Kode

1591 Words
Ini bukan kali pertama Dilan mengalami kejutan yang membuat jantungnya seolah berhenti beberapa saat. Sejak ia menginjakkan kakinya di lantai sekolahnya dulu, ia sudah mengalami kejutan pertama atas insiden Irene. Harusnya ia bisa terbiasa dengan segala kejutan yang datang setelahnya, namun sayangnya tidak. Dilan sama sekali tidak mampu untuk merasa terbiasa dari segala kejutan yang ada. Beberapa detik yang lalu ia terlibat ketegangan dengan Alfa, satu-satunya teman dekat yang ia punya di sekolahnya. Ini memang bukan hal baru diantara mereka. Apalagi dengan keadaan mereka yang terjebak dalam keadaan rumit dan menegangkan seperti ini. Masing-masing memiliki pendapat sendiri, dan keduanya sama-sama tak ingin argumennya di bantah. Dilan sebenarnya bukan jenis orang yang memaksakan pendapatnya jika ia sendiri tidak yakin. Tapi sepertinya mereka memang tidak diharuskan berdebat, disaat mereka mulai berdebat hebat dan hendak berpisah jalan lagi, kejutan itu malah datang. Dilan nyaris terjungkal saking kagetnya. Barangkali di tengah perdebatan mereka, keduanya lupa kalau mereka meninggalkan jasad Linda masih tergeletak di lantai dengan keadaan yang sama. Dilan baru saja hendak berbalik pergi ketika ia sudah tidak betah dengan perdebatannya dengan Alfa. Berdebat dengan teman dekat nyatanya sama sekali tidak membuahkan hasil yang terlalu bagus, malah rasanya seperti ada perasaan bersalah dan menyesal, namun tertindih oleh perasaan ingin mendominasi. Sayangnya apa yang tampak di hadapan Dilan mampu membuatnya terbelalak dan menganga lebar. Shock berat diterimanya. Disana, di lantai dingin tempat mereka meletakkan Linda, jasadnya tiba-tiba bergerak, dan tubuh berlumuran darah milik Linda seolah berusaha untuk bangun. Dilan memandangnya ketakutan. Apalagi dengan gerakan patah-patah yang membuatnya semakin terlihat menyeramkan, andai situasinya sedang tidak menenangkan saat ini, mungkin Dilan sudah mengatai Linda seperti zombie. Tubuh Linda berusaha bergerak, dan kedua mata Linda terbuka dengan susah payah, darah dari sekitar dahinya menetes dan membuat wajah Linda semakin mengerikan. Bukankah beberapa saat sebelum Dilan dan Alfa mulai berdebat, Alfa sudah memastikan bahwa Linda sudah meninggal? Lalu, kenapa? “Lin—da?” panggil Dilan pelan, suaranya bergetar karena ketakutan. Linda tidak bicara, tapi jari telunjuknya bergerak mengusap lantai dan meninggalkan bercak darah disana. Kalau Dilan tak salah mengartikan, ia melihat Linda seolah berusaha menuliskan sesuatu dengan darah yang menetes di tubuhnya. Dilan bergidik melihatnya. Rasanya pasti sangat perih menahan sayatan sebanyak itu. Apalagi setahu Dilan, Linda bukan jenis perempuan yang kuat menahan sakit. “Linda, kamu masih hid—“ “DILAN!” seru Alfa keras. Dilan menoleh kepada Alfa dan melihat teman dekatnya itu mengisyaratkan padanya agar diam. Dilan tidak mengerti kenapa Alfa melarangnya bicara, padahal jika bisa mereka bisa memperoleh banyak informasi dari Linda. Apa penyebab kematiannya, dan siapa orang di balik semua ini. Linda yang sejak awal mereka temukan dalam kondisi mengenaskan dan Alfa yang sudah memeriksanya meninggal terus menulis di atas lantai keramik dengan darahnya. Dilan mendengus, ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud Alfa mencegah nya mengajak bicara Linda. Alhasil, dia hanya diam saja sembari terus memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh perempuan itu. Rasanya Dilan ingin sekali membantu Linda. Melihat temannya itu menulis dengan susah payah membuatnya merasa iba. Dengan luka-luka serius dan bahkan Alfa yang sudah mengatakan bahwa Linda sudah meninggal, mana mungkin hal ini bisa terjadi? 245.3.150 467.10.200 Linda kembali tergolek kaku setelah dengan susah payah menuliskan angka-angka di lantai dengan darahnya sendiri. Dilan kembali panik dan reflek berusaha membuat Linda sadar, sayangnya hasilnya nihil. Kesadaran Linda barusan seolah hanya sebuah halusinasi singkat atau sekedar mimpi sejenak. Sementara itu, Alfa yang tanggap dengan keadaan langsung mendekat dan memeriksa tulisan darah milik Linda yang begitu berantakan. Ia mengamati dengan seksama dan segera merogoh saku kemejanya. Kebiasaan Alfa sejak dulu, ia selalu membawa satu buah bolpoint dan note book mini di sakunya, kebetulan ia juga selalu memakai kemeja kemanapun dia pergi. Buru-buru Alfa mencatat angka random yang di tuliskan oleh Linda ke dalam note book mini miliknya. Meski angka itu tampak random tapi Alfa begitu tanggap dan menyadari pasti ada makna di balik semua itu. Tidak mungkin Linda yang sudah setengah sekarat repot-repot menuliskan angka-angka itu jika tidak ada makna nya sama sekali. “Dilan!” seru Alfa geram. Lama-lama ia bosan juga mendengar suara panik Dilan yang terus saja memaksa Linda bangun, padahal di lihat sekilas saja sudah tidak ada harapan untuk gadis itu hidup. “Apa?!” balas Dilan marah. Ia masih setia memegangi badan Linda meski sedikit berjengit tiap kali merasakan dingin dan lengketnya darah milik Linda. Alfa pikir, mungkin ini lah alasan Dilan gampang di curigai, ia begitu ceroboh. Menyentuh korban dan seolah sengaja meninggalkan jejak pada dirinya sebagai tersangka. “Tenang, Dilan.” Ujar Alfa lebih pelan. “Aku harus tenang bagaimana? Kalau saja kamu nggak ngurusin tulisan itu dan membantuku menolong Linda, pasti dia masih ada harapan untuk hidup!” “Kamu terlalu naïf, Dilan. Linda sudah nggak bisa diselamatkan lagi, kamu harus ikhlas.” Ujar Alfa mencoba memberi mengertian. Dilan melirik tajam kepada Alfa. “Tidak! Selalu ada harapan kalau kamu mau berusaha, tapi kamu nggak berusaha, makanya Linda tidak ada harapan lagi.” Alfa memijit keningnya, lama-lama ia pening juga menghadapi sikap keras kepala Dilan. Dilan memang sosok manusia yang selalu berpikir positif kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan apapun. Sikap itu memang bagus, tapi ada kalanya sikap itu menjadi begitu merepotkan. Seperti saat ini misalnya. “Cukup Dilan, enyahkan sikap keras kepala mu untuk kali ini saja. Kamu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Seharusnya kamu sudah tahu kalau Linda sudah tidak mungkin diselamatkan, kamu sendiri yang bilang ‘kan kalau kamu melihat sosok Sari mati dalam keadaan yang tak jauh beda dengan Linda.” “Tapi Sari dilempar dari atas, Al. Sementara Linda tidak! Sudah jelas kemungkinan Linda untuk hidup lebih besar.” Alfa mengusap wajahnya kasar. Sulit sekali memberikan pengertian kepada Dilan. Alfa jadi lupa sebenarnya umur Dilan ini berapa? Dilan bukan lagi remaja labil dengan emosi meledak-ledak yang selalu merasa benar. Ia seorang dosen berumur dua puluh tujuh tahun, dan saat ini Dilan malah bersikap seolah dirinya masih seorang remaja SMA. “Dilan!” seru Alfa keras, Alfa bersumpah ia melihat Dilan begitu terkejut mendengarnya bicara keras seperti itu. “Dilan, cukup! Jangan aku mohon kamu mengerti. Situasi kita sudah sulit sejak awal. Kamu harus berpikir realistis, harus ada pengorbanan untuk mencapai kesuksesan. Kamu harus rela memilih, menyelamatkan Linda dan menunggu yang lain atau bahkan kita bernasib sama, atau bangkit dan segera mencari petunjuk lain supaya kita bisa selamat bersama orang-orang yang tersisa. Aku tahu, hatimu begitu lembut. Tapi, di saat seperti ini, kamu harus bisa menempatkan diri.” Jelas Alfa. Dilan menghela napas kasar, meski dalam hati ia masih berat untuk meninggalkan Linda, tapi apa yang dikatakan oleh Alfa benar. Dilan tidak bisa mementingkan perasaannya dan kembali mencelakai yang lain. Tanpa Dilan melakukan apapun saja, ia sudah menjadi sosok yang tertuduh, bagaimana jika ia nekat untuk menyadarkan Linda yang notabene sudah di ambang batas. “Sorry.” Gumam Dilan nyaris seperti bisikan. Alfa tersenyum. Ia lega akhirnya Dilan bisa mengerti dengan posisi mereka. sekeras kepala apapun Dilan, Alfa tidak pernah bisa membencinya. lagipula, diantara semua orang, Dilan yang tahu semua kematian. Alfa kira, mungkin akan lebih mudah mengumpulkan informasi jika mereka bekerja sama. “Okay, aku sudah mencatat apa yang Linda tulis tadi. Aku nggak ngerti apa maksud angka-angka yang di tulis Linda itu, tapi ku pikir ini akan menjadi petunjuk yang sangat penting.” Dilan mengangguk. “Boleh aku melihatnya?” Alfa menyerahkan note book miliknya. Tulisan salinan angka yang di tulis Alfa memiliki format yang sama dengan milik Linda sendiri, entah apa artinya angka-angka itu, Dilan juga kebingungan. Dilan membaca angka-angka itu berulang kali, namun sayang otaknya sama sekali tidak menangkap maksud apa sebenarnya di balik angka-angka yang berderet rapi itu. Linda bersusah payah menuliskannya di lantai, dan itu pasti ada makna besar di dalamnya. “Al, aku nggak paham sama sekali.” Keluh Dilan lemah. Alfa mengusap bahu Dilan. “Sabar, kita nggak mungkin langsung tahu apa maksud Linda. Kalau dia menuliskannya dengan begitu misterius begini, mungkin Linda menghindari kebocoran informasi pada orang-orang tertentu.” “Apa maksud mu?” Alfa mengangkat bahu. “Ini hanya asumsi ku saja, Lan. Aku juga nggak yakin. Kalau memang Linda benar-benar ingin memberitahu sesuatu kepada kita semua, harusnya ia bisa menuliskannya dengan huruf seperti biasa, tapi lihat apa yang ia lakukan?” “K—kamu, jangan bilang kamu mencurigai salah satu diantara kita. Siapa yang kamu curigai? Aku?” Alfa mengusap wajahnya kasar. “Dilan, mana mungkin aku mencurigai mu lagi. Aku sudah mengakui kesalahanku karena telah mencurigai kamu sebelumnya. Lagipula, sudah aku katakana sebelumnya, ini masih sekedar asumsi ku saja. Ada baiknya kita berhati-hati demi kebaikan kita sendiri.” Dilan akhirnya diam. Memang, sejak beberapa dari teman-teman sekelas Dilan terang-terangan menyatakan kecurigaan kepadanya, Dilan jadi merasa topik soal orang yang patut di curigai menjadi begitu sensitif di telinganya. Bukan apa-apa, Dilan hanya tidak ingin mereka terus-terusan salah paham dan mencurigainya, padahal ia sama sekali tidak melakukan kesalahan. “Kamu nggak perlu khawatir, aku sudah percaya padamu, dan semoga kepercayaan itu benar. Sudahlah, mending kita pergi dari sini.” “Eh? Lalu Linda bagaimana?” “Tinggalkan saja dia, Linda sama saja dengan yang lain ‘kan? Sebelumnya teman-teman kita yang mati juga di tinggalkan. Tidak ada bedanya. Daripada kita fokus pada mereka yang sudah mati, lebih baik kita berharap hal baik untuk kita yang masih hidup.” Dilan mengangguk. Mereka meninggalkan jasad Linda di tempatnya. meski Dilan merasa begitu berat hati meninggalkan Linda di sana, tapi mau bagaimana lagi? Apa yang dikatakan Alfa benar, Dilan tidak boleh mengorbankan keselamatan yang lain hanya demi jasad. Sekarang ini, mereka harus tahu, apa sebenarnya arti di balik kode-kode yang di tulis oleh Linda.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD