Terjebak

1632 Words
Linda masih menangis sesenggukan akibat kematian Alin. Ia masih duduk di anak tangga dekat jalan menuju toilet. Sekitar beberapa menit yang lalu, Sari meninggalkannya dengan alasan akan mencari air minum untuk Linda dan ia hanya mengangguk menyetujui saja. Linda masih shock dengan kematian Alin. Tentu saja, saksi sebenarnya kematian Alin adalah Linda karena dia yang ada di tempat kejadian pada saat Alin jatuh. Arga juga pergi sebeluam Sari meninggalkannya. Katanya, dia harus mencari teman-teman perempuan mereka yang lain. Linda tahu, melihat ekspresi Arga yang khawatir dan ngeri ketika melihat kondisi mental nya dan kematian tragis Alin. Maka meski Linda masih sepenuhnya merasa ketakutan dan lemas, ia menurut saja di suruh menunggu sementara Alin mencari air minum. Linda sebenarnya ingin ikut saja bersama Sari untuk mencari air minum. Lagipula, ia juga sudah kuat berjalan. Memang, beberapa saat yang lalu kakinya benar-benar terasa lemah seperti jeli, tapi sekarang ia sudah baik-baik saja meski jantungnya masih berdetak tidak normal. Hanya Linda yang tahu bagaimana sebenarnya Alin bisa mati, tapi jika ditanya, Linda tidak akan mau menjawab detailnya sekarang. Pikirannya masih berkecamuk dan bayangan terakhir wajah Alin masih tersimpan dan terus-terusan membayanginya. “Kenapa Sari lama sekali.” Gumam Linda khawatir. Bagaimanapun tegar dan kuat nya Sari, ia tetap seorang wanita. Sangat beresiko jalan-jalan sendirian dalam situasi seperti ini. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada Sari, Linda akan semakin merasa bersalah. Linda terus-terusan berjalan mondar-mandir hanya karena menunggu Sari. Di saat menunggu seperti ini, waktu seolah melambat. Linda sebenarnya memakai jam tangan, tapi entah kenapa jam tangan itu tiba-tiba mati. Linda hanya berusaha berpikir positif karena mungkin baterai jam nya habis. Tapi, jujur saja Linda sama sekali tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. Linda yang sudah tidak tahan lagi akhirnya berusaha menyusul Sari. Sebenarnya, Linda juga tidak tahu Sari dimana, temannya itu hanya pamit mencarikan air untuknya, dan berpesan agar ia duduk dan istirahat saja disana. Tapi, Sari bilang hanya sebentar, dan sekarang sudah lama sekali meski Linda tidak tahu berapa lama pastinya Sari pergi. Linda berjalan pelan-pelan di tengah lorong sekolah yang temaram. Suasana sepi dan dingin semakin membuat Linda merinding. Sejak tadi, ia berulang kali mengusap lehernya. Seperti ada udara aneh yang mengenai bagian sensitif tubuhnya, membuat Linda semakin khawatir dan ketakutan. “Sari…?” panggil Linda ragu. Ia sudah berjalan cukup jauh—sepertinya, dari tempatnya duduk tadi. Sekelebat bayangan hitam tampak menjauh dan berbelok masuk ke dalam ruang kelas tak jauh dari tempat Linda berdiri. Buru-buru Linda mengejarnya, meski dengan kondisi tubuh nya yang lemah dan kakinya terasa seperti jeli. Harapannya hanya menemukan Sari yang baik-baik saja. Lagipula, lama-lama Linda merasa tidak betah juga sendirian di lorong sepi nan gelap begini. “Sari?” ulang Linda lebih keras. Linda mengerutkan dahinya, dan ia menyusul kemana bayangan hitam yang ia yakini sebagai Linda masuk ke dalam salah satu kelas. “Sari, ternyata kamu—“ Penerangan yang temaram itu tiba-tiab mati, pintu menutup sendiri, dan Linda tak terdengar lagi suaranya.   *   Pada akhirnya, Dilan bersama Alfa untuk mencari keberadaan Kiyan dan Kinan. Bukan apa-apa sih, Dilan hanya ingin menanyakan beberapa hal kepada perempuan cantik itu mengenai kematian Rian. Selain Dilan, ada Kiyan yang menyaksikan bagaimana Rian meronta dan berteriak meregang nyawa. “Kenapa kamu yakin kalau Kiyan tahu sesuatu?” tanya Alfa penasaran. “Bukan begitu, aku sebenarnya juga nggak yakin. Hanya saja, Kiyan ada disana bersama ku pada saat Rian meninggal, siapa tahu ia memang tahu sesuatu. Itu juga untuk meminimalisir kecurigaan teman-teman yang lain kepadaku.” Alfa mengangguk paham. “Bagaimana kabar yang lain ya?” gumamnya. “Keadaan sekolah ini sepi, bahkan aku bisa mendengar napasku sendiri, tapi kenapa setiap ada yang mati aku nggak pernah tahu?” Dilan mengangkat bahu. “Mungkin bukan kau yang harus tahu.” Jawab Dilan asal. “Sudahlah, jangan mikir aneh-aneh, sekarang kita cari Kiyan dulu, barangkali nanti ketemu sama yang lain.” Mereka meneruskan jalan. Memang benar apa yang dikatakan oleh Alfa. Segalanya terasa aneh sejak mereka menginjakkan kaki di lingkungan sekolah mereka. ah, sejujurnya sejak mereka menerima undangan pun sudah aneh, hanya mereka sama sekali tidak merasakannya, dan tenggelam dalam euforia pertemuan dengan kawan lama. “Kalau diingat kebelakang, sebenarnya ini semua salah ku, Lan.” Ujar Alfa tiba-tiba. Dilan yang asyik memperhatikan sekitar sembari sesekali menengok ke beberapa kelas yang terbuka langsung terhenti dan menatap Alfa bingung. “Kenapa?” “Aku yang memaksa kamu ikut ‘kan? Andai kamu nggak ikut kesini, mala mini kamu pasti bisa menikmati tidur di apartemenmu, atau menyelesaikan tugas mu sebagai dosen.” Dilan menatap risih kepada Alfa. “Kamu kenapa sih?” “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Lan. Kamu ku paksa ikut, dan berakhir di curigai oleh teman-teman yang lain.” “Terus, kamu mau aku ngapain? Menyesal sekarang udah nggak guna kali, Al. Kalau kamu merasa bersalah sama aku, ya udah bantuin aku nyari Kiyan dan jalan keluar.” Alfa tersenyum lemah. “Iya.” Jika ada sikap dan sifat positif Dilan yang begitu Alfa sukai, maka pribadinya yang tidak pernah menyalahkan orang lain, padahal jelas-jelas ini semua terjadi karena Alfa yang terlalu bersemangat hingga tanpa sadar memaksa Dilan ikut. Dilan baru pulang dari acaranya malam itu, dengan keadaan yang lelah dan letih, tapi Alfa terus menghujaninya dengan pesan singkat dan telepon supaya segera menuju ke sekolah. Harusnya, jika ada yang perlu di salahkan, maka Alfa yang harus disalahkan. Dilan, sepertinya hanya berada pada waktu dan tempat yang salah. Ia hanya kebetulan melihat, ya kebetulan yang sayangnya berulang. “Hm… aneh sekali.” Gumam Dilan. “Apa?” Dilan masih mengedarkan pandangannya ke segala penjuru lorong yang mampu di jangkau oleh kedua matanya. Selalu seperti ini sejak mereka terjebak di sini. Sepi yang mencekam, membuat siapa saja yang ada disana merasa tak tenang. “Al, kita udah keliling dari tadi kok kita nggak ketemu satu orang pun? Yang lain memangnya kemana ya?” Alfa menggeleng. “Aku juga bingung, rasanya seperti hanya kita yang ada disini. Ponsel juga mati.” “Ponsel ku juga mati. Padahal saat kamu menghubungi ku pas aku masih di taksi tadi baterainya masih banyak.” “Sebenarnya ada apa sih sama sekolah kita? kayaknya delapan tahun lalu aku nggak pernah dengar cerita horror apa-apa deh.” Dilan mengangguk setuju. “Aku juga nggak pernah dengar rumor apapun kok. Lagian, udah delapan tahun berlalu lho. Kalau zaman kita sekolah aja nggak ada rumor apapun, mana mungkin sekarang ada kisah horornya? Zaman udah makin modern, dan kayaknya nggak mungkin cerita kelam terjadi pada saat kita udah lulus.” “Ya aku setuju, logika aja sih kalau setelah kita lulus ada kisah kelam di sekolah ini, harusnya bukan kita yang kena, tapi angkatan setelah kita.” Apa yang terjadi setelah dan sebelum mereka masuk ke dalam sekolah ini adalah sebuah misteri. Baik Dilan maupun Alfa sama sekali tidak tahu ada apa sebenarnya di sekolah ini. Benarkah ada kisah horror di dalamnya? Atau ini semua hanya kejahilan salah seorang teman-teman mereka? Rasanya sungguh tidak mungkin melakukan kejahilan hingga menewaskan orang lain. “Ah entahlah, nggak usah di pikirin lagi. Mendingan kita lanjut nyari Kiyan aja, barangkali nanti kebetulan nemu jalan keluar, meski kayaknya nggak mungkin sih.” Kedua nya kembali meneruskan perjalanan mereka. Dilan yang begitu teliti menyisir tiap ruang kelas yang mereka lewati sementara Alfa hanya mengikutinya dari belakang. “Dilan, kamu udah berkali-kali memeriksa kelas itu deh.” “Ha?” “Tunggu, bukannya tadi kita sudah kesini.” Ujar Alfa tiba-tiba. “Apanya? Kalau kita udah kesini mana mungkin kita balik lagi Alfa?” Alfa mendekat kearah Dilan dan mengamati semuanya. “Dilan, kamu yakin nggak kesini tadi? Aku sama kamu Dilan, aku lihat.” Dilan mengerutkan dahinya. “Maksud kamu aku nggak lihat apa-apa gitu?” tanya Dilan kesal. “Dilan, please. Kali ini jangan kekanak-kanakan. Serius, Dilan, kita udah kesini tadi.” “Aku nggak kekanakan!” seru Dilan marah. Alfa menepuk bahu Dilan, membuat pemuda itu agak berjengit antara kaget dan kesal. “Apa?” tanya Dilan sinis. “Lan, kita udah kesini dari tadi. Kita hanya berada di tempat yang sama. Kamu begitu serius memeriksa kelas-kelas itu, sementara aku hanya dibelakangmu, mengikuti kemana saja kamu melangkah, dan aku tahu apa yang aku lihat, Dilan. Tolong, dengarkan aku.” Dilan melepaskan tangan Alfa yang memegangi bahunya. “Al, berpikir logis dong, mana mungkin kita berputar di tempat yang sama. Kita ada di dalam bangunan lho, bukan di dalam hutan belantara.” “Untuk saat ini, mungkin kamu harus membuang kata logis dulu. Memangnya semua kematian yang dialami oleh teman-teman kita itu logis? Kamu bilang kamu melihat tanda kemerahan di leher Irene ‘kan? Tapi aku tidak melihatnya, sama sekali. Kamu juga melihat Rian meronta kesakitan sambil memegangi lehernya. Mana mungkin dia bisa kesakitan secara tiba-tiba begitu padahal sebelumnya dia masih kuat mengumpatimu?” Dilan mengingatnya. Ya, tentu saja semua kematian teman-temannya rasanya memang tidak logis sama sekali. Semuanya memang terasa tak masuk akal, tapi berputar pada tempat yang sama di sebuah bangunan? Apakah mungkin? “Tapi kita di dalam bangunan.” Desis Dilan pelan, nyaris tak terdengar. “Aku tahu, aku juga berpikir ini tidak mungkin. Tapi aku melihat semuanya, Dilan. Aku dibelakang mu sejak tadi. Semua ini memang aneh, dan terasa semakin aneh saja lama-lama.” Dilan menunduk. “Al, apa kita bisa pulang?” Alfa harus menjawab apa? Ia juga tidak tahu apakah mereka akan selamat. Sudah banyak teman-teman mereka yang meninggal sia-sia di sekolah ini. Malam terasa begitu lama. “Kita pasti pulang, Dilan. Aku harus bisa membawa kalian semua keluar.” “Lalu, kita bagaimana? Apa kita terjebak di tempat ini? kenapa kita jadi seperti ini?” “Aku juga nggak paham, Lan. Sebaiknya kita coba jalan lagi.” Dilan mengangguk paham. Mereka masih dalam posisi yang sama, Dilan yang berjalan duluan dengan memeriksa kelas-kelas yang dilewatinya, dan Alfa yang berjalan mengekori.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD