sama, sinyal tidak ada. Itu masuk akal. Sedangkan saat mereka berada di permukaan tadi saja sinyal tidak ada, apalagi sekarang mereka berada di bawah tanah. Kinara berjalan menyusuri rak. Dia memandangi sekitar. Buku-buku bersampul hitam, dengan tebal seperti kamus bahasa inggris yang biasa dibawa anak-anak SD. Dia mengambil satu, membukanya. Kinara terkejut. Halaman awal buku yang dia ambil kosong. Hanya kertas kuning tanpa tulisan satu huruf pun. Kinara melanjutkan membuka halaman selanjutnya. Sama, kosong. Tidak puas, Kinara mengambil buku lain lagi. Sudah sepuluh buku yang dia ambil, semuanya kosong. Tidak ada tulisan di dalam buku tersebut. Arjuna menghampiri. “Ada apa, Kinara?” tanyanya. “Buku-buku di sini kosong, Jun. Gak ada tulisannya sama sekali.” Arjuna ikut mengambil buku, melihatnya. Benar, kosong. Adelina dan Anggara melakukan hal serupa. Mereka mengambil buku asal, melihat bagian dalamnya. Kosong juga. Kinara masih merasa belum puas. Dia mencoba terus membuka buku-buku di rak. Lima belas menit sudah berlalu, masih sama. Buku-buku di perpustakaan ini semuanya kosong. Namun, sesuatu terjadi. Kinara sampai tidak percaya melihatnya. Dia mengucek matanya, siapa tahu yang dia lihat sekarang adalah halusinasi belaka. Sudah tiga kali mengucek mata, tidak ada yang salah. Yang dia lihat memang benar adanya. Sebuah buku dengan sampul berwarna hitam, yang membedakan di sampul depan buku tersebut ada gambar bulan sabit. Buku itu mengambang setinggi Kinara. Bersinar terang. “Arjuna, Anggara, Adel, kemari. Kalian harus lihat ini!” kata Kinara memanggil tiga sahabatnya. Mereka memandang takjub buku yang bersinar dan tengah mengambang itu. “Apa itu? Apakah itu buku ajaib?” tanya Anggara. Kinara menggeleng. Dia tidak tahu. Tanpa sadar kaki Kinara bergerak, mematri langkah mendekati buku tersebut. Saat tangannya bersiap untuk meraih buku itu, Arjuna menggamit tangan Kinara, menariknya menjauh dari buku tersebut. “Jangan disentuh, Kinara. Kita harus waspada.” Ponsel Arjuna berdering. Panggilan masuk dari Bu Bertha. Arjuna memberitahu Bu Bertha bahwa mereka terkunci di perpustakaan. Syukurlah, Bu Bertha baru saja hendak pulang. Namun saat melihat ada panggilan masuk dari Arjuna, dia segera menelepon. Bu Bertha meminta Arjuna bersabar, dia akan segera ke sana dalam waktu sepuluh menit. Sontak mata Arjuna membulat. Sepuluh menit? Itu waktu yang sedikit sekali. “Sepuluh menit lagi Bu Bertha akan datang ke perpustakaan. Kita harus sampai ke permukaan sekarang. Bergegas!” Anggara, Adelina, dan Arjuna langsung berlari menuju tangga. Kinara menyusul. Mereka butuh waktu lima belas menit untuk sampai di perpustakaan saat menuruni anak tangga tadi. Mereka berjalan saat itu. Dan sekarang waktu yang mereka punya hanya sepuluh menit, artinya mereka harus berlari. “Aw,” ringkih Adelina. Tali sepatunya terlepas, lalu dia menginjaknya. Adelina terjatuh. Dengan sigap Anggara membantunya berdiri. Arjuna yang sampai lebih dulu. Dia menunggu tiga sahabatnya keluar dari lorong gelap. Anggara dan Adelina sampai. Tinggal Kinara. “Mana Kinara?” tanya Arjuna. Dia mulai panik. Anggara dan Adelina menggeleng tidak tahu. Suara derap langkah mulai terdengar. Arjuna berdoa dalam hatinya semoga Kinara muncul secepatnya. Ruangan rahasia ini harus terus bersifat rahasia. Tidak ada yang boleh tahu. Kinara muncul. Dia memeluk tasnya dengan napas tersengal. Arjuna bergegas menggeser rak. Tepat waktu. Begitu pintu rak tertutup, pintu perpustakaan terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD