Ketakutan

1619 Words
Setelah apa yang terjadi pada Irene, beberapa anak menjerit takut. Apalagi kematian Irene yang mereka saksikan secara langsung terlihat begitu menyakitkan. Ada anak perempuan yang sampai menangis melihat Irene, tapi sama sekali tidak mau mendekat dan hanya bersembuyi di balik bahu teman-temannya yang lain. Dilan mengalami gejolak kuat dalam dirinya sendiri. perasaan campur aduk yang membuatnmya semakin bergetar karena tak mampu mengatasi. Bayangan tulisan darah di cermin kelas terus mengusiknya. Bahkan, ketika ia menatap tubuh Irene yang kaku, rasa bersalah terus muncul membebani bahunya. Dilan tengah duduk, tapi rasanya seolah dipaksa lari marathon hingga kelelahan. Alfa yang merupakan teman dekat satu-satunya Dilan hanya menepuk-nepuk bahu Dilan sembari membisikkan kalimat-kalimat penghibur yang dirasa bisa menenangkan Dilan. “Kita apakan mayat Irene?” Dilan mendongak. Wajah Kinan menyapu kepada semua orang yang menatapnya. Kinan dan Kiyan memiliki banyak kesamaan. Selain nama mereka yang mirip. Dilan kira dulu ketika pertama kali mereka masuk sebagai murid baru di kelasnya, Kiyan dan Kinan adalah saudara kembar, tapi mereka bilang mereka tidak kembar. Ada banyak kemiripan mereka dalam sikap dan ekspresi. Dilan sadar betul diantara mereka yang menyaksikan kematian Irene, hanya Kiyan dan Kinan yang nampak bisa mengendalikan emosinya. Mereka hanya memandang datar tanpa rasa sedih atau ketakutan seperti yang dirasakan mayoritas mereka yang ada disana. “I—Irene beneran meninggal?” tanya Aini gugup. Ia sejak tadi bersembunyi dibalik punggung Rian tanpa mau melihat Irene yang mengerang kesakitan sebelum kematian membawanya pergi. Aini mendekati Irene perlahan, Dilan melihat dengan jelas jari-jari Aini bergetar, pun dengan bibirnya. Ia berjongkok dan menyentuh leher Irene. “Irene tercekik.” Gumam Aini pelan. Kedua bola mata berwarna hitam itu menyipit menyusuri leher Irene. “Kamu bilang apa?” tanya Dilan memastikan. Aini menatap takut-takut kepada Dilan. Ia menunjuk leher Irene. “Irene tercekik? Ada bekas merah di lehernya.” Ujarnya pelan. Persis apa yang dilihat Dilan sebelumnya. Sejak jeritan melengking Irene di pintu utama gedung sekolah tadi, Dilan sudah merasakan perasaan tak enak. Apalagi setelah keputusan mereka berpencar dua-dua untuk mencari cara supaya bisa keluar dari gedung ini. “Benar, ‘kan? Aku juga melihatnya sejak Irene menjerit di pintu utama tadi.” Alfa dan beberapa anak lain ikut mendekat untuk mengecek apa yang dikatakan oleh Dilan dan Aini. “Aku tidak melihat bekas merah seperti yang kalian katakan.” Ujar Alfa bingung, ia bahkan berkali-kali menelisik leher Irene demi memastikan penglihatannya tidak salah. Dilan menganga. “A—pa? Alfa, Buka matamu, ini jelas kelihatan sekali.” Seru Dilan gusar. Aini mengangguk setuju. Wajah gadis itu juga sama depresinya dengan Dilan. Menjadi seseorang yang berbeda memang merepotkan. Dalam hal ini, Dilan dan Aini sama-sama kebingungan mengapa mereka tidak melihat bekas merah melingkar di leher Irene yang jelas-jelas tampak sekali. “Mungkin kalian berdua hanya berhalusinasi saja, udahlah nggak usah mikirin itu. Sekarang, ini mayat Irene harus kita apakan?” sahut Kiyan tiba-tiba. Kinan mengangguk setuju. Semua menoleh kearah gadis cantik berekspresi dingin yang sejak tadi hanya diam mengamati. “Untuk saat ini, bagaimana kalau kita tempatkan mayat Irene di atas meja. Kita bisa ambil di salah satu kelas.” Usul Alfa. “Tapi, kita taruh mana? Di depan? Kita nggak punya kain penutup sama sekali.” Ujar Alex. Yang lain mengangguk setuju. “Tidak perlu ditutupi, lagipula siapa yang akan melihat Irene kecuali kita?” Benar juga. Mereka akhirnya menyeret salah satu bangku dari kelas terdekat di posisi mereka. mereka pikir akan lebih baik daripada mayat Irene tergeletak begitu saja di lantai dingin, meski Irene sama sekali tidak merasakan apapun karena memang dirinya sudah tak bernyawa.   *   Dilan berakhir bersama dengan Alfa. Awalnya, mereka memasangkan laki-laki dan perempuan untuk sekedar memberi perlindungan bagi para anak perempuan kalau misalnya terjadi apa-apa. Tapi, sekarang Dilan lebih butuh di lindungi daripada yang lain. Dilan benar-benar terlihat seperti orang yang depresi berat. Mungkin ini sedikit memalukan mengingat teman-teman Dilan yang lain terlihat lebih baik daripada dirinya sendiri. Sayangnya, Dilan tidak pandai menyembunyikan suasana hatinya. Meski ia tidak bicara sekalipun, kondisi psikis nya akan terpancar dengan jelas melalui ekspresi dan gerak tubuhnya. “Kamu okay, Dilan?” tanya Alfa khawatir. Mereka berjalan berdampingan dengan Dilan yang memegangi ujung baju Alfa seperti seorang anak kecil. Dilan mengangguk lemah. “Sorry, aku bertingkah kekanakan.” Alfa tersenyum lembut. “Santai aja kali, kayak sama siapa aja sih.” Alfa menepuk kepala Dilan, berusaha menenangkan teman dekatnya itu. “Al, aku takut.” Keluh Dilan pelan nyaris tak terdengar. “Aku tahu, kelihatan banget di muka mu. Kita nggak tahu bakal berakhir seperti ini. Aku bahkan maksa kamu yang sibuk di kampus buat cepat-cepat kesini.” Kekeh Alfa hambar. “Aku bunuh, Irene.” Seru Dilan tiba-tiba. Alfa diam dengan tatapan membelalak. “A—pa? kamu bilang apa barusan, Dilan?” “Aku bunuh Irene, aku yang buat dia meninggal. Seharusnya aku nggak usah menemui kalian dan tetap berjalan bersama Kiyan, tapi hatiku nggak yakin dan aku malah menemui kalian, karena itu Irene meninggal. Seharusnya aku yang meninggal, tapi malah Irene. Aku pembunuh, aku—hmmp.” Alfa buru-buru membekap mulut Dilan sebelum pemuda itu semakin meracau tak karuan. “Ssst… tenang, Dilan. Jelasin sama aku kenapa kamu bilang kamu yang bunuh Irene?” Alfa melepas tangannya dari mulut Dilan, sementara pemuda itu sedang menetralkan napasnya yang memburu. “Seharusnya aku dan Kiyan nggak menemui kalian.” Gumam Dilan pelan. “Kenapa?” “Karena tulisan di cermin itu mengatakan demikian.” “Tulisan di cermin? Tulisan apa?” tanya Alfa makin bingung. Alfa menghela napas, ia membantu Dilan untuk duduk di lantai dekat balkon lantai dua. “Ceritakan padaku, Dilan. Apa yang kamu lihat hm? Sejak awal kita kemari kamu sudah bertingkah aneh.” “Aku jalan sama Kiyan sejak tadi, Kiyan mengajakku masuk ke salah satu kelas di lantai dua dan kami menemukan sebuah cermin rias berukuran sedang menempel di dinding belakang kelas. Aku iseng menanyakan apakah aku dan Kiyan di takdirkan untuk berjodoh pada cermin itu seperti yang pernah ku lihat di salah satu film Disney. Kedengarannya memang bodoh, tapi sungguh aku hanya main-main saja ketika mengatakannya. Lalu, tiba-tiba ada tulisan berwarna darah muncul di cermin itu.” Dilan meneguk ludah gugup. “Katanya, ‘Jika tiga orang termasuk dirimu berkumpul bersama, maka seseorang akan mati’. Aku sungguh takut ketika membaca tulisan itu.” Jelas Dilan panjang lebar. Alfa mengangguk, sesungguhnya ia belum sepenuhnya mengerti dengan penjelasan yang Dilan katakan barusan. “Lalu, kenapa kamu mengatakan kalau kamu bunuh Irene?” “Karena aku dan Kiyan mengabaikan tulisan itu dan menemui kalian berdua. Kita ada empat orang ‘kan? Jika tulisan di cermin itu benar, maka semua ini salahku.” Alfa membenarkan soal pendapat Dilan mengenai lebih dari tiga orang itu, tapi ia sama sekali tidak setuju ketika Dilan menyalahkan dirinya atas kematian Irene. “Dilan, kamu jangan nyalahin diri sendiri. Belum tentu apa yang kamu lihat benar sebuah peringatan, bisa jadi hanya kebetulan ‘kan?” “Itu nggak mungkin kebetulan, Alfa!” jerit Dilan frustasi. “O-okay, okay. Kamu tenang dulu, Dilan. Kamu nggak salah atas kematian Irene. Sejak awal Irene memang sudah bertingkah aneh ‘kan, bisa jadi karena itu juga, bukan karena tulisan di cermin itu.” Dilan mengusap wajahnya kasar. “Kamu nggak akan tahu rasanya, Al karena kamu nggak lihat apa yang aku lihat.” “Bukan maksudku nggak percaya sama kamu, Lan. Tapi ayolah kita berpikir logis dulu. Jangan menambah beban masalah kita yang terjebak disini dengan cerita horror versi mu sendiri.” “Menambah beban masalah?” tanya Dilan sinis. Ia menyingkirkan lengan Alfa dari bahunya. “Memangnya siapa yang memaksaku untuk ikut acara konyol ini, ha? Kamu pikir aku tidak terbebani dengan apa yang aku lihat?” Alfa menutup mulutnya, dalam hati ia merutuki diri mengapa ia tidak mampu mengendalikan mulutnya. Dilan pasti merasa tersinggung dengan ucapannya. “Sorry, Lan, maksudku—“ “Ah, udahlah Al. Percuma juga aku jelasin panjang lebar. Ujung-ujungnya kamu cuma nganggap aku gila atau halusinasi.” Dilan bangkit dan menepuk-nepuk celananya. Ia pikir, kalau teman dekatnya saja sama sekali tidak percaya dengannya, lantas siapa yang akan mempercayainya di sini? teman-teman sekelasnya tidak ada yang bisa di harapkan. Sejak masa sekolah pun Dilan tidak seberapa dekat dengan mereka, setidaknya tidak sedekat dirinya dengan Alfa. Sekarang ini, mungkin lebih baik kalau ia berjalan sendian saja. “Kamu mau kemana, Lan?” tanya Alfa. Dilan melirik Alfa. “Aku jalan sendiri aja. Kamu temenin aja yang lain.” “Tapi—“ belum selesai Alfa bicara, Dilan sudah berlalu pergi. Selama ini Dilan memang tidak gampang marah kepada orang lain, apalagi kepada Alfa, dan Alfa tahu Dilan akan sangat marah ketika dirinya mulai tidak dipercaya. Alfa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kalau sudah begini, akan susah membujuk Dilan untuk mau bersama dengannya. Padahal, Dilan tidak bisa sendirian karena suatu alasan. “Kyaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!” Alfa terkejut. Suara teriakan melengking itu terdengar memilukan. Buru-buru ia berlari menuruni tangga. Alfa yakin sekali teriakan itu berasal dari lantai satu. Alfa melupakan soal mengejar Dilan dan meminta maaf padanya. Ia akan menemui Dilan nanti dan menjelaskan semuanya. Di tengah kepanikan Alfa, Dilan juga merasa takut, ia juga mendengar apa yang didengar oleh Alfa. Ia belum jauh dari tempatnya bersama Alfa tadi. Dilan sadar dirinya sedang emosi, dan Dilan memilih sendirian untuk sekedar menetralkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Ada sekelebat perasaan merinding ketika mendengar teriakan itu, bagaimana jika apa yang terjadi kepada Irene juga terjadi kepada teman-temannya yang lain? Buru-buru Dilan menuruni tangga. Ia harus memastikannya terlebih dahulu. Dilan merapalkan berbagai doa dalam hati, berharap tidak akan ada lagi kejadian yang sama seperti yang terjadi kepada Irene. “Jangan ada yang mati lagi.” Kalimat itu terus bergumam diantara kedua bibir Dilan bagaikan sebuah mantra. Dilan melangkahkan kakinya lebih cepat. Harapannya tetap sama, semoga semuanya baik-baik saja.  ---  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD