Navia berdiam diri di dalam kamarnya setelah makan malam. Cuaca di luar tidak mendukung. Gadis itu tetap berusaha tenang mengerjakan tugas dalam buku catatan.
Mendung yang menyelimuti langit hingga menjadi gelap membuat suasana semakin mencekam, di tambah lagi kilat yang mulai menampilkan sinarnya di iringi guntur yang menggelegar sesekali.
Navia merasa sedikit tidak nyaman. Seperti beberapa gadis lain yang takut dengan suasana seperti itu, Navia juga merasakannya. Dia tidak suka dalam suasana mencekam seperti itu.
Beberapa menit kemudian rintik hujan pun turun perlahan. Awalnya hanya hujan ringan, tetapi yang terjadi selanjutnya dapat diduga, hujan semakin lebat dan bahkan diiringi angin kencang. Kilat semakin sering terlihat, hampir mirip sinar kamera yang tengah memotret objek.
Gadis itu tak tahan lagi. Ia tidak bisa dalam ruangan ini sendirian. Dia merasa seperti ada yang mengintainya dari luar. Meskipun ia tahu, itu hanya bagian dari halusinasi yang dia rasakan.
Gadis itu keluar dari kamarnya dengan segera, ia ingin menemui Hiro, satu-satunya orang lain yang ada di rumah itu. Saat Navia mulai menuruni tangga, tiba-tiba listrik padam. Seketika lutut gadis itu lemas ia terduduk di tangga.
"Aaaaa!" Navia berteriak histeris. Ia ketakutan.
"Hiks...hiks..." Navia mulai menangis. Perlahan gadis itu mendengar suara derap langkah kaki mendekat ke arahnya.
"Navia...kamu di sana?" Hiro menyusul Navia dengan bantuan sinar senter dari ponselnya.
"Mas Hiro, aku takut...aku takut gelap... hiks hiks." Navia masih duduk sambil merangkul kedua kakinya. Dia benar-benar ketakutan.
"Aku di sini Navia, tenanglah. Aku akan menjagamu." Hiro menarik Navia dalam pelukannya.
Ia merasakan tubuh gadis itu bergetar karena ketakutan yang di rasakannya. Navia menjulurkan tangannya dan memeluk tubuh Hiro erat-erat.
Hiro memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. Dia memilih untuk mendekap erat Navia agar gadis itu merasa nyaman terlebih dahulu. Isak tangisnya masih terdengar jelas. Hiro tahu, Navia terlalu lama menahan ketakutan, hingga dia sehisteris sekarang.
Sebagai seorang pria dewasa, Hiro tidak menyangka akan menyukai gadis belia yang kini berada di dalam pelukannya itu. Ia bahkan tidak menyadari, gadis kecil itu diam-diam mencuri hatinya.
Selama ini, terlalu banyak untuk di sebutkan, gadis yang berusaha menarik perhatiannya, mengharapkan kasih sayangnya, menginginkan pintu hatinya terbuka, tetapi tidak satupun di antara mereka yang mampu membuat hatinya bergetar seperti Navia.
Penolakan yang di tunjukkan oleh gadis muda itu bukan ancaman yang berarti untuk Hiro. Ia akan terus berusaha untuk menggapai hati Navia sejauh apapun itu. Baginya, mendapatkan sesuatu dengan usaha yang keras adalah sesuatu yang sangat menarik.
"Mas Hiro, terima kasih sudah menenangkanku. A-aku sangat takut kegelapan dan juga hujan yang diiringi petir yang menyambar. Maaf kalau aku merepotkanmu." Kalimat itu begitu lembut terdengar di telinga Hiro. Dia seperti melihat sosok lain dari Navia. Gadis itu tampak sangat rapuh, masih meringkuk dalam pelukannya tak berdaya.
Hiro hampir tidak percaya, gadis muda dengan segala keangkuhannya itu dapat runtuh tak berdaya hanya karena mati lampu dan hujan petir. Bukan senang, tetapi seulas senyum meluncur perlahan menghiasi bibir lelaki itu.
"Tidak perlu berterima kasih. Aku menganggap ini sebuah latihan menjadi suami yang baik untukmu. Aku harus bisa melindungimu, Navia." seperti biasa, Hiro selalu mengatakan sesuatu dengan lembut pada Navia, ia tidak sekalipun pernah berkata kasar pada gadis ayu di pelukannya itu.
Satu jam berlalu, hujan masih belum juga mereda dan listrik masih padam. Mereka berdua masih dalam posisi yang sama di salah satu anak tangga. Hiro merasa pelukan Navia melemah, sepertinya gadis itu tidur.
Benar saja, saat mengalihkan sinar senter ke wajahnya, Hiro mendapati gadis kecilnya itu terlelap. Perlahan ia membopong Navia untuk di bawa masuk ke kamarnya dan menidurkan gadis itu di atas ranjang.
Karena suasana masih saja hujan, petir dan guntur juga masih berkejaran, Hiro memutuskan untuk tidur di samping Navia setelah menyelimuti gadis itu dengan selimut tebalnya. Ruangan itu sangat gelap, Hiro mematikan senter ponselnya, namun ia masih menggenggam benda itu agar mudah ia memberikan pencahayaan saat gadis itu terbangun sewaktu-waktu.
Keesokan paginya, saat hari masih gelap, suara ponsel Hiro berbunyi. Beruntung lampu telah menyala, ia segera meredam suara ponselnya dan keluar dari kamar gadis itu.
"Tuan, maaf jika saya menganggu tidur Anda. Saya ingin membahas mengenai kantor cabang." Suara seorang lelaki di ujung sana terdengar panik.
"Tidak masalah Pak, baik..silahkan..."
Hiro membawa ponselnya turun, ia tidak ingin membangunkan Navia dengan suara berisik yang di timbulkannya.
***
Navia membuka matanya, ia sedikit bingung mendapati dirinya yang telah tidur berselimut rapi di ranjangnya. Ia mencoba mengingat lagi yang terjadi semalam. Terputar kembali dalam ingatannya, semalam ia ketakutan dan duduk menangis di tangga, lalu Hiro datang dan memeluknya. Setelah itu, ia tak ingat lagi karena tertidur dalam pelukan hangat lelaki itu.
"Aku harus segera menemui Hiro. Aku ingin tahu apa yang terjadi semalam. Jangan-jangan...tidak...tidak, itu tidak mungkin." Navia menggelengkan kepalanya berulang. Ia ingin membuyarkan pemikiran m***m yang mulai menggumpal di sana.
Gadis itu segera turun dari ranjang dan setengah berlari keluar kamar. Dia juga menuruni tangga dengan sangat cepat. Matanya sambil memeriksa kesana-kemari mencari keberadaan Hiro. Namun, ia tidak berhasil menemukan pria itu.
Di meja makan, ia menemukan setangkup roti isi sayuran dan telur mata sapi, juga satu gelas s**u yang masih hangat. Bella mendapati sebuah kertas yang bertuliskan jangan lupa sarapan, habiskan s**u dan roti ini.
Navia membaca sekilas sambil menikmati hidangan yang di siapkan oleh Hiro. Pikiran negatif tentang pria itu ia singkirkan terlebih dahulu. Selama di rumah Hiro, Navia juga tidak pernah mengalami hal buruk. Lelaki itu selalu memperlakukan dia dengan baik.
"Hari ini aku libur, sepertinya aku harus membantu Hiro beres-beres. Meskipun aku tidak pernah melakukannya di rumah, apa salahnya mencoba." Navia bermonolog.
Dorongan tak terduga tiba-tiba hadir dalam dirinya. Dia ingin membantu Hiro membersihkan rumahnya. Sebenarnya, rumah duda tampan itu cukup bersih, jadi tidak akan terlalu menguras tenaga untuk membersihkannya.
Di bak cucian kotor, Navia mendapati beberapa potong baju Hiro yang teronggok di sana. Gadis itu berinisiatif mencucinya. Karena dia tidak bisa menggunakan mesin cuci, ia memutuskan untuk mencuci baju Hiro menggunakan tangan.
"Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan? Selama ini aku bahkan belum pernah mencuci baju ayah, tetapi mengapa aku tiba-tiba mau mencuci baju Hiro?" lagi-lagi Navia mengajak bicara dirinya sendiri.
Mencuci baju memang baru dia lakukan selama ia berada di rumah Hiro. Itulah mengapa, Navia tidak bisa menggunakan mesin cuci. Di rumah sang ayah, semuan serba asisten rumah tangga.Terlebih, Navia termasuk anak yang sangat manja.