Rumit

1609 Words
Hal yang ingin Dilan lakukan saat ini hanya menemukan setidaknya salah satu dari dua kembar cantik itu. Sebenarnya tujuan sebenarnya menemukan Kiyan, karena dia yang sejak awal ada bersamanya. Tapi, nyatanya sudah lama ia dan Alfa menyusuri lorong sekolah dan sama sekali tidak menemukan mereka. Oh, bahkan juga teman-teman mereka yang lain. Alfa bahkan sampai mengatakan bahwa mereka berputar pada satu tempat yang sama. Tapi, mana mungkin itu terjadi sementara Dilan menyadari dengan sepenuhnya bahwa sekolah mereka itu tidak ada jalan yang memutar. “Aku capek.” Keluh Dilan seraya berjongkok di dekat dinding salah satu ruang kelas. Alfa mengikutinya dengan diam. “Al, kamu kok diam?” “Oh, aku baik-baik aja kok.” Dilan mendecih. Alfa pikir dengan siapa ia sedang bicara. Dilan tentu tahu kalau Alfa sedang memikirkan sesuatu. Barangkali ada yang menganggunya, yah terlepas dari mereka yang terjebak di sekolah ini, sudah pasti Alfa memikirkan hal lain. “Kalau kamu ingin melakukan hal lain silahkan saja, Al. Aku bisa cari Kiyan sendiri kok.” “Bukan gitu Dilan, aku hanya—“ “Al, aku tahu pikiranmu nggak disini. Percuma juga lagian kamu cuma mengekoriku aja.” Ketus Dilan. Alfa menghela napas, memaklumi sifat alami Dilan yang gampang kesal dengan orang-orang yang membuntutinya tanpa ada tujuan pasti. “Dilan, aku ingin ikut kamu, tapi bukan berarti aku nggak boleh berpikir ‘kan? Ayolah, bersikap dewasa, kamu sudah hampir kepala tiga lho dan masih aja sifatmu nggak berubah.” “Al, aku nggak mau bahas soal kaitan sifat sama umurku ya, aku tau aku udah semakin tua, tapi bukan itu masalahnya.” “Lalu?” “Percuma kalau kamu jalan ikutin aku tapi kamu nggak bantu apapun. Sejak tadi kalimatmu juga makin aneh saja. Jangan-jangan, malah kamu yang—“ Dilan menggantungkan kalimatnya. Sebersit rasa takut tiba-tiba menyusup ke hatinya. Apa Alfa yang bersamanya sekarang benar-benar Alfa? “Aku kenapa?” Dilan menggeleng. “Nggak, lupakan aja. Dah, aku udah nggak capek lagi, ayo kita nyari Kiyan lagi.” Alfa mengerutkan keningnya merasa bingung dengan perubahan raut muka Dilan yang begitu drastis, tapi Alfa tak begitu ambil pusing dan mengikuti saja kemana Dilan melangkah. Alfa sudah membulatkan tekad untuk menemani satu-satunya teman dekatnya itu. Yah, setidaknya sedikit penebusan karena sudah sempat curiga padanya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara derap langkah mereka saja yang terdengar. Dilan tidak banyak bicara, pun dengan Alfa. Kadang-kadang hanya terdengar suara derit pintu ketika Dilan mencoba melongok dan melihat kedalam kelas. Meski Alfa tetap berpikir bahwa yang dilakukan oleh Dilan sebenarnya sia-sia saja. Ia sadar, mereka hanya berputar pada tempat yang sama. Meski aneh, Alfa berusaha keras menyembunyikan rasa panik yang perlahan menggerogoti hatinya. ‘Sial’ batinnya kesal. “A—Al.” panggil Dilan gagap. Alfa yang sejak tadi masih berkutat dengan pikirannya sendiri seolah tersadar dan mendekati Dilan. “Kamu kenapa?” “A—Al, Al… i—tu—“ Alfa menoleh kesana kemari. Ia melihat dengan jelas Dilan bergetar dan kedua matanya terbelalak dengan raut wajah begitu horror seolah melihat hantu di depan matanya. “Dilan, Dilan? Kamu kenapa, hei!” Alfa menggoncangkan bahu Dilan tapi kedua bola mata pemuda itu tetap fokus pada satu titik dan sama sekali tidak menggubris panggilan Alfa. “Dilan, kamu itu sebenarnya lihat ap—“ Alfa membelalak, tak kalah terkejut dengan Dilan yang sejak tadi masih terpaku dalam rasa keterkejutan yang dalam. Pada akhirnya, Dilan jatuh terduduk masih dengan kedua mata yang terfokus pada apa yang sejak tadi dilihat olehnya, yang juga dilihat oleh Alfa sekarang ini. “Ini nggak mungkin.” Gumam Alfa pelan. Ia berulang kali menggelengkan kepalanya sembari menatap objek yang sejak tadi begitu menarik perhatian keduanya. Dilan sudah hampir menangis melihatnya. Disana, di balkon lantai atas sosok Linda menggantung dengan kedua pergelangan tangan terikat tambang serta darah yang menetes-netes dari tiap bagian tubuhnya. Rambut keriting Linda yang biasanya tertata apik menjadi kusut dan berantakan. Pipi Linda yang harusnya putih mulus penuh sayatan dari berbagai sisi. Dilan melihat dengan jelas sayatan itu masih baru dan darah merembes dari sana, dan kedua mata Linda terpejam. “A—Al.” seru Alfa gagap. Kedua matanya masih terfokus pada sosok Linda yang tergantung dengan keadaan mengerikan begitu. Alfa menggelengkan kepalanya, berusaha menyadarkan diri dari tingkat keterkejutannya yang begitu hebat. “Ayo kita ke atas, kita harus turunin Linda.” Seru Alfa seraya berlari menuju tangga. Dilan yang tersadar dengan suara derap langkah kaki Alfa segera menyusulnya. “Linda baik-baik aja ‘kan, Al?” tanya Dilan khawatir. Alfa menggeleng tanda tak tahu, ia masih berjuang menarik tambang yang menahan tubuh Linda jatuh ke bawah dengan ekstra hati-hati. Bukan perkara mudah menarik tubuh Linda. Bukan karena berat badan atau apa, tapi kondisi pergelangan tangan Linda yang tak jauh berbeda dengan anggota tubuhnya yang lain. Tiap kali Alfa dan Dilan berusaha menarik tambang pelan-pelan, darah di pergelangan tangan Linda langsung merembes dan menetes ke seluruh lengannya. Alfa dan Dilan juga tidak yakin apakah Linda masih hidup atau sudah mati. Setelah penuh perjuangan untuk menarik tubuh Linda ke atas, akhirnya gadis itu berhasil di baringkan meski di lantai. Darah dari luka sayatan di sekujur tubuh Linda langsung mengotori lengan dan sebagian pakaian Alfa dan Dilan, bahkan beberapa menetes ke lantai. “Linda, Lin!” seru Dilan agak keras, ia berusaha menggoncangkan tubuh Linda dan yang di dapati adalah darah dari luka-luka Linda yang kembali menetes ke lantai. Buru-buru Dilan menarik tangannya yang bergetar, ia berjengit kaget dan kembali teringat dengan Sari. Gadis itu memiliki keadaan yang sama dengan Linda, apalagi dia jatuh dari lantai atas di hadapan Dilan. Alfa menyentuh sisi leher Linda dan kemudian menghela napas berat. Dilan melihat raut muka Alfa yang begitu suram. “Al, kenapa?” tanya Dilan penasaran. “Linda sudah pergi.” Ujarnya lemah. Dilan membelalakkan matanya. Sungguh, ia tidak ingin ini terjadi lagi. Dilan mengusap wajahnya kasar. Lagi, kematian yang menghampiri teman-temannya terjadi di depan matanya, meski hanya berupa mayat yang tergantung mengenaskan. Ada apa sebenarnya dengan sekolah mereka? “Ini bohong ‘kan?” gumam Dilan parau. Ia memegangi kepalanya dan terus berusaha menyangkal bahwa Linda terlah pergi. Dilan bahkan dengan sengaja membenturkan kepalanya ke tembok yang ada di sampingnya. “Dilan, tenang okay.” Alfa berusaha menahan Dilan membenturkan kepalanya lebih keras lagi. Dilan, meski ia tampak begitu santai di luar, namun ada banyak hal yang menjadi ketakutan dalam dirinya, dan ia sesungguhnya begitu sulit menerima hal buruk. “Al, kalau seperti ini terus kita juga bakalan mati!” teriak Dilan murka. Ia sudah tidak tahan lagi dengan semua kegilaan yang terjadi di sekolahnya. Apa yang menyebabkan terjadi. Alfa memegangi dahi nya yang berdenyut sakit. Pusing sekali memikirkan keadaan teman-temannya. Lebih dari itu, ia juga memikirkan keselamatannya sendiri. andai waktu dapat di putar, Alfa tidak akan memaksa Dilan ikut, setidaknya teman dekatnya itu tidak ikut-ikutan berada dalam situasi sulit semacam ini. “Kita dan teman-teman yang lain akan pulang, Lan. Kamu tenang aja, okay.” Bujuk Alfa berusaha selembut mungkin. Saat ini, hatinya sendiri tidak tenang, jantung berdegup gila-gilaan dan ia juga merasa khawatir atas keselamatannya dan teman-temannya yang lain. Lebih dari itu, sebenarnya Alfa lebih menghawatirkan Dilan. “Nggak mungkin, Al. Kita semua pasti akan mati disini. Ah, aku berharap mati dengan baik, bukan mati dengan penuh luka sayatan seperti Linda atau Sari.” Ujar Dilan asal. “DILAN!” seru Alfa murka. Kedua mata Alfa menyorot tajam kepada lawan bicaranya hingga Dilan merasa terintimidasi. Alfa menekan bahu Dilan hingga si empunya tertahan di dinding. Dilan merasakan kemarahan luar biasa dari diri Alfa, dan entah kenapa itu membuatnya merasa takut. “A—Alfa?” “Jangan pernah bicara seolah kita udah nggak punya harapan untuk hidup lagi. Kalaupun memang akhirnya aku dan teman-teman yang lain mati disini, aku akan pastikan kamu keluar dari sekolah ini dengan selamat.” Apa? “Kenapa kau mengatakan itu? Kamu nggak perlu melakukan sampai sejauh itu. Keselamatan kita ada di tangan kita sendiri, ngapain kamu berjuang untuk aku?” tanya Dilan bingung. “Kalau kamu tahu keselamatan kita tergantung pada diri sendiri, kenapa kamu mengatakan hal-hal buruk seolah kamu akan mati beberapa saat lagi, hah?” Dilan melepaskan tangan Alfa yang mencengkram bahunya dan mendorongnya menjauh. “Kamu bisa bilang kayak gitu karena kamu nggak melihat apa yang aku lihat, Al. Aku yakin kamu baru melihat kematian Irene dan Linda saja ‘kan?” “Lalu kenapa?” “Lihat? Kau hanya menyaksikan kematian dua orang dan satu diantaranya sudah terbujur kaku. Kamu nggak lihat gimana mereka mati, Al. Kamu nggak tahu gimana rasanya ngeliat teman mu sekarat dengan ekspresi kesakitan parah. Kamu, nggak berhak menghakimi ku!” teriak Dilan marah. Suasana lorong yang sepi membuat teriakan Dilan terdengar semakin keras dan menggema nyaris ke sepanjang lorong. Alfa memijat pangkal hidungnya. Dia terlihat begitu marah dengan pernyataan Dilan yang seolah mengatakan bahwa Alfa tidak tahu apa-apa, setidaknya tak lebih tahu dari Dilan. Iya, Alfa memang tidak ada di tempat kejadian ketika teman-temannya yang lain mati, tapi apakah itu menjadi standar bahwa Alfa lebih baik tidak usah menyatakan pendapatnya dan hanya diam saja menunggu Dilan mati karena ulah bodohnya sendiri? Alfa tidak bisa. “Cukup, Dilan! Ini sudah di luar kendali. Kamu nggak harus kayak gini hanya karena kamu yang melihat semuanya.” Alfa kira, hubungannya dengan Dilan sudah membaik dengan ia mengikuti Dilan kemana saja dia berjalan. Sayangnya, karena kematian satu temannya lagi membuat Dilan kembali tertekan dan semakin depresi. Alfa tidak pernah melihat Dilan tertekan seperti ini. Berulang kali Alfa mengatakan bahwa Dilan adalah pribadi yang begitu positif, tapi kali ini semua itu seolah hilang darinya. Dilan menghela napas berat, menghindari pandangan Alfa. “Pokoknya aku harus—“ kedua mata Dilan terbelalak, dan ia berharap tak pernah melihat itu semua.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD