Vanila terdiam memandang indahnya bintang yang menghiasi langit malam, bibirnya melukiskan seulas senyum tulus meskipun saat itu hatinya masih merasakan denyutan sakit, mengingat semua hal yang ayahnya katakan. Bahkan sekarang, Vanila benar – benar merasa terasingkan setelah dia tidak akan tinggal lagi dirumah orang tuanya. Dia benar – benar merasa sepi dan sendiri.
“Van, ko lo bangun sih, kaget gue bangun lo gak ada,” Vanila langsung menoleh saat dia mendengar suara serak khas bangun tidur yang tiba – tiba mengusiknya. Dari dalam kamar kost yang baru tiga hari dia sewa, keluar sosok gadis sebaya dengannya, rambutnya terlihat acak – acakan, dan kantuk masih terlihat jelas dimatanya.
“Gue tuh takut elo digondol maling tahu, lagian ngapain sih jam segini masih aja ngelamun diluar, kesambet lo lama – lama ngelamun mulu, lagian ya lo mau kaya kelinci gue, kebanyakan ngelamun dia jadi enggak bisa ngomong sama doyannya jadi makan wortel mulu” ujarnya, sambil ikut duduk disamping Vanila.
Vanila melirik sosok gadis disamping dengan tatapan aneh, kemudian dia kembali memfokuskan tatapan matanya kearah langit, kembali menikmati indahnya hamparan bintang – bintang. Semantara, sosok gadis disampingnya malah ikut bergabung dan mengusik ketenangannya.
“Tidur sana ah Nya, jangan ganggu, sana tidur didalem kenapa sih, segitu gak bisanya jauh – jauh dari aku” ujar Vanila, sambil berusaha menegakan posisi duduk Anya, karena setelah dia duduk disamping Vanila gadis itu kembali tertidur sambil bersandar dibahunya.
“Iya, gue tuh emang enggak bisa jauh – juah dari elo, makannya lo tuh jangan bikin khawatir gue mulu napasih, elo tuh ya kerjaannya ngilang satu hari balik – balik badannya pada bonyok, heran gue” gumamnya, dengan wajah yang masih terlihat terkantuk – kantuk.
Anya, dialah sahabat yang selalu ada dalam keadaan apapun menurut Vanila, bahkan setalah tiga hari lalu Vanila tiba - tiba datang ke rumahnya sambil membawa tas besar berisi pakaian, dia terlihat sangat kaget. Keesokan harinya saat Vanila pamit untuk menceri kossan, gadis itu sempat melarang, dia memaksa Vanila untuk tinggal dirumahnya saja. Namun, Vanila tidak bisa, dia tetap pada pendiriannya untuk mencari kosan, sampai akhirnya Anya mengalah dan memilih menemani Vanila mencari kossan dengan syarat Vanila harus mencari kossan terdekat dari rumahnya. Di sinilah dia sekarang, dia sebuah kossan yang berjarak cukup dekat dengan rumah Anya, sudah tiga hari Vanila meninggalinya, dan selama itu juga Anya ikut menginap di kossannya yang sangat sempit bila dibandingkan kamar dirumahnya yang sangat luas.
“Nya, kalau aku lagi natap langit kaya gini, menurut kamu mungkin enggak sih kalau Mamah sama Nenek lagi liatin aku juga dari atas sana” gumam Vanila, berhasil membuat Anya yang sedang terkantuk – kantuk langsung membuka matanya dan menatap Vanila.
“Enak enggak ya tinggal ditempat mereka” lanjut Vanila, sambil menatap kearah langit.
Anya, tidak suka melihat Vanila dalam keadaan seperti sekarang, dia tidak suka ketika mendengar Vanila mempetanyakan tentang kehidupan Nenek dan Mamahnya. Karena Anya takut, Vanila ingin menyerah dan menyusul mereka, sedangkan saat itu Anya sudah sangat sayang pada Vanila, dia sudah menganggap Vanila melebihi sahabatnya sendiri.
“Enggak tahu, guekan gak pernah tinggal di sana” jawab Anya, dengan sedikit judes.
“Elo jangan mikirin yang aneh – aneh deh Van, elo juga jangan pernah ngerasa sendirian, ada gue yang akan selalu ada buat lo, lo bisa bagi semuanya sama gue” ujar Anya, membuat Vanila menoleh dengan senyuman yang mengembang diwajahnya.
Kemudian, Vanila langsung mebawa tubuh Anya ke dalam dekapannya, Vanila akui jika tidak ada Anya, dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi semuanya. Jika tidak ada Anya, Vanila tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa.
“Udah ah, tidur yu, udah malem nih, ayo dong Van” rengek Anya, seperti anak kecil yang ingin tidur bersama ibunya.
Akhirnya, Vanila memutuskan untuk masuk, karena saat itu memang sudah malam, suasana juga sudah mulai terasa dingin.
***
“Anya, sarapan udah aku siapin ya, kamu jangan tidur lagi, satu jam lagi kamu harus berangkat buat daftar kuliah, inget jangan tidur lagi, bangun langsung mandi terus sarapan !!!”
Anya meremas surat yang Vanila buat untuknya membentuk sebuah bola, kemudian dia melemparkannya begitu saja. Tubuhnya yang masih berbaring diatas ranjang mengeliat, merenggangkan otot – ototnya yang masih terasa kaku. Sesaat, Anya terkaget saat jam beker berbunyi tepat disamping telinganya, dan Anya yakin semua itu pasti karena ulah temannya,
“Vanila … Vanila … kenapa lo gak pernah kehabisan ide buat bangunin gue, padahal lo gak ada dideket gue, tapi gue masih bisa tetep bangun tepat waktu karena cara lo” ujar Anya, sambil tersenyum kecil.
Kemudian, setelah mengumpulkan seluruhnya nyawanya yang sempat hilang, Anya langsung bergegas pergi ke kamar mandi. Karena setelah itu dia harus bersiap – siap pergi untuk daftar kuliah.
Sementara itu, dilain tempat Vanila sudah terlihat sibuk melayani beberapa pelanggan yang sudah mulai berkunjung. Karena tepat setelah berpindah ke kontrakan keesokan harinya Vanila langsung mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan disebuah kafe tongkrongan anak muda. Beruntung saat itu dia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, semua itu karena bantuan dari Anya, dia sengaja merekomendasikan Vanila bekerja di kafe milik salah satu anak taman ayahnya.
“Van, ini anter ke meja nomor 10 ya,” Vanila dengan sigap langsung mengantarkan pesanan tersebut kemudian dengan telaten dia menyajikan semua pesanan dimejanya.
“Bi, bukannya ini cewe cantik yang ada dirumah lo, ko sekarang ada di sini ? apa gue yang salah,” pergerakan Vanila yang sedang menyajikan minuman seketika terhenti. Kepalanya mendongak menatap sosok pelanggan yang sedang dia layani, sesaat dia terdiam saat matanya tanpa sengaja bersitatap dengan mata milik seseorang yang sangat dia kenal, sosok yang sangat dia sayang, sosok yang selalu berusaha dia jaga dan lindungi semampu yang dia bisa.
“Lo salah kali, Kakak gue mana mungkin kerja jadi pelayan kaya gini, lagian dia lagi ngurusin buat kuliahnya” ujar Abi, sambil memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan mata Vanila yang saat itu sedang menatapnya.
Vanila tersenyum mendengar jawaban Abimana, disatu sisi hatinya sakit ketika Abimana tidak mau atau malu mengakui jika dia memang kakaknya, tapi disisi lain dia bahagia karena ternyata dia luar sana, dihadapan teman – temannya Abimana sudah mengklaim Vanila sebagai kakaknya.
Aaa …
Vanila meringis kesakitan saat kopi yang sedang dia sajikan tiba – tiba tumpah dan mengenai tangannya, dia terlihat mengipas – ngipas tangannya yang kepasanan. Dihadapannya, Abimana juga terlihat bergerak mengipas – ngipas pahanya yang juga kepanasan karena tanpa sengaja kopi itu tumpah mengenai pahanya.
“Aduh Mbak, kalau kerja itu yang bener kenapa ! panas nih !” ujar Abimana, sedikit membentak, membuat beberapa pengunjung kafe langsung menatap kearah Vanila. Tidak ada yang bisa Vanila lakukan selain menundukan kepala, karena saat itu dia sadar dialah yang salah.
“Maaf, sebantar saya ambilkan lap Mas” ujar Vanila, sambil berlalu pergi.
Kemudian, tidak lama dia kembali sambil membawa lap bersih ditangannya, dengan telaten dan penuh kehati – hatian, dia membersihkan celana Abimana, bibirnya meniup – niup kaki Abimana yang dia yakin masih kepanasan, saat itu Vanila panik karena memang dia tidak ingin terjadi sesuatu hal buruk sekecil apapun pada Abimana. Karena meskipun mereka tidak terlahir dari rahim yang sama, Vanila tetap menyayanginya.
“Sekali lagi maaf ya Mas, saya ganti kopinya” ujar Vanila, sambil membawa kopi yang sempat dia tumpahkan, kemudian dia kembali dengan kopi baru sebagai penggantinya.
Vanila tersenyum tulus dan menanangkan kearah Abimana, tangannya yang sempat tersiram kopi panas belum dia obati, tangannya masih terlihat merah dan mulai terasa sakit, tapi Vanila berusaha untuk mengabaikan sakitnya.
Setelah itu, dia pamit kebelakang. Tidak ada yang Abimana katakan, dia hanya diam sambil menatap punggung Vanila dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan. ‘kenapa Kak, kenapa lo masih bisa senyum’, batin Abimana bersuara.
“Bi, lo enggak papakan ?“ tanya sosok teman, yang sejak tadi hanya diam memyangsikan apa yang terjadi, dan hanya Abimana jawab dengan gelengan kepala.
Sementara itu, Vanila yang sudah berada dibelakang, langsung mengobati tangannya yang sudah mulai terlihat melepuh. Dia meniup – niup tangannya setiap akan menoleskan salep.
“Vanila, kamu tidak papa ? katanya tadi kamu ketumpahan kopi,” Vanila langsung mendongakan kepalanya saat dia mendengar suara yang sudah mulai dia kenal masuk ke dalam indra pendengarannya. Kemudian, dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Enggak Pak, saya gak papa, maaf ya tadi saya udah bikin kacau” jawab Vanila, sambil menundukan kepala.
“Namanya juga celaka, kalau kita tahu dimana dan kapan terjadinya, ya pasti kita bisa menghindarinya, inikan enggak” ujarnya sambil ikut duduk disamping Vanila.
Dialah Arya, sosok laki – laki berusia 23 tahun, pemilik kafe tempat Vanila bekerja. Kemudian, dengan tiba – tiba dia langsung mengambil alih salep yang sedang Vanila pegang untuk membantu mengobati tangannya.
“Gak usah Pak, saya bisa sendiri ko” ujar Vanila, merasa tidak enak karena Arya duduk bersamanya yang hanya pelayan biasa.
“Gak papalah Van, kenapa ? kamu sungkan karena kamu pelayan saya pemilik kafenya, jangan gitulah Van, saya juga tanpa kamu dan yang lain gak bisa ngapa – ngapain” ujar Arya, sambil mulai fokus mengobati tangan Vanila.
Setelah itu, tidak ada lagi tanggapan apapun dari Vanila, gadis itu hanya diam sambil memperhatikan Arya yang sedang mengobatinya. Setidaknya Vanila bersyukur, meskipun orang tuanya tidak pernah menganggapnya, tapi diluar dia dipertemukan dengan orang – orang yang baik yang selalu peduli kepdanya.