When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Pemuda yang tengah berbaring itu bergerak kecil di atas ranjang tempat tidurnya. Tangannya tergerak meraba kedua matanya yang masih diperban erat di sana. Ia beranjak duduk dengan menjatuhkan kedua kakinya ke bawah kasur. Ia menghela samar. Kepalanya tertunduk lama dengan kelopak matanya yang sudah kering dengan air mata. Terlalu banyak menangis sampai ia sendiri tidak tahu sudah berapa lama dia merengek dan mengeluh pada tuhannya. Setelah operasinya tadi malam, dokter mengatakan kalau matanya tidak punya kesempatan untuk melihat lagi. Dokter menjelaskan kalau kedua matanya kini mengalami buta permanen. Bagai disambar petir, ia shock dengan kenyataan yang ada. Untuk kesekian kalinya ia harus benar-benar diuji kesabarannya. Kini pergerakannya makin dibatasi karena kebutaannya yang terula