Seperti biasa, Delia dan Navia menghabiskan waktu berdua di kantin saat jam pelajaran mereka tiba-tiba kosong karena Dosen tidak hadir.
Mereka berdua tampak sangat harmonis. Persahabatan yang di mulai saat keduanya sama-sama masih memakai seragam putih abu itu tidak terputus sampai kini, justru semakin akrab.
Navia memang sedikit tertutup, dia lebih banyak diam dan agak sulit bergaul, itulah mengapa gadis itu tidak mempunyai banyak teman dan hanya Delia teman satu-satunya yang selalu mendengar berbagai macam keluh-kesahnya.
"Salah nggak sih, kalau aku menerima perjodohanku dengan Hiro?" Pertanyaan Navia yang tiba-tiba muncul saat mereka tidak membahas hal itu membuat Delia sedikit terkejut sekaligus senang. Setidaknya sahabatnya akan mempunyai suami seorang duda tampan dan banyak uang, itu suatu prestasi yang menurut Delia sangat membanggakan.
"Aku nggak salah denger, nih? Akhirnya kamu mau menerima perjodohanmu dengan Hiro? Apa yang membuat kamu tiba-tiba berubah? Jangan-jangan kamu mulai bucin ya?" Delia langsung memberondong Navia dengan banyak pertanyaan yang membuat gadis itu memasang wajah masam, tentunya hanya pura-pura.
"Bisa nggak kalau nanya satu-satu?" protes Navia sambil menyeruput habis jus alpukat yang ada di gelasnya.
"Oke.. oke. Maaf. Jadi apa alasan kamu, hingga akhirnya kamu memilih untuk menerima Hiro?" Delia memajukan wajahnya, menunjukkan pada Navia kalau dirinya berada dalam taraf sangat ingin tahu.
"Dia melindungiku saat phobiaku kambuh. Dia menjagaku sampai pagi tanpa melakukan apapun." ungkapnya penuh keyakinan. Navia tahu Hiro menjaganya sampai pagi karena dia mencium bau parfum pria itu di selimutnya.
"Sesederhana itu? Kamu langsung mau menerima dia sebagai suamimu?" Delia setengah mencibir, seolah ia sedang mengolok sahabatnya yang dengan mudahnya jatuh cinta dengan alasan yang sesimpel itu.
"Apakah aku salah? Mungkin dengan belajar menerima Hiro, aku justru akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dia juga tidak pernah membatasi aku mau apa dan kemana, aku-nya yang justru malas kemana-mana semenjak tinggal bersamanya." alasan yang dikemukakan oleh Navia tidak ada yang salah menurut Delia, sebagai sahabat, gadis itu hanya ingin yang terbaik untuk Navia.
"Sebenarnya, aku ikut senang kalau kamu akhirnya menerima Hiro, tetapi apakah kamu sudah siap? Pernikahan itu bukan hal mudah, ada banyak komponen di dalamnya. Kata mamaku, menikah bukan hanya soal saling mencintai, tapi juga komitmen. Kamu sudah siap, seumur hidup bersama dia?" pertanyaan Delia seolah tepat menusuk jantung Navia. Sudah siapkah? pertanyaan itu terputar berulang di kepalanya.
"Aku tidak begitu yakin, Del. Aku tetap harus mencobanya." Navia telah bertekad untuk memberi Hiro kesempatan, mengingat pria itu tidak pernah menyusahkannya selama ini.
"Semangat! Aku mendukungmu." Delia merangkul bahu Navia dan menggoyangkan tubuh sahabatnya itu berulang kali.
"Maaf, boleh bicara dengan Navia sebentar?" Seorang cowok berkacamata datang mendekati mereka berdua, Navia mengenalnya, itu Rama, cowok yang menolongnya saat ia akan dilecehkan oleh Gilang.
"Kamu kenal dia?" tanya Delia menyelidik.
"Iya, dia Rama, yang pernah aku ceritakan. Dia yang menolongku saat aku akan dilecehkan oleh Gilang, ingat kan?" Navia membuat Delia memutar kembali memorinya untuk mengingat siapa Rama.
"Oh, iya, aku ingat. Kalau begitu aku duluan. Kalian silahkan bicara berdua." Delia segera beranjak dari kursinya dan meninggalkan Navia berdua bersama Rama.
"Sudah lama di kantin?" Rama memulai pembicaraannya dengan Navia.
"Sudah. Kelas kami kosong, jadi aku dan Delia menghabiskan waktu di sini."celoteh gadis itu ramah.
"Sudah beberapa hari sejak hari itu, kenapa kamu tidak pernah lagi ke perpustakaan? Kamu takut, Gilang akan melecehkanmu lagi?" tanya Rama serius.
Sejak hari itu Rama sering ke perpustakaan, tetapi dia tidak pernah sekalipun bertemu dengan Navia.
"Ah, tidak. Sebenarnya aku tidak terlalu suka membaca. Aku datang ke perpustakaan hanya karena iseng saja." kata Navia jujur. Dia memang bukan tipe kutu buku. Membaca terkadang membuatnya mengantuk, bahkan menjadikannya sebagai obat tidur saat ia mengalami insomnia.
"Benarkah? Kalau kamu takut karena Gilang, tenang saja, ada aku yang akan menjagamu. Navia, bolehkah aku meminta nomor ponselmu?" pertanyaan Rama di kalimat akhirnya tampak tanpa paksaan.
"Boleh, sebentar." Navia segera mengambil ponselnya yang sedari tadi di taruh di atas meja, mencari kontaknya dan memperlihatkan pada Rama, "Ini nomor ponselku, catatlah."
"Terima kasih. Aku mau tanya satu hal lagi, apakah boleh?" Rama mengajukan pertanyaan lagi.
" Ap yang ingin kamu tanyakan? Silahkan saja." Navia memberikan kesempatan pada Rama untuk mengungkapkan pertanyan yang ingin ia utarakan.
"Adakah kesempatan untukku?" pertanyaan Rama kali ini membuat Navia tertegun beberapa saat lalu ia tersenyum.
"Kesempatan untuk?" Navia pura-pura tidak paham kemana arah pembicaraan mereka.
"Kesempatan untuk menjadi seseorang yang penting di hidup kamu." Rama masih memberikan kisi-kisi, pria itu tampak kesusahan membahas perasaannya dengan gamblang.
"Maksudmu sebagai pacar?" Navia tepat sasaran, Rama tampak menggaruk kepalanya bagian belakang, ia salah tingkah.
"Ya, semacam itulah." Ia mengklarifikasi kebenaran dugaan Navia.
"Maaf, aku tidak berniat menolakmu, sungguh. Aku harus mengatakan padamu, sebenarnya aku sudah di jodohkan oleh orangtuaku, kurang dari dua minggu lagi aku akan menikah. Aku mohon kamu mengerti keadaanku." Navia berharap caranya menolak Rama sudah halus dan tidak menyakiti pria itu, lagipula semua yang dia katakan bukan mengada-ada, dia benar akan menikah dengan Hiro.
"Haha, baiklah. Maaf, aku baru tahu kamu akan menikah karena perjodohan. Beruntung sekali pria yang mendapatkan perempuan secantik kamu Navia. Tapi, aku masih boleh menjadi temanmu, kan?" Rama berusaha tersenyum tulus, meskipun ia sedih karena pernyataan cintanya di tolak oleh gadis itu.
"Tentu saja. Aku sangat senang kalau kamu mau menjadi temanku." Navia menanggapi permintaan pertemanan Rama dengan terbuka. Dia merasa sedikit canggung tetapi berusaha tampak seperti tidak terjadi apa-apa.
"Kamu mau makan atau minum sesuatu? Pesan saja, aku traktir. Anggap aaja sebagai tanda persahabatan kita." Rama sudah tampak biasa saja. Ia mulai beradaptasi dengan kenyataan yang ada antara dirinya dan Navia.
"Aku sudah makan dan minum dengan Delia. Kalau kamu mau pesan silahkan."
***
Di ruang kerjanya, Hiro tampak sedang memeriksa beberapa kelengkapan berkas yang akan ia gunakan untuk melakukan perpanjangan kerjasama dengan salah satu kliennya. mengingat kemarin ada pembersihan ruangan berkala, ia takut ada yang terselip dan tidak di temukan saat diperlukan.
Tok...tok...
"Masuk." Hiro mempersilahkan masuk seseorang yang mengetuk pintu ruangannya.
Masuklah seorang wanita yang tampak seumuran dengan lelaki itu. Berambut lurus dan tergerai dengan warna sedikit kecoklatan, wajahnya lumayan cantik dan tentunya Hiro mengenal siapa wanita itu.
"Melly?" Lelaki itu hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sudah banyak berubah, tetapi Hiro masih ingat dengan baik sosok perempuan itu.
"Hiro? Aku tidak menyangka bertemu denganmu lagi, apa kabar? sudah lama semenjak kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu denganmu. Sudah menikah?" wanita bernama Melly itu mengajukan banyak pertanyaan. Ia duduk di kursi yang berada tepat di harapan Hiro tanpa lelaki itu persilahkan.
"Kabarku baik dan aku belum menikah. Kamu sendirian? Mana Aldo?" Hiro menanyakan suami dari wanita yang ada di hadapannya.
"Aku dan Aldo... kami sudah bercerai." Raut wajah Melly tampak sedih.
"Bercerai? Bagaimana bisa?" Hiro sedikit berbasa-basi. Melly akhirnya menceritakan bagaimana kisahnya bersama Aldo.