Korban Lainnya

1686 Words
Dilan mempercepat langkahnya sembari menggumamkan doa-doa untuk keselamatan yang lainnya. Teriakan yang ia dengar jelas sekali teriakan seorang perempuan. Masalahnya, Dilan tidak terlalu mengenali suara teman-teman perempuannya. Di ujung tangga, Dilan mendapati Alfa dan Alex yang menahan Aini yang terus meronta sambil berteriak-teriak histeris. Dilan membatu di tempatnya. Semakin waktu berjalan, keadaan disekitar Dilan semakin aneh saja. Ia melihat dengan jelas bagaimana Aini menjerit-jerit kesakitan dan meronta kesana-kemari. Bahkan untuk Alex yang memiliki badan besar dan tinggi saja kesusahan menahan gerakan Aini. “Ada apa ini?” tanya Dilan panik. Alfa masih menahan lengan Aini yang memukul kesana-kemari. Dilan sampai tak mampu menghitung entah sudah keberapa kalinya Alfa tak sengaja terpukul oleh tangan Aini. “Dilan, bantu kami sini. Ugh, kenapa Aini jadi sekuat ini sih.” Alex menggerutu sambil menahan gerakan brutal tubuh Aini. Dilan yang masih diambang kebingungan mengangguk dan memegangi kaki Aini. Ia sudah merosot ke lantai dan meronta disana. Kakinya menendang-nendang. Dilan bahkan sudah tak menemukan sepatunya. “Alex, kamu udah hubungin yang lain kesini?” tanya Alfa panik. Alex menggeleng. “Mana bisa gue hubungin mereka kalau si Aini terus-terusan gerak kayak gini. Dilan, lo aja dih bilang ke yang lain suruh kesini.” Kedua bola mata Dilan bergulir. Satu… dua… tiga… empat. Dilan menyadari sesuatu. “Aku harus pergi dari sini.” seru Dilan tiba-tiba. “Apa? Lo mau ninggalin kita dengan Aini yang kayak gini? Tega banget lo jadi orang.” Marah Alex. Ia masih berusaha keras menahan badan Aini yang terus meronta-ronta. “Kamu harus percaya sama aku. Salah satu dari kalian juga harus pergi. Please.” Dilan memohon dengan sangat kepada keduanya. Wajah Alex terlihat memerah. “Sialan lo! Dilan! Jangan seenaknya ninggalin temen.” Teriak Alex murka. Dilan meremat ujung bajunya, bagaimana caranya ia menjelaskan kepada keduanya bahwa mereka tidak seharusnya berkumpul sebanyak tiga orang atau lebih. Alfa yang jelas-jelas teman dekat Dilan saja masih gamang dengan penjelasan dilan tadi, apalagi seorang Alex yang selama ini tidak pernah begitu dekat dengannya. “Percayalah padaku.” Seru Dilan seraya berlari pergi. Tiap keputusan yang ia ambil memiliki konsekuensi. Ia yakin Alex akan menganggapnya lari dari tanggung jawab atau semacamnya. Alex tidak sesabar Alfa yang akan mendengarkan penjelasan terlebih dahulu daripada langsung menghakimi. Alfa di rundung kebingungan. Dimana dirinya harus menempatkan diri. Mempercayai ucapan Dilan, atau tetap disini menenangkan Aini? “Alfa, kalau lo sampai pergi ninggalin kami, gue habisin lo!” desis Alex tajam. Alfa mengangguk. Bukannya ia takut dengan ancaman Alex. Tidak sama sekali. Kalau pun mereka sampai adu fisik, Alfa juga tidak akan mundur. Tapi melihat bagaimana kondisi Aini yang benar-benar memprihatinkan membuat hatinya kembali gamang. Setiap keputusan yang ia ambil memiliki konsekuensi, dan dua-duanya memiliki konsekuensi yang berat. Dengan perasaan ragu yang menyelimuti hatinya, Alfa tetap berada disana bersama Alex untuk menenangkan Aini. Sedari tadi hanya Alex yang berjalan bersama Aini, seharusnya dia tahu sesuatu. “Kamu bersama Aini sejak tadi, kenapa dia seperti ini?” tanya Alfa bingung. Alex menggeleng. “Gue nggak tahu. Aini tiba-tiba memegangi lehernya dan berteriak seperti ini.” jelas Alex panik. Alfa melihat dengan jelas ekspresi kebingungan dan panik yang bercampur di wajah Alex. “Mirip seperti Irene…” gumam Alfa pelan. “Jangan mikir macam-macam, mendingan lo cari cara buat hubungin yang lain, biar gue pegang dulu si Aini. Jangan jadi pengecut kayak Dilan yang seenaknya ninggalin teman sendiri yang lagi kesakitan.” Alfa menghela napas. Ekspresi Alex ketika menyebut nama Dilan penuh dengan luapan kemarahan. Alfa tidak bisa menyalahkan perasaan Alex karena pemuda itu memang memiliki sikap agak temperamen. “Kamu yakin membawa yang lain kesini?” tanya Alfa memastikan. “Iyalah bawel! Atau jangan-jangan, lo percaya sama omong kosong Dilan?” Alfa diam. Ia tidak menggeleng, tidak pula mengangguk. Ini sesuai dengan apa yang ia rasakan. Sesungguhnya Alfa berada diantara rasa percaya dan tidak mengenai perkataan Dilan soal peringatan di cermin itu karena Alfa tidak melihatnya sendiri. Alfa merogoh saku celananya dan mengambil hape nya. Ia langsung menghubungi salah satu temannya secara acak dan memintanya untuk membantu kemari, juga menghubungi teman-temannya yang lain. Ini pertaruhan, jika keputusan Alfa tetap disini benar, maka Dilan yang bersalah atas semua omong kosongnya, tapi jika Dilan benar… Alfa menggeleng. Semoga saja Dilan hanya berhalusinasi.   *   Dilan membenamkan wajahnya di antara lipatan lengannya. Ia terduduk sendirian di lantai lorong dekat kelas-kelas sebelas. Separuh pikirannya menghawatirkan tentang keadaan Aini yang terlihat buruk, tapi peringatan yang ia lihat bersama Kiyan di kelas sebelum kematian Irene juga menjadi pertimbangannya untuk mengambil keputusan. Kiyan… Benar juga. Dilan segera berdiri dan berlari mencari Kiyan. Gadis itu satu-satunya orang yang tahu soal tulisan darah di dinding itu. Sejak mereka berkumpul dengan Irene, Kiyan hanya diam saja tanpa banyak bicara, seharusnya ia mendukung Dilan supaya semuanya percaya. Ah, sudahlah. Dilan menggelengkan kepalanya. Setahunya tadi Kiyan berjalan dengan Rian ke sekitar kelas anak-anak kelas sepuluh. Seharusnya mereka masih bersama. Dilan harus membawa Kiyan supaya yang lain percaya dengan perkataannya, terutama Alfa. Dilan menaiki tangga menuju lantai tiga dimana deretan kelas anak-anak kelas sepuluh berada. Dilan mengabaikan hape nya yang sejak tadi bergetar-getar, ia yakin sekali semua itu panggilan dari Alfa. Memangnya siapa lagi di sini yang tahu nomor hape nya selain Alfa? Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya Dilan menemukan Kiyan dan Rian yang sedang berdiri didepan salah satu kelas. Dilan bersorak dalam hati setelah menemukan Kiyan. “Kiyan!” panggil Dilan keras. Keduanya menoleh menatap Dilan. “Kenapa kamu kesini? Alfa mana?” tanya Kiyan datar. “Alfa sama Alex di lantai satu. Aini histeris dan meronta terus sejak tadi. Kamu harus menjelaskan kepada mereka soal peringatan itu.” Kiyan diam saja. “Ayolah Kiyan! Mereka menganggapku hanya halusinasi.” Dilan mengusap wajahnya kasar. Gadis cantik didepannya hanya diam menatapnya tanpa minat—seperti biasa. Bola mata Dilan bergulir dan menemukan Rian yang berdiri mematung dengan tatapan kosong. “Rian kenapa?” tanya Dilan bingung, ia mendekati pemuda itu dan menyentuh bahunya. “Baik-baik saja.” Jawab Kiyan kalem. Dilan mengguncangkan bahu Rian. “Rian? Rian?” “A—ha? Apa, Lan?” tanya Rian gelagapan. “Kamu kenapa?” Rian menghindari kontak mata dengan Dilan dan lebih memilih melihat kea rah lain. “Gue okay kok.” Jawab Rian singkat. Dilan menaikkan sebelah alisnya, bingung mengapa Rian harus memutus pandangan mereka dan memilih melihat kearah lain. Tapi Dilan tidak memikirkan lebih lama karena ada yang lebih penting dari memikirkan tingkah aneh Rian. Dilan kembali menatap Kiyan yang berdiri dengan raut tak peduli. “Kiyan, please. Bantu aku supaya mereka percaya. Gimana kalau kejadian Irene terjadi sama teman-teman kita yang lain?” Kiyan menghela napas. “Kamu terlalu banyak berprasangka, Dilan. Semua itu hanya kebetulan.” “Nggak, nggak. Semuanya bukan kebetulan.” Ujar Dilan ngeyel. “Dan atas dasar apa kamu meyakini itu?” “A—aku punya feeling nggak enak.” Kiyan mendekat dan menepuk bahu Dilan. “Itu hanya karena kamu panik, Dilan. Cobalah lebih tenang dan pikirin cara kita biar bisa keluar dari sini.” Dilan menggigit bibirnya. “Kamu juga ngeliat apa yang aku lihat, Kiyan! Apa susahnya member mereka peringatan.” Seru Dilan frustasi. “Memangnya kamu sudah coba bilang sama mereka?” Dilan mengangguk. “Sebenarnya hanya kepada Alfa, dan sepertinya dia tidak percaya.” “Kalau Alfa yang dekat sama kamu aja nggak percaya, gimana aku bisa bikin dia percaya?” Diam-diam, Dilan mengiyakan kalimat Kiyan barusan. Kiyan dan Alfa tidak pernah sebegitu dekat sejak masa sekolah. Setelah kelulusan, setahu Dilan hanya dia saja yang masih tetap berhubungan dengan Alfa hingga delapan tahun berlalu. Alfa memang tidak serta merta menunjukkan ketidak percayaannya. Hanya saja, Dilan melihat sorot mata Alfa yang meragukannya, dan itu cukup bagi Dilan untuk tahu bahwa Alfa tidak percaya dengan omongannya. “Lalu kamu—“ Deg! Dilan membelalak. Ia menyadari sesuatu. Satu… dua… tiga… gawat, dia tidak seharusnya disini. “A—ku harus pergi.” Ucap Dilan pelan. Ia hendak berbalik, sayangnya teriakan tertahan Rian dibelakangnya membuat Dilan langsung berbalik spontan. Kiyan memegangi Rian yang mencengkram lehernya dan menarik-narik sesuatu disana. Dilan tidak melihat apapun di leher Rian, sangat bersih. “Rian! Rian! Kamu kenapa?” tanya Dilan panik, ia menepuk-nepuk pipi Rian berusaha mengembalikan kesadaran pemuda itu. “Akh…Akh…” Rian seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tertahan. Yang keluar hanya suara samar khas orang yang sedang tercekik. “Kiyan, ini kenapa?” tanya Dilan panik. Kiyan menggeleng dan hanya menahan tubuh Rian yang bergerak kesana-kemari. Mulut Rian terbuka seperti mencari-cari udara dan suaranya hilang digantikan erangan tercekik yang menyakitkan. “Rian… please katakan sesuatu.” Desak Dilan panik, sementara Rian terus melakukan hal yang sama berulang kali. “Aku nggak tahu apa-apa.” Jawab Kiyan datar. Begini lagi. Dilan benar-benar tak habis pikir dengan wajah Kiyan. Apakah raut wajah nya memang sudah kaku seperti itu, sampai-sampai melihat temannya yang seakan tercekik begini dia hanya memandanginya dengan wajah datar khas nya? “Ah!” “Ada apa?” Dilan menggigit bibir. “Ba—bagaimana kalau apa yang terjadi sama Irene terulang pada Rian?” tanya Dilan gugup. “Nggak mungkin, Dilan. Kamu hanya terlalu khawatir.” Dilan menggeleng. “Jika benar?” Kiyan mendesis, sepertinya gadis itu sebal dengan Dilan yang terus-terusan mengaitkan pesan di cermin dengan kematian Irene. Di saat seperti ini, Dilan tidak akan bisa diam dan tenang, dia akan terus saja mengungkapkan argumennya sampai orang lain percaya kepadanya. Meski sebenarnya hal itu malah membuat yang lain kesal. “Bisakah kamu tenang untuk beberapa saat? Kamu nyadar nggak sih kalau omongan kamu benar-benar mengganggu.” Dilan diam. Melihat sorot mata Kiyan yang dingin semakin tajam membuat Dilan membeku tanpa sadar. Dilan tiba-tiba merasakan semilir angin di tengkuknya. “Akkkkhhhh.” Suara tercekik Rian semakin menjadi-jadi. Kedua matanya melotot sampai ingin keluar dari tempatnya, dan diantara teriakan tertahannya Rian seolah tengah mengatakan sesuatu dengan gerakan mulutnya. Dilan bergetar melihat Rian yang meregang nyawa dengan cara yang menyakitkan begitu. Di menit yang entah kesekian, Rian akhirnya terkulai dengan kedua mata dan mulut yang terbuka lebar. “Rian mati.” Gumam Kiyan pelan. Dilan membelalak. Sekali lagi, Dilan merasa ini semua karena keputusannya yang salah.   ***        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD