Kiyan dan Kinan

1632 Words
Alfa membeku di tempatnya. Ia tidak menyangka kalau Sari dan Alin meninggal, dan lebih parah lagi Alfa sama sekali tidak tahu soal kematian mereka. alfa sudah tidak ingin mencurigai Dilan lagi, tapi mendengar apa yang dikatakan olehnya membuat separuh hati Alfa kembali ragu. Kenapa? Pertanyaan itu terus terulang dikepalanya. Kenapa selalu Dilan yang pertama tahu kematian teman-temannya. Sayangnya, Alfa tidak tahu bahwa tidak semua kematian mereka Dilan menyaksikan. Kematian Alin, Dilan sama sekali tidak tahu bagaimana perempuan itu bisa mati. Dilan hanya mendengar teriakan Linda dan menemui nya kemudian baru tahu bahwa Alin telah meninggal dengan keadaan yang mengenaskan. “Al, baik-baik saja, ‘kan?” Alfa menghela napas. “Dilan, bagaimana kamu bisa tahu Alin dan Sari meninggal?” Dilan merasakan hawa aneh ketika Alfa menanyakan perihal kematian kedua teman perempuan mereka. Padahal, Alfa sudah berjanji untuk tidak mencurigainya lagi. “Kenapa? Kamu mau bilang aku pembunuhnya lagi?” tanya Dilan sinis. “Bukan gitu, Dilan. Aku hanya penasaran, kenapa setiap kematian selalu kamu yang tahu.” “Apa kamu bilang? Selalu aku yang tahu?” Dilan berdiri dengan marah, membuat Alfa ikut berdiri dan menatapnya dengan raut bersalah. “Aku hanya mengejar teriakan yang ku dengar, dan aku sama sekali nggak tahu soal kematian Alin atau Sari. Linda tahu kematian Alin, dia ada disana tapi kenapa tidak ada yang menyalahkan Linda sama sekali? Aku bahkan baru tahu kalau Alin meninggal setelah melihat Linda menangis dan depresi disana. Sari mati pun aku nggak tahu penyebabnya sama sekali. Mayatnya tiba-tiba jatuh di depan ku dengan penuh sayatan dan darah yang mengalir dari tubuhnya. Tidak ada siapapun disana, lalu kenapa aku juga yangdi curigai? Kematian Rian ada Kiyan, bahkan Kiyan yang memegangi tubuh Rian, dan kalian juga tidak menyalahkan Kiyan. Irene, kamu sendiri ada di sana saat kematian Irene ‘kan? Tapi semua pandangan yang aku terima seolah menuduhku yang membunuh Irene karena aku melihat ada bekas merah di leher Irene sedangkan kalian tidak. Kalian pikir aku tukang santet? Yang bisa membunuh orang tanpa menyentuhnya? Logika dong Al! aku Dilan, aku lebih milih menyelesaikan tugas ku sebagai dosen daripada membunuh kalian yang tidak ada untungnya sama sekali untuk ku!” Seru Dilan panjang lebar. Napasnya tersengal-sengal dan Dilan seolah sedang menumpahkan segala kemarahan yang sudah ia pendam sejak berjam-jam lalu. “Di—Dilan… maaf.” Dilan memegangi dadanya. Rasanya benar-benar sakit mengingat semua prasangka buruk yang di tuduhkan kepadanya. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti apapun. Hanya karena Dilan melihat apa yang tidak mereka lihat, bukan berarti Dilan pelakunya ‘kan? Mereka sungguh egois. “Aku harus mengatakan apa supaya kalian percaya kalau aku bukan pembunuhnya.” Gumam Dilan lemah. Ia jatuh berjongkok sembari menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tingkat frustasi Dilan sudah di ambang batas dan ia sudah meledakkan amarahnya di depan Alfa. Ada setitik rasa lega setelah mengatakan semuanya, tapi rasa mengganjal di hatinya tetap saja belum sirna. Alfa merasa kasihan melihat Dilan depresi seperti itu. Alfa mendekati Dilan dan menepuk bahu temannya itu. “Dilan, aku minta maaf. Bukan maksudku mencurigaimu, aku sedang berusaha percaya padamu.” “Aku tahu. Sudahlah lupakan saja.” Dilan mengusap wajahnya kasar. “Aku harus mencari Kiyan.” Dilan baru hendak berjanjak pergi namun ditahan oleh Alfa. “Kenapa?” tanya Dilan bingung. “Ada satu hal yang ingin ku tanyakan padamu.” “Apa?” Dilan menangkap raut keraguan dari wajah Alfa. Meski keadaan lorong dengan penerangan yang temaram, tapi Dilan bisa melihat jelas ekspresi ganjil di wajah Alfa. “Ada apa?” Alfa menggaruk tengkuknya. Gestur yang Dilan tahu selalu dilakukan oleh Alfa ketika pemuda itu sedang tidak yakin dalam sesuatu. Mengenal Alfa sejak lama sudah cukup membuat Dilan hafal dengan kebiasaan-kebiasaan kecilnya. “Er… sebenarnya aku penasaran dengan sesuatu.” Dilan yang hendak pergi kemudian berbalik dan menatap Alfa dengan raut kebingungannya yang begitu mumpuni. “Penasaran soal apa?” “Kiyan dan Kinan.” “Kamu penasaran apanya tentang mereka?” Alfa menoleh kesana-kemari. “Bukan apa-apa sih, tapi sejak awal kita kemari aku hanya merasa aneh saja dengan mereka berdua. Mungkin, ini hanya perasaan ku saja karena kami sudah lama tidak ketemu. Tapi, apa kamu juga merasa agak aneh sama mereka? kamu ‘kan juga jalan berdua dengan Kiyan.” “Aku nggak memikirkan itu sih, tapi kalau bicara soal ‘berbeda’ ya aku memang merasa berbeda ketika berdekatan dengan Kiyan daripada berdekatan dengan yang lain. Memangnya ada apa?” “Ya bukan apa-apa sih, hanya penasaran saja dengan pendapatmu soal Kiyan atau Kinan. Bukan masalah besar kok, mungkin hanya perasaanku saja.” Dilan menautkan alisnya. Dilihat darimana pun jelas sekali kalau Alfa sedang kebingungan—dan khawatir? Dilan tidak tahu pasti dengan ekspresi itu. “Kamu ada masalah sama mereka?” Alfa terkejut. “Nggak kok! Nggak ada masalah, sungguh. Aku cuma penasaran sama penilaian orang lain saja kok. Bukan bermaksud buruk sama mereka.” “Al, kamu pasti lagi mikir sesuatu ‘kan?” “Hah? Apa? Nggak tuh.” Jawab Alfa cepat. Hanya dengan melihat reaksinya saja Dilan sudah tahu. Barangkali Alfa lupa kalau mereka sudah saling mengenal lama. Meski delapan tahun mereka tidak bertemu, bukan berarti delapan tahun itu membuat Dilan lupa dengan kebiasaan Alfa. “Jadi, kamu pikir sudah berapa lama kita saling kenal? Dan kamu masih percaya bisa ngibulin aku dengan wajahmu yang menunjukkan semua perasaanmu? Sadar, Al.” Andai mereka sedang tidak ada di lorong sekolah yang temaram, atau terjebak pada situasi sulit sekaligus menyeramkan, barangkali Dilan sudah tertawa terbahak-bahak sekarang melihat ekspresi bodoh Alfa. Sayangnya, Dilan tidak mungkin melakukannya. “Yah…” Alfa menggaruk tengkuknya. “Aku nggak berniat bohong atau apa sih sama kamu. Cuma, aku hanya takut ngelakuin hal salah lagi. Aku udah nyalahin kamu soal kematian teman-teman kita, sekarang hanya karena aku merasa aneh sama Kiyan dan Kinan aku takut kalau perkataan ku malah seolah mempengaruhi kamu untuk mencurigai mereka, gitu.” jelasnya pelan. “Aku bukan kalian yang asal mencurigai tanpa tahu yang sebenarnya.” Sindir Dilan pelan. Alfa menatap Dilan dengan raut bersalah. Sesungguhnya, Dilan sudah tidak membenci Alfa. Hanya Alfa satu-satunya teman dekat yang Dilan punya. Mana bisa ia marah padanya. Dilan terkadang terkadang hanya merasa sedikit kesal padanya, pada teman-temannya yang asal menyalahkannya hanya karena mereka melihat Dilan di tempat kejadian. Tidak semua yang terlihat memang benar-benar fakta. Sayangnya, mungkin karena diri mereka sendiri yang terlanjur panik, mereka gampang sekali menyalahkan orang lain. “Dilan, maaf.” Ujar Alfa lagi. Entah sudah berapa kali kata maaf terucap dari bibir Alfa sejak Dilan menumpahkan kemarahannya. “Lupakan, jadi kenapa kamu merasa aneh sama Kiyan dan Kinan? Apa kamu udah bicara banyak sama Kinan?” Alfa kembali menggaruk tengkuknya. Lama-lama Dilan bosan juga melihat gestur itu tiap kali Alfa tidak yakin dengan sesuatu. Memang, ini bukan kali pertama Alfa melakukan gerakan itu saat tengah bingung. Bahkan, nyaris tiap kali Alfa merasa bingung atau ragu ia selalu saja melakukannya. “Kalau bicara banyak sih nggak mungkin lah. Lagian, dia lebih banyak diam daripada berinisiatif mengajakku bicara. Kamu ‘kan jalan sama Kiyan sebelumnya, mungkin kamu merasakan hal yang sama sepertiku?” “Ya, mungkin Kiyan sama saja seperti Kina. Pendiam seperti itu, tapi aku sama sekali nggak ngerasa aneh atau apa. Ku pikir normal saja seseorang pendiam, masing-masing orang ‘kan punya sifat bawaan sendiri-sendiri. Kamu ingat nggak, delapan tahun lalu? Mereka juga gitu ‘kan? Cuma bicara ketika ada yang bertanya atau mereka hanya sekedar bicara untuk menanggapi orang lain sebagai bentuk sopan santun. Mungkin, memang seperti itu sikap mereka.” “Begitu ya.” Gumam Alfa pelan. “Yah, mungkin aku saja yang terlalu panik karena situasi ini. Benar sih, mereka pendiam atau bisa di sebut terlalu dingin. Apalagi kita nggak terlalu mengenal mereka karena memang mereka baru bergabung sama kita pas tahun ketiga.” Dilan mengangguk. “Al, kamu bukan orang yang gampang curiga sama orang lain. Aku kenal kamu sejak lama. Kamu bahkan mungkin terlalu gampang percaya sama orang lain sampai sering tertipu. Sekarang, kenapa kamu bisa curiga sama Kinan?” “Yah, aku bukannya curiga sih. Sejak awal, aku nggak pernah curiga atau mikir hal buruk soal mereka karena mereka memang nggak ngelakuin hal buruk. Aku cuma merasa ada hawa aneh aja kalau berdekatan sama mereka. Cuma sebatas itu saja.” Jelas Alfa. “Kamu yakin?” “Y—ya.” Dilan mengangguk. “Baiklah kalau begitu. Aku mau pergi cari Kiyan.” Dilan berbalik dan segera pergi meninggalkan Alfa. Dilan tertawa dalam hati. Dilan yakin sepenuhnya kalau Alfa tidak sebatas merasa kurang nyaman saja, tapi memang memiliki kecurigaan tersendiri kepada Kinan. Kedua gadis kembar itu memang berbeda dari yang lain. Berbeda soal penampilan juga sikap. Dilan tentu tahu. Tapi sekali lagi, Dilan berbeda dengan teman-temannya yang asal mencurigai orang lain. Meskipun Kiyan dan Kinan tampak aneh bagi Alfa pun dengan Dilan, tapi Dilan tidak serta merta mencurigai mereka sepenuhnya. Ya, jika setitik itu ada, Dilan mencurigai mereka hanya setitik dibandingkan rasa percayanya kepada teman-temannya. Mungkin Dilan memang begitu naïf mempercayain seluruh teman-temannya dalam situasi yang riskan seperti ini. Dilan, meski usia nya sudah menginjak dua puluh enam tahun, tapi dia tetap seperti bocah SMA yang penuh semangat membara dalam dirinya. Jiwa remaja nya seolah tak luntur meski masa itu telah terlewati bertahun-tahun silam. Dilan menertawakan Alfa yang tidak bisa menyembunyikan kebohongan serta dirinya yang payah dan lemah ketika berhadapan dengan orang lain hingga membuatnya mudah tertipu, tapi Dilan sendiri bahkan jauh lebih bodoh lagi. Dilan hanya tidak menyadari. Itu saja. Mungkin tidak hanya Alfa yang berpikir betapa berbedanya sosok Kiyan dan Kinan. Tapi, Dilan sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Kalau boleh jujur, Dilan malah kagum dengan keduanya, terutama dengan Kiyan karena sebelumnya mereka jalan bersama. Kiyan benar-benar pandai mengatasi diri nya sendiri. Dilan percaya, tidak hanya kepada Alfa, tapi seluruh teman-temannya. Semoga saja kepercayaannya berbuah manis.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD