.Setibanya di parkiran, Syahquita baru melepaskan tangan pria itu. Dan ia kira Devian sudah tidak kesal lagi tapi ia salah, pria itu masih saja cemberut seperti anak kecil yang minta mainan tapi tak dibelikan. Untung saja tidak guling-gulingan di jalan. Mereka segera masuk ke dalam mobil Devian.
“Please, Dev. Tersenyumlah.” pinta Syahquita.
Devian hanya diam saja dan memasang seat belt, pria itu menancapkan gasnya keluar dari area parkir barulah setelah itu mobilnya menelusuri jalanan sore Scania menuju rumah Syahquita.
Syahquita terlihat senang, santai tanpa rasa bersalah sedikitpun karena telah membuat Devian marah padanya. Ia malah tersenyum setiap kali melihat wajah Devian.
Jalanan tidak begitu lancar, mereka keluar dari kampus berbarengan dengan jam pulang kantor sehingga mereka harus bermacet-macetan ria.
“Damn it!” kesal Devian karena mobilnya sulit berjalan dengan leluasa.
“Calm down, sayang.” ujar Syahquita selembut mungkin.
Devian terlihat diam saat Syahquita mengingatkannya untuk tetap tenang jangan terbawa emosi karena kemacetan ini. Syahquita menyalakan radio dari mobil Devian agar suasana sedikit menyenangkan jika mendengar lagu dengan tempo yang cukup keras.
Satu jam perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai di rumah Syahquita yang biasanya mereka hanya menghabiskan waktu sekitar empat puluh lima menit berlalu.
“Thank you, honey.” ucap Syahquita bersungguh-sungguh.
“Hmmm.” sahut Devian tak mengucap sepatah katapun. Syahquita tersenyum kecil saat mendengar respon Devian yang agak menyebalkan itu.
“Devvvvvvv.” panggil Syahquita agar pria itu mau menoleh ke arahnya.
Devian menoleh ke arah Syahquita, dengan cepat Syahquita mencium bibir pria itu lagi. Tapi hanya sebentar saja tidak lama seperti tadi.
“I’m sorry. Apa kau masih marah?” tanya Syahquita setelah melepaskan ciuman sekejapnya.
“Hmm sebenarnya iya, tapi aku akan memaafkanmu jikaa.” Devian menggantung perkataannya yang membuat Syahquita penasaran.
“Jika aaaa.” Syahquita tak bisa melanjutkan perkatannya karena secara mendadak Devian mencium bibirnya yang membuatnya kesulitan berbicara.
Devian kembali menggila, sungguh ia tak melihat kondisi sama sekali. Untung saja sekitar mereka sedang sepi dan untungnya kaca mobil Devian sangat gelap sehingga tak begitu kelihatan apa yang mereka lakukan.
Kali ini Devian yang melepaskan ciuman itu, “Aku memaafkanmu.”
Syahquita menatap aneh pria itu, ia mencium pipi kanan Devian sebelum keluar dari mobilnya. “Terserah kau saja, pria aneh. Bye.”
“Bye. Aku mencintaimu, Syah.” ucap Devian saat sebelum Syahquita keluar dari mobilnya.
Syahquita tak membalas perkataan Devian, ia keluar mobil begitu saja. Dan saat berada di luarpun ia tak membalasnya. Devian sampai membunyikan klakson mobilnya seakan menanti jawaban wanita itu.
“I love you too, my freak man.” teriaknya dari depan pagar rumahnya.
Devian tertawa kecil saat Syahquita berteriak seperti itu, ia mengira Syahquita akan masuk begitu saja tanpa membalas perkataannya.
Mobil Devian melaju kembali meninggalkan kediaman Syahquita, barulah setelah itu Syahquita masuk ke dalam rumahnya. Syahquita berharap sekali jika keluarganya tak mendengar teriakannya tadi, jika tidak maka ia harus siap menerima ledekkan demi ledekkan dari keluarganya.
***
Jika dilihat-lihat waktu berjalan sangat cepat, yang semula terasa lama akan terasa cepat bila kita melalui dengan penuh sukacita. Devian kini telah lulus dari program study S2-nya dan ia memilih bekerja di perusahaan milik orang tuanya, begitupun dengan Alfaz setelah selesai S2 ia juga bekerja di perusahaan milik Charlie. Sedangkan ketiga gadis itu, Syahquita, Jessie dan Martha mereka masih berada di Lund University, saat ini mereka sudah menduduki awal semester 5. Perjalanan yang cukup lama dalam menempuh gelar S1.
Devian berulang kali memohon kepada Syahquita untuk mempercepat hari pernikahannya tetapi wanita itu tetap pada pilihannya, ia tak akan menikah sampai dirinya menyelesaikan study S1-nya. Bukan karena Alfaz ia menunda pernikahnnya, justru Alfaz dengan sangat rela dilangkahi oleh Syahquita. Alfaz pernah mengatakan bahwa ia tidak akan menikah sebelum sukses dan berumur 25 tahun, mungkin dia mau jadi perjaka tua kali ya *sorry. Jessie dan Martha? Yang Syahquita tahu Jessie sedang menyukai salah satu teman klub Jepang nya tapi menurut Syahquita pria itu alergi dengan wanita, sedangkan Martha terlalu menutup diri sehingga sulit menebak apakah ia sudah menemukan tambatan hatinya.
“Hii.” sapa seseorang yang menarik Syahquita dari lamunannya.
Syahquita menatap orang itu, “Yaph, ada apa?”
“Apa kau tak ingin pulang?” tanya Jessie menatap wajah Syahquita.
“Oh tentu, let’s go.” jawab Syahquita bersemangat.
Mereka bertiga berjalan keluar dari kelasnya, Syahquita pikir mereka akan pulang bersama tapi takdir berkata lain. Di tengah perjalanan menuju lobby kampus Jessie mengatakan bahwa ia harus mengikuti klub setelah membaca sesuatu dari ponselnya.
“Syah, maaf aku akan pulang terlambat. Aku harus mengikuti klub.” kata Jessie.
Syahquita mengangguk pelan, “Ya, it’s oke. Hmm aku tahu kau ingin bertemu Kaname-mu itu ya?”
“What? Aku tidak menyukainya, apa kau tak melihat bagaimana reaksinya saat aku menabraknya kemarin. Ia terlihat begitu jijik padaku.” bantah Jessie. Syahquita dan Martha tertawa kecil saat mendengar perkataan Jessie,
“Bukan dia jijik padamu memang pria itu aneh, seperti yang kukatakan bahwa ia alergi dengan wanita.” ejek Syahquita.
“Yaph kau betul, Syah. Awalnya aku berpikir bahwa pria itu sangat aneh namun setelah melihat kejadian kemarin aku yakin bahwa pemikiranku benar.” timpal Martha.
Syahquita dan Martha tertawa di atas penderitaan Jessie, walau ia membantah tapi kedua saudaranya tahu bahwa ia sangat mengagumi sosok yang Syahquita panggil “Kaname” itu.
“Whatever, intinya aku padanya.” ucap Jessie pergi begitu saja.
Syahquita dan Martha kembali tertawa sebab Jessie sangat plin plan, untuk sesaat tadi Jessie mengatakan bahwa ia tidak menyukai Kaname namun pada akhirnya ia mengakui bahwa dirinya menyukai pria itu.
“Good luck, Jessie! Semoga pria itu tidak jijik padamu, sister.” teriak Syahquita.
Martha tertawa terbahak-bahak mendengar teriakan Syahquita yang begitu meledek Jessie. Mereka berdua kembali berjalan hingga ke depan kampus untuk menunggu Devian menjemput mereka. Alfaz tidak bisa menjemput para adiknya karena sangat sibuk dengan pekerjaannya, tapi untunglah Devian berjanji akan menjemput Syahquita setelah pulang kuliah.
Lama mereka menunggu akhirnya mobil Devian tiba di depan kampus mereka. Syahquita dan Martha langsung masuk ke dalam mobil Devian.
“Maaf aku terlambat.” kata Devian setelah keluar dari dalam mobilnya.
“It’s oke.” dingin Syahquita.
Tanpa bertele-tele Devian langsung menancapkan gasnya menuju rumah Syahquita. Selama di perjalanan mereka hanya berdiam tanpa bicara, padahal Devian ingin sekali bicara pada wanitanya. Namun sepertinya mood Syahquita sedang tidak bagus, jadi ia mengurungkan niatnya untuk membuka pembicaraan.
Empat puluh lima menit berlalu, mereka sampai di kediaman Charlie Valdez Campbell. Martha turun lebih dahulu daripada Syahquita, saat Syahquita ingin turun Devian menahan tangannya.
“Apa kau marah padaku?” tanya pria itu.
“Tidak.” singkat Syahquita.
Devian tersenyum kecil kepada wanitanya, “Maaf sayang aku…”
“Aku tahu kau sibuk, itu tak masalah bagiku. ” sela Syahquita memotong pembicaraan Devian.
Devian tahu betul bahwa akhir-akhir ini ia sangat sibuk dengan pekerjaannya dan akhir-akhir ini juga Syahquita sering marah padanya karena jarang memhubungi dirinya.
“See you.” ujar Syahquita bersiap untuk turun.
“See you. I love you, honey.” ucap Devian mencium pipi kanan Syahquita sebelum wanita itu turun dari mobilnya.
Syahquita tak menjawab perkataan Devian, ia hanya tersenyum kecil kepada Devian. Dan Devian tak marah sama sekali karena ia tak ingin membuat hubungan mereka semakin parah karena perdebatan. Jika mereka bertengkar maka sulit bagi Devian untuk mendapatkan keinginannya.
Devian menancapkan gas mobilnya kembali menuju kantor tempatnya bekerja sekarang. Syahquita tak menoleh sedikitpun kebelakang sehingga ia tak tahu Devian sudah pergi atau belum. Syahquita sangat membenci hal seperti ini. Ia merindukan Devian si freak man yang selalu berada di sampingnya sampai terkadang membuatnya bosan. Tapi sekarang ia jarang sekali melihat Devian bahkan pria itu juga jarang menghubunginya. Kesibukkan Devian sering kali membuat Syahquita kesal, terkadang ia berpikir apakah pekerjaan lebih penting dan apakah pekerjaannya begitu banyak sampai tidak bisa menghubungi Syahquita walau hanya sebentar saja.
“I’m home.” ucap Syahquita begitu memasuki rumahnya.
“Hi, Nak. Mari makan, aku sudah siapkan makanan kesukaanmu.” kata Granny dengan senyuman hangat.
“Terima kasih, Granny. Nanti saja aku belum lapar.” jawab Syahquita berbohong. Ia tidak tega untuk menolak Granny tapi saat ini ia ingin sendiri. Sejujurnya mood Syahquita benar-benar hancur, ia tak selera makan atau melakukan apapun.
Dengan langkah malas ia berjalan menuju kamarnya. Syahquita menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya, sungguh ia amat sangat bosan dengan semua yang terjadi padanya. Semua orang sangat sibuk hmm lebih tepatnya Alfaz, Charlie, dan Devian. Ia tak begitu merindukan Alfaz sebab mereka tinggal di rumah yang sama dengan kakaknya dan sering mengantarkan dirinya dan saudaranya ke kampus walau jarang menjemput belakangan ini.
DREEEETTTT...DREEEETTTT….DREEEETTTT… Ponsel Syahquita bergetar saat ia sedang meratapi nasibnya yang sangat membosankan.
Fr : My Busy Boy
“Hii, sayang, aku tahu kau marah padaku. Aku minta maaf karena aku jarang sekali menghubungimu dan aku minta maaf karena jarang menemuimu. Tapi meskipun aku sibuk aku tetap memikirkan dirimu. Aku sangat merindukanmu, aku janji jika libur kita akan liburan kemanapun kau mau. Untuk saat ini mengertilah bahwa aku melakukan ini demi kehidupan kita setelah menikah nanti. I LOVE YOU and I MISS YOU SO MUCH :*”
Syahquita menatap datar layar ponselnya, ia menghela nafas jenuh saat selesai membaca pesan dari Devian. Entah mengapa ia amat sangat merindukan Devian dan menyesal atas sikap dinginnya tadi.
To : My Busy Boy
“It’s okee. I love you too.”
Syahquita hanya mampu membalas pesan panjang itu dengan enam kata. Ia bingung dan tak tahu harus membalas apa untuk pesan panjang itu. Perasaannya kacau sehingga hanya enam kata itu yang terlintas dipikirannya. Syahquita sangat berharap bahwa Devian akan membalas pesannya lagi, namun lama ia menunggu hingga mengantuk dan tertidur tapi Devian tak kunjung membalas pesannya.
***
"Hii, my little girl." sapa seseorang seperti Alfaz memanggilnya saat masih kecil.
"Alfaz. Siapa di sana?" tanya Syahquita takut karena ia tak bisa melihat apapun di sekitarnya sangat gelap.
"Your Prince." jawab pria itu.
"Alfaz, ini tidaklah lucu."
"Syahquita Valdez Campbell." ucap pria itu menyebutkan nama lengkap Syahquita.
"Siapa kau?" panik Syahquita.
Muncul sesosok orang yang berada di depannya namun ia tak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas karena ruangan tempatnya berada sangatlah gelap.
"Syahquita Valdez Campbell." ucapnya lagi.
"Syahquita, bangunnnnn." teriak seseorang.
Syahquita tersadar dari mimpi anehnya, ia melihat sekelilingnya. Syahquita menghela nafas lega karena apa yang terjadi itu hanyalah mimpi bukan kenyataan.
"Syahquita, apa kau sudah bangun?" teriak suara melengking seseorang lagi dari depan kamarnya yang Syahquita yakini bahwa itu adalah Jessie.
"Ya, aku sudah bangun."
"Cepatlah kita sudah terlambat kuliah." teriak Jessie.
"Ya, tunggulah sebentar." sahut Syahquita lalu bergegas menuju kamar mandi.
Syahquita harus mandi dalam waktu sepuluh menit, berpakaian tiga menit, merapikan rambutnya dua menit, memakai make-up tiga menit, dan merapikan segala barangnya lima menit. Total waktu yang di butuhkan hingga Syahquita benar-benar siap berangkat kuliah yaitu dua puluh menit. Waktu yang sangat singkat bukan, biasanya ia menghambiskan waktu satu jam untuk melakukan itu semua, tapi kali ini karena sudah terlambat maka ia harus extra cepat.
Selesai dengan semua itu Syahquita segera turun ke bawah untuk sarapan bersama.
"Morning Mom, Dad, Granny, Alfaz, twins." sapanya dengan lengkap.
"Morning, nak." sapa balik Charlie.
"Cepatlah kau sudah terlambat." geram Alfaz.
Syahquita mengangguk paham, ia lalu mengambil roti dan s**u. Dengan cepat ia menghabiskan itu semua karena Alfaz, Jessie dan Martha sudah hampir selesai.
"Syah, pelan-pelan, nak. Nanti kau tersedak." nasihat Sharon.
Enam menit, Syahquita menghabiskan sarapannya, setelah itu barulah mereka berpamitan kepada orang tuanya. Alfaz dan ketiga wanita itu bergegas keluar rumah menuju halaman tempat mobil Alfaz terparkir.
Tanpa berlama-lama Alfaz segera menancapkan gasnya menuju Lund University. Meskipun bekerja di perusahaan ayahnya, Alfaz tidak ingin telat datang ke kantor. Ia juga tak ingin di gossip-kan oleh karyawan ayahnya karena menggunakan kekuasaan ayahnya seenak hatinya. Sebelum hal itu terjadi Alfaz sudah lebih dahulu mencegahnya.
Syukurlah jalanan tak macet dan mereka tidak terlambat mengikuti mata kuliah pertama. Setibanya di kampus mereka bertiga segera berlari menuju kelasnya karena sebentar lagi kelas akan dimulai dan Mr. Benz selalu datang tepat waktu saat mengajar.
"Thanks God." ucap Syahquita saat memasuki kelas dan Mr. Benz belum datang.
Tidak biasanya Mr. Benz telat masuk ke kelas mereka, Syahquita menunggu kehadiran dosen itu. Bukan hanya Syahquita tapi seluruh teman sekelasnya menunggu dosen yang selalu on time itu.
"Mr. Benz tidak masuk hari ini." ujar Elizabeth salah satu teman sekelas Syahquita yang begitu pintar.
Syahquita dan kedua sepupunya saling bertukar pandangan, "Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Syahquita.
"Apa kau pernah ke kantor Grandpa?" tanya Jessie.
"Hmm ide bagus, mengapa kita tidak pergi saja ke ruangan grandpa." usul Martha.
Syahquita dan Jessie mengangguk setuju dengan usul yang dikatakan oleh Martha. Mereka bertiga pergi dari kelasnya dengan membawa barang-barang mereka menuju ruangan Jonathan yang sama sekali mereka tak ketahui.
Berbekal insting seorang Martha, mereka berjalan menuju lantai 3 di mana di lantai tersebut banyak sekali ruangan dosen. Mungkin ruangan Jonathan ada di sana. Mereka mulai kebingungan ketika berada di lantai 3, harus ke mana mereka melangkah. Karena jabatan Jonathan bukanlah dosen melainkan rector kepala Lund University.