Begitu tiba di dalam kamar, Faith menyandarkan tubuhnya ke tepian pintu, ia menarik nafas dan mengembuskannya dengan tujuan mengendalikan diri dan pikirannya dari Ian. Atas apa yang baru saja terjadi, Faith merasa sulit untuk memercayainya. Bagaimana mungkin Faith bisa melakukan tindakan itu? Apa yang membuatnya berpikir sedemikian rupa hingga tidak kuasa mengendalikan berahinya? Otaknya pasti sedang kalut.
Tapi Faith melihat Ian sebagai undangan yang menggoda. Faith tidak pernah bisa berada di dekat Ian tanpa bertindak bodoh. Ian membuatnya hilang kesadaran, membuatnya semakin membenci sandiwara mereka dan disatu waktu membuatnya merasa jadi wanita yang diinginkan.
Faith masih merasakan aroma Ian di bibirnya, masih sanggup mengingat betapa Ian menginginkannya sebesar ia menginginkan lelaki itu. Dan apa yang dilakukan mereka seolah bukan sekadar gairah semata. Ada sesuatu yang tersirat dari itu, entah apa. Memikirkannya membuat Faith semakin kacau. Ia segera memutuskan untuk membasuh diri. Setidaknya ia harus menghapus wangi Ian yang menempel di tubuhnya, bukan karena Faith tidak menyukai aroma itu - Tuhan tahu Faith sangat menyukainya - hanya Faith merasa perlu menyingkirkan Ian yang tidak pernah berhenti menjarah pikirannya.
Dua puluh menit kemudian Faith keluar dari bilik yang membatasi kamar mandi dan ruang tidur. Ia memilin kaus berwarna biru gelap dan jeans dengan warna senada. Faith belum sempat menata rambunya yang basah ketika suara ketukan yang keras terdengar dari ruang depan.
Terkejut, Faith segera keluar untuk memastikan keadaan. Ia baru sampai di anak tangga terakhir ketika terdengar suara feminin seseorang di luar.
"Kit! Kit! Sialan, Kit, buka pintunya! Kalau kau berpikir kau bisa menempatkan aku di rumah penuh setangga itu, sebaiknya kau membayar lima kali lipat! Kit! Buka pintunya, berengsek!"
Seruan itu diiringi oleh ketukan yang kasar. Segera setelah Faith mengintip melalui jendela, Faith tahu bahwa wanita itu Monica. Sebelum ketukan dan umpatan selanjutnya terhantur, Faith menggeser sekat pintu dan membuka pintu di hadapan Hope.
Hope baru akan berusaha angkat bicara, menyumpah dan melakukan apapun yang harus dilakukannya pada Ian, tapi begitu melihat Faith, Hope tersenyum lebar.
"Oh.. halo!"
Faith mengangguk, dahinya mengernyit dan ia belum berhasil menyingkirkan prasangkanya akan umpatan kasar wanita itu sebelum Faith membuka pintu lebih lebar
"Bisa kau katakan dimana Kit? Aku punya urusan darurat dengannya."
Kerutan di dahi Faith bertambah dalam. "Kit?"
Hope tersadar akan panggilannya, menyeringai untuk menutupi rasa gugupnya. "Suamimu, Kit. Pria sialan yang sengaja meletakkan aku di rumah penuh serangga."
Faith merasa tidak mampu memahami ungkapan Hope sedikitpun, namun dari apa yang bisa ia tangkap, ia tahu bahwa Hope sedang membicarakan Ian.
"Dia pergi meninggalkan rumah ini beberapa menit yang lalu untuk membeli persediaan."
"Berengsek," Hope mengumpat lagi, berdecak dalam prosesnya sebelum menyeruak masuk ke dalam ruang depan, melewati Faith. Wanita itu terus bergumam, terus melangkah menuju konter dan membuka lemari pendingin begitu melihatnya. "Kit pasti sudah gila. Menurutmu kenapa aku harus tinggal di rumah tua penuh serangga itu sementara dia tinggal dalam istana klasik bebas serangga," Hope mendengus sembari memeriksa seisi lemari pendingin. "Dia bahkan tidak menyediakan bir."
"Ian tidak minum alkohol."
Hope mengernyit, kemudian mengangkat kedua bahu dengan tidak acuh. Ia meraih sepiring buah-buahan dan beranjak ke meja. "Setidaknya buah menjadi pilihan yang lebih baik ketika kau khawatir mati kelaparan."
Sikap Hope membuat Faith tertarik. Meski perasaan asing timbul tiap kali mengingat bahwa Hope adalah simpanan Ian, Faith tidak bisa memungkiri bahwa Hope akan menjadi teman berbicara yang menyenangkan. Tidak ada kesan formal apapun dari cara Hope bersikap. Wanita itu bertutur kata kasar dan bersikap tidak senonoh. Namun, Faith tidak bisa memikirkan teman lain yang jauh lebih baik dari Hope.
Ketika Hope sibuk dengan santapannya, Faith beranjak untuk menarik kursi di meja makan. Ia memberi Hope isyarat untuk duduk disana dan wanita itu - dengan senyumnya - segera menurut. Faith menarik satu kursi lain yang berseberangan dengan Hope hingga ia bisa menatap Hope secara langsung.
Faith tidak menunggu Hope menghabiskan apelnya ketika berujar, "aku yakin kau mengenal Ian lebih baik dari aku."
"Ah, ya," kata Hope, merasa kesulitan bicara karena porsi apel di dalam mulutnya. "Sayangnya begitu."
Faith meraih segelas mineral dan menyerahkannya pada Hope yang dengan cepat meneguknya. "Sudah berapa lama kau mengenalnya?"
"Dalam waktu yang cukup lama."
Terjadi keheningan selagi Faith menimbang. Disela itu, Hope memerhatikannya. Sampai ketika Hope balik bertanya, lamunan Faith buyar.
"Kenapa?"
Faith menggeleng, tampak tidak yakin dengan dirinya sendiri. "Bukan apapun."
"Kau tahu aku selalu bertanya-tanya tentang apa dan mengapa Kit membuat kesepakatan konyol dengan mengundangku kesini."
"Aku pikir Ian sudah menjelaskan seluruhnya padamu?"
Hope menggigit potongan apelnya yang lain. "Tadinya. Tapi aku semakin tidak mengerti. Dia tidak mengatakan alasan apapun. Apa yang terjadi dengan kalian sebenarnya?"
"Hanya takdir yang tidak bisa dihindari."
Ketika Hope mencoba mencerna ungkapan yang dihanturkan Faith, kedua matanya menyipit. "Aku tidak mengerti."
"Sederhananya, Ian berusaha membantuku keluar dari masalah."
"Dengan menikahimu?"
Faith mengangkat bahunya seolah fakta itu merupakan kenyataan yang terasa absurd. Berada dipihak yang terpojokkan tidak selalu menyenangkan bagi Faith, jadi ia memutarbalikkan keadaan dan angkat bicara. "Ian bilang kau yang menjadi temannya sampai sejauh ini."
Hope tergelak di kursinya, yang membuat Faith heran wanita itu bersikap seolah Faith baru saja mengatakan fakta menggelikan. "Kit bilang begitu?"
"Menurutmu apa di bicara jujur?"
Hope, tentu saja, akan tertawa keras-keras namun begitu teringat janji dan kesepakatan yang dibuat ia dan Ian sebelumnya, Hope memilih untuk membungkam. Ia membalas tatapan Faith dengan senyum hangat, hingga Faith menyimpulkan sebuah anggapan bahwa: sangat bodoh jika ia berpikir Ian berbohong soal Monica. Jelas-jelas wanita itu ada di hadapannya sekarang.
"Kau punya rumah yang bagus," komentar Hope kemudian. Ia melipat kedua tangannya di atas meja.
Faith sependapat, namun ia tidak setuju soal kepemilikannya. "Rumah ini bukan milikku. Ian bilang ini milik buyutnya ."
"Kit punya rumah yang lebih bagus di New York."
Bahkan Faith tidak pernah melihat bagaimana rumah Ian. "Apalagi yang kau tahu tentang dia?" tanya Faith kemudian.
"Dia punya dua saudara yang tampan dan kaya," wajah Hope merona ketika mengatakannya dan Faith tidak mampu menahan senyuman.
"Kau mengenal mereka?"
"Aku sudah menggoda mereka."
"Kalau ku tebak, kau gagal melakukanya?"
Kedua alis Hope bertaut dan senyumnya masam. "Landon tidak mudah ditakhlukan."
"Aku yakin itu."
Teringat akan sesuatu, Hope menjadi antisias. Satu tangannya menangkup punggung tangan Faith di atas meja. "Oh, apa Kit pernah memberimu tiketnya?"
Dahi Faith berkerut. "Tiket?"
"Ya," Hope mengangguk, matanya penuh antusiasme. "Malam ini. Festival besar di Memphis. Akan ada banyak makanan dan barang." Ketika Faith tidak kunjung merespons, Hope menyipitkan kedua matanya. "Dia tidak bicara padamu, ya?"
"Mungkin belum."
Hope mendengus. Ia menarik diri dari Faith, meraih sebutir anggur dan melahapnya. "Kit memang payah."
"Dia bicara padamu?"
"Ya, sejujurnya ini ideku. Pergi berbelanja dan makan dimalam yang indah. Dia bilang, dia tidak akan pergi tanpamu. Kupikir dia sudah bicara padamu."
"Aku yakin Ian pasti lupa untuk mengatakannya."
"Kau akan ikut, kan?"
Faith merasa ragu untuk menyetujui ajakan itu. Atas apa yang telah terjadi siang tadi, Faith tidak sanggup bersikap lebih konyol lagi di hadapan Ian nanti. Ketika Faith menatap Hope, wanita itu masih menunggu dan terus berharap pada persetujuannya. "Sebaiknya aku tidak ikut," putus Faith kemudian. Jawabannya membuat Hope merengut. Tapi Hope tidak segera menyerah. Godaan untuk datang ke festival membuatnya berusaha lebih keras.
"Ayolah.. Apa kau tidak merasa jenuh seharian berada disini? Aku pikir kalian pasangan yang butuh hiburan. Lagipula Kit jarang sekali pergi untuk berlibur. Aku pikir dia akan jadi berbeda dengan sedikit hiburan. Kau juga begitu."
Gagasan tentang sikap Ian membuat Faith tertarik. Satu fakta lain yang mendukung ucapan Hope juga sangat jelas: bahwa Ian jarang melakukan sesuatu di luar kepentingan pekerjaan. Lelaki itu butuh hiburan. Sekelebat prasangka tetlintas dalam benak Faith. Mungkin, ia bisa memperbaiki hubungannya dengan Ian dalam hiburan di malam festival nanti. Mungkin.
"Munurutmu begitu?" tanya Faith kemudian dan Hope memberi anggukan keras sebagai respons.
"Apa dia akan menyukai festival itu?"
"Dia menyukaimu. Tidak peduli bagaimana festival itu nanti, selama ada kau, dia akan merasa senang."
Faith tidak sepenuhnya yakin dengan kesimpulan Hope. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan begitu? Bagaimana kau bisa tahu apa yang dirasakan Ian?"
"Kenapa kau bertanya? Semua orang akan melihatnya begitu. Dia tidak akan menikahimu jika dia tidak menyukaimu, kan?"
Tidak sepenuhnya begitu, tapi Faith memilih untuk membisu. Hope mungkin salah mengerti tentang situasi pernikahannya, tapi Faith tidak bisa memungkiri bahwa wanita itu benar soal hiburan. Ian butuh hiburan, Hope juga demikian, wanita itu bergantung pada keputusannya, selain itu hubungannya dengan Ian menuntut perbaikan. Maka, Faith tidak memiliki alasan lebih untuk menolak.
Mengangguk, ia bicara, "aku akan ikut kalau begitu."
Hope memekik kegirangan. Wanita itu menggenggam kedua tangan Faith dengan antusiasme dan tidak berhenti bicara. Semua rencana Hope tentang makanan dan barang belanjaan sudah terstruktur, Faith tersenyum mendengarnya meski begitu pikirannya berkecamuk tentang segala kemungkinan.
***
Ian memarkirkan cadillac di halaman depan sebuah bangunan tua dengan warna dinding putih yang disewanya untuk Hope. Ian tidak berharap wanita itu mengetuk pintu rumahnya dan mengeluh soal kekurangan persediaan, itulah mengapa Ian membeli semua yang dibutuhkan Hope. Setidaknya usaha itu akan mencegah Hope datang dan mengganggu ketenangan Faith.
Turun, Ian membuka bagasi mobil dan mengambil beberapa plastik belanjaan disana. Ia menaiki tangga di teras sebelum mengetuk pintu depan. Ian baru menyentuh bagian kenop ketika dengan perlahan pintu terbuka baginya begitu saja. Hope tidak mengunci pintu rumahnya dan fakta itu mengusik Ian. Menyeruak masuk, Ian menyerukan nama Hope sembari meletakkan plastik belanjaan pada sofa di ruang depan. Ketika tidak ada sahutan, prasangka Ian semakin menjadi-jadi.
Ia beregas untuk memeriksa kamar pribadi Hope dan semakin panik ketika tidak menemukan wanita itu disana. Terakhir, Ian berlari menuju konter dan terperanjat ketika melihat porselen yang jatuh telungkup, kue tar dan kismis yang berserakan di lantai. Bau bir menyeruak ke dalam indra penciumannya dan tak jauh disana, sebuah botol bil tetgeletak kosong satu botol yang lain jatuh di sudut lantai. Tepat di samping botol bir itu terdapat sebuah asbak dan bekas putung rokok. Dua ekor serangga berkeliaran di meja makan dan ingatan sekilas melintas dalam benak Ian.
Hope tidak begitu menyukai serangga.
"Sialan!" Ian mengumpat, berbalik dan keluar dari bangunan itu. Ia membawa cadillac-nya dan dalam hitungan menit tiba di halaman rumah.
Ian tidak mengetuk pintu dan dengan tergesa-gesa menyeruak masuk. "Faith!" Ian menyerukan nama Faith dan begitu tidak ada jawaban, ia beranjak menuju konter. Tepat seperti yang dibayangkannya, Hope sedang duduk di kursi, berhadap-hadapan dengan Faith sementara sepiring penuh persediaan buahnya tergeletak di atas meja. Kedua wanita itu menatapnya dan Hope yang pertama kali berdiri untuk menyambut. Hope tidak kelihatan seperti apa yang diharapkan, bukannya resah, wanita itu justru tersenyum penuh antusiasme.
"Aku sudah menunggumu lama sekali. Sejak sepuluh menit yang lalu," Hope beranjak mendekat pada Ian. "Coba tebak apa kabar baik yang kupunya? Sepertinya malam ini akan diisi oleh festival dan jajanan yang menyenangkan. Sebaiknya kau bersiap. Mungkin tiga puluh menit lagi kita bisa pergi kesana."
Ian tidak mengacuhkan Hope dan menatap Faith ketika wanita itu bangkit dari kursinya.
"Permisi ma’am, sepertinya kita harus bicara," kata Ian pada Hope dan wanita itu hanya mengerutkan dahinya.
Hope menepis tangan Ian yang berusaha menariknya keluar. "Demi Tuhan, kalau kau meminta aku kembali ke rumah penuh serangga itu, aku akan membunuhmu!"
"Sebaiknya kita bicarakan ulang," tawar Ian dan Hope menggeleng keras.
"Aku tidak akan kembali kesana! Kau pikir siapa yang bersedia tinggal bersama serangga-serangga itu? Aku akan tinggal disini." Ian menerutkan hidungnya sambil mendengus namun Hope tersenyum penuh kagum. "Rumah ini menyenangkan, yah.. Walau tidak ada bir. Setidaknya ini lebih baik dari serangga."
"Tidak bisa begitu."
Tanggapan Ian lantas mendapat tatapan mengintimidasi yanh dilayangkan Hope. Di sela itu Faith mendekat dan berusaha menengahi.
"Kalau begitu beri aku lima ratus dollar dan tiket untuk kembali."
"Hei!"
"Tidak apa-apa," sela Faith kemudian. Ucapannya sontak mendapat perhatian penuh dari Ian dan Hope. Emosi mereka kontras. Hope tampak senang dengan persetujuan itu sementara Ian sebaliknya. Kemudian Faith mempertegas ucapannya, "kau masih punya satu kamar kosong, kan?" pertanyaan kali ini diajukan pada Ian yang segera mengangguk, namun tidak juga berhenti berusaha untuk menyanggah.
"Dia punya rumah yang menyenangkan."
"Dan kau membiarkan aku kembali dengan serangga berada di atas makan siangku?" Kedua mata Hope menyipit ketika mengatakannya.
"Aku akan memanggil petugas kebersihan," kilah Ian.
"Itu membutuhkan waktu, kan? Sementara itu biarkan aku tinggal disini."
Ian baru akan menyanggah lagi ketika Faith bicara, "tidak apa-apa Ian. Lagipula, aku butuh teman mengobrol."
"Tidak bisa," bantah Ian. "Ini rumahku. Disini peraturanku yang berlaku."
Faith maju selangkah. "Kalau begitu biarkan aku tinggal bersama Monica. Aku yang akan membereskan kekacauannya."
Hope tersenyum dan Ian mengunci mulutnya rapat-rapat, merasa kesal dengan kehendaknya sendiri. Tepat ketika Ian merasa otaknya akan meledak akibat ulah dua wanita keras kepala di hadapannya, Ian segera mengambil keputusan. Suaranya dingin dan tak terdengar bersahabat. Seolah kata-kata yang diucapkannya dihanturkan dengan paksaan. "Kau boleh tinggal disini." Hope memekik kegirangan dan Ian segera mengklarifikasi maksudnya. "Sampai petugas kebersihan menyelesaikan kekacauan di rumah itu. Selebihnya, aku tidak bisa menahanmu lebih lama disini."
"Itu saja sudah cukup," ujar Hope. Ian berbalik dan berniat untuk meninggalkan mereka sebelum Hope menyuarakan pertanyaan yang tak diharapkannya lagi. "Bagaimana dengan festivalnya? Faith sudah menyetujuinya."
Ian berbalik hanya untuk menatap Faith. Dahinya berkerut heran. "Kau bilang begitu?"
Faith mengangguk pelan dan Ian menarik nafas untuk mengendalikan emosinya. Tentu saja, semua itu tidak akan terjadi tanpa sedikit paksaan Hope.
"Aku akan bersiap-siap," kata Ian sebelum beranjak pergi menuju ruang pribadinya.