Semenjak tinggal satu atap dengan Navia, kehidupan Hiro terasa jauh lebih indah di bandingkan sebelumnya. Meski hanya dapat melihat gadis itu sekilas saat pagi sebelum berangkat ke kantor sudah membuatnya cukup senang.
Tidak perduli bagaimana orang akan memandangnya nanti. Hiro tidak sedikitpun berniat untuk melepaskan Navia. Tidak akan pernah. Bahkan, Hiro sangat menginginkan Navia sampai berniat untuk mengikatnya sekuat mungkin agar tidak pernah meninggalkannya.
Tanpa sadar, Hendra sahabatnya melihat tingkah Hiro yang tersenyum seorang diri. Biasanya, senyum lelaki itu sangat mahal kecuali terhadap klien, tetapi kali ini, bahkan ia bisa tersenyum tanpa sebab.
"Aku ikut senang, ada wanita yang mampu membuat kamu gila seperti sekarang, sampai-sampai senyummu terpancar di hari sepagi ini tanpa lawan. Apa yang sedang kamu pikirkan, kawan?" Hendra mendekati Hiro, lelaki itu sedikit salah tingkah, setelah beberapa saat menyendiri dan menjadi pria misterius, ia kembali menemukan gairah hidup saat bertemu dengan Navia.
"Kamu benar, ada seorang gadis kecil yang membuat aku terus memikirkannya. Rasanya aku tidak ingin melewatkan kebersamaan dengannya sedikitpun." celoteh Hiro, membenarkan dugaan Hendra tentang adanya seorang wanita yang mengisi hati pria itu.
"Aku tidak salah dengar? Kau bilang dia gadis kecil? K-kau p*****l?" Kali ini pertanyaan Hendra mengundang gelak tawa Hiro.
"Apa yang ada si pikiranmu, Bung! Gadis itu menang masih belia, usianya sepuluh tahun lebih muda dariku, tapi percayalah, dia sudah lewat dua puluh tahun." Hiro masih menyambung tawanya kembali. Ia hanya tidak menyangka, temannya akan berpendapat seperti itu padanya.
"Begitu banyak wanita dewasa, mengapa kamu justru tertarik pada abege?" ledek Hendra.Selama ini Hiro tipe pemilih, bahkan ia tidak bisa menjalin hubungan dengan seorang wanita terlalu lama. Selalu ada alasan untuk mereka akhirnya memutuskan berpisah.
"Dia adalah tetangga lamaku. Meskipun sekarang dia tidak mengenaliku, aku masih ingat dengan jelas, bagaimana dulu dia menangis di hadapanku, tertawa, belajar bersama, aku pikir antara aku dan dia tidak akan ada lagi pertemuan ini. Setelah menemukannya lagi dan bahkan bertunangan dengannya, aku tak akan melepaskannya lagi." Hiro mengetukkan penanya berulang ke atas meja yang ada di hadapannya. Ia tampak sangat yakin dengan apa yang di ucapkannya.
"Jadi abege itu anak perempuan yang kamu sering ceritakan padaku? Astaga! aku tidak percaya kamu benar-benar tertarik padanya. Apa kamu tidak khawatir, wanita muda yang usianya belum genap dua puluh tahun itu terkadang sangat manja. Dia akan overprotek dan melarangmu begini begitu." Hendra coba menghasut Hiro, tetapi pria itu hanya tersenyum. Ia sudah sangat paham bagaimana sifat sahabatnya yang terkadang sok tahu itu.
"Aku justru suka sikap manjanya dan aku siap memanjakannya. Kurang dari dua minggu lagi, dia akan menjadi istriku." Hiro mengatakan itu dengan gembira, seolah itu adalah pernikahan yang dinantikannya selama ini dan itu memang benar.
"Aku tidak percaya ini. Kamu sangat bersemangat saat membahas gadis muda itu. Aku sangat penasaran, seperti apa rupa gadis yang membuat seorang Hiro menjadi b***k cinta." Hendra coba menerka-nerka.
"Sudahlah. Jangan sampai kau bertemu dengannya, nanti bisa-bisa kamu mengambil kesempatan untuk merebutnya dariku." sungut Hiro, pura-pura mencurigai Hendra.
"Hei Bung! Seleraku bukan yang muda sepertimu. Aku lebih suka wanita yang lebih tua dariku, itu lebih menantang." Hendra mengatakan tiga kalimat terakhirnya dengan berbisik.
"Menantang apanya? Kau justru terlihat seperti sedang jalan dengan tante-tante. haha." ledek Hiro, dia tidak dapat menahan gelak tawanya.
"Itu tidak masalah, daripada kau, lebih cocok jadi anakmu pacarmu itu..." Hendra membalas perkataan Hiro mengenai tipe wanita yang di sukainya.
Tentu saja tidak. Ketampanan wajah Hiro, membuat pria itu tidak terlihat setua usianya. Siapapun yang melihatnya tidak akan menyangka bahwa usianya sudah hampir mencapai kepala tiga.
"Siapa bilang? Itu hanya argumenmu saja. Sudahlah, sana kembali ke ruanganmu. Bagaimana kalau ada klien, kamu malah seenaknya berada di sini." Hiro kembali menyibukkan diri.
"Baiklah-baiklah tuan Hiro. Aku akan kembali ke ruanganku. Berhentilah tersenyum sendirian, karena itu bisa membuat salah paham." Hendra masih menyempatkan dirinya untuk mengejek Hiro, sebelum akhirnya ia menghilang di balik pintu. lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya heran dengan tingkah teman seprofesinya itu.
***
Waktu terus bergulir. Navia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia bisa memastikan setiap sudut ruangan yang ada di rumah Hiro kecuali kamar lelaki itu sudah bersih.
Bella juga memasak beberapa menu makanan untuk makan siangnya bersama Hiro. Biasanya duda tampan itu akan pulang ke rumah untuk makan. Navia berharap hari ini dia dapat menunjukkan hasil kerja kerasnya pada pria itu.
"Semalam dia sudah menjagaku dengan baik. Aku ingin memberikan semua ini sebagai balasan atas kebaikannya. Aku tidak sabar menunggunya kembali." gumamnya. Gadis itu memang mudah terkesan dengan orang-orang yang baik dan perlakuan Hiro semalam mengingatkannya pada sosok Bram, Miko, dan juga Rendi. Para pria baik yang pernah menjadi bagian dari kisah hidupnya.
Selama ini, Navia masih menantikan kehadiran Bram kembali di dalam kehidupannya. Setelah kepindahan keluarga Bram hari itu, Navia tidak tahu lagi dimana keberadaannya.
Mendengar pintu terbuka, Navia yang telah duduk menanti di meja makan langsung memalingkan wajah ke arah sana. Dilihatnya Hiro masuk ke dalam rumah sambil melepas ikatan dasi di lehernya. Jas abu-abunya ia taruh di lengan tangan yang menenteng tas hitam berisi beberapa berkas dan juga laptop.
"Mas Hiro, sini." Navia melambaikan tangannya, memberikan kode kepada Hiro yang tidak menyadari kehadirannya.
Saat melangkah ke meja makan, Hiro memandangi setiap bagian rumahnya yang tampak lebih bersih dari bisanya, dan juga di meja makan banyak sekali makanan, dia tidak menyangka, Navia bisa melakukan semua ini.
"Kamu yang memasak ini semua?" tanyanya seraya menarik kursi untuknya duduk.
"Iya, aku memasak semua ini untuk Mas Hiro, karena sudah jagain aku semalam. Maafin aku kalau semalam aku sangat merepotkan." Navia tampak sungkan. Dia tidak enak telah membuat Hiro harus menjaganya karena phobia yang di alaminya.
Di mata Hiro, Navia tetap sama. Setiap ada orang yang baik padanya, ia akan membalasnya dengan jauh lebih baik. Seperti dulu, saat ia membantu gadis itu mengerjakan tugas, keesokan harinya, Navia datang dan membawakannya nasi goreng. Meskipun rasanya tidak karuan, tetapi Hiro senang dengan perhatiannya itu.
"Kamu juga membersihkan rumah?" tanyanya lagi.
"Iya. Aku yang membersihkan rumah, aku juga sudah mencuci baju-baju Mas Hiro." Navia menaruh beberapa centong nasi ke piring Hiro, tidak lupa ia juga memberikan sayur dan lauk di atasnya,"Makan dulu, Mas." Navia menyodorkan piring itu pada Hiro.
"Navia, lain kali kamu tidak perlu sampai melakukan semuanya. Aku takut kamu akan kelelahan nanti." Hiro menerima piring yang di sodorkan oleh Navia, lalu melanjutkan, "Tapi terima kasih untuk hari ini." tentu saja Hiro tidak akan membuat gadis itu kecewa. Dia sudah berbaik hati melakukan semuanya untuknya.
"Tidak apa, Mas. Lagipula aku tidak ada kelas, daripada hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun, lebih baik aku bersih-bersih." Navia mengisi piringnya sendiri, sementara Hiro memandangi Navia. Ia membayangkan, inilah yang terjadi saat mereka menikah nanti. Hiro tidak sabar untuk itu.
"Bagaimana pekerjaan Mas hari ini? kliennya banyak?" Navia yang biasanya ketus saat bicara dengan Hiro, hari ini sungguh berbeda. Kejadian semalam telah merubah dia menjadi sangat manis.
"Hari ini lumayan santai, hanya ada lima klien yang datang." Hiro menanggapi pertanyaan Navia sambil mulai menikmati makanan yang ada di piringnya.
"Bagaimana? Apa masakanku enak?" Navia sangat penasaran, bagaimana komentar pria itu mengenai hidangan yang di buatnya.
"Masakanmu sekelas dengan hotel bintang lima, Navia." Kalimat sederhana itu membuat perasaan gadis itu melambung. Dia senang mendapat pujian dari Hiro.
"Ka-kalau begitu, Mas Hiro harus makan yang banyak." Navia sedikit salah tingkah dan Hiro menyadari itu. Saat malu-malu begini, baginya gadis di hadapannya itu sangatlah imut.
"Siap laksanakan. Ayo lanjutkan makannya, kamu juga harus makan yang banyak." Hiro mengambil sepotong ayam goreng dan menaruhnya di piring Navia.
"I-iya." sahut Navia masih dengan tersipu malu.