When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Wanita yang memakai dress selutut itu terlihat ngos-ngosan berlari memasuki lorong-lorong rumah sakit. Tas selempangnya yang tersampir pada bahu sampai terjatuh ke lengannya karena larinya yang terbilang kencang. Beberapa pasien bahkan petugas rumah sakit sekilas melirik ke arahnya lalu mereka kembali sibuk dengan aktifitas masing-masing. Tidak terlalu begitu menanggapi. Wanita itu pun terhenti saat sampai di depan salah satu ruang rawat inap. Bibirnya menghela panjang dengan tangannya yang bergerak mengusap keringat pada pelipisnya. Tangannya pun terulur meraih gagang pintu lalu membukanya pelan. Matanya refleks mengembun melihat putra tunggalnya kini terbaring tidak berdaya di ranjang di hadapannya. Perban di kepalanya, beberapa luka lebam di wajah. Bahkan, kedua sikutnya terlihat lece