Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, pagi ini seorang gadis tengah berjalan menuruni tangga rumahnya. Di bawah sudah ada orangtuanya yang sedang saling berbincang, meja ruang tamu terdapat segelas kopi yang masih mengepulkan asapnya.
Nika menyeret koper yang berisi perlengkapannya selama tiga hari di Sirkuit Suarez, penampilannya sudah rapi, bersih dan juga wangi. Ia menggunakan kemeja berwarja biru cerah, lalu disusul celana baggy pants berwarna cokelat kelam. Rambutnya diikat bak ekor kuda, jangan lupa polesan make-up tipis pada wajahnya.
“Sudah mau berangkat?” Hanah, ibu dari Nika menyapa dengan nada lembutnya.
Gadis itu menorehkan senyuman manisnya. “Iya, doakan Nika agar pekerjaan lancar tanpa kendala.”
“Pasti, hati-hati selama di sana, jaga kesehatan dan makan yang teratur.” Hanah mendekati sang anak, ia memeluk Nika dengan erat. Setitik air mata muncul di sudut kelopaknya, selalu seperti ini jika anak sulungnya pergi cukup jauh.
Melihat sang ibu yang bersedih membuat Nika menjadi sendu.
Heri, Ayah dari gadis itu bangkit berdiri. Ia mendekat pada istri dan anaknya, tangan kanannya meraih pundak Hanah dan mendekapnya.
“Jangan menangis, anak kita ini sudah besar. Lagipula kita juga sudah cocok punya menantu sama cucu, ya kan Nak?” Heri terkekeh pelan sambil menengok pada putrinya.
Nika meringis pelan, ayahnya selalu membawa-bawa calon menantu jika bergurau. Ahh, padahal ia sama sekali belum tertarik dengan hubungan semacam itu.
Hanah memukul lengan suaminya pelan, bibirnya mengerucut. Ditinggal sang putri selama beberapa hari saja ia sedih, apalagi jika nantinya Nika menikah dan mempunyai suami yang tinggal jauh darinya.
“Si Redo ke mana?” Nika melongokkan kepalanya, mencari si adik laki-laki yang sering ia ajak curhat ataupun menemaninya pergi kemana-mana.
“Sudah berangkat pagi-pagi sekali, ada kegiatan di sekolahnya.” Jawab Heri.
Nika mengembuskan napas pelan, padahal adiknya merupakan penggemar berat MotoRace dan mengidolakan salah satu pembalapnya.
Redo juga menitip tanda tangan pada pembalap-pembalap di sana.
“Ya sudah kalau begitu nanti titip salam buat Redo. Nika berangkat sekarang, sepertinya taksinya sudah sampai.”
Nika menatap pada ibunya sekali lagi, Hanah masih terlihat berat melepasnya. Di usianya yang menginjak dewasa ini, Hanah masih sering mencemaskan sang anak jika bepergian jauh.
“Percaya padaku, Nika baik-baik saja.” Nika menyentuh tangan ibunya dan menggenggamnya penuh dengan kelembutan.
Hanah menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya, ia menganggukkan kepala pelan setelahnya.
“Hati-hati ya, telepon kami jika sudah sampai di lokasi.” Hanah berpesan pada anaknya.
“Tentu, aku permisi.”
Nika menyalami tangan Hanah dan Heri secara bergantian, setelahnya ia kembali melanjutkan menyeret koper untuk keluar dari rumah.
Hanah dan Heri menatap kepergian anaknya, sedangkan gadis itu semakin melangkah keluar dan hilang di balik pintu.
Nika menghela napas pelan, ia mengerjapkan matanya dan menyemangati dirinya sendiri.
Ia membuka koper depannya untuk memastikan bahwa kameranya sudah ikut terbawa, kamera ini merupakan kamera pertama yang ia beli dengan uang hasil tabungan sendiri.
Meski kamera itu terlihat terbelakang, tapi Nika masih menggunakannya. Sejujurnya ia sudah memiliki koleksi kamera-kamera lain, tapi hanya kamera pertamanya lah yang membuat gadis itu jatuh cinta.
Setelah memastikan bahwa barang utama sudah terbawa, ia kembali melanjutkan perjalanannya.
Dadanya terasa bergemuruh, ia menyentuh titik itu. Rasanya perjalanannya menuju ke Sirkuit Suarez akan mengalami suatu hal yang mencengangkan, tapi apakah itu?
Nika berharap agar semuanya berjalan dengan baik, pekerjaannya tidak lah sulit. Ia hanya diminta untuk memotret jalannya balapan dan juga mengambil gambar para pembalapnya, ada satu pembalap yang diprioritaskan.
Benar saja saat ia membuka gerbang depan, sudah datang taksi yang ia pesan. Nika segera memasukkan kopernya ke bagasi dibantu dengan si sopir, selanjutnya ia bergegas masuk ke mobil.
Selama perjalanan tiba-tiba otaknya mencerna satu nama, Jack Roshel. Pembalap yang musim ini sedang harum namanya, bukan karena ia peraih juara dunia, tapi karena prestasinya yang ambisius dan belum pernah terlibat kekacauan sebelumnya.
Jika para pembalap lain pernah terkena skandal perselingkuhan, kecurangan, dan urusan-urusan lain, sedangkan Jack belum pernah sama sekali. Namanya terlalu bersinar hingga mengalahkan cahaya matahari, ia menjadi buah bibir di tiap kalangan pecinta MotoRace.
Meskipun begitu, tak sedikit pula para haters yang membenci Jack Roshel.
“Sesuai pesanan ya Pak, ke Bandara.” Ujarnya pada sopir.
“Baik, Nona.”
Selama perjalanan berlangsung, Nika hanya diam mengamati jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan.
Namun, otaknya tak sejalan dengan aktivitasnya. Entah kenapa pikirannya terus tertuju pada sosok itu, Jack Roshel terus menerus melanglang buana mengisi kepala cantiknya.
Tanpa sadar, ia merogoh ponsel yang berada di dalam tasnya. Ia membuka aplikasi sosial media, di sana ia mengetikkan satu nama akun yang terus mengganggu pikirannya.
@jack.roshel
Ya, Nika menuliskan nama itu pada kolom pencarian.
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, layar ponsel pun menampilkan berbagai macam foto-foto yang pernah diunggah sang empunya akun.
Masih sama seperti beberapa minggu lalu yang mana Nika terakhir kali melihatnya. i********: Jack dipenuhi oleh foto-fotonya ketika balapan, lalu ada juga tatkala ia latihan dan terjatuh, serta beberapa fotonya bersama umbrella girl yang tersenyum amat manis.
Melihat senyuman umbrella girl itu tiba-tiba ia merengut tanpa disadarinya, keinginannya untuk menstalking akun Jack langsung menghilang.
Tunggu dulu, saat ini ia baru sadar, kenapa dirinya merasa penasaran dengan sosok Jack Roshel?
Nika buru-buru menutup sosial media itu dan memilih membuka aplikasi perpesanan.
Saat itu juga senyumnya langsung mengembang, Amarta memberinya dukungan moral agar semangat menjalani hari ke depannya. Amarta juga menceritakan bahwa karier permodelannya semakin hari semakin lancar, Nika ikut senang mendengarnya.
Amarta mati-matian mempertaruhkan hidupnya demi menjadi seorang model. Jikalau gadis itu gagal sedikit saja, mungkin Amarta bisa gila?
Nika tersenyum-senyum sendiri saat membalas pesan dari sahabatnya, Amarta merupakan gadis konyol yang suka becanda.
Beberapa menit sudah berlalu, tak terasa taksi yang ia tumpangi telah berbelok memasuki area Bandara. Nika mendongakkan kepala, ia melihat ke sekitar.
Sopir taksi menghentikan laju kendaraannya.
“Kita sudah sampai, Nona.” Ucapnya.
“Ahh ya, tunggu sebentar Pak.” Nika memasukkan ponselnya pada saku, lalu merogoh beberapa lembar uang untuk membayar biaya taksi.
Ia menyerahkan lembaran uang itu.
“Terimakasih.”
Setelahnya ia keluar dari mobil.
Hal pertama yang Nika lihat adalah Bandara sangat ramai dan sibuk, banyak orang-orang berlalu lalang di luar maupun menuju ke dalamnya.
Manager Geo berpesan agar ia langsung saja masuk dan mengantre menuju penerbangan Ibu kota Suarez, ini kali pertamanya ia menaiki pesawat, rasa gugup dan canggung pasti ada.
“Oke, Nik. Kau pasti bisa, semangat!” Ia memberikan kalimat motivasi untuk dirinya sendiri.
***
Saat ini Nika sudah duduk di bangku pesawat, ia menoleh ke sekelilingnya dengan pelan. Orang-orang di sana tampak tenang dan menikmati perjalanan, sedangkan dirinya mati-matian menahan rasa gelisah dan takut yang bercampur aduk menjadi satu.
Katakan lah ia kampungan, memang seperti itu.
Ini kali pertama ia menaiki burung besi yang bisa terbang.
Seorang pramugari berjalan menyusuri lorong pada pesawat, tangannya mendorong baki beroda yang berisi berbagai macam makanan. Senyumnya tertaut dengan indah, fisiknya juga langsing dan teridam-idamkan.
“Selamat pagi, Nona. Permisi, saya mengantarkan makanan untuk Anda.” Pramugari cantik itu menyapa Nika dengan penuh ramah serta kelembutan, bibir yang terpoleskan lipstick merah merona itu tertarik di kedua sudutnya.
Nika membalas senyuman itu tak kalah ramah, ia mempersilahkan Pramugari menyelesaikan tugasnya.
“Silahkan.”
Pramugari itu meletakkan sepiring croissant waffle, terdapat whipe cream berwarna putih serta taburan buah stoberi di atasnya. Tak lupa, ada segelas jus mangga yang berwarna oranye.
“Terimakasih.” Ujar Nika.
“Sama-sama, selamat menikmati.”
Selama perjalanan berlangsung, Nika bisa menyesuaikan diri di dalam pesawat. Ia juga berlaku dengan normal dan tak membuat keributan sama sekali.
Meski beberapa kali pesawat itu mengalami guncangan yang membuat jantungnya nyaris copot, tapi sebisa mungkin Nika mengendalikan diri dengan baik.
Keringat mengucur dari dahinya, ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
“Keep calm, gulr.” Seorang laki-laki bermata abu-abu cerah berujar, ia mengulum senyumnya tatkala melihat Nika.
Seketika itu Nika menoleh menatapnya, laki-laki itu memiliki perawakan yang tegap.
Nika tersenyum canggung, mungkin saja sejak dari tadi laki-laki ini memperhatikan dirinya yang tampak kacau dalam hal sebisa mungkin menahan kecemasan.
Ohh, ia jadi malu sekarang.
“Baru pertama kali naik pesawat?” tanyanya. Laki-laki itu tepat berada di sisi kirinya.
Nika mengangguk samar. “Ya.”
“Tidak apa-apa, tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Menaiki pesawat pertama kali bukan lah hal yang memalukan, aku salut padamu karena tidak berusaha untuk pura-pura.” Lanjutnya dengan kekehan ringan.
Nika menaikkan satu aslinya bingung. “Maksudmu?”
Lelaki itu menatap balik Nika, pandangan keduanya saling beradu.
“Lupakan. Ke mana tujuanmu, Nona?”
“Haruskah aku menjawab pertanyaan orang asing?” Nika justru bertanya balik.
Hal ini membuat pria itu terkekeh ringan, ia bahkan menggunakan sapu tangannya berwarna hitam untuk menutupi tawanya. Nika berpikir bahwa orang di sampingnya ini tipe perfeksionis.
“Kau benar, kita hanya orang asing.” Balasnya.
Nika menganggukkan kepala, ia tentu saja harus waspada karena di luaran belum tentu semua orang baik.
Akhirnya kedua orang itu saling diam setelah beberapa saat beradu komunikasi. Mereka fokus pada diri masing-masing.
Nika melirik pada makanan yang disajikan oleh Pramugari, perutnya terasa tergelitik oleh aroma manis makanan itu.
Perlahan-lahan Nika meraih sendok dan mengiris tipis bagian croissant tersebut, tak lupa ia juga mensukkan stoberi di ujungnya. Lidahnya langsung merasakan lumernya whipe cream yang dipadu dengan renyahnya croissant waffle, rasa manis bercampur asam pada stoberi juga terasa nikmat dan pas di lidah.
Selama beberapa menit ia menghabiskan makanan itu hingga tandas. Tanpa Nika ketahui, ternyata pria di sebelahnya memperhatikan gadis itu sembari menahan kekehan.
Ia merasa lucu dengan gadis ini. Jika biasanya wanita-wanita lain akan menjaga image dengan makan secara perlahan serta penuh kelembutan, berbeda dengan gadis asing yang ia temui ini.
Penerbangan yang membutuhkan waktu sekitar tiga jam akhirnya usai sudah.
Pengumuman dari Pramugari juga terdengar, para penumpang diharap memakai sabuk pengaman karena pesawat akan landing.
Satu perjalanan sudah selesai, akhirnya Nika bisa menghirup kota bernama Suarez, di sana juga terdapat sirkuit yang akan dijadikan ajang balap MotoRace.
Setibanya ia mendarat, dinding-dinding Bandara dipenuhi oleh poster selamat datang. Kebanyakan gambar dari poster itu merupakan sponsor dari MotoRace, hal itu guna menarik minat para wisatawan untuk sekalian menonton perhelatan besar ini.
Manager Geo berkata bahwa akan ada orang yang menjemput Nika nantinya. Orang itu bertanggung jawab atas Nika selama gadis itu berada di sini.
Ada sekelompok orang yang menjemput para keluarga, sanak saudara dan juga kerabat, Nika berpikir bahwa orang suruhan Manager Geo pasti ada di salah satunya.
Dengan menyeret kopernya, Nika mencari-cari orang yang mengangkat papan nama bertuliskan namanya. Sejauh mata memandang, ia belum menemukan.
Akan tetapi, saat ia ingin melangkah lebih dekat lagi tiba-tiba saja ada seorang yang menepuk bahunya dengan pelan.
“Nika Adlen, pekerjanya Geovan?” tanya sosok itu.
Nika membalikkan badan sepenuhnya untuk menatap lawan bicaranya.
“Ya, benar.”
Lelaki berusia sekitar duapuluh lima tahun itu menghela napas lega. Setelah ia mencari gadis ini ke sekeliling penjuru Bandara, akhirnya bisa ketemu juga.
“Perkenalkan aku Savier, teman dan juga orang suruhan dari Geovan.” Savier mengarahkan telapak tangannya pada Nika.
Nika pun menjabatnya balik. “Aku Nika Adlen, senang berjumpa denganmu.”
"Asal kau tahu, aku memutari seluruh Bandara ini untuk mencarimu. Beruntungnya aku menemukanmu di sini, bisa-bisa Geovan akan memecatku jika sampai lalai menjemputmu." Savier bergumam, napasnya terdengar ikut tersengal-sengal.
Nika meringis. "Maaf, karena telah merepotkanmu."
Savier menggeleng keras-keras. "Sama sekali tidak, ini sudah kewajibanku untuk melakukannya. Oh ya, kita bisa berjalan menuju ke mobil sambil berbincang-bincang, aku akan membawamu ke tempat tinggal yang sudah disediakan."
"Baik, mari."
Jika Nika lihat di kesan pertama, Savier adalah sosok laki-laki yang ramah dan ceria. Ia juga banyak bicara tentang hal-hal yang mengasyikkan, Nika bahkan sudah dibuat tertawa oleh candaannya.
"Ku dengar kau adalah fotografer yang handal, lain waktu bisa lah aku melihat-lihat hasil potretanmu." Pembawaan Savier sangat friendly.
"Tentu saja, tapi aku tidak sehandal itu, masih tahap belajar." balasnya.
"Sttt, Geovan tidak pernah asal dalam memilih partner kerja. Jika dia sampai memilihmu, itu berarti kau memiliki talenta luar biasa." Savier menjentikkan jarinya.
"Yah, ku harap bisa seperti itu."
"Semangat! Memotret para pembalap MotoRace adalah tantangan tersendiri, kau juga bisa mendapat pengalaman berharga." Savier mengangkat tangannya bersikap semangat.
Keduanya terus berbincang hingga memasuki mobil, Nika dan Savier cocok serta sejalan dalam hal komunikasi.