MDU 12

1518 Words
"Enggak kok, gue percaya sama elo. Jangan pernah hianatin kepercayaan gue." "Pasti! Aku nggak akan nyia-nyiain kamu. Aku bakal ada buat kamu." mantap Tristan. Jovanka tersenyum dan memeluk erat tubuh pemuda di hadapannya. Rasa nyaman mulai ia rasakan saat bersama dengan pemuda ini. Mereka pun akhirnya berlanjut menuju ke tempat kerja mereka berdua. Malam pun tiba. Tristan tiba-tiba menghubungi Jovanka. Ia bilang jika dirinya tengah mengalami kecelakaan, tepat di depan pabrik tempatnya kerja. Tanpa pikir panjang, Jovanka berlari menuju ke lokasi tersebut. Bahkan ia sampai lupa tak memakai alas kaki, berlari melewati gang komplek agar lebih cepat sampai. Mengabaikan rasa perih di telapak kakinya. Entah terkena apa, yang jelas sangat sakit. Sesampainya di tempat tersebut. Jovanka celingukan mencari keberadaan sang kekasih. Jangan lupakan peluh dan napas yang sudah tersengal-sengal. "Tan ... elo di mana?!" teriaknya. Tak ada seorangpun di sana. Jovanka meluruhkan tubuhnya, ia merasa bodoh. Kenapa bisa dibohongi seperti ini?. Hingga suara seorang lelaki di belakangnya mengalihkan perhatian gadis tersebut. "Selamat ulangtahun ...," ucap pemuda yang tak lain adalah Tristan itu. Jovanka membalikkan badannya, dan berdiri. Ia tersenyum, menatap sosok pemuda yang kini terlihat tengah menumpu sebuah kue di kedua telapak tangannya. "Kok elo tau hari ulangtahun gue?" Jovanka tersenyum haru. "Apapun tentang kamu, akan aku cari tau." "Makasih, elo orang pertama yang ngasih surprise ke gue," Jovanka tertawa. Jika begini terus, ia bisa-bisa jatuh cinta beneran pada pemuda ini. "Masih ada lagi." ucap Tristan, merogoh saku jaketnya. Mengambil sebuah kotak berwarna biru dari dalamnya. "Ini kado dari aku, semoga kamu suka. Jangan dibuang, jangan dijual." Jovanka membuka isi kotak biru itu. Sontak membuat ia terkejut bercampur bahagia. Saat mendapati apa isi dari kotak itu. Yang tak lain adalah sebuah kalung berbahan emas putih. Kalung yang selama ini Jovanka idamkan. "Tan! Elo serius? Ini kan kalung yang gue inginin. Gimana elo bisa tau juga coba? Dan lagi ... ini tuh mahal." ucap menggebu Jovanka, tak percaya jika Tristan akan melakukan hal ini. Mengingat jika Tristan hanyalah seorang pegawai pabrik. Dan Jovanka tau betul, jika harga kalung itu kisaran enam jutaan, melebihi gaji bulanan pemuda tersebut. "Sudah aku bilang, apapun akan aku lakuin buat kamu. Asal kamu bahagia," tutur Tristan. "Tan. Makasih banyak!" Jovanka langsung memeluk tubuh pemuda tersebut. Ia benar-benar sudah jatuh dalam cinta Tristan. Ia merasa nyaman dan terlindungi, saat berada di samping pemuda tersebut. Tristan tersenyum, beberapa kali ia mengecup pucuk kepala sang kekasih. "Aku cinta sama kamu Jov!" ucapnya, hanya satu yang pemuda itu harapkan. Jawaban yang sama, seperti apa yang ia ucapkan. "Gue juga cinta sama elo, Tan." Enam kata yang mampu membuat jiwa Tristan bergejolak, ingin rasanya iya terbang membubung tinggi ke langit ke tujuh. "Jov! Katakan sekali lagi!" "Gue ... cinta ... sama ... Tristan Ivander!!!" Jovanka berteriak, melupakan jika mereka masih berada di pinggir jalan. "Sttt ... ke kontrakan aku yuk. Malu diliat orang." bisik Tristan. Jovanka mengangguk setuju dan mengambil alih kue dari tangan sang kekasih. Memakannya sambil jalan, benar-benar seperti anak kecil memang. Di perjalanan menuju ke kontrakan. Jovanka baru menyadari jika ia tak memakai alas kaki, ditambah kakinya ternyata juga terluka. "Asshh ...," desisnya. Melihat ke arah telapak kakinya. Tristan juga sama bodohnya, kenapa ia tak menyadari jika kekasihnya tak memakai alas kaki?. Dan juga ... astaga! Kaki Jovanka terluka. Buru-buru Tristan mendudukan tubuhnya, melihat kaki sang kekasih. "Kamu dari tadi nggak makek alas kaki?!" kagetnya. "Elo sih gara-gara." cemberut Jovanka. "Segitu khawatirnya ke aku, sampek kamu lupa makek alas kaki." "Jan percaya diri banget elah! Gue cuma khawatir kalau elo mati," frontalnya. "Sama aja, itu namanya juga khawatir. Duh, mana lukanya lebar lagi. Sini, naik punggung aku. Nanti nyampek kontrakan biar aku obatin." Tristan duduk berjongkok membelakangi Jovanka. Jovanka tersenyum, sebenarnya sakit di telapak kakinya tidak seberapa sih rasanya. Cuma ya ... manja dikit ama mas pacar gak apalah. Jovanka akhirnya menaiki punggung Tristan. Mengalungkan kedua lengannya di leher sang kekasih. Sembari menopang kan dagunya di pundak kanan pemuda tersebut. Melupakan kue ulangtahun yang tergeletak tak berdaya dipinggir jalan, di tinggalkan kedua pasang sejoli yang tengah di mabuk asmara. "Gue berat ya?" tanya Jovanka. "Berat badanmu tak seberat perjuangan aku buat dapetin kamu." "Gue heran, elo tuh udah gesrek dari lahir apa gimana sih?" "Kok gitu?" "Abisnya ngelucu terus. Nggak ada serius-seriusnya." Tristan tersenyum. "Ada kalanya kita harus serius, dan ada kalanya kita bercanda. Hidup dibawa serius mulu, cepet tua." Jovanka gemas dengan pemuda yang menggendong dirinya ini, ia mendusalkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. Mencium aroma maskulin pemuda tersebut. "Jov, nanti aja kalau mau lakuin itu. Sekarang masih di jalan. Malu diliat orang." kekeh Tristan. Jovanka reflek memukul kepala sang kekasih. Bagaimana bisa pemuda ini selalu berotak kotor. Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya sampai di kontrakan Tristan. Tristan langsung menurunkan tubuh sang kekasih di atas kasurnya. Dan bergegas pergi mencari kotak obat. Tristan berjongkok di bawah kasurnya, mensejajarkan tubuhnya dengan kaki jenjang sang kekasih yang kini terduduk di atas ranjangnya. Jovanka yang hanya memakai dress sebatas paha, tanpa sengaja membuka kakinya dan memperlihatkan pemandangan belahan lereng segitiga yang tertutup kain samar. Tanpa sengaja Tristan melihat isi dibalik penutup tipis itu. Dilihat dosa, tak dilihat mubadzir. GLEGG!! Tristan menelan ludahnya, tubuhnya terasa panas. Mana si Jovanka nggak ngerasa kalau itunya kelihatan lagi. Buru-buru Tristan mengobati luka di telapak kaki sang kekasih. Dan kembali menyimpan kotak obatnya. Lebih gilanya, Jovanka sekarang malah berbaring di atas kasurnya. Jangan lupakan dress pendek yang sedikit tertarik ke atas. Menampilkan dua paha putih mulus bak porselen. Yang terpampang nyata di depan mata Tristan. Ingin ia menggigit dua paha mulus itu sekarang juga. Tristan menidurkan tubuhnya di samping sang kekasih. Begitu juga dengan Jovanka yang justru meringsut mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Tristan. Mencari kehangatan, ditambah sekarang tengah hujan lagi. Menambah hasrat ingin em ... bersatu. "Dingin," bisik sang gadis. Yang mana ucapan itu bagaikan kode keras bagi Tristan. "Mau aku peluk?" tanyanya. Jovanka mengangguk. Anjim!! Menang banyak si Tristan. Tanpa membuang banyak waktu, ia memeluk tubuh kecil sang kekasih. Suasana mendadak sunyi. Sampai-sampai detak jantung mereka berdua terdengar oleh indra pendengaran mereka berdua. Deru napas mereka semakin memburu. Suasana semakin panas, membuat d**a mereka terasa sesak. Butuh napas buatan, elah bilang aja pengen cap cip cup. Tristan membelai bilah bibir basah sang kekasih, mendekatkan bibirnya dengan bibir gadis tersebut. Hingga kini sudah menempel sempurna. Ya kan ... otak mes*um si raja vampir mudah banget buat ditebak. Pasti senengnya ngisep darah suci terus. Jovanka memejamkan kedua matanya. Membuka sedikit bibirnya untuk memberi akses pada sang kekasih. Menelusupkan lidah lembutnya ke dalam mulut mungil sang kekasih. Bergulat lidah, menghisap dan memberi sedikit gigitan kecil. Membuat sang gadis melenguh kenikmatan. "Ngghh ...." Anjim bat dah, suara lenguhan Jovanka membuat sosis mentah Tristan mengeras. Tristan semakin memberanikan diri untuk mera*ba da*da padat sang kekasih. "Sakit," bisik sang gadis, saat sang pemuda memberikan remasan yang pertama. Tristan memelankan ritme cengkraman tangannya, melumat lembut bibir manis sang kekasih. Menyalurkan kenyamanan, agar gadis tersebut tak merasakan kesakitan. Lambat laun Jovanka sudah terbiasa dengan permainan yang diberikan sang kekasih. Hingga kini ia mulai membalas apa yang kekasihnya lakukan. Tak sampai di situ, Tristan bahkan sekarang sudah meraba area bawah Jovanka. Yang sedari tadi sudah terngiang di dalam otaknya. Ia rindu akan rasa lembut, hangat nan sempitnya. Kali ini ia akan melakukan dengan penuh kasih sayang, sama-sama cinta tanpa ada paksaan sedikit pun. Jovanka menggigit bibir bawahnya, menahan gelanyar aneh yang merambat ke seluruh tubuhnya. Bulu kuduknya terasa meremang, saat jemari dingin Tristan berlahan menyapu area bawahnya. Tubuh Jovanka seakan tak menolak oleh sentuhan demi sentuhan yang diberikan Tristan padanya. "Mmhhh ....," desah tertahan Jovanka, seraya menggeliat. Rasa geli dan nikmat bercampur menjadi satu. Tak bisa di devinisikan menjadi kata-kata. Tristan semakin gencar memainkan belahan merah muda sang kekasih. Yang kini sudah terasa basah. "Tanhh ...," Jovanka menggeliat tak karuan. "Tahan sedikit saja, ok," bisik Tristan, dengan napas menderu. Jovanka hanya mengangguk pasrah. Menerima apa yang dilakukan sang kekasih. Meski ia sadar jika semua ini salah, ia tak seharusnya melakukan hal ini. Tapi ia juga tak bisa menolak, lantaran naf*su cinta di dalam dirinya terlampau tinggi. Melebihi akal sehatnya. Tristan berlahan memasukkan satu jemari tengahnya ke dalam belahan lubang kenikmatan sang kekasih. Membuat gadis itu memekik kecil, rasa aneh bercampur nikmat. Semakin lama, Tristan semakin mempercepat meng-in-outkan jemarinya. Jovanka semakin bergerak tak karuan, napasnya tersengal-sengal. "Ah ... hentikan," pintanya, memohon. Namun wajah memohon yang Jovanka perlihatkan semakin membuat Tristan dikelabui kabut nafsu. Raut wajah merah dengan cucuran keringat sang gadis menambah tingkat keseksian gadis tersebut. Tristan ingat, jika dirinya tak boleh melampaui batas. Ia segera menghentikan aktivitasnya. Mengusap lembut wajah berkeringat sang kekasih. "Maafkan aku," ucapnya tulus. Jovanka tersenyum, menangkup punggung telapak tangan sang kekasih. Entah setan apa yang merasuki diri Jovanka, hingga membuat gadis itu semakin berani berbuat binal. Jovanka mendekatkan wajahnya di hadapan wajah Tristan. Mengecup lembut bibir pemuda tersebut, seraya membisikan kata-kata. "Apa elo nggak pengen gue buat nikmat?" DEG!!! Jantung Tristan berdetak semakin kencang. Apa maksud dari sang kekasih dengan kata-kata itu?. "Ma-maksud kamu?" tanya Tristan mendadak bodoh. Jovanka menyunggingkan sebelah bibirnya. Meraba area sosis mentah pemuda di hadapannya. Sontak Tristan mengikuti arah tangan Jovanka. Mendadak lehernya terasa kering. "Jov. Kamu bisa membangunkan dia," titahnya tertahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD