12

3882 Words
"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi," kata Kylee pada Hudson, suaminya. "Aku akan menghubungi Faith." Juan duduk di atas kursi roda, menyeruput secangkir teh sembari memerhatikan Kylee dari atas cangkir. Wanita paruh baya itu tampak gelisah dan tidak sabaran ketika mengangkat gagang telepon dan menekan nomor Faith. Kylee baru akan mendengar nada sambung pertama sebelum Juan menghentikannya. "Bagaimana kau bisa begitu yakin kalau kau tidak akan mengganggu malam mereka?" Kylee mengerling ke arah Juan, meletakkan kembali gagang teleponnya dan menghela nafas. "Aku sudah menunggu berhari-hari untuk ini." Meletakkan cangkir tehnya, Juan meraih surat kabar yang tergeletak di atas meja, mulai mencari artikel yang menarik. Meski begitu, ia tidak kehilangan fokus terhadap istrinya. "Faith akan menghubungimu begitu dia siap." "Bagaimana aku bisa tahu kapan dia siap?" "Kau hanya perlu menunggu," jawab Juan, enteng sembari membalik halaman surat kabar dan mulai menyimak satu artikel ekonomi. "Berapa lama lagi?" "Menurutmu berapa lama Faith sanggup bertahan untuk tidak lagi menjadi putri kecilmu?" Kylee berdecak, merasa kesal dengan jawaban Juan. "Dia tetap jadi putriku." "Sekarang dia juga sudah menjadi seorang istri." Merengut kesal, Kylee memukul meja marmer hingga menimbulkan bunyi bedebum. Tindakan itu lantas mendapat perhatian Juan sepenuhnya. Ketika Kylee menatapnya sinis, Juan melembut, senyumnya terpancar dan setiap kata yang terucap dihanturkan dengan lembut. "Sayang, Faith akan selalu jadi putri kita. Aku berani bersumpah untuk itu, tapi kau juga harus mengerti bahwa dia baru saja menikah dan dia butuh waktu untuk beradaptasi dalam pernikahannya. Jangan menariknya kembali, biarkan dia mendapat ketenangan untuk beberapa hari lagi." "Benar," Kylee menghela nafas. "Menurutmu Faith akan menyukai Ian?" "Faith akan menyukai Ian," ulang Juan dengan yakin. "Apa yang dia lakukan disana?" "Berbulan madu." "Bukan itu. Maksudku, Faith mudah sekali bosan. Apa yang dia lakukan untuk mengisi waktu luang?" Juan diam sebentar. "Dia akan menceritakannya." Kylee tersenyum lebar, "benar. Untuk itu aku harus mendengar ceritanya, kan?" Dengan ragu Juan mengangguk. "Kita akan mendengarnya." "Terima kasih. Aku yang pertama," ujar Kylee sembari mengangkat gagang telepon dan mulai menekan nomor sambungan. Tindakannya membuat Juan mengerling jengkel sembari menghela nafas sebelum memusatkan perhatiannya kembali pada artikel di surat kabar. Nada sambungan terputus dan Kylee berdecak kesal. Ia mencoba untuk kali kedua dan hasilnya sama. Serangan rasa khawatir melandanya. Ia mengangkat wajah dan meminta perhatian Juan. "Dia tidak mengangkat teleponnya." "Mungkin dia sedang mengisi waktu luangnya," timpal Juan sambil membaca artikel, sesekali tersenyum ketika mendengar desahan panjang istrinya. "Demi Tuhan, katakan sesuatu!" pinta Kylee, nada suaranya meninggi beberapa oktaf. "Ah ya, artikel ini menarik. Anggaran pendapatan negara akan dipergunakan untuk pembangunan. Ada sejumlah jalan yang akan direnovasi dan.." "Bukan itu!" sela Kylee. Seruannya sontak membuat Juan membisu. "Katakan tentang bagaimana aku bisa bicara pada Faith." "Coba hubungi Ian!" Kylee membeliak kemudian dengan cepat menekan nomor ponsel Ian dan dalam nada sambung ketiga, panggilannya terjawab. *** Ian duduk di kursi kemudi sembari mendengar ocehan Hope yang duduk di kursi belakang, sesekali menatap Faith di sebelahnya, tersenyum, kemudian mengerling pada spion dalam mobil dan memberi isyarat melalui kontak mata pada Hope agar wanita itu menghentikan ocehannya yang tak bekesudahan. Kecuali jika Ian mengambil risiko membiarkan Hope secara perlahan mengupas sandiwaranya di hadapan Faith. Wanita itu bahkan menyebutnya dengan panggilan 'Kit' berulangkali dan Ian hanya sanggup menghela nafas frustasi, tapi Faith tidak kelihatan terusik. "Aku sudah mrnghadiri festival itu tiga kali!" ujar Hope, tampak semakin antusias dengan setiap perkataan yang didukung oleh riasan wajahnya yang mencolok. "Apa yang kau lakukan disana?" tanya Faith kemudian. "Biasanya aku akan mulai berbelanja, setelah itu aku akan menyaksikan festival kembang api." "Kembang api?" "Ya. Suasana sangat meriah." "Apa lagi yang bisa kutemukan disana?" "Ada pelayaran di pantai perbatasan. Festivalnya digelar tidak jauh dari pantai perbatasan. Disana orang-orang rela membayar sepuluh dollar untuk sekali pelayaran. Ketika kau berlayar, kau akan menyaksikan gemerlap kota dari kejauhan. Semua cahaya akan terlihat seperti sekumpulan bintang kecil di langit gelap." "Kedengarannya menarik." "Kau harus mencoba!" ujar Hope sambil menyeringai. Suara ponsel Ian menyita perhatian Faith, sentara Hope disibukkan oleh pemandangan di balik jendela mobil. Pusat kota tampak sangat ramai di bawah langit gelap. Orang-orang berlalu lalang dan cahaya terang dari beberapa ruko yang berjejer di pinggir jalan, menyita perhatian Hope. Hampir semua ruko dipadati oleh pengunjung, terutama kedai-kedai yang menyediakan menu spesial dan kopi hangat. Sambil mengendalikan kemudi, Ian melihat nomor yang tak dikenali terpampang di layar ponselnya. Ia tidak menunggu untuk menekan tombol terima dan bicara pada nada sambung ketiga. Suara yang familier masuk di seberang. "Ian, apa itu kau?" Rasanya Ian hampir mengenali sebuah aksen yang sama. Ia melirik Faith dan segera tahu bahwa yang menghubunginya tidak lain adalah Kylee. "Ini aku, Ma'am" sahut Ian kemudian. Matanya bertemu pandang dengan Faith melalui spion dalam mobil. Ian memberi isyarat pada wanita itu dengan menggerakkan bibirnya dan memberi tahu Faith bahwa yang menghubunginya adalah Kylee. Perhatian Faitg tersita sepenuhnya. Faith menatap Ian dan membisikan kalimat 'biarkan aku bicara padanya!' secara perlahan. Ian mengangguk paham. "Jika aku tidak salah, kau tentu ingin bicara dengan putrimu, Ma'am?" "Ya," suara Kylee penuh antusiasme. "Apa dia ada bersamamu sekarang?" "Tepat di sampingku." Ian menyerahkan ponselnya pada Faith dan membiarkan wanita itu bicara di telepon. "Mom.." "Oh, Faith.. putriku!" Hati Kylee mencelos setelah mendengar suara Faith. Tidak ada yang berubah dari putrinya. Fakta itu membuatnya tersenyum lebar. "Katakan sesuatu Faith!" Faith tersenyum. "Aku menyayangimu, Mommy." "Aku juga mencintaimu, Nak. Aku tidak bisa berhenti merindukanmu." "Aku juga begitu." "Kau tidak menghubungiku?" "Aku menunggu waktu yang tepat." "Mengapa?" Karena dia sedang berbulan madu, sayang.. Terdengar suara dari aksen kental yang familier dan Faith segera menyadari bahwa ayahnya ada disana. "Oh, apa Daddy baru saja bicara?" "Ya, dia ada disini." "Biarkan aku bicara padanya, Mom!" Beberapa detik kemudian suara Juan masuk di seberang. "Hai, Nak!" Faith menutup sebagian wajahnya. Merasa jiwanya tentram setelah mendengar suara yang selalu ia rindukan itu dan airmatanya mulai merebak. "Dad.." "Katakan semuanya baik-baik saja disana.." pinta Juan. Meski Faith tidak bisa menjanjikan demikian, ia tetap menyetujuinya. Membuat orang tuanya kecewa adalah hal terakhir yang ingin Faith lakukan. "Semuanya tampak sempurna disini." "Itu bagus. Biarkan aku bicara pada Ian!" "Aku masih ingin bicara denganmu." "Aku tidak berharap kau bicara dengan suara seperti itu di hadapanku," kata Juan dan Faith tertawa kecil setelah menyadari suaranya yang sesunggukan. "Tenangkan dirimu dan biarkan aku bicara padanya." "Apa kau tidak merindukan aku?" "Mungkin sedikit. Tapi tidak sebesar apa yang dirasakan ibumu." "Jangan berbohong, Dad!" "Aku bicara sejujur-jujurnya. Dimana Ian?" Faith berdecak, "kau tahu aku membencimu," kemudian ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Ian dan membiarkan Ian bicara pada Juan. Ketika Faith memerhatikan, Ian tidak banyak bicara, hanya mengangguk sesekali dan mendengarkan Juan. Beberapa kata yang sanggup ia dengar hanya 'aku berjanji' dan 'semuanya akan baik-baik saja'. Sebelum Ian memutus sambungan telepon dan tersenyum pada Faith. Hope kemudian kembali bergabung dalam perbincangan singkat sebelum mereka tiba di tempat tujuan. Festival tampak ramai dan dipadati oleh ratusan pengunjung serta stand-stand jajanan yang didirikan begitu mereka tiba di depan pintu masuk. Hope yang pertama turun dari dalam mobil kemudian disusul oleh Ian dan Faith. Mereka beriringan masuk dan bergabung dalam keramaian festival. Tersenyum, Faith mengikuti kemana Hope melangkah, sementara Ian mengekor di belakang. Ian menarik Faith begitu lelaki itu menemukan sebuah stand yang menjual berbagai boneka rajutan. Faith mengikuti kemana arah tatapan Ian sementara lelaki itu bicara, "biarkan dia sendiri. Dia akan segera kembali begitu merasa puas." Faith segera memahami bahwa yang dimaksudkan Ian adalah Hope. Ia tersenyum ketika Ian meraih sebuah boneka dan menawarkan padanya, "keliahatan menarik untukmu." Faith mengangkat salah satu alisnya, meraih boneka itu dan mulai menimbang. Senyumnya mengambang ketika ia mengembalikan boneka itu ke tempat semula. "Aku tidak begitu menyukai boneka." Ian tidak menyerah, ia menarik Faith menjumpai stand aksesoris dan mulai meraih sebuah kalung dengan batu rubi. Ian mengangkatnya di depan wajah Faith sembari menawarkan, "bagaimana dengan yang ini?" Faith menggeleng, berusaha untuk menahan senyumnya. "Terlalu berlebihan. Aku tidak begitu menyukai barang yang mencolok." Menghela nafas, Ian mengembalikan kalung itu ke tempat semula. Mengajak Faith untuk mengunjungi stand pakaian wanita. Ian mencari sementara Faith menunggu di sampingnya, sampai lelaki itu menemukan sebuah piyama berwarna hitam transparan yang tak berlengan kemudian menunjukkannya pada Faith. "Kelihatan cocok untukmu." Faith mengangkat kedua bahunya sambil lalu. "Kelihatan seperti pakaian yang dirancang khusus untuk iblis wanita." Ian merengut, dengan cepat mengembalikan piyama ke tempat semua kemudian menarik Faith ke sebuah konter yang menyediakan sebotol bir. Ian mengejutkan Faith saat ia meletakkan sejumlah uang di meja kasir untuk mendapatkan dua botol bir. Begitu mendapat apa yang diinginkannya Ian segera pergi, mencari tempat yang menyenangkan untuk disinggahi. Namun, Faith tampak terperanjat ketika mengikuti di belakangnya. "Apa yang kau lakukan?" "Aku akan minum alkohol ini sampai habis," ujar Ian, enteng. Kakinya tidak berhenti berjalan dan langkahnya yang panjang membuat Faith kesulitan mengimbangi lelaki itu. "Kau bilang kau tidak minum alkohol." Tersenyum, Ian bicara, "aku membuat pengecuan malam ini." "Kenapa?" Pertanyaan itu lantas mendapat perhatian Ian sepenuhnya karena ia segera menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap Faith di belakang. Ian menatap mata Faith, tersenyum ketika melihat bagaimana wanita itu bereaksi atas sikapnya yang tidak biasa dan selama sesaat Ian merasakan kepuasan kecil. "Karena aku ingin melupakan semuanya untuk sekejap sebelum aku bersiap untuk mengingatnya kembali. Kupikir begitu cara kerja alkohol ini. Seseorang yang mengatakannya padaku dan aku ingin mencoba. Tidak ada yang salah dengan itu." Ian menadapati Faith kehilangan seribu bahasa, tersenyum puas sebelum memutuskan untuk melanjutkan langkahnya yang terhenti. Setelah beberapa detik, Faith baru menyusul. "Kau pasti gila." "Sebaiknya kau bergabung. Aku tidak yakin sanggup menghabiskannya sendirian. Ada dek di dekat sini. Kita akan berlayar diperbatasan pantai, jauh dari yang dikatakan Monica, perbatasan menjadi satu-satunya tempat yang jarang pengunjung, orang-orang berlayar di pantai utama. Setidaknya suasananya lebih tenang disana." Faith tidak bicara sampai lelaki itu membawanya ke atas dok sebelum singgah di kapal rakitan pertama. Kapal itu tidak terlalu besar, namun juga bukan rakit biasa. Kapalnya digerakkan oleh mesin bertenaga bahan bakar, jadi Ian harus memastikan bahan bakarnya penuh sebelum mulai berlayar. Langit tampak gelap dan ribuan bintang menghiasinya. Faith sedang mengamati bentuk keindahan dan pemandangan lautan yang terpampang jelas ketika Ian bergabung dengan dua botol birnya. Ian membuka penutup dari salah satu botol. Tindakannya lantas mendapat perhatian penuh dari Faith. "Kau tidak benar-benar ingin meminumnya, kan?" tanya Faith kemudian. Ian mengerutkan dahinya dan mengangkat kedua bahu dengan tidak acuh. "Aku ingin tahu seperti apa rasanya terbakar dengan alkohol ini." Kemudian Ian mengangkat botolnya, bersiap untuk meneguk cairan alkohol sebelum Faith merebutnya dengan cepat. Menatap wanita itu, Ian sanggup memahami sekelibat rasa yang dialami Faith. Benci, kecewa, menyesal, bimbang. Berbicara tidak akan banyak membantu, jadi Ian memutuskan untuk membiarkannya. "Kau boleh memiliki yang satu itu. Aku akan minum satu yang lain." Jauh sebelum Ian meraih botol bir kedua, Faith sudah merengutnya kembali. Faith melempar satu botol tang terbuka ke laut bebas sebelum Ian sempat mencegahnya, sementara itu ia menahan satu botol lain dengan mendekapnya erat di depan d**a. Faith melayangkan pelototan sengit pada Ian dan mengatakan, "alkohol tidak cocok untuk tubuhmu." "Porsi gula berlebih juga tidak baik untuk kesehatan," kilah Ian, sengaja menggoda Faith sembari perlahan meraih kembali botol birnya. "Tidak ada yang berbeda dengan itu." Faith dengan cepat menyanggah. "Itu jelas berbeda!" "Aku meragukannya. Kau memakan semua gula-gula itu hanya agar membuat dirimu merasa senang dan begitu juga aku. Malam ini, aku akan membuat diriku senang." "Apa yang kau pikirkan? Sialan!" Ian mendekat, menangkupkan kedua tangannya di atas tangan Faith dan membuat wanita itu membatu. Dalam prosesnya, Ian menarik botol bir dan kekuatan Faith tidak mampu menyandingi kekuatannya untuk merebut botol itu kembali, membuka penutupnya kemudian mendekatkan tepian botol dengan mulutnya. Faith menatap Ian, merasa tidak sanggup untuk mengerahkan tangannya dan merebut botol itu lagi. Faith hanya merasa tidak sanggup menyentuh Ian lebih lama dan membuat dirinya tersiksa oleh pengingat akan apa yang terjadi siang tadi. Tepat ketika ujung botol itu sampai di mulut Ian, Faith menghentikannya. "Sialan! Aku minta maaf. Dasar berengsek! Apa yang kau mau?!" Reaksi Faith jauh membuat Ian tertarik. Ia menjauhkan botol itu hanya untuk menatap Faith lebih baik dan memahami emosi yang melintas dalam mimik wajah Faith. Wanita itu tidak kelihatan senang dengan apa yang baru saja dikatakan. Ian baru memahami maksud dari ungkapan Faith ketika wanita itu menjelaskan sehingga semuanya terdengar lebih konkrit. "Aku yang bersalah. Apa kau puas?!" Ian tidak bicara, tidak mengunjukan emosi apapun dan Faith menganggap itu sebagai tanda kekalahan. Sambil berusaha menelan liurnya, Faith bicara, "aku memang salah. Seharusnya aku tidak menciummu. Tapi siang itu, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku tahu kau marah padaku karena aku membuat semuanya kelihatan seolah kau yang bersalah. Aku akui aku yang memulai dan sialan, jangan berpikir dengan meminum alkohol itu semuanya akan jadi lebih baik!" Pemahaman membuat Ian mengulas senyumnya. Reaksi itu membuat Faith berdecak kesal. "Sial, apa yang ku katakan?!" Faith menyumpah, merasakan pikirannya mulai kalut dan batinnya gelisah. Lelaki itu tidak pernah membuat jantung Faith bekerja dengan lebih baik. "Aku senang kau mau mengakuinya, jujur kukatakan itu adalah pengalaman yang luar biasa untukku," aku Ian secara terang-terangan. "Tapi, sayang, aku sudah memutuskan riset terbaikku demi keakuratan tesis yang sedang kukerjakan. Aku menghargai usahamu, tapi kau juga tidak bisa mencegahku untuk melakukan penelitian." Dan dalam sekejab dunia Faith luluhlantah di bawah kakinya. Badannya kaku dan bibirnya membisu. Otaknya tidak mampu memproses dengan cepat, bahkan ketika Ian mengangkat kembali botol birnya dan meneguk cairan itu dengan cepat. Berhenti ketika merasakan cairan itu sampai di tenggorokannya dan sensasi terbakar membuat seisi perutnya seakan dibanting keras hingga menyentuh ujung mata kakinya, kemudian naik hingga mencapai ubun-ubun dan menuntut untuk dimuntahkan. "Etanol.." gumam Ian dan Faith mencondongkan tubuhnya untuk memastikan kata apa yang baru saja ia dengar. "Apa katamu?" "Etanol. Bir ini," Ian mengangkat botolnya. "Memiliki kadar etil alkohol sebesar 3-5℅" "Bagaimana kau mengetahuinya?" "Fermentasinya.. Bir ini memiliki kadar yang cukup rendah dibanding minuman beralkohol jenis lainnya. Bagaimana kau bisa menyukainya?" Faith mengangkat bahu dan Ian menatap botolnya sembari bergumam, "kalau kau tahu dampak yang bisa ditimbulkan oleh alkohol, kau mungkin akan menjauhinya." "Aku tidak benar-benar berpikir panjang soal itu." "Kalau begitu kau harus pikirkan ulang. Konsentrasi alkohol yang kita minum beredar dalam darah mampu menimbulkan euphoria ringan dan stimulasi terhadap perilaku lebih aktif seiring meningkatnya konsentrasi alkohol dalam darah. Kemudian efek yang dapat dilihat adalah penurunan kesadaran." "Itu dampaknya?" Ian mengangguk, menurunkan botolnya dan memperbaiki posisi duduknya, ia mengklarifikasi pertanyaan Faith. "Lebih tepatnya dampak dalam jangka pendek." "Bagaimana untuk jangka panjangnya?" Tidak butuh waktu lama bagi Ian untuk menjawab, "terserang berbagai penyakit seperti kerusakan pada jantung, tekanan darah tinggi, stroke, kerusakan hati, kanker saluran pencernaan, gangguan pencernaan, impotensi, risiko kanker p******a, kesulitan tidur, kerusakan otak dengan perubahan kepribadikan, serta sulit dalam mengingat dan berkonsentrasi. Efek samping terlalu banyak minuman beralkohol juga mampu menumpulkan sistem kekebalan tubuh. Alkoholik kronis membuat tubuh menjadi jauh lebih rentan terhadap virus termasuk HIV." Faith membeku di tempatnya, merasa sulit bahkan untuk mengendipkan mata. Ia baru sanggup bicara setelah Ian menegurnya. "Apa kau baik-baik saja?" "Aku yakin begitu," Faith menepis beberapa helai rambut di depan wajahnya. "Apa kau melakukan penelitian khusus untuk itu?" "Tidak secara khusus. Hanya saja kebanyakan dari pasienku mengalami keluhan yang demikian itu karena terlalu sering mengonsumsi alkohol. Kebanyakan dari mereka mengalami gangguan mental organik, yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan dan berperilaku. Gangguan mental organik ini biasa disebabkan reaksi langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktif alkohol itu, orang yang menimumnya lama kelamaan tanpa sadar akan menambah takaran atau dosis sampai keracunan dan mabuk. Mereka yang sudah ketagihan biasanya mengalami gejala yang disebut sindrom putus alkohol, atau sebut saja rasa takut berhenti minum alkohol." Kesenyapan terjadi sejenak, Ian segera mengisi kekosongan itu dengan melanjutkan, "seseorang yang sudah biasa meminum minuman beralkohol terutama dengan takaran yang melebihi batas, secara bertahap kadar lemak di dalam hatinya akan meningkat. Akibatnya, hati harus bekerja lebih dari yang semestinya untuk mengatasi kelebihan lemak yang tidak larut dalam darah. Dampak lebih lanjut dari timbunan lemak di dalam hati itu mampu memakan hati sehingga selnya akan mati. Kalau tidak cepat diobati akan terjadi sirosis yang menyebabkan fungsi hati berkurang dan menghalangi aliran darah ke dalam hati." Faith mengangguk, pemahaman melintas dalam benaknya. "Aku mengerti." "Bukan kesalahanmu jika kau menyukai cairan ini. Kuakui ini memiliki zat yang memabukkan dan dalam satu kasus mampu membuat orang ketagihan. Kau hanya perlu berpikir jernih sebelumnya. Ini hanya masalah ekspektasi alkohol." Dahi Faith berkerut. "Ekspektasi alkohol?" "Ya. Apa yang orang harapkan saat mereka meminum cairan ini. Hal kecil yang menurutku butuh perhatian besar." "Menururmu apa yang kuharapkan ketika meminumnya?" Ian menimbang sejenak, "kau mungkin berharap mampu meneguk satu botol lagi." "Mungkin kau benar. Kenapa aku tidak bergabung," Faith merebut botol itu dari Ian, meneguk cairan yang sama dan meringis sewaktu sensasi yang familier membakar tenggorokannya. Kemudian ia bergumam, "meminumnya tidak pernah jadi sesakit ini sebelumnya." Ian tersenyum, meraih kembali botol bir dan melemparnya jauh ke dalam laut. "Itu karena kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat meminumnya sekarang." Suara sorakan para pengunjung di pantai utama sejenak mengalihkan perhatian mereka. Faith berbalik, menatap ke arah langit dan terkagum ketika sebuah cahaya api kecil melintas cepat di atas langit kemudian di satu titik pecah hingga membentuk serbuk cahaya yang indah. "Kurasa pesta petasan sudah dimulai." Ian mengikuti arah pandangan Faith sembari memerhatikan wanita itu dari samping. "Perayaan ini hanya diadakan satu kali dalam sebulan. Biasanya orang-orang rela melepaskan kepenatan selama tiga pekan bekerja dengan menyaksikan keindahan di langit Memphis." Serbuk cahaya yang lain menyusul dan dalam sekejab, langit sudah dipenuhi oleh suara gemuruh dari letusan petasan. Dalam beberapa menit Faith hanya diam memerhatikan, ketika suara gemuruh di langit mulai mereda ia baru menatap Ian. "Ian K. Landon. Apa 'Kit' untuk 'K'? Kau tidak pernah mengatakannya. Bahkan nama itu tidak disebutkan dalam pernikahan kita?" Hope memang sialan. Ian mendengus dalam prosesnya. Membuang tatapan dari Faith serta berusaha menjabarkan fakta yang ada. "Itu nama kecilku. Saat aku masih jadi bocah ingusan yang bekerja paruh waktu untuk membantu perawatan kuda para pemain rodeo." Pernyataan itu berhasil menarik perhatian Faith, jadi ia tertarik untuk mendengar lebih. "Aku tidak pernah tau kau pernah bekerja merawat kuda." "Aku baru meninggalkan Memphis kala itu. Aku sampai ke Texas untuk mencari kehidupan baru, dengan nama dan pekerjaan yang baru. Hidup disana tidak mudah, aku harus mencari pekerjaan yang mampu membuat aku bertahan walau dengan sebutir kue kering dan sebotol air mineral. Ketika seseorang menawarkan bantuan agar aku dapat bekerja, maka aku menerimanya. Aku berpikir bahwa itu akan menjadi langkah awal dalam kehidupan baruku." "Kau pernah bilang Grandpa dan Grandma-mu tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Memphis, apa karena itu kau pergi ke Texas?" "Ya, itu salah satunya." Ian tidak berharap Faith mengajukam lebih banyak pertanyaan, namun wanita itu tidak bisa menghentikam rasa ingin tahunya. "Kenapa kau tidak tinggal bersama Luke dan Joseph di New York?" Tamatlah riwayatnya. Cepat atau lambat Faith akan mengetahui faktanya. "Aku belum bertemu mereka kala itu." Faith semakin tidak mengerti. Kedua matanya menyipit dan alisnya membentuk satu garis berliku. "Aku benar-benar tidak mengerti." "Mungkin kau harus tahu satu rahasia Landon lainnya." "Kau punya rahasia?" "Semua orang punya rahasia." "Apa maksudmu?" "Kau pasti mengerti, Faith. Ini bukan hal yang diketahui secara umum, tapi aku juga tidak bisa menutupi faktanya darimu. Saat aku masih balita, ibu dan ayahku berpisah. Atau begitulah yang dikatakan Grandma. Mereka pergi dan tidak pernah kembali untuk putra kecilnya. Aku bahkan tidak mengenali mereka. Ayahku pemabuk dan ibuku, seperti yang dikatakan Grandma, dia bersifat traumatis. Semacam gangguan kejiwaan yang sudah dialaminya sejak kecil. Saat dia merasa berada dalam satu lingkungan yang membuatnya tidak nyaman, maka dia akan berusaha pergi. Entah kemanapun, yang pasti dia akan menemukan kehidupan yang baru dan melupakan kehidupan lamanya." Ian memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk menatap Faith, khawatir jika ia melihat apa yang ditakutinya. Nyatanya ia hanya menatap mata kosong yang penuh perhatian. "Grandma yang merawatku sejauh itu. Terkadang pamanku datang dan tinggal bersama kami. Kehadirannya selalu membuat aku merasa bahwa aku masih memiliki seorang ayah. Tapi semua berakhir ketika Grandpa tewas dalam penembakan dan setelahnya Grandma. Pamanku mengatakan padaku bahwa dia ingin pergi ke Texas dan akan kembali pada sore hari, tapi menjelang malam, dia tidak pernah kembali. Sepekan setelahnya kuputuskan untuk pergi ke Texas. Aku terus mencari kabar tentang dimana pamanku berada. Begitu tahu bahwa dia sudah benar-benar pergi meninggalkan aku, aku berpikir bahwa itu adalah awal dari kehidupanku yang baru. Aku menerima pekerjaan apapun yang datang padaku dan berusaha mencukupi kebutuhanku dengan hasil yang ku dapat. Tapi kemudian Landon datang dan mengadopsiku. Mereka membawa aku ke istananya dan segera memperlakukan aku sebagai seorang anak. Luke dan Joseph menyambutku dengan tangan terbuka dan saat itu aku tahu bahwa aku sudah memiliki keluarga baru, dengan nama dan status baruku." Faith tidak bergumam dan Ian tersenyum masam. "Kau pasti menyesal karena menikahiku. "Kenapa aku harus menyesal?" "Aku bukan keturunan Landon yang asli. Tidak ada darah Landon dalam tubuhku dan aku hanya meminjam namanya untuk menutupi identitas asliku." "Aku tidak menikah dengan Landon," kata Faith, enteng. "Aku tidak pernah berpikir bahwa tujuan awalku adalah menikahi seorang Landon. Yang kunikahi adalah Ian, Kit, atau siapapun dia." "Bukan Kit, tapi Kite." Faith tergelak di tempatnya. "Kite?" "Aneh, ya?" "Bagaimana kau bisa memilih nama itu?" "Aku hanya berharap aku dapat memulai kehidupan baruku sebagai orang dengan humor tinggi." "Selera humormu aneh." "Kau jadi orang ketiga setelah Luke dan Joseph yang mengatakannya," gerutu Ian. "Yah.. Kite terdengar konyol untukmu. Bagaimana Monica bisa menyebutmu begitu?" "Luke memang sialan. Ketika dia marah, dia akan mengejekku dengan nama itu dan sepertinya Monica sudah tahu. Dia terbiasa dengan panggilan itu." Faith baru akan mengajukan pertanyaan lain ketika mendengar suara bot yang menginjak dok dan kapal mulai goyah begitu Hope bergabung. Wanita itu datang dengan tiga tas belanjaan serta perhiasan baru di seputar tangan dan lehernya. "Disini kau rupanya," gumam Hope sembari mengambil posisi duduk di dekat Ian. Ia memamerkan sebuah cincin di jarinya dan tersenyum. "Bagaimana menurutmu?" "Bagus," Ian mendengus. "Buruk! Kelihatan buruk untukmu. Kapan kau bisa berhenti mengenakan semua batu-batu berkilau itu?" Tatapan Hope menjarah Ian, matanya tampak mengintimidasi dan dengan segera ia menjauhkan dirinya dari Ian. "Kau mulai terdengar seperti Jossy." "Jossy?" mata Faith membulat sempurna. Akan terus seperti itu seandainya Ian tidak mengklarifikasi. "Joseph.” Hope mengangkat bahu dengan tidak acuh melambaikan tangan di hadapan Ian dan tertawa bersama Faith. Bunyi petasan kembali mengalihkan segala perhatiannya. Hope menatap ke langit sebelum menyadari air laut yang perlahan masuk ke dalam kapal, menggenang di bawah bot elegan miliknya. Ia mengumpat. "Sialan! Kenapa kalian memilih tempat dan kapal ini? Di pantai utama ada kapal yang jauh lebih baik." "Kau bisa pergi kesana seandainya kau ingin," putus Ian sembari menyandarkan tubuhnya ke tepian kapal. "Aku dan Faith tetap disini," lanjut Ian. Hope mengalihkan pandangannya pada Faith sejenak, mengerutkan dahi dan berdecak ketika keinginannya tidak dipenuhi. "Bagaimana jika Faith ikut bersamaku?" Ian menegakkan tubuhnya, melihat bagaimana Faith bereaksi dan mulai meragukan Hope. "Kau tidak ingin ke pantai utama, kan?" "Jika terpaksa, mungkin aku akan pergi." Bahu Ian merosot. Senyum Hope semakin lebar. "Apa yang kau tunggu, Kit? Kau lebih suka mati konyol karena kapal yang tenggelam, ya?" Hope menarik Faith kembali ke pesisir. Ian menjadi yang terakhir turun dari kapal sebelum membuntuti dua wanita di depannya. Malam menjadi semakin panjang dengan hiburan dan makanan. Ketika Ian merasa tidak sanggup berjalan mengitari area festival lebih lama lagi, ia memutuskan untuk menunggu di dalam mobil sementara Faith dan Hope berkeliaran mencoba berbagai jenis gula yang dijual dalam festival.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD