Pelik

1602 Words
Dilan mengusap tengkuknya. Suasana sekolah memang sudah horror sejak awal, tapi sejak tadi Dilan tidak merasakan perasaan merinding sampai menusuk ke tulangnya seperti sekarang. Bulu kuduk Dilan meremang, dan Dilan merasa begitu kedinginan secara tiba-tiba. Dilan berjalan dengan perasaan tidak tenang yang menggelayutinya. Berulang kali ia menoleh kebelakang demi memastikan dirinya sendirian atau ada orang lain di belakangnya. Tidak mungkin ‘kan salah satu dari teman-temannya mengikuti ia. Lagipula, untuk apa? Membuktikan bahwa Dilan pembunuh atau bukan? Oh, astaga. Dilan berusaha keras berpikiran positif, kalaupun teman-temannya yang mengikuti ia, pastinya tidak hanya satu orang saja. Dilan yakin sekali mereka tidak akan berani jalan sendirian di lorong sekolah, apalagi gadis-gadis itu. Dilan semakin tidak tenang ketika dirinya mendengar langkah kaki pelan-pelan yang terdengar samar-samar di dekatnya. Dilan menoleh kesana-kemari memastikan setidaknya memang ada orang atau tidak di dekatnya. “Siapa?” tanya Dilan ragu. Suara langkah kaki yang seolah mengikutinya tiba-tiba tak terdengar lagi. Lorong tempat Dilan berdiri kembali senyap. Dilan mengumpat dalam hati, dan ia bersumpah akan memukul siapa saja diantara teman-temannya yang berani menjahilinya kali ini. Dilan masih mengenakan pakaiannya yang ternoda darah, juga telapak tangannya yang tak luput dari noda itu. Mau bagaimana lagi, ia sudah panik duluan saat melihat cermin seukuran buku tulis yang ada di kotak itu. Belum lagi, tulisan yang muncul dan perlahan meluruh menjadi cairan berbau amis darah. Memang patut jika Dilan di curigai pada saat-saat seperti ini. Menggerutu sepertinya bukan saat-saat yang tepat. Ya, mau bagaimana lagi. Kadang, Dilan merasa bersalah ketika melihat teman-temannya mati satu per satu, tapi Dilan tidak bersalah akan hal ini. Sekali lagi, Dilan sudah berulang kali memperingatkan mereka tapi satupun dari mereka tidak mempercayainya dan berbalik menuduhnya. BRAAK!! “Aahmp.” Dilan menutup mulutnya sendiri, mencegah suara keras meluncur dari kerongkongannya. Ia terdiam dengan napas memburu. Baru saja Dilan hendak melanjutkan perjalanannya demi mencari jalan keluar untuknya dan teman-temannya, tapi ia harus terhenti ketika suara debam keras di sertai sesuatu yang patah mengagetkannya. Disana. Di depan matanya. Dilan harus berapa kali mengalami hal ini? sesosok tubuh perempuan dengan pakaian robek-robek di segala sisinya jatuh terlentang di depan Dilan. Ada banyak luka sayatan di tubuhnya. Dilan tentu mengenali siapa perempuan itu. Sari. “Tidak mungkin… tidak mungkin… tidak mungkin.” Gumam Dilan panik. Terakhir kali ia bertemu Sari ketika mereka sedang menenangkan Linda yang tertekan akibat melihat kematian tragis Alin. Sepertinya belum satu jam mereka berpisah, lalu kenapa sekarang Sari terkapar jatuh dengan banyak luka sayat menyebar di seluruh tubuhnya? Ada apa sebenarnya ini? Buru-buru Dilan menghampiri Sari. Meski rasanya tak mungkin Sari masih hidup, tapi Dilan masih berusaha membangunkan perempuan itu. Logika saja, mana ada seseorang yang masih hidup dengan luka sayatan dalam menyebar di seluruh tubuhnya, apalagi dia di jatuhkan dari lantai dua sampai Dilan mendengar suara benda keras yang patah. Kalaupun memang Sari masih hidup, ia tidak akan sadar semudah itu. Keadaannya benar-benar kritis. “Sari, Sari!” seru Dilan panik, ia menggoyangkan bahu perempuan itu agak keras, namun seketika darah yang ada pada luka sayatan di sekitar bahu dan leher Sari merembes dan mengenai telapak tangan Dilan membuat nya berjengit antara kaget dan merinding. “Astaga…” gumam Dilan. Ia jadi takut untuk menggoyangkan badan Sari lebih dari ini. Keadaan Sari benar-benar parah, dan kalau Dilan mau ia ingin sekali lari dan menghindari situasi itu. Dilan kembali bingung dengan posisinya. Kenapa setiap hal buruk yang terjadi selalu ada ia di sana. Sebentar lagi, jika beberapa teman-temannya datang dan melihat Dilan memegang Sari yang terkapar mengenaskan seperti ini, pasti ia akan kembali di salahkan. Dilan jadi bingung apa yang harus ia lakukan dalam keadaan seperti ini. Rasanya, selama ia dan yang lain terjebak di dalam sekolah, kejadian terus berulang pada pola yang sama. Dilan menemukan peringatan, lalu seseorang mati secara aneh di depan matanya, beberapa teman datang lantas mencurigainya sebagai pembunuh. Seolah menyadari sesuatu, Dilan langsung berdiri dan berlari pergi. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan mayat Sari yang tergeletak mengenaskan di lantai dingin lorong, juga jejak darah yang mengotori tangan dan celananya karena menggoncang tubuh Sari tadi. “Aku harus menemukan Kiyan.” Gumam Dilan di sela-sela larinya. Memang bukan perkara mudah menemukan Kiyan di lorong sepi begini. Gadis itu seolah mampu berteleportasi. Hilang dengan cepat. Setelah kematian Rian, gadis berwajah bak boneka itu ikut pergi bersama Andrea dan teman-temannya. Dilan sedikit khawatir dengan Kiyan kalau-kalau ia mengalami nasib yang sama seperti Sari dan yang lainnya. Tapi, semoga saja tidak. Beberapa anak sempat Dilan temui ketika ia mencari Kiyan, tapi semuanya menggeleng dan langsung pergi meninggalkannya, seolah Dilan bukan salah satu dari mereka. Agak mengesalkan memang menerima respon negatif seperti itu dari teman-temannya sendiri. Namun Dilan sama sekali tak menyerah. Kali ini, Dilan harus benar-benar tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan sekolahnya. Kenapa mereka yang harus menjadi korban? Perlahan, kematian mereka tidak hanya sekedar seperti orang tercekik lalu mati dengan cepat, tapi berubah menjadi kematian-kematian tragis yang mengerikan. Dimulai dengan Alin yang jatuh dari tangga dengan leher tertancap ujung atas payung, lalu Sari yang seluruh tubuhnya di penuhi sayatan benda tajam dan terlempar dari lantai dua. Mengingatnya saja membuat Dilan merasa mual. Ujung lorong sekolah merupakan gudang di lantai dua. Sekolah Dilan memiliki dua gudang, di lantai satu dan dua. Keduanya berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang lama yang tak terpakai seperti bangku-bangku tua sebelum di angkut oleh tukang kayu bekas, dan beberapa alat kebersihan yang digunakan petugas kebersihan sekolah. Memang, tempat itu jarang di kunjungi keculai oleh petugas kebersihan sekolah, apalagi tempatnya yang ada di ujung lorong. Daerah terlarang yang selalu di hindari tidap murid sekolah. “Bagaimana ini?” gumam Dilan frustasi. Ia mengacak rambutnya yang lepek hingga membuatnya nyaris sama seperti sarang burung. Dilan sudah lelah mengelilingi sekolahnya. Sosok Kiyan menghilang begitu saja. Kemana sebenarnya gadis itu pergi? Ah! Seolah menyadari sesuatu, Dilan buru-buru pergi dari tempatnya berdiri. Ia langsung berlari untuk menemui teman-temannya yang lain. Kinan. Dilan lupa kalau Kiyan punya saudara kembar; Kinan. Gadis yang nyaris serupa dengan Kiyan itu pasti tahu dimana saudarinya berada. Dilan mengangguk senang dan segera mencari teman-temannya yang lain.   *   Ini bukan kali pertama Dilan mendapat tatapan mencemooh dari teman-temannya sejak ia menginjakkan kaki di lingkungan SMA nya dulu. Sejujurnya, ia sudah tidak masalah lagi dengan penilaian mereka kepadanya. Jika diingat lagi, rasanya pelukan rindu beberapa jam lalu hanya sekedar kenangan indah belaka. Sudah berlalu dan tidak ada artinya lagi. Kalau bisa, Dilan memang ingin teman-temannya mempercayainya, tapi karena keadaan memang membuat mereka seperti itu, maka tak ada pilihan lain lagi selain mengabaikan mereka. Toh, mereka juga sama-sama dalam kondisi yang buruk, meski dalam hal ini tentu Dilan lah yang memiliki keadaan terburuk. Dilan sudah cukup tertekan dengan melihat semua peringatan-peringatan itu, juga kematian teman-temannya yang ada di depan matanya sendiri. “Kamu dari mana?” tanya Alfa bingung. Ia berkeringat dan napasnya pendek-pendek, sepertinya habis berlari. “Kenapa?” Alfa menghela napas. “Aku tanya kamu darimana, Dilan? Kamu lari-lari begitu? Ada apa?” Dilan ingin sekali tertawa mendengarnya. Oke, Dilan sebenarnya bukan sosok manusia pendendam, atau manusia dengan perasaan ekstra sensitif yang gampang tersinggung. Dilan cukup kuat untuk menerima berbagai hujatan dari orang disekitarnya. Tanggapan-tanggapan buruk orang-orang di sekitarnya tidak ada apa-apanya, itulah yang membuat Dilan tetap santai meski banyak dari teman-teman sekelasnya menuduhnya membunuh. Well, meski tetap saja menyebalkan di tuduh seperti itu. “Kamu sendiri lari-lari, mengejarku?” tanya Dilan. Alfa menghela napas. “Serius, Dilan!” “Aku serius, memangnya sejak kapan aku suka bercanda.” Mereka hanya berdua sekarang ini, itulah yang membuat Dilan lumayan tenang meski berbicara hal tidak penting dengan Alfa. Kalau hanya berdua, kutukannya tidak akan bekerja—semoga. “Okay, mari kita ganti pertanyaannya, kau sedang mencari apa?” Dilan menghela napas, ia mendudukkan dirinya ke lantai seraya membenamkan wajahnya pada lutut. “Dilan! Dilan! Kamu kenapa?” tanya Alfa panik. Buru-buru ia menghampiri teman dekatnya itu dan menahan bahunya. “Aku capek.” Jawab Dilan jujur. Iya, dia lelah—sangat lelah malahan. Lelah hati, lelah raga. Kalau saja ia mengabaikan undangan tidak jelas itu, dia tidak akan berakhir disini. Malam dingin seperti ini, seharusnya ia berada di kamar apartemennya, bergelung manja dalam selimut tebal dan menikmati mimpi indah. Meski tidak juga sih, bisanya jam segini Dilan sedang duduk di depan komputernya mengerjakan tugas-tugas dosennya yang menyita waktu tidurnya berjam-jam. Tapi, setidaknya itu lebih baik daripada harus terjebak dalam sekolah dan menyaksikan kematian-kematian mengerikan yang membuat perut mual. “Dilan, sorry.” Ujar Alfa pelan nyaris tak terdengar. Dilan mengangkat wajahnya. “Kenapa minta maaf?” “Ya… karena udah berpikir buruk tentang kamu.” Jawab Alfa gugup. Bagaimanapun, Dilan adalah satu-satunya teman dekat Alfa selama ini. Kejadian buruk di sekolah tak akan cukup untuk memutus ikatan mereka. Dilan membuang napas kasar. “Al, kamu lihat Kinan nggak? Atau Kiyan?” Alfa mengerutkan dahinya. “Kenapa kamu cari mereka? oh ya, bukannya terakhir kali kamu jalan sama Kiyan ya?” “Iya, sebelum Andrea datang dan menyalahkan ku atas kematian Rian.” Desis Dilan kesal. Alfa merasa bersalah juga. “Maaf.” “It’s okay, nggak usah dipikirkan, aku butuh ketemu Kiyan, atau Kinan pokoknya salah satu dari mereka.” “Kenapa?” “Berjanjilah untuk tidak menyalahkan ku lagi setelah aku menjelaskannya.” Alfa mengangguk paham. Harusnya ia memang tidak mencurigai Dilan. Laki-laki seperti Dilan bahkan sekilas saja tampak begitu lemah (meski sebenarnya sebaliknya) kekuatan Dilan tersembunyi di balik paras manisnya yang seperti anak SMA, padahal umurnya sudah 27 tahun. “Sebenarnya, Sari dan Alin mati.” Seolah mendapat kejutan listrik, rahang Alfa jatuh beserta dengan tubuhnya yang sekarang terduduk di lantai dingin koridor sekolah. Alfa tidak tahu, sama sekali.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD