Prasangka

1586 Words
Dilan memegangi dadanya. Jantungnya berdegup amat cepat dan seluruh tubuhnya terasa melemas tiba-tiba. Dilan tidak seharusnya menyaksikan kematian aneh teman-temannya. Seharusnya… “Dilan, kamu kenapa?” tanya Kiyan datar. Dilan memandang Kiyan sengit. “Kamu pasti sengaja ‘kan? Kamu sengaja memancingku kemari supaya kita jadi tiga orang. Kamu sebenarnya siapa, Kiyan?” teriak Dilan histeris. Kiyan tetap tenang memegangi Rian yang sudah lemas tak bernyawa. Ia memandang tajam kepada Dilan yang sudah menyalahkannya atas kejadian ini. “Atas dasar apa kamu menyalahkan ku?” tanya Kiyan tenang. “Hanya kamu orang yang tahu soal cermin dan peringatan itu selain aku, kamu yang mengajakku untuk menemui Irene dan yang lainnya sebelumnya, kamu bilang tidak akan terjadi, tapi apa yang terjadi? Irene meninggal, sekarang kamu memanggilku kemari di saat kamu sudah bersama Rian. Kamu sengaja ingin membunuh mereka?” napas Dilan tersengal-sengal. Emosinya meledak tak terkendali dan Dilan tidak mampu mengatasi luapannya. “Dan kamu pikir apa untungnya bagiku membunuh kalian?” tanya Kiyan tajam. Lagi, bola mata mirip boneka itu mengintimidasi Dilan secara tak langsung. Kiyan memiliki bola mata yang aneh. Terlihat indah, dan seram di saat bersamaan. Bola matanya dingin, dan Dilan merasa terintimidasi tiap kali menatapnya lama. “Mungkin kamu… kamu mau…” “Apa?” tantang Kiyan. Dilan tentu saja tak mampu menjawabnya. Sungguh, andai kewarasan Dilan masih di sana ia tidak akan serta merta menuding Kiyan atas semua kejadian ini. Dilan juga bersalah atas hal ini. seharusnya Dilan tak perlu menghampiri siapapun yang ada disini demi keamanan mereka dan dirinya sendiri. Dilan menghela napas sembari menunduk dalam. “Maaf.” Katanya pelan. Dilan mendengar Kiyan mendecih. Ya, Dilan bisa maklum jika Kiyan kesal atau bahkan marah kepadanya. Disalahkan tiba-tiba oleh orang lain tanpa bukti seperti ini pasti menjengkelkan. Masih untung Kiyan menanggapinya dengan dingin. Dilan di serang panik setelah kematian kedua temannya yang tampak begitu aneh. Suara derap langkah-langkah cepat terdengar semakin mendekati mereka bertiga. Napas Dilan tercekat, ia tidak bisa untuk tak panik ketika ada orang lain yang datang menghampiri mereka. Dua kejadian teman Dilan yang mati karena mereka berkumpul tiga orang atau lebih. Dilan yakin sekali semua ini pasti berkaitan dengan peringatan di cermin itu. “Dilan! Kiyan! Kalian tidak ap—RIAN!” Dilan membeku di tempatnya. Andrea dan beberapa anak yang lain memandang Dilan yang bergetar ketakutan, sementara Kiyan masih memegangi Rian yang lemas tak bernyawa. “Ka—kalian apakan Rian?” tanya Andrea panik. Melihat wajah Rian yang memucat dengan bibir membiru membuatnya merinding. “Dia meronta kesakitan dan tiba-tiba jadi begini.” Jawab Kiyan tenang. Kiyan benar-benar pandai mengendalikan raut wajahnya. Dilan kagum, tapi ini bukan saatnya mengagumi kepandaian Kiyan dalam hal ini. Andrea mendekat dan menekan salah satu sisi leher Rian. “Di—dia benar-benar telah pergi.” Serunya pelan. “Sekarang bagaimana? Kita membawa Rian atau meletakkannya disini dulu sampai kita bisa keluar dari sekolah?” tanya Kiyan. “Lebih baik begitu, tidak mungkin kita mengangkatnya.” Andrea menoleh dan meminta pendapat teman-teman yang lain melalui tatapan matanya. Semua yang berjalan bersama Andrea mengangguk setuju. Lagipula, mereka sama sekali tidak berniat mendekati jasad Rian apalagi sampai menyentuhnya. Diantara mereka semua yang masih responsif meski dalam ketakutan, hanya Andrea seorang. Dilan terlihat paling panik. Keringat bercucuran membasahi poninya yang memanjang hingga rambutnya yang biasanya lurus dan halus menjadi lepek tak beraturan. “Lan! Kenapa kamu panik terus dari tadi?” tanya Andrea sembari menyipitkan matanya. “Aku…Aku… hanya—“ Andrea tiba-tiba membelalakkan matanya. “Jangan bilang kalau kamu dibalik semua ini?” tuduhnya tiba-tiba. Tak hanya Dilan yang mengalami kejutan listrik di tubuhnya, baik rekan-rekan yang berjalan bersama Andrea pun dengan Kiyan sekalipun tampak terkejut dengan tuduhan Andrea yang tiba-tiba seperti itu. “Apa maksudmu? Kamu menuduhku?” tanya Dilan tak suka. Apa ini? kenapa Andrea yang sejak awal tak tahu apa-apa malah berusaha menuduhnya. “Aku nggak menuduhmu, Lan. Kamu kelihatan begitu pucat dan panik sekali padahal kamu sama sekali nggak menyentuh Rian, aku benar ‘kan?” “Dan kamu pikir, aku bisa membunuh Rian tanpa menyentuhnya? Begitu?” balas Dilan tak terima. Andrea mencebik. “Lalu kenapa kamu sensitif sekali saat ku tanya? Kiyan yang memegang jasad Rian saja masih bisa tenang kok.” Dilan mengepalkan sebelah tangannya. “Kamu bertanya apa menuduh? Apa kamu pikir kamu bisa tenang saat temanmu mati dan kamu di tuduh sebagai pembunuh, hm?” “Kok kamu jadi marah?” Dilan tak mampu menjawab. Sejujurnya, Andrea memang menyulut emosi dengan menuduh Dilan sebagai penyebab semua kekacauan ini. Padahal, Dilan sama sekali tidak menyentuh mereka yang mati. Barangkali Dilan lupa kalau beberapa saat yang lalu ia juga berprasangka buruk kepada Kiyan. Situasi saat ini benar-benar mengguncang mental Dilan hingga ia tak mampu mengendalikan diri. Masih berdiri di tempatnya saja Dilan sudah bersyukur. Sejak kematian Irene yang mengejutkan beberapa waktu lalu, kaki Dilan rasanya sudah tak kuat lagi untuk digunakan. Lemas, benar-benar terasa seperti jeli. Anehnya, Dilan bisa dengan mudah melarikan diri ketika panik dengan kondisi memprihatinkan seperti itu. “Sudahlah, jangan saling menyalahkan sebelum ada bukti.” Seru Kiyan tenang. Andrea menggaruk tengkuknya dan memalingkan wajah dari Dilan. Ngomong-ngomong, dia tampak santai sekali. Dilan mengusap wajahnya kasar. Ia tak sangka semuanya akan semakin buruk. Sejak awal bukan Dilan yang menyetujui untuk ikut ajakan reuni ini. Benar, semua firasat buruknya terjadi. Harusnya ia bilang kepada Alfa kalau ia tidak mau ikut. Minimal, jika kejadian ini benar-benar terjadi kepada teman-temannya, ia masih bisa menolong kalau ia tidak sama-sama terjebak disini. Kalau situasinya seperti ini, siapa yang akan menolong mereka? keadaan sudah terlihat begitu anehs sejak mereka menginjakkan kaki di pelataran sekolah. Kemana satpam yang menjaga? Dan mereka seakan tak peduli dan tenggelam dalam kerinduan setelah delapan tahun tak saling bersua. “Ja—jangan berkumpul lebih tiga orang atau lebih!” seru Dilan nyaris berteriak. Kiyan, Andrea, dan beberapa temannya yang sudah melangkah lebih dulu meninggalkan Dilan langsung terhenti dan memandangi Dilan dengan raut wajah kebingungan paling mumpuni. Andrea yang paling awal bereaksi. Ia menautkan kedua alisnya, kemudian berjalan mendekati Dilan dengan ekspresi kesal yang seolah berusaha ia sembunyikan. “Kenapa? Kamu mau kita jalan sendirian gitu? biar gampang matinya?” tanya Andrea setengah menyindir. Dilan berusaha sekuat tenaga menahan kekesalannya yang sudah sampai di ubun-ubun. Niat hati ingin melindungi, tapi apa daya, sepertinya Andrea memang telah menaruh prasangka buruk kepadanya. Jadilah, apa yang dikatakan Dilan disalah pahami sebagai jalan untuk mempermudah Dilan untuk membunuh mereka. padahal, kalau saja Dilan bisa bilang, ia ingin sekali mengatakan soal cermin aneh itu. Sayangnya, Dilan yakin dengan segenap hatinya bahwa Andrea tidak akan percaya padanya sama sekali. “Kenapa kamu selalu menuduhku?” Andrea memutar bola matanya. “Siapa yang nuduh? Aku cuma nanya kali, sensi banget sih.” Lihat, siapa yang bicara? Dilan ingin mengumpat rasanya. Tapi harga diri Dilan terlalu tinggi kalau untuk melontarkan kalimat kasar kepada orang lain. Baginya, kalimat kasar atau u*****n adalah tanda betapa rendahannya seseorang. u*****n menjadi tanda bahwa Dilan tidak menghormati orang lain, dan bagaimana mungkin ia bisa dihormati kalau ia sendiri merendahkan. “Terserah kalau kamu memang udah berpikiran buruk tentangku. Tapi aku tegaskan sekali lagi, aku bukan pembunuh seperti yang kamu tuduhkan!” seru Dilan mantap. Ia tidak ikut bersama Andrea, Kiyan, dan yang lainnya. Ia lebih memilih pergi ke tempat lain. Kemana saja asalkan terhindar dari kumpulan tiga orang. Jika sampai ada yang mati lagi, Dilan harap ia tidak ada disana, supaya tuduhan tak berdasar Andrea bisa segera terhapus. Meski sebenarnya Dilan juga tidak berharap kematian lain dari teman-temannya. Dilan memaksakan kakinya melangkah. Ponselnya tiba-tiba mati beberapa saat yang lalu ketika ia mencoba untuk menghubungi seseorang yang mungkin bisa menolongnya kemari. Mereka harus segera keluar dari sini sebelum semuanya semakin memburuk. Lebih dari itu, Dilan kembali digelayuti ketakutan kalau sampai cermin yang ia lihat kembali berulah dan membunuh temannya. Yang menjadi pertanyaan kali ini, kenapa bukan Dilan yang mati? Seharusnya, ia yang mati karena ia yang melihat cermin itu—dan Kiyan tentunya. Segalanya jadi semakin aneh saja. Dilan meneruskan langkahnya, ia harus mencari Alfa. Persetan dengan pemuda itu akan percaya atau tidak. Sudah berulang kali kematian teman-teman mereka terjadi, dan Dilan kira Alfa akan berusaha percaya kepadanya. Terakhir kali saat Dilan menjelaskan kepada Alfa, pemuda itu tampak begitu ragu, setelah ini semoga saja ia tidak meragukannya lagi, lebih-lebih malah berprasangka buruk kepadanya seperti yang dilakukan oleh Andrea. Kaki Dilan terasa berat dalam setiap langkahnya. Ia merasa lemas dan benar-benar ingin pulang. Jantungnya terus berdegup dan itu membuatnya semakin lelah. Lorong sekolah begitu sepi dengan penerangan remang-remang yang memberikan kesan mengerikan. Dilan sudah lama tidak menginjakkan kakinya lagi sejak kelulusannya delapan tahun silam. Harusnya mala mini menjadi malam menyenangkan sembari bercerita kisah hidup masing-masing, bukannya terjebak di dalam sekolah dengan kejadian buruk yang terus menghantui. Sial. Dilan menghentikan langkahnya, kedua bola matanya terfokus pada sebuah cahaya mengilat yang memantul dari jendela sebuah ruang kelas. Karena kondisi lorong yang begitu remang, kilatan itu terlihat jelas. Kilatan dengan warna kemerahan itu memancar dan padam berulang-ulang, terus begitu hingga membuat Dilan begitu tertarik untuk melihatnya. Sejenak Dilan melupakan rasa takutnya karena rasa penasaran begitu menguasai hati Dilan. Ia melangkah pelan-pelan, menarik tuas pintu kelas dan membukanya pelan. Suara derit pintu terdengar begitu keras di ruangan sepi nan dingin itu. Dilan masuk dengan jantung berdegup kencang. Sekelebat rasa takut dan khawatir mmebaur dan seolah menahan Dilan untuk masuk, tapi rasa penasaran terus menyeretnya pada keinginan untuk melihat apa yang ada di dalam sana. Dilan melangkah pelan, dengan berbekal sisa keberanian yang ada dalam dirinya, ia harap kali ini bukan pertanda buruk lagi.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD