Bab 7

1030 Words
Pukul 02.30. Di luar, hujan tak kunjung berhenti. Kilat terus menyambar dan sesekali petir menggelegar. Angin malam bertiup kencang, menerbangkan tirai jendela kamar Kinara. Perlahan Adelina membuka matanya. Tiba-tiba saja dia merasa ingin buang air kecil. Adelina beranjak duduk. Dia mengucek matanya. Dia melirik ke samping kiri, Kinara tengah tertidur pulas dengan mulut menganga. Jangan lupakan air liur yang merambat dari mulutnya menuju bantal. Adelina turun dari tempat tidur, berjalan gontai ke kamar mandi, buang air kecil. “Adelina.” Baru saja Adelina menutup pintu kamar mandi dan mematikan lampunya, terdengar suara bisikan memanggil namanya. Tubuh Adelina seketika kaku, matanya terbuka lebar. Hilang sudah rasa kantuknya. Adelina menelan ludahnya. Perlahan, Adelina berjalan menuju tempat tidur dengan kaki gemetar. “Adelina.” Lagi. Adelina mematung. Ekor matanya bergerak ke segala arah, memeriksa. Dia menelan ludah lagi. Ada apa ini? Siapa yang memanggil namanya di pagi-pagi buta begini? Kilat menyambar. Seketika kamar Kinara terlihat terang sekejap. Adelina tak sengaja melihat sosok mengenakan jubah hitam di cermin besar lemari Kinara. Adelina menjerit kuat sekali. Tubuhnya lemas. Desir darahnya menurun seketika. “Ada apa, Del?” Kalian tahu bukan kalau Kinara itu susah sekali dibangunkan, bukan? Suara teriakan Adelina yang kuat sekali barusan berhasil membangunkannya. Kinara turun dari tempat tidur, menghampiri Adelina yang terjongkok di lantai sambil menutup kedua matanya. Adelina menangis. Tubuhnya bergetar ketakutan. “Lo kenapa, Del?” tanya Kinara lagi. Dengan tangan bergetarnya Adelina menunjuk ke cermin lemari Kinara. “Gak ada apa-apa.” “Gue tadi liat ada yang berdiri di situ.” Bahkan suara Adelina pun ikut bergetar. Pagi harinya. Adelina sudah membaik sekarang. Hanya saja dia masih belum seberisik biasanya. Sejak melihat sosok berjubah hitam tadi malam, dia tidak lagi bisa tidur. Dia bersembunyi di balik selimut. Tidak berani menatap keluar. Sedangkan Kinara tidak perlu kalian tanya. Mungkin dalam situasi gempa bumi atau banjir bandang sekali pun, Kinara masih bisa tidur dengan nyenyak. Meski terlihat membaik, orang-orang akan merasa aneh melihat Adelina tidak seaktif atau seberisik biasanya. Wajahnya juga terlihat pucat. “Kamu kenapa, Adel? Sakit?” tanya Winda. Mereka bertiga tengah duduk di meja makan, sarapan bersama. Adelina memaksakan senyum, menggeleng, bilang dia tidak apa-apa. Kinara menikmati sarapannya. “Kalian pulang terlambat ya kemarin?” tanya Winda. Ternyata ibu satu anak itu sempat menunggu anaknya pulang. Sampai matahari tenggelam, anaknya belum juga pulang, Winda berasumsi mungkin anaknya sedang ada pelajaran tambahan. Dia pun memilih tidur. “Iya, Ma. Kami terkunci di perpustakaan. Mama tahu, ka—” Adelina menginjak kaki Kinara. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa Kinara dengan entengnya hendak menceritakan soal penemuan mereka di perpustakaan. “Ada apa, Adel?” Winda keheranan. Kinara menahan rasa sakit di kakinya. Adelina berusaha tersenyum lagi. “Gak ada apa-apa, Tante. Kita dapat hukuman kemarin gara-gara gak ngerjain tugas. Eh, maksud Adel kita ngerjain tugas, cuman bukunya ketinggalan, jadi dihukum deh.” Winda ber-oh. “Ya sudah, buruan habisin makanan kalian. Nanti terlambat ke sekolah.” Adelina dan Kinara mengangguk. *** Sampai di kelas, mereka beremapt berkumpul di meja Arjuna dan Anggara. Meja itu terletak di barisan ke empat jika dihitung dari depan pintu, paling depan. “Lo yakin yang lo liat sosok berjubah hitam?” tanya Arjuna pada Adelina. Mereka berdua sudah menceritakan pengalaman mereka tadi malam. Adelina mengangguk mantap. “Gue yakin seratus persen. Dia muncul di cermin lemari Kinara.” “Kok gue jadi merinding, ya?” kata Anggara. Dia merasakan bulu kuduknya berdiri. “Tadi malam sehabis gue mandi, nomor 1 itu nelpon gue lagi. Masih sama, gue gak bisa paham apa yang dia bilang.” “Apa jangan-jangan nomor 1 itu ada hubungannya sama sosok berjubah?” tebak Anggara. Itu memang bisa saja terjadi. Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang, atas dasar apa sosok berjubah itu mendatangi Adelina dan Arjuna? Apakah di antara mereka berempat ada yang melakukan kesalahan? Atau mereka berempat sama-sama melakukan kesalahan? Hanya menunggu giliran saja? Entahlah. Itu yang membuat mereka bingung sekarang. Kalau mereka bertiga membahas soal sosok berjubah dan nomor 1, Kinara tidak. Dia hanya bergabung saja, akan tetapi pikirannya entah melayang ke mana, dan tangannya sibuk menggali emas dari hidungnya. “Woi!” Anggara menyentil telinga Kinara geram. Bisa-bisanya gadis itu asyik mengupil ketimbang membahas bersama soal apa yang terjadi pada mereka. Kinara berdecak tidak suka karena diganggu, kemudian melanjutkan aktivitasnya. *** Spekulasi mereka benar. Bukan satu-dua di antara mereka berempat, akan tetapi hanya menunggu giliran saja. Pulang sekolah, Anggara tidak menemukan pembantunya. Biasanya setiap pulang sekolah pembantunya itu selalu menunggu Anggara, mengingatkannya agar jangan lupa makan siang. “Bi,” panggil Anggara. Dia mencari ke seluruh ruangan rumahnya. Tidak ada. Rumah dua tingkat dengan desain minimalis, sudah Anggara masuki semua ruangan yang ada di rumahnya, namun dia tidak menemukan pembantunya. Anggara juga menelepon, tapi tidak diangkat. “Atau jangan-jangan Bibi lagi ke pasar?” gumam Anggara. Baiklah. Dia memutuskan untuk naik ke kamarnya, menggantik seragam sekolahnya dengan baju rumahan, kemudian turun untuk makan siang. Usai makan siang, bibinya itu belum juga pulang. Anggara menelepon, masih tidak diangkat. “Anggara.” Terdengar suara perempuan yang Anggara kenali. Namun ada yang aneh, suaranya terdengar bukan memanggil seperti biasa, suara itu terdengar seperti rintihan menahan sakit, memanggil namanya untuk meminta diselamatkan. “Ya, Bi? Bibi di mana?” Anggara berdiri dari meja makan, berusaha mencari dari mana asal suara bibinya tadi. “Bibi di mana, Bi?” Anggara naik ke kamarnya, membuka pintu kamarnya. Dia masuk ke kamar mandinya. Tidak ada siapa-siapa. “Anggara.” Suara itu terdengar lagi. Anggara keluar dari rumah. Ada satu yang belum dia periksa. Gudang. Gudangnya berada terpisah dengan rumah. Gudang punya bangunan sendiri, terletak di belakang rumah. Gudang Anggara kecil, hanya berukuran empat kali empat meter persegi saja. Tidak banyak barang-barang di sana. Arjuna membuka pintu gudang. Seketika dia terjungkal ke belakang karena kaget. Begitu dia membuka pintu, cahaya matahari yang masuk langsung menyorot sosok berjubah. Berbeda dari yang sudah Arjuna dan Adelina lihat, sosok berjubah hitam itu tidak mengenakan tutup kepalanya. Wajahnya membuat Anggara terkejut. Itu wajah pembantunya yang tengah tertawa dengan wajah yang sangat menakutkan. Anggara berusaha menjauh. Sosok berjubah itu mengambang sepuluh senti di atas permukaan tanah. Dia terbang perlahan mendekat ke Arjuna. Anggara mengandalkan kekuatan tangannya untuk berusaha mundur ke belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD