MDU 11

1511 Words
Semalaman suntuk Jovanka tidak bisa tidur. Memikirkan kata-kata Tristan. Bayangan kata-kata laknat itu terus saja berputar menghantui otaknya. Gadis itu terlihat tengah berguling kesana kemari. Kemudian mendudukkan tubuhnya cepat, meraup wajahnya kasar. "Ih, beneran nggak sih kalau gue udah nggak virgin? Kan belum dimasukin ...---" Jovanka mengacak rambutnya, saat pemikiran absurd itu muncul di dalam otaknya. "Tapi kok udah berdarah. Katanya kan kalau udah berdarah, udah nggak virgin lagi," Jovanka meraung kebingungan. Ingin bertanya pada siapa ia tak tau, masalah yang ia alami terlalu ambigu. Terbesit pemikiran kotor di dalam otak Jovanka. "Punya Tristan gede apa kecil ya? Astaga!!! Mikir apa sih gue?!" Jovanka mengetuk kepalanya beberapa kali. Keesokan harinya. Jovanka merasa risau, ia rasanya tak sanggup untuk bertemu dengan Tristan. Rasa malu atas kejadian kemarin masih terpampang jelas di dalam pikirannya. "Ok! Jovanka ... elo pasti berani," ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya berlahan. Berlanjut ia pergi ke tempat kerjanya. Dengan perasaan gelisah. "Babee!" Hedeh ... bayangan di dalam otak Jovanka saja belum hilang, sekarang sosoknya muncul di depan mata. Panjang umur sekali manusia jadi-jadian ini. "Heh!" Jovanka menghela napas jengah. "Elo nggak kerja?" lanjutnya. "Kerja dong, kan pengen ketemu bebebku  ini," Tristan menaik turunkan kedua alisnya. Jovanka hanya merolling bola matanya dan berlanjut melangkah menuju ke tempat kerjanya, tak lupa Tristan mengekor di belakangnya, bak seekor anak kucing tengah ditinggal induknya. Hari sudah menjelang siang, sudah waktunya para pekerja di pabrik tersebut beristirahat. Tristan langsung saja melesat menemui sang kekasih. Mengabaikan tatapan nyalang para pegawai wanita di sekitarnya. "Sayangku ....!" teriak Tristan, merangkul tubuh sintal sang kekasih. "Apaan sih, lepasin!" Jovanka meronta. "Makan siang di luar, yuk!" "Elo yang traktir?!" "Iya dong ...." Jovanka mengangguk setuju, apapun yang menyangkut tentang gratisan. Akan gadis itu iyakan tanpa syarat. Selepas makan siang, mereka melanjutkan berjalan-jalan sejenak, melepas penat. "Jov! Kamu belum bisa cinta sama aku?" "Nggak tau, keknya belum. Gue males pacaran. Tar ujung-ujungnya ama emak gue disuruh nikah. Ogah banget gue." Tristan tersenyum getir. "Itu artinya kamu nggak mau nikah sama aku?" tanyanya lesu. "Jangan bahas tentang nikah-nikah! Gue males dengernya. Gue tuh masih suka seneng-seneng." "Kapan-kapan kalau kita pulang, aku boleh main ke rumahmu ya?!" tanya pemuda itu penuh harap. Jovanka menatap sengit ke arah pemuda di sampingnya. "Elo tuh bego' apa gimana sih? Kita pacaran aja diem-diem, emak gue kagak tau. Nah elo, malah mau maen ke rumah gue. Yang ada kita bakal di kawinin saat itu juga!" "Asyik dong, disuruh kawin." kekeh Tristan. "Gue nggak mau nikah sama orang yang nggak gue cinta!" Ucapan Jovanka mampu mengoyak hati Tristan. Kenapa gadis itu tak bisa menerima cintanya? Apa kekurangan dari dirinya? Tipe yang bagaimana sebenarnya, cowok idaman seorang Jovanka?. "Jov, coba deh. Buka ati kamu buat aku, dikitttt aja. Biar aku bisa masuk." mohon Tristan. Jovanka mendengus kesal. "Tan, elo tau nggak. Ibarat hati gue tuh, udah kek noda kopi yang mengendap, menguning nempel di gigi. Kagak bisa terkikis." "Jangankan noda kuning di gigi. Batu karang aja bisa ancur terkikis air. Cuma noda kuning di gigi doang, bakal aku kikis abis. Rontok se-gigi-giginya." Jovanka tertawa. "Jadi ngomongin gigi sih. Ih, jorok banget." "Kan kamu yang mulai." "Kamu yang lanjutin." "Iya aku yang salah. Wanita maha benar sealam semesta." Jovanka tersenyum, tak dapat dipungkiri jika dirinya suka dipuja, dicinta, diperhatikan. Seperti yang Tristan lakukan. Hanya saja, ia tetap bersikeras tidak ingin menerima cinta pemuda tersebut. Jovanka hanya takut jatuh cinta, ia takut merasakan yang namanya sakit hati. Cinta menurutnya hanya sesuatu yang begitu merepotkan. Terlalu beresiko, mending temenan aja. Nggak ada yang bakal tersakiti, bebas jalan sama siapa aja. Tanpa ada yang larang. "Tan!" "Iya?" "Elo nggak sayang ama duit elo apa?" "Kenapa emangnya? Tanya yang jelas Sayangku ...." "Maksud gue, elo kan beliin macem-macem ke gue. Emangnya elo nggak ngerasa buang-buang duit gitu?" Tristan justru tersenyum. Mengusak rambut panjang sang kekasih. Kenapa Jovanka begitu lucu? Ia baru sadar, jika Jovanka memanglah gadis polos pada dasarnya. "Aku sayang sama kamu, apapun bakal aku kasih sama kamu. Jika perlu gaji aku selama sebulan buat kamu semua. Itung-itung belajar menafkahi calon istri." Jovanka tersenyum tipis, ia tak menyangka jika Tristan begitu mencintai dirinya. Tapi kemudian ia berpikir, mungkinkah Tristan melakukan hal ini pada semua gadis yang dicintainya?. "Jangan bilang kalau elo juga hamburin duit elo ke semua cewek-cewek yang elo pacarin?!" intimidasi Jovanka. Tristan menggaruk tengkuknya. "Enggak kok, cuma ke kamu aja." ucapnya. Jovanka tak bodoh untuk tak menyadari gelagat keraguan di wajah pemuda tersebut. Terlintas rasa kecewa di dalam hatinya yang terdalam, jika benar itu yang dilakukan Tristan ke semua wanita. Entah mengapa ada rasa tak terima di dalam hatinya. Tak rela jika Tristan begitu royal pada semua wanita. Ia hanya ingin dirinya yang dibuat spesial oleh pemuda itu. Ia hanya mau, Tristan memuja dirinya. Bukan gadis lain. "Kenapa diam, hm?" Tristan tersenyum, meraih tangan Jovanka. Dan entah mengapa, Jovanka juga tidak menolak genggaman tangan pemuda di sampingnya itu. "Tan, boleh pinjam HP elo nggak?" Tristan merasa ragu untuk menyerahkan ponselnya pada Jovanka. "Tan, elo cinta nggak ama gue? Kalau elo beneran cinta, harusnya elo nggak keberatan dong, kalau gue liat isi HP elo!" tak tau kenapa, Jovanka tiba-tiba merasa begitu emosi. Dengan terpaksa, Tristan memberikan ponselnya pada Jovanka. Hati pemuda itu sudah dirundung rasa gelisah, ia takut jika Jovanka marah padanya. "Apa kata sandinya?" "Em, LITAN." Emang dasarnya Jovanka cerdas, atau karena tingkat kecemburuannya terlalu tinggi? Hingga otaknya langsung merespon arti kata sandi di HP Tristan. "Lia-Tristan. Romantis amat sih ... dasar norak!" cercanya, berusaha tersenyum. Dibalik hatinya yang terasa dongkol. "Eh, bukan itu elah ...," Tristan berusaha merebut ponselnya dari tangan Jovanka. "Gue belom selesai. Siapa yang ijinin elo ngambil HP ini, hah?!" tukasnya, menyembunyikan benda tersebut dibalik punggungnya. Tristan hanya mendengus pasrah. Menurut adalah opsi yang aman untuk saat ini. Jovanka berganti memeriksa pesan chat di ponsel Tristan. Betapa terkejutnya dia, saat melihat isi pesan yang ternyata dari banyak gadis entah itu gebetannya atau siapa ia tak tau. Sebenarnya Tristan tak jauh beda dengan Jovanka, hanya saja Jovanka terlalu egois. Ia ingin Tristan hanya memuja dirinya, sedang dirinya bebas berkencan dengan pemuda lain. Bukankah Jovanka minta di getok kepalanya?. Jovanka iseng, ia mendial nomor salah satu cewek di ponsel Tristan. Yang tak lain adalah Lia. Ingin ia mengerjai cewek ganjen itu. Anda: "Lia cantik ...,"                                       Lia Imut:                             "Napa hubungin aku lagi? Bukankah kamu udah mutusin aku?" Anda: "Mau ngajak balikan, mau nggak?"                     Lia Imut:              "Kalau masih sama-sama suka, kenapa enggak?" Anda: "Em ... tapi bo'ong!! Hahahaha ...."                    Lia Imut:              "Brenggsekk lo!" Jovanka tertawa terbahak-bahak, karena berhasil mengerjai sosok cewek ganjen itu. "Mampus lo! Jadi cewek gampangan amat. Dikelonin juga gampang keknya tuh." ucapnya, penuh kemenangan. Tristan terdiam, memandang heran ke arah kekasihnya. "Udah puas?" tanyanya dingin. Jovanka mengehentikan tawanya, memandang penuh tanda tanya ke arah Tristan. Ada apa dengan kekasihnya ini? Kenapa dia terlihat marah?. "Puas pakek banget!" sahut Jovanka, penuh penekanan. "Gila ya kamu! Nggak punya perasaan. Tega banget buat orang lain sakit hati, dia pasti ngiranya aku yang ngirim pesan!" marahnya. "Ya bagus dong! Dengan begitu, tuh cewek gatel nggak berani deketin elo lagi." "Sarap jadi cewek." kecewa Tristan. Jovanka menautkan kedua alisnya. Sebenarnya apa yang salah di sini? Kenapa Tristan begitu marah dengannya. Bahkan berucap kasar. Begitu berhargakah para gadis itu? Hingga membuat Tristan tak rela jika cewek gebetannya diganggu. Jovanka mengulurkan ponsel di telapak tangannya. Tanpa ada ekspresi sedikitpun, hatinya terlampau sakit. Ia merasa di sini Tristan yang sengaja mempermainkan perasaanya. Hah! Anak muda pada labil semua. "Begitu berharganya dia dibandingkan gue. Itu kenapa gue minta putus aja dari kemaren. Karena gue nggak pengen elo tersiksa di deket gue. Elo bebas ngelakuin apa aja yang elo mau, tanpa gue ganggu. Tapi elo nolak terus. Apa yang elo mau dari gue? Mainin perasaan gue?" ucap Jovanka, menahan sesak dalam dadanya. Tristan tergugu, ia tak menyangka jika Jovanka akan berucap lembut seperti ini. Dengan segera ia memeluk tubuh gadis tersebut. Yang kini sudah bergetar. "Kamu nangis, Jov? Kamu nangis, karena aku bentak kamu? Maafin aku, ya ...," sesal Tristan, ia merasa bodoh. Kenapa hanya gara-gara gadis tak penting. Ia tega berucap kasar pada Jovanka. Kali ini Tristan memutuskan untuk serius menjalani hubungannya dengan Jovanka. Ia tak akan jadi playboy cap kecoa lagi. Apapun yang terjadi, ia harus menepati janjinya pada Jovanka. Jovanka semakin meledakkan tangisannya, ia tak tau kenapa hatinya begitu perih, saat mengetahui bahwa Tristan punya banyak gebetan. Merasa tersaingi, ia tak suka itu. "Cewek elo banyak. Gue elo anggep sebagai apa?" isaknya dipelukan sang kekasih. Sesekali mengusapkan ingusnya di pundak pemuda tersebut. Tristan hanya pasrah, tak apa jika pundaknya basah karena ingus. Bukankah kalau cinta harus menerima apa adanya? Sama orangnya aja mau, masa sama ingusnya nggak. Ingus juga bagian dari Jovanka kan? Udah lupakan, ngapain jadi bahas ingus sih?!. "Denger ya ... aku janji bakal hapus semua nomor cewek di HP aku. Sekarang juga." Tristan merogoh ponselnya kembali dan menghapus semua nomor para gadis di dalam ponselnya tersebut. Tepat di depan mata Jovanka. Jovanka sudah tersenyum bahagia tentunya, bolehkah jika ia sedikit memberikan hatinya pada pemuda ini?. "Elo serius cinta ama gue?" "Butuh bukti apa lagi? Katakan Sayangku ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD