10

4127 Words
Sambil mengendarai cadillac menembus perbatasan kota Memphis menuju bandara, Ian memeriksa arlojinya sekali lagi. Pukul sepuluh tepat. Waktu yang dimilikinya tinggal sepuluh menit sebelum ia tiba di tempat. Ian sudah meninggalkan pesan di bawah nampan sarapan pagi yang sengaja dibuatnya untuk Faith. Ian berharap Faith membaca isi pesan itu sehingga ia tidak perlu repot-repot untuk menghubunginya lagi. Pagi pukul delapan, melalui pintu belakang rumah, Ian melihat Faith tengah bergelung di atas ranjang. Wanita itu belum membuka kuncinya sehingga Ian harus memutar haluan untuk mendapati Faith tengah tertidur lelap. Gambaran akan wajah Faith yang anggun dan kelopak mata yang menutupi cahaya almond dengan apik itu masih terngiang dalam ingatan. Ian berharap dirinta punya keberanian untuk membangunkan Faith, namun menatap Faith membuat niatnya kembali terurung hingga ia terpaksa memutuskan untuk melahap sarapannya di meja seorang diri dan meninggalkan sebagian yang lain untuk Faith. Malam ketika mereka tiba di rumah usai menghadiri pesta, Ian segera menyusun rencana untuk menghadirkan sosok 'monica' seperti yang disebutkannya. Ide untuk mengundang seorang wanita yang tak pernah ia pikiran memang terasa konyol. Tapi, Ian mengenal seorang teman yang bisa membantu. Seorang teman yang mungkin bisa bersandiwara di hadapan Faith. Sebagai Monica. Segera setelah rencananya terstruktur rapih, Ian segera menghubungi rekannya dan meminta bantuan. Carly Hope adalah temannya semasa remaja. Wanita yang akrab disapa Hope itu pernah sekali berhubungan dengan Luke, hanya sebatas hubungan satu malam. Namun, seperti yang selalu dilakukan Luke, adiknya itu mengandaskan hubungan mereka dan tidak menganggap serius tentang apa yang terjadi di antara mereka. Bukan berarti Hope sama seperti wanita lain yang ditinggalkan Luke. Hope tidak pernah merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Bagi wanita itu, hubungan hanya mampu dijalin dengan cara yang kompleks. Tidak lama setelah menjalin hubungan intim bersama Luke, Hope berusaha mendekati Ian tanpa merasa ketinggalan untuk memikat Joseph disatu waktu yang bersamaan. Namun, sikap Joseph yang dingin dan mengintimidasi membuat Hope tidak bertahan lama memikat lelaki itu, sementara Ian dengan tegas menolaknya sejak awal. Penolakan Ian lantas tidak membuat Hope jera, justru wanita itu menjadi teman akrabnya sekarang. Hope memang tidak pernah mengubah sikapnya. Wanita itu bekerja disebuah kedai kopi sebagai seorang pelayan dan disela pekerjaannya, Hope tidak pernah berhenti berusaha memerankan diri sebagai seorang pelayan. Dalam hidupnya, Hope menjumpai banyak pria, memikat dan menggodanya, kemudian mengambil keuntungan dari mereka. Atas alasan itu, Ian menganggap wajar persetujuan yang dikatakan langsung oleh Hope begitu ia menawarkan sejumlah uang untuk sandiwara konyolnya. Hope tidak akan menolak uang. Wanita itu sangat membutuhkan uang dan Ian menyesal harus melakukan hal tersebut pada karibnya. Meski Hope bukan wanita terhormat yang menjunjung tinggi status sosial, Hope tetap seorang wanita di matanya. Kejam rasanya jika ia meminta Hope untuk berperan sebagai Monica: tokoh p*****r kecil yang menjadi 'teman' ranjang Ian. Tapi Ian tidak sanggup memikirkan keputusan yang lebih baik. Satu-satunya hal yang dapat ia pikirkan hanya bagaimana cara membuat Faith merasa nyaman dalam pernikahan mereka. Tujuh menit kemudian Ian sampai di halaman parkir. Arlojinya mengatakan demikian. Ian segera bergegas, turun dari cadillac dan baru akan berniat menghubungi Hope ketika sensasi mencolok dari gaun berwarna kuning terang dan rambut pirang berwarna ungu kemerah-merahan memenuhi pandangannya. Mata Ian membeliak sempurna ketika yang diyakininya terpampang jelas di hadapannya. Hope berdiri di sana. Wanita itu kelihatan mungil dengan tinggi sekitar seratus enam puluh sentimeter, kulit pucat dan tubuh yang berisi. Hope memakai riasan wajah yang sama mencoloknya dengan pakaian minim serta rambut merahnya. Dengan kalung yang melingkar di leher dan sepatu berhak setinggi tujuh senti, penampilan Hope sudah tidak bisa diragukan lagi. Sambil menyeimbangkan langkahnya ketika menuruni tangga, Hope tersenyum dan melambai kepada Ian, bergegas menghampiri Ian. Begitu sampai di hadapannya, Hope masih perlu berjinjit untuk mencium wajah Ian dan menyeringai lebar. Seringai itu mempertegas bibirnya yang berwarna merah pekat. Hope baru akan mencium sisi wajahnya yang lain ketika Ian cepat-cepat menghindar dan menggukan kedua tangannya untuk menahan wanita itu tetap di tempat. "Jangan berlebihan!" pinta Ian. Nada suaranya memelas. Sekali lagi Hope tersenyum lebar. Senyum Hope, tentu saja akan menarik, terutama karena lesun pipinya, jika saja Hope tidak membuat wajahnya terlihat seperti pemain sirkus. Tapi Ian mengenal karibnya itu. Hope tidak pernah berhenti memakai pakaian dan riasan yang mencolok. Persis seperti wanita yang diinginkan Luke. Bahkan, wanita itu melakukannya tanpa merasa terusik oleh beberapa tatapan orang yang tertuju pada cara berpakiannya. "Lama tidak menjumpaimu membuat aku semakin merindukanmu, Kit." Hanya Hope yang memanggil Ian dengan nama itu dan betapa benci Ian karenanya. Nama itu selalu menjadi pengingat buruk bagi Ian. Tapi Ian tahu dengan sangat pasti bahwa, ia tidak akan mampu menghentikan Hope. "Berita pernikahanmu membuat aku hampir kena serangan jantung. Ku pikir aku bisa mendapatkanmu, tapi kau menutup kesempatan itu." "Sayangnya begitu." "Tapi Joseph dan Luke belum menikah, jadi kupikir aku masih memiliki peluang yang sama." "Aku khawatir hal itu akan mengecewakanmu." Hope tertawa. Bola matanya yang besar menyipit dan alisnya yang tajam melengkapi reaksi Hope atas pernyataan Ian barusan. "Terserah apa katamu, Darling. Sekarang apa yang bisa ku bantu?" Ian menanggapinya dengan membukakan pintu mobilnya dan mempersilakan Hope duduk di atas kursi penumpang sembari berkata, "masuklah. Akan aku jelaskan." Dalam perjalanan kembali, Ian sudah menjelaskan semuanya dan Hope kelihatan mengangguk paham meski wanita itu tidak pernah menjauhkan wajahnya dari kaca dan alat rias selagi Ian bicara. Perjalanan kembali terasa lebih singkat. Sebelum menyebrangi perbatasan menuju daerah terpencil di Memphis, di mana rumahnya berada, Ian menghentikan cadillac di halaman parkir sebuah wall-mart, mengajak Hope turun kemdian memasuki gedung perbelanjaan itu. "Ambil semua yang kau butuhkan," kata Ian sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kartu belanja. Ian menyerahkan kartu tersebut pada Hope. "Gunakan ini untuk membayar tagihannya. Aku akan menunggu disini selagi kau berbelanja. Ingat! Waktumu tidak lebih dari dua jam." Hope menyeringai, menerima kartu itu sambil mengecup wajah Ian. Ian dibuat meringis karenanya. "Berhenti melakukan itu!" "Itu untuk ucapan terima kasihku." Ian menggeram. "Pergi dan carilah yang kau butuhkan!" "Aku lebih suka kau ikut bersamaku." "Carly..." "Ya, ya. Aku akan pergi sendiri." Kemudian Hope beranjak pergi meninggalkan Ian di tempat. Wanita itu melenggangkan pinggulnya ketika berjalan dan bokongnya yang penuh menarik banyak perhatian lelaki yang berlalu lalang. Ian terus berharap bahwa keputusannya tepat. Dan semoga saja wanita itu tidak mengacau. Entah bagaimana reaksi Faith nanti, semoga saja Tuhan melindunginya. *** Setelah berendam di dalam air sabun, Faith merasa lebih segar. Itulah yang dibutuhkannya: memberisihkan diri. Faith kemudian memilin pakaian yang sesuai. Ia sudah berencana untuk berkebun, jadi ia hanya mengenakan setelan kaus biasa dan jeans usang miliknya. Faith merasakan sengatan rasa lapar, jadi ia menunda pekerjaannya untuk beberapa menit dan segera beranjak ke konter. Sampai di anak tangga terakhir, sebuah piring yang terisi oleh roti panggang dengan selai stroberi menyita perhatian Faith. Tersenyum, Faith menghampirinya, melahap roti itu hingga habis kemudian membaca pesan pada secarik kertas yang diletakkan di bawah piringnya. Sejujurnya, Faith hampir tidak sanggup membaca tulisan yang tertera disana, bukan karena indra pengelihatannya bermasalah melainkan karena seorang dokter ahli bedahlah yang menulisnya. Tapi Faith segera menyimpulkan bahwa apapun yang disampaikan Ian dalam tulisannya yang tak terbaca, pasti lelaki itu ingin pamit untuk pergi ke luar, entah kemana. Faith mulai memikirkan beberapa kemungkinan tempat yang Ian kunjungi. Boleh jadi lelaki itu pergi untuk mengikuti pelatihan gym, atau pergi mengunjungi spot olahraga, atau hanya berlari kecil mengitari danau dan rawa. Lima belas menit kemudian, Faith sudah mengenakan semua peralatan berkebun yang ditemuinya di garasi: sarung tangan, sepatu bot yang sudah usang dan masker. Faith menggali tanah yang basah menggunakan sekop. Menaburkan bibit hortikultura yang didapatkannya dari Lucy kemudian mengumpulkan lagi tanah itu hingga menjadi sebuah undakan kecil. Dan seterusnya begitu. Sekurangnya ada tujuh bibit yang berhasil ia tanam. Kemudian Faith mengambil gunting rumput, ia membabat habis semua tanaman yang berpotensi menjadi benalu, mengumpulkannya dalam satu wadah dan bersiap untuk membakarnya sebelum suara gemuruh mesin di halaman depan mengalihkan perhatiannya. Faith mengenali suara mesin itu. Suara itu berasal dari cadillac tua milik Ian. Tanpa berpikir panjang, Faith meletakkan sekopnya, melepas masker dan beranjak untuk menyambut Ian. Ian mematikan mesin mobil itu dan menolehkan wajah pada wanita yang duduk di atas kursi penumpang. Berdecak ketika Hope sibuk dengan kaca rias dan maskara miliknya. Hope mempertegas garis matanya dengan eyeliner kemudian memakai lipstik tambahan. "Demi Tuhan,” gerutu Ian. “.. jika kau terus menggunakan alat itu, kau hanya akan membuat istriku ketakutan." Hope tersenyum di depan kaca riasnya, meletakkan alat rias kemudian menatap Ian. "Maaf, apa katamu?" "Lupakan saja! Kau ingat apa yang ku katakan?" Hope mengerutkan dahinya. "Bagian yang mana?" "Semuanya." "Aku ingat." "Siapa namamu?" Kedua mata Hope menyipit, bibirnya membentuk satu garis lurus. "Apa maksudmu? Kau tidak mengatakan padaku kalau sekarang kau mengalami gejala gegar otak sementara." "Astaga, bukan itu! Yang kumaksud adalah, bagaimana kau akan menyebut dirimu di hadapan Faith nanti?" "Faith?.. Ah ya, aku ingat. Namaku Monica. Aku p*****r kecilmu dan aku datang kemari karena aku ingin bercinta dengamu." Ian mendengus keras. "Apa yang kubilang tadi? Kau datang karena kau berharap bisa bertemu Faith." "Kemudian bercinta denganmu." "Jangan menyebut bagian itu di hadapan Faith!" "Lalu kenapa? Ku pikir Monica p*****r kecilmu." "Bukan p*****r, tapi 'teman.'" "Benar, teman." "Kau ingat peraturannya?" Hope mengangguk keras, kedua anting besarnya bergoyang. "Jangan bicara terlalu banyak dan bersikap yang sopan. Jangan menyinggung Faith dan jadilah p*****r kecil yang ramah." "Itu lebih baik," Ian menatap ke luar jendela. Tatapannya terarah pada Faith ketika wanita itu keluar dengan hanya mengenakan kaus putih polos dan jeans serta bot usang yang membentuk postur tubuhnya dengan sempurna. Tatapan Faith mencari ke dalam cadillac tuanya dan Ian menelan liur. "Itu Faith," Hope mengikuti tatapan Ian dan mulai mengamati wanita di seberang dengan cermat. "Dia istrimu?" "Ya." "Orang pasti akan menganggapmu gila karena berusaha mencari jalang di pinggir jalan sementara kau punya seorang istri cantik dengan tubuh yang memuaskan." "Aku memang sudah gila. Sekarang keluar dan perankan dirimu sebagai Monica. Ingat! Tidak ada ciuman di hadapan Faith." "Kenapa? Aku suka menciummu." Ian menatap Hope dengan tatapan kosong kemudian menyeringai kecil. "Tentu saja aku juga menyukaimu, darling, tapi Faith istriku. Jadi, sebaiknya jangan banyak bertanya dan lakukan saja tugasmu." Hope mengerling dengan jengkel sembari menggerutu. "Yah, setidaknya kau membayarku untuk ini." Kemudian mereka keluar dari cadillac secara bersamaan. Senyum Faith yang merekah ketika menatap Ian pudar begitu ia menyadari bahwa Ian tidak sendiri. Pria itu keluar dari dalam cadillac bersama seorang wanita dengan riasan dan warna pakaian yang mencolok. Rambutnya berwarna ungu kemerahan, tubuhnya mungil dan kakinya jenjang, tinghinya tidak lebih dari seratus enam puluh senti. Faith meduga kalau wajah wanita itu akan terlihat lebih menarik tanpa riasan yang mencolok. Faith meragu ketika wanita itu tersenyum dan melambai ke arahnya. Kemudian ketika wanita itu beranjak mendekat, Faith semakin gentar. Sekali lagi Faith menatap Ian yang mengekor di belakang. Emosi pria itu sarat namun kali ini, Faith sanggup melihat perasaan resah dalam garis wajah Ian ketika mendekatinya. "Halo Faith!" Faith begitu fokus menatap Ian sampai ia butuh beberapa detik untuk menyadari sapaan wanita berambut pirang yang sudah berdiri di hadapannya. Tersenyum, Faith berusaha menggerakan bibirnya. "Hai." Wanita itu kemudian menjulurkan tangan. Faith meragu sebentar sebelum menjabat tangan yang terulur dan mendengar ketika wanita itu memperkenalkan dirinya. "Monica. Ian pasti sudah mengatakan banyak tentang aku." Hope merasakan lengan Ian yang menyikutnya dari belakang dan ia segera berdeham, mulai menjalankan sandiwaranya. "Senang rasanya bisa bertemu dengamu. Ian juga menceritakan banyak hal tentang kau." Faith menatap Ian, tersenyum dalam prosesnya. "Aku harap semua hal baik tentang aku." "Tentu saja. Kit pria yang baik." "Maaf?" Faith mencondongkan tubunya dan Ian menyikut Hope lagi. "Aku baru saja bilang Ian, kan?" "Tentu saja," kata Faith, ragu dengan dirinya sendiri. Faith tidak tahu perasaan kalut yang secara tiba-tiba menyerangnya. Ia mengenal Monica. Wanita yang disebut Ian menjadi teman ranjangnya. Semalam, ketika Faith meminta Ian untuk menghadirkan Monica, semuanya terasa wajar. Namun, Faith tidak pernah menduga kalau Ian akan menanggapi permintaan itu dengan serius dan membawa wanitanya ke tengah pernikahan mereka. Tapi di satu sisi Faith juga tidak bisa menyalahi tindakan Ian. Bagaimapun pria itu hanya berusaha memenuhi kesepakatan mereka - kecuali, Ian membutuhkan seorang wanita untuk menemaninya melewati malam-malam di Memphis. Monica wanita yang menarik. Meski riasannya mencolok tapi wanita itu memiliki tubuh yang mampu membuat pria manapun meneteskan liur. Bokongnya besar, kakinya jenjang dan dadanya penuh, perutnya rata dan parasnya cukup memikat. Wajar jika Ian memilih Monica menjadi 'teman'nya. Tiba-tiba saja Faith merasakan sekelibat emosi yang masih sanggup ia kendalikan. Tapi reaksi itu membuat jiwanya seakan menjerit dan otaknya berteriak. Faith mengamati Monica sekali lagi. Berharap ia menemukan satu kekurangan sekecil apapun yang bisa dibandingkan dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Seharusnya Faith tidak berpikir begitu, tapi entah bagaimana, ia merasa perlu melakukannya, merasa perlu memastikan bahwa dirinya punya satu keunggulan penting dalam pandangan Ian dibanding Monica. Berdeham, Ian menyadarkan Faith dari lamunan. "Monica akan tinggal di rumah sewaanku yang jaraknya tidak jauh dari sini. Aku harus mengantarnya kesana jika kau tidak keberatan." Faith berpikir bahwa Ian sedang bicara dengan siapapun, selain dirinya - Faith tidak bisa mencerna semuanya dengan lebih cepat ketika perasaannya tak keruan. Tapi Ian menunggu respons darinya dan ia segera tahu bahwa pria itu bicara padanya. Merasa limbung dengan dirinya sendiri, Faith berusaha mengangguk. "Aku akan kembali tidak lama lagi. Keberatan kalau kau menungguku? Ada yang ingin kutunjukan padamu." Faith mengangguk sekali lagi, ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk merespons Ian - atau Faith hanya tidak ingin membuat dirinya terlihat bodoh di hadapan Ian. Kemudian Ian menarik lengan Monica, membawa wanita itu beranjak keluar dari halaman rumahnya menuju sebuah bangunan sederhana yang jaraknya tidak lebih dari dua puluh meter. Ketika Ian pergi, Faith mematung di tempat. Matanya terus mengikuti langkah pria itu hingga Ian menghilang di balik pintu sebuah bangunan dengan cat kelabu tak jauh di sana. Pikiran Faith menjelajah entah kemana. Membayangkan Ian berduaan bersama wanita lain di bawah satu atap yang sama membuat perasaannya semakin kalut. Sebelum imajinasinya semakin liar dan emosinya semakin kentara, Faith segera menghambur masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba ide untuk berkebun sudah tidak lagi terasa menyenangkan. Yang diharapkannya saat itu hanya mengurung diri di dalam kamar dan mengembalikan akal sehatnya. Faith belum merasa lebih baik ketika Ian kembali lima belas menit kemudian. Kedatangan dan kepergian lelaki itu terlalu cepat. Namun, Ian tidak bicara banyak dan memintanya untuk bersiap. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit sebelum Faith bergabung dengan Ian di halaman rumah. Wajahnya langsung bersemu ketika mendapati dua sepeda tua yang terparkir tepat di depan Ian. Ian berbalik, tersenyum dan menyambut Faith dengan ramah. "Kau suka?" Faith tidak menghiraukan pertanyaan Ian. "Dari mana kau mendapatkannya?" "Pagi ini aku menemukan beberapa barang bekas yang masih layak pakai di gudang." Ian menunjuk satu sepeda berwarna hitam. "Yang satu itu milik pamanku," kemudian menunjuk satu lain yang berwarna merah. "Itu milikku. Aku ingat saat dia membelinya di toko rongsokan. Saat itu aku masih sekolah. Dia sengaja membelikannya untukku agar aku punya kendaraan sendiri. Aku harap kau mau mencobanya bersamaku." Faith maju selangkah. Dengan wajah semringah berkata, "dengan senang hati. Kemana kita akan pergi?" "Suatu tempat. Kau akan mengetahuinya." Kemudian Ian menaiki sepeda miliknya, menunggu sampai Faith bersiap di sepeda yang lain sebelum memimpin perjalanan mereka. Sepanjang perjalanan, Ian memperlambat lajunya sehingga Faith tidak mengalami kerumitan ketika mengekor di belakang. Ian membawa Faith menyusuri tepian anak sungai dan berhenti di kaki tebing berbatu. Kemudian Ian membantu Faith naik ke atas tebing itu. Ketika mereka sampai di puncak, mereka duduk dan menikmati desiran angin yang melambai-lambai di hadapan. Siang tidak terasa menyengat di atas sana. Sebaliknya, suasana menjadi sangat sejuk karena arus pergantian angin yang melanda kawasan tebing itu. Ian beringsut mendekat dan tersenyum pada Faith. "Kau suka, Querida?" "Aku sangat suka." "Aku senang mendengarnya." "Aku bisa mencoret dua daftar pencapaian terbaikku dalam satu waktu. Terima kasih untuk itu. Kau memberi aku pengalaman yang luar biasa. Duduk di pucak tebing dan menikmati angin dan sinar matahari. Ini luar biasa!" "Kau akan terbiasa." Pandangan Faith tidak pernah lepas dari alam di hadapannya. Begitu indah, begitu memikat. "Aku mulai merasa tidak sanggup kembali dalam kehidupan lamaku lagi. Keindahan ini terasa seperti surga. Surga yang sangat dekat. Jika aku diminta untuk hidup dan mati di sini, mungkin semuanya akan terasa menyenangkan." Ian terus memerhatikan Faith. Bicara ketika wanita itu terdiam. "Ada apa dengan kehidupan lamamu, Querida?" Faith berpaling sejenak. Menatap kedalaman mata gelap Ian dan mulai menjawab, "hanya semuanya tidak pernah terasa seindah ini." "Hidup bersama orang-orang yang mencintaimu ku pikir sudah menjadi kebahagiaan sempurna untukmu." Ian salah besar, namun disatu waktu juga menyadarkan Faith. Faith merunduk, enggan menampakkan kesedihannya dan memilih untuk menatap lurus ke depan. "Hidup sendiri disini, bebas dari tuntutan apapun dan hanya mencintai dirimu sendiri akan jauh lebih menyenangkan. Aku selalu berharap aku dapat hidup tanpa memikirkan risiko dari segala tindak-tandukku. Aku selalu berharap aku dapat hidup tanpa memedulikan orang lain. Dalam kehidupan lamaku, aku tidak bisa menemukan yang seperti itu. Disini semuanya berbeda. Aku bisa menghirup udara tanpa merasa khawatir akan ada orang yang sulit bernafas karena tindakanku." Ian mengangguk paham. Mengikuti tatapan Faith yang terarah lurus ke depan. Dalam benaknya ada sekelibat pertanyaan yang segera disuarakan. "Kalau begitu pada siapa kau akan membagi cintamu di sini?" Faith tidak segera menjawab, tidak pula membisu terlalu lama. "Diriku sendiri." "Apa yang bisa kau harapkan dari itu?" "Aku tidak mengharap apapun." "Aku yakin tidak sepenuhnya begitu. Ketika kau berusaha mencintai sesuatu, hatimu akan terasa gentar. Tapi apa yang kau dapat tentang cinta pada dirimu sendiri? Kau tidak bisa terus menerus hidup sendiri, kan? Dirimu tidak bisa membalas cinta yang kau bagi. Kau tetap membutuhkan orang lain." "Aku punya semua yang kulihat di sini." "Dan jika yang kau punya direbut darimu, apa yang akan kau lakukan?" "Mungkin aku mulai menangis." "Tapi hidup akan terus berlanjut, kan?" tanya Ian. "Coba bayangkan ketika kau menangis sendiri disini. Kau membiarkan dirimu menerjang badai seorang diri. Membiarkan dirimu ketakutan dan jatuh sendiri. Bukankah segalanya menjadi lebih indah ketika ada seseorang yang bisa membagi cinta yang sama denganmu? Hidup akan terasa lebih mudah dan beban di pundakmu akan terbebas." Pernyataan Ian membuat Faith membisu. Wajahnya masih menyosong lurus ke depan tapi tatapannya jatuh dan pikirannya berkelibat. Ian benar. Hidup akan terus berlanjut dan Faith membutuhkan semua orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Beban akan menjadi semakin ringan. Sejauh ini Faith tidak bersikap demikian. Faith selalu berpikir bahwa ia sanggup menyelesaikan masalahnya sendiri hingga Faith lupa dan membiarkan dirinya tersesat. Saat Faith merasa sedih, Faith selalu datang pada Mike. Ia melampiaskan semuanya dengan mencari kebahagiaan singkat yang terasa pilu. Tapi Faith hanya terus menumpuk bebannya hingga menjadi timbunan racun yang membuat ia semakin jauh dari dirinya. Faith tidak benar-benar melepas beban itu. Air mata menitih jatuh di atas wajah Faith. Bibirnya bergetar dan tenggorokannya tercekat. Faith belum sempat menyingkirkan semua itu sampai Ian melihatnya - Faith tidak berniat menyingkirkan kesedihannya. Sudah sejak lama Faith membiarkan dirinya sendiri tersiksa dengan menyembunyikan kesedihannya, menggantinya dengan senyum palsu hanya karena takut mengecewakan orang-orang di sekitarnya. Sekarang, bersama Ian, Faith tidak lagi merasa gentar untuk menangis. Faith tidak tahu mengapa hanya saja ia merasa perlu meluruskan apa yang salah dalam dirinya. Faith sempat berpikir bahwa Ian akan mencegahnya menangis. Sebaliknya, pria itu tersenyum lebar sembari menawarkan kehangatan tubuh dengan merentangkan kedua tangannya. Faith tidak ragu ketika menghambur ke dalam pelukan Ian. Tubun Ian terasa pas. Wanginya terasa menyenangkan dan kehangatan dalam pelukan itu membuat jiwa yang membeku mulai mencair. Faith tidak sadar berapa banyak waktu yang diambilnya dalam dekapan Ian. Yang pasti ia merasa sudah membasahi sebagain besar kemeja yang dikenakan Ian dengan air matanya. Faith takut Ian akan memprotes, seperti yang selalu dilakukan Mike ketika Faith menumpahkan sedikit soda ke atas kemejanya, tapi Ian tetap membisu. Tenang dan tak mengunjukan emosi apapun. Matanya menatap lurus ke depan sampai Faith menyentuh wajahnya, Ian baru merunduk untuk menatap langsung ke dalam mata Faith. Inilah yang dibutuhkan Faith. Kehangatan dari sosok pria yang bersedia menerima segala kekurangannya dengan lapang. "Katakan ketika kau sudah merasa lebih baik, Querida." Ian membuat Faith tersenyum lebar dan dengan segera mengklarifikasi, "aku sudah lebih baik." "Itu bagus. Katakan juga ketika kau ingin aku melepasmu." Dahi Faith berkerut. Matanya basah oleh sisa air mata. Ia harus menengadah untuk menatap Ian secara langsung. "Kenapa?" Singkat kata, "aku tidak sanggup melakukannya tanpa paksan." Faith tertawa. Tawanya bergemuruh karena serak. "Aku juga tidak berniat melepasmu." "Kalau begitu kita akan tetap seperti ini sampai matahari terbenam. Kau harus menyaksikannya, pemandangan itu sangat indah." Semenit kemudian terjadi kekosongan. Ian kelihatan menikmati pemandangannya sementara Faith berusaha menikmati momen singkat yang jarang ia dapatkan dalam pelukan lelaki itu, Ian, suaminya. "Ian,," Faith kemudian berkata. Ia baru melanjutkan begitu mendapat perhatian Ian sepenuhnya. "Kau tidak keberatan mengambil banyak waktu untukku sementara kau bisa menggunakannya untuk menemui Monica?" Kali ini Ian yang tertawa. "Mari kita lupakan sejenak tentang Monica atau Mike atau siapapun dan biarkan dirimu merasa tenang. Kupikir ini momen yang jarang kau dapatkan. Kenapa kau tidak memanfaatkan sebesar-besarnya untuk dirimu sendiri?" "Kau benar. Tapi aku merasa perlu berterima kasih padamu." Tatapan Ian berpaling pada gelang batu yang melingkar di pergelangan tangan Faith. "Aku tidak melakukan apapun." "Terima saja ucapan terima kasihku." "Sama-sama kalau begitu." Faith menyentak dirinya keluar dari dekapan Ian hingga membuat kenyitan di dahi Ian bertambah dalam. Menatap Faith, Ian tidak bicara. Tapi tangannya tergerak untuk menghapus sisa air mata yang masih menggenang di bawah mata Faith. Faith menangkup wajah Ian, mendekat dan perlahan melebur bersamanya. Pikiran mereka sudah tidak ada di tempat ketika Faith mencium Ian. Faith terasa sangat manis dan menggoda, dan Ian hanya pria normal. Ian tidak bisa menghentikan dirinya untuk membalas. Memberi Faith ciuman yang dalam dan merasa gatal untuk menyentuh wanita itu. Ketika dunianya semakin runtuh, Ian menghentikan ciuman mereka, menatap Faith dan melihat bagaimana mata wanita itu menggelap. Kemudian Ian menarik wanita itu lebih dekat, menciumi rahang dan turun pada garis leher dan bahunya. Faith menerima Ian dan dalam prosesnya, Ian tidak bisa menghentikan tangannya sendiri. Jemari Ian terbuka di atas punggung Faith kemudian turun untuk menangkup b****g wanita itu, menarik Faith lebih dekat dan menciumnya lagi. Ciuman mereka kali ini lebih dalam dan b*******h. Satu tangan Faith terkubur di dalam rambut gelap Ian, satu yang lain menangkup wajah pria itu sebelum turun untuk membuka kancing kemejanya. Faith merasakan kulit Ian yang kasar di bawah tangannya. Otot-ototnya yang besar dan uratnya yang tegang. Pinggul Ian ramping dan otot perutnya penuh. Lelaki itu sempurna dan Faith semakin b*******h saja. Ketika pengingat akan Mike, pernikahan dan sandiwara yang mereka buat melintas dalam pikirannya, kesadaran segera menghunjam Faith. Menusuknya bagai belati tajam yang membuat ia dengan cepat menjauh. Faith bertemu pandang dengan Ian. Merona ketika mendapati bibir Ian yang bengkak karena gigitannya beberapa detik lalu. Percintaan itu terasa singkat dan pilu. Rambut Ian berantakan, beberapa kancing kemejanya terbuka, meski begitu pria itu tetap terlihat tampan dan menggoda. Faith menurunkan tatapannya, melihat bagaimana tangan Ian terkepal kuat dan sadar betul bagaimana Ian berusaha mengendalikan dirinya dari gairah yang memuncak. Sengatan rasa bersalah menghunjam Faith bagai ribuan jarum yang menusuk hingga ke dalam ulu hatinya. Rasa bersalah itu bukan ditimbulkan atas apa yang baru saja mereka lakukan melainkan atas tindakan bodoh untuk menarik diri dari Ian. Faith tahu ia sangat menikmatinya dan begitu pula sebaiknya, tapi dengan bodohnya ia membiarkan semua masalah yang terjadi masuk ke dalam pikiran dan mengusik ketenangan yang baru saja ia dapatkan. Bahkan, Faith menarik diri dengan cara yang menyatakan seolah-olah Ian telah bertindak senonoh padanya. Sementara, Tuhan tahu bahwa Faith berperan besar dalam percintaan singkat itu. Setelah beberapa detik bertemu pandang, Faith baru sanggup berdeham, sementara Ian mengerahkan tangan untuk menutup kancing kemejanya yang terbuka. Disela itu, Ian berusaha keras menelan liurnya, mencoba mencari kata yang tepat. "Maafkan aku," kata Ian setelah sekian menit habis untuk meredakan ketegangannya. "Seharusnya semua tidak jadi seperti ini." Faith juga merasa bersalah, tapi Faith tetap membisu. Setelah lama mereka saling bertatapan dan menelan liurnya masing-masing, Faith segera memutuskan bahwa tindakan yang paling tepat adalah bicara, sehingga semua akan kembali seperti semula. Hanya saja, Faith mengutuk dirinya sendiri karena hanya mampu mengatakan, "sebaiknya kita cepat kembali." Ian benci mengakuinya, namun keputusan itu menjadi lebih baik untuk saat ini. Ketika bibirnya sudah tidak mampu berkata-kata lagi, Ian hanya mengangguk. Ia segera membantu Faith menuruni undakan batu dan dalam prosesnya, mereka sama-sama membisu. Tak satupun dari mereka ada yang tergerak untuk memulai perbincangan. Semuanya terjadi seperti itu sampai mereka kembali di rumah. Faith baru berniat menaiki anak tangga pertama menuju ruang pribadinya ketika Ian berujar di belakang. "Faith!" Berbalik, Faith memutuskan bahwa ia tidak bisa menatap Ian tanpa mengulang kejadian di tebing dan memilih untuk memfokuskan pandangan ke arah rambut gelap Ian. "Aku akan keluar untuk membeli beberapa persediaan. Kau ingin ikut atau menunggu saja?" "Sebaiknya aku menunggu saja," tidak butuh waktu lama untuk membuat keputusan itu. Faith mengira pria itu akan membantah tapi Ian hanya memberi anggukan sebagai respons kemudian membiarkan Faith berlalu, menaiki anak tangga dan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam kamar sembari mengunci pintunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD