Vanila tidak berhenti melukiskan senyuman setelah dia pulang sekolah dan dinyatakan sebagai peraih nilai tertinggi, dan pendaftaran beasiswa yang Vanila lakukan ternyata terima. Vanila sudah tidak sabar ingin mengatakan kabar bahagia yang dia dapatkan kepada ayah dan ibunya, hanya saja sejak tadi dia menunggu mereka tidak kunjung pulang. Padahal Vanila sudah melakukan banyak pekerjaan untuk mengisi waktu sambil menunggu kepulangan orang tuanya.
“Ko, mamah sama papah enggak pulang – pulang ya, Abi juga udah sore enggak pulang – pulang” gumam Vanila, sambil sesekali melihat keluar gerbang.
Saat itu, Vanila sedang menyiram tanaman dihalaman rumah, berharap mobil ayahnya muncul, karena dia sudah sangat tidak sabar ingin memberitahukan prestasi yang dia dapatkan kepada orang tuanya. Dia sudah merasa yakin jika ayahnya pasti akan bangga dengan pencapaiannya, selain itu Vanila juga berharap besar jika prestasi yang berhasil dia raih bisa membuat orang tuanya yang selama ini memberncinya menjadi menyayanginya.
“Tunggu sambil cuci piring aja deh” gumam Vanila lagi, setelah dia selesai menyiram bunga tapi orang tuanya belum kunjung datang juga.
Vanila berlalu masuk ke dalam rumahnya, dia menyibukan dirinya dapur. mulai dari mencuci piring, memasak untuk makan malam, dan lain sebagainya. Sampai tiba – tiba, Vanila dikagetkan dengan sesuatu yang dilemparkan pada kakinya. Vanila menoleh, tidak jauh dari hadapannya, Vanila bisa melihat sang ayah sedang berdiri dan menatap Vanila dengan tatapan penuh kemarahan.
“Apa yang terjadi ? ada apa dengan Papah ? kenapa dia terlihat sangat marah ? apa kesalahan yang sudah aku lakukan ?” batin Vanila, bertanya – tanya pada dirinya sendiri saat dia melihat dengan nyata jika tatapan yang ayahnya tunjukan adalah tatapan penuh amarah.
Vanila menunduk, menatap sesuatu yang baru saja ayahnya lemparkan, dahinya sedikit mengerut bingung saat dia melihat jika yang baru saja ayahnya lemparkan adalah tasnya. Tas yang dia bawa dari kampung untuk dia gunakan membawa pakaian.
“Pah, kenapa tas aku dilempar, ada apa ?” tanya Vanila, sambil membawa tas yang sudah dilemparkan ayahnya.
Saat itu, hati Vanila merasa tidak enak, hatinya merasa akan ada sesuatu yang terjadi. Vanila tahu jika tas itu sudah terisi, tapi dia tidak tahu pasti apa isinya. Karena semula tas itu tersimpan kosong di dalam lemarinya.
“Papah kapan pulang ? aku nunggu Papah dari tadi loh, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama Papah, dan kabar itu adalah kabar bahagia, dengan kabar itu aku berharap Papah dan mamah bisa bangga sama aku” ujar Vanila, sambil tersenyum, berusaha mengesampingkan pirasat yang hatinya sudah rasakan.
“Lihat Pah, aku lulus dengan nilai terbaik, aku juga mendapat beasiswa di kampus negeri Pah, aku bisa kuliah gratis jadi Papah gak usah keluarin lagi uang buat sekolah aku, Papah senangkan ?” ujar Vanila, sambil memperlihatkan dua lembar kertas yang sengaja dia bawa – bawa sejak tadi dengan senyum ceria yang mengembang diwajahnya.
Brakk …
Vanila mematung ditempatnya saat ayahnya yang sejak tadi diam, tiba – tiba mengemprak meja. Matanya menatap Vanila semakin tajam, melihat tatapan ayahnya, Vanila menunduk, karena setiap Vanila melihat tatapan kemarahan yang terpancar dari mata ayahnya saat itulah dia takut, takut jika dia menjadi anak yang durhaka dan hatinya selalu sedih setiap melihat tatapan kemarahan sang ayah kepadanya.
“Pembunuh.”
Vanila mendongakan kepalanya saat dia mendengar satu kata yang baru saja ayahnya katakan. Pembunuh, ayahnya selalu mengecap Vanila sebagai pembunuh ibu kandungnya sendiri, dan hati Vanila selalu sakit saat ayahnya mengatakan pembunuh yang ditujukan untuknya.
“Dulu, kamu membunuh ibu kandung mu sendiri, dan sekarang kamu membunuh adik mu sendiri, aku tidak mengerti bagaimana bisa kamu melakukan semua itu” gumam ayah Vanila, sambil menatap Vanila dengan tajam.
Satu teteh air mata Vanila jatuh membasahi kedua pipinya, saat itu Vanila merasa benar – benar sakit, dadanya terasa sesak mendengar kalimat yang baru saja ayahnya katakan. Jika saja Vanila tahu akan terlahir dengan cara membuat ibunya meninggal dan dia hidup selalu diasingkan, mungkin Vanila akan lebih memilih ikut pergi bersama ibunya, dan lagi membunuh adiknya, siapa yang ayahnya maksud. Abimana, bukankah tadi pagi dia masih baik – baik saja, lagi pula bagaimana Vanila membunuh Abimana jika setelah tadi pagi Vanila belum bertemu dia lagi.
“Adik ? siapa Pah ? Abi kenapa Pah ?” tanya Vanila, sambil mendongakan kepala menatap wajah ayahnya setelah dia menghapus air mata yang sempat jatuh dari pelupuk matanya.
Saat itu, Papah Danu nampak tersenyum, senyuman yang menurut Vanila terlihat sangat menakutkan. Kemudian, dia melangkahkan kakinya mendekati Vanila, saat itu Vanila sadar jika dia harus mempersiapkan diri, menerima apapun yang akan terjadi.
“Kamu tahu ? istri saya sedang hamil adiknya Abi, tapi karena kamu mengepel lantai terlalu licin dia jadi terpeleset dan …” Papah Danu, menjeda perkataannya, kemudian dia berjalan semakin mendekati Vanila, mengikis jarak yang tercipta diantara mereka.
“Keguguran …” lanjutnya, sambil berbisik tepat disamping telinga Vanila.
“Bukankah itu berarti kamu pembunuhnya ?” tanya Papah Danu, sambil menjambak rambut Vanila dengan keras.
Air mata Vanila kembali menetes, saat tangan sang ayah kembali menjambak rambutnya. Vanila tidak tahu apa yang ayahnya maksud, bahkan ibunya mengandung saja Vanila baru tahu sekarang dari ayahnya. Kemudian, Papah Danu, memegang tangan Vanila dan meletakannya diartas meja. Setelah itu, dia berlalu pergi, tidak lama dia kembali sambil mebawa pel.
“Papah mau apa ?” tanya Vanila, sambil menyembunyikan lengannya sendiri.
“Simpan tangan kamu ditempat semula !” bentak Papah Danu, Vanila tidak bisa lagi melawan saat tatapan kebencian benar – benar terlihat dari kedua mata ayahnya.
Dengan berat hati, Vanila menyimpan tangannya kembali diatas meja. Vanila langsung menjerit kesakitan saat Papah Danu memukulkan gagang pel yang tadi dia bawa ke tangan Vanila.
“Rasa sakit yang kamu rasakan tidak sebanding dengan rasa sakit yang istri ku rasakan saat dulu kamu lahir dan bunuh” ujar Papah Danu, sambil memukulkan gagang pel pada tangan Vanila.
“Rasa sakit yang kamu rasakan tidak akan sebanding dengan rasa sakit yang istriku rasakan karena anaknya yang bahkan belum berbentuk di dalam rahimnya sudah kamu bunuh” lanjut Papah Danu, sambil memukulkan gagang pel lagi dengan keras.
“Sakit Pah …” gumam Vanila, dengan berurai air mata.
Setelah puas memukuli tangan Vanila, dia langsung menyeret Vanila, membawa Vanila dan mendorongnya keluar dari rumah, kemudian dia melemparkan tas yang tadi sempat dia lemparkan kepada Vanila di dapur.
“Pergi … pergi dari rumah ku, aku tidak ingin ada pembunuhan lagi di rumah ku karena ulah mu” teriak Papah Danu, membuat tangis Vanila benar - benar pecah.
***
Vanila duduk di halte yang ada didekat rumahnya, setelah diusir oleh ayahnya dari rumah, Vanila sempat memohon – mohon agar dibiarkan tetap tinggal bersama ayahnya, hanya saja sepertinya sudah tidak ada ampun bagi Vanila dari sang ayah. Akhirnya, Vanila tidak punya keputusan lain selian pergi, tapi karena saat itu Vanila tidak tahu harus pergi kemana, akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat dulu di halte, sambil berpikir kemana dia harus pergi.
Saat itu, waktu sudah memasuki Magrib, jadi langit sudah mulai gelap, Vanila duduk dihalte sambil meniup – niup tangannya yang masih terasa sangat sakit. Sesekali kepalanya menengadah, berusaha menghalau tetesan air mata yang tidak berhenti keluar dari pelupuk matanya, hatinya selalu berdenyut sakit saat mengingat setiap perkataan ayah kandungnya sendiri.
“Kenapa kamu suka banget nyakitin diri kamu sendiri,” Vanila langsung membuka kedua matanya yang sempat terpejam, menatap sosok yang tiba – tiba sudah ada disampingnya dan memegang tangan Vanila sambil meniupinya.
“Ini bisa infeksi jika dibiarkan, luka kamu harus segera diobati” ujarnya, sambil meniup – niupi luka ditangan Vanila.
Saat itu, Vanila hanya diam. Dia tidak tahu harus berkata apa, selain itu Vanila juga tidak mengerti kenapa takdir selalu mempertemukan dia dengan orang yang sama dalam keadaan yang sama juga.
“Nangis aja enggak usah ditahan, orang nangis bukan berarti dia cengengkan, nanti kalau nangisnya udah cukup saya hapusin air matanya” gumamnya, sambil menatap Vanila tepat dibagian matanya.
Mendengar perkataan orang tersebut, tiba – tiba tangis yang semula Vanila tahan tumpah begitu saja, dia seakan sudah tidak punya malu menangis tersedu – sedu dihadapan orang yang belum dia kenal. Vanila menangis sepuas yang dia mau, sama seperti apa yang sudah orang itu katakan kepada Vanila, menangis tanpa dia tahan.
“Saya obatin luka kamu dulu abis itu saya anterin kamu pulang” ujarnya, yang tentu langsung mendapat gelegan kepala dari Vanila.
Selama beberapa saat orang itu terdiam, kemudian dia menatap tas yang tersimpan disamping Vanila. Dia nampak berpikir, sampai akhirnya dia kembali menatap Vanila.
“Kalau gitu, abis lukanya saya obatin, saya anterin kamu ke rumah temen kamu yang waktu itu mau ?” tanyanya lagi, sambil menatap Vanila.
Selama beberapa saat, Vanila terdiam tapi kemudian dia menganggukan kepalanya setuju. Setelah itu, dia langsung mengajak Vanila menuju apotik terdekat, tanpa rasa malu atau gengsi dia langsung mengobati tangan Vanila didepan apotik, mereka duduk diatas undakan tangga yang ada didepan apotik.
“Luka kamu harus cepet diobatin, kalau enggak bahaya, bisa infeksi” gumamnya, sambil sibuk mengibati luka ditangan Vanila.
Tidak ada satu katapun yang Vanila katakan, gadis itu hanya diam sambil memperhatikan orang yang ada dihadapannnya. Ternyata, sosok yang selama ini Vanila nilai dingin dan kaku, mempunyai sisi lembut dan hangat juga.
Setelah luka tangan Vanila selesai diobati, dia langsung mengantarkan Vanila menuju rumah Anya, selama diperjalanan tidak ada percakapan yang terjadi diantara mereka, selain jika dia menanyakan arah jalan saja.
“Nih, obatnya jangan lupa dibawa, perbannya harus rajin diganti ya” ujarnya, saat Vanila sudah turun, karena setelah melewati perjalanan hampir 30 menit akhirnya mereka sampai didepan rumah Anya.
Selama beberapa saat, matanya menatap sosok yang masih berdiri diatas motor lengkap dengan helm yang masih dia gunakan.
“Terimakasih Kak, karena Kakak selalu hadir bagaikan malaikat setiap kali aku membutuhkan penolong” ujar Vanila, sambil menatap sosok dihadapannya dengan tatapan yang sulit untuk didefinisikan.
Orang itu menganggukan kepala, “Masuk, dan jangan nagis terus, jangan pernah buang sia – sia air mata kamu hanya untuk orang yang tidak pernah menghargai kamu, karena air mata kamu bagaikan mutia yang harus kamu jatuhkan ketika kamu bahagia saja” ujarnya, sambil tersenyum kecil, sangat kecil hingga nyaris tidak terlihat.