9

4334 Words
Mike menatap b****g wanita itu dari sudut meja. Dengan segelas wine di tangannya, Mike tersenyum ketika wanita itu mencuri pandang ke arahnya. Musik telah dimainkan dan beberapa orang yang cukup bodoh rela menghabiskan waktunya untuk berdesakan bersama pasangan mereka. Gemerlap lampu yang nyala-redup secara bergiliran telah memenuhi pandangan Mike. Suasana menjadi semakin panas. Ia merasa ruangan itu menjadi semakin sempit dan padat. Beberapa pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi botol bir. Mike meneguk kembali cairan keemasan yang memabukan, melirik wanita di sudut bar dan memberi isyarat agar wanita itu datang padanya. Senyumnya semakin lebar ketika wanita dengan pakaian minim dan rok mini datang dengan melenggangkan pingul rampingnya ke arah Mike. Ketika wanita itu mendekat, Mike bisa merasakan sensasinya. Wanita itu lebih tinggi dari yang dilihatnya, memiliki garis wajah lebih tegas dan yang mengejutkan Mike adalah rambutnya yang berwarna merah terang. Sebelumnya, di bawah cahaya temaram dari lampu bar, Mike mengira bahwa wanita itu adalah sosok yang mungil dengan b****g besar dan rambut yang gelap, nyatanya ia salah Wanita itu berdiri di hadapan Mike, tersenyum sembari meraih gelas dalam genggaman Mike dan mulai meneguk cairan wine sampai habis. Meletakkan gelas kosong di sudut meja, wanita itu melingkarkan lengannya ke seputar bahu Mike kemudian tidak memberi kesempatan bagi Mike untuk berpikir dengan segera melumat bibirnya. Mike merasa semakin panas dan b*******h. Di luar sadar, kedua tangannya sudah menangkup b****g besar wanita itu, sementara bibirnya menjelajah dengan puas. "Sayang.." kata Mike di tengah gairah membara yang mulai ditimbulkan oleh mereka. "Evelyn," suara wanita itu lembut dan menggoda dan Mike semakin b*******h saja. "Panggil aku Evelyn!" “Evelyn..” Dunia Mike seakan berputar di bawah genggaman wanita itu. *** Malam yang kian larut tidak kunjung membuat Faith merasakan kantuk. Sebaliknya, ia terjaga hingga dini hari. Duduk di atas ranjang empuk sambil mengetik beribu kalimat dalam notebook membuatnya merasa bosan. Hawa dingin Memphis di malam hari menusuk kulitnya saat ia beranjak dari atas ranjang untuk menyaksikan malam yang dipenuhi bintang. Langit masih gelap ketika Faith memutuskan untuk memeriksa kebun hortikultura yang berada tepat di samping ruang tidurnya. Faith berdiri di antara jalur yang menghimpit tanaman itu. Diam sejenak sembari memerhatikan beberapa tamanan yang sudah layu. Faith berpikir mungkin ia bisa memulai untuk bercocok taman besok. Cuaca di Memphis memungkinan bibitnya untuk tumbuh lebih cepat. Faith beruntung karena Lucy berbaik hati untuk memberinya beberapa bibit impor, dengan begitu ia bisa mulai bercocok tanam kapanpun ia ingin. Ketika kesenyapan semakin mencekam suasana, pikiran Faith berkecamuk. Bayangan akan cara Ian menatapnya, cara Ian tersenyum masih teringat jelas dalam ingatan. Lelaki itu telah menjanjikan pemandangan dari atas tebing yang menyenangkan padanya, menjanjikan pagi yang cerah dengan bersepeda dan mengunjungi pantai terdekat. Lelaki itu berusaha mewujudkan semua yang tertulis dalam daftar pencapaiannya tanpa diminta. Kemudian Ian mengakhiri janjinya malam ini dengan bertanya hal yang selalu ditanyakannya: tentang berapa ukuran pakaian dalam-nya. Faith tidak bisa mencegah senyum yang terpacar di wajahnya begitu saja. Mengingat Ian menjadi pelupur lara baginya dalam pernikahan yang tak diharapkan ini. Setidaknya Faith menikah dengan Ian dan tidak ada hal buruk apapun yang akan terjadi selama ia memercayai lelaki itu. Sembari mencoba menjernihkan pikirannya, indra-indra Faith menjadi tegang ketika suara ketukan pintu terdengar jelas di luar. Faith menghambur masuk ke ruang utama. Dalam kurun waktu kurang dari semenit ia sudah berdiri di depan pintu dan bersiap untuk memutar kenop. Faith baru menggeser kuncinya dan pintu sudah di dorong, membuatnya terkesiap ketika Mike menghambur masuk dalam keadaan sempoyongan. “Mike!” Faith hampir menjerit, namun ia berhasil mengendalikan dirinya dan hanya memekik ketika Mike membanting pintu di belakangnya dengan kasar kemudian menarik Faith mendekat. Faith berusaha keras melepaskan diri dari Mike, namun lengan yang melingkar di seputar pinggulnya begitu kuat, begitu kokoh dan ia merasa begitu rapuh dan kecil. Ketika Faith menatap lurus ke dalam bola mata Mike, Faith sadar bahwa pria itu tidak sepenuhnya sadar akan tindakannya. Kemudian Faith tidak sempat menghindar ketika Mike menciumnya dengan kasar. Mike berbau alkohol dan ketika Faith menyadarinya, ia mendorong lelaki itu hingga punggungnya membentur dinding kayu. Beban tubuh Mike membuat beberapa pajangan di dinding bergetar akibat benturan itu. "Kau mabuk!" kata Faith. Nada suaranya tinggi dan tegas, nafasnya memburu. Anehnya, apa yang ditampakkan Faith ke permukaan: rasa kesal, benci dan kecewa, tidak menyurutkan apa yang menjadi satu-satunya hal yang ada dalam benak Mike. Lelaki itu butuh wanita untuk melayaninya, dan Faith bukan jalang yang bersedia melayani Mike kapapun lelaki itu siap. Entah mengapa, fakta bahwa sejauh ini ia telah menghabiskan banyak waktu dengan bercinta bersama Mike membuat hatinya pilu. Faith terus bertanya-tanya: apa ia sejauh ini ia telah menempatkan dirinya dalam posisi serendah itu hingga Mike tidak lagi merasa sungkan untuk memperlakukannya seperti seorang p*****r? "Kemari, Sayang.." tangan Mike yang besar dan kuat mencengkram pergelangan Faith yang kecil dan rapuh. Faith berusaha melepaskan diri, namun dalam usahanya yang sia-sia, tindakannya justru memancing sisi keji dalam diri Mike hingga membuat dirinya terperangkap begitu cepat. Mike masih menahan Faith, memeluk pinggul kecil wanita itu dan tersenyum ketika melihat bagaimana Faith berusaha melepaskan diri. "Jangan sekarang, Mike! Demi Tuhan, kau sedang mabuk." "Ah.. Aku suka kalimat itu. Sangat manis jika kau yang mengatakannya," kilah Mike sembari meletakkan tangannya di atas tengkuk Faith. Sementara satu tangan lainnya menahan Faith, Mike menarik wanita itu lebih dekat. "Kau gila!" "Semoga saja begitu." Kemudian Mike tidak memberi kesempatan bagi Faith untuk bernafas dan segera mencuri nafas wanita itu dengan melumatnya habis-habisan. Di awal cumbuan mereka, Faith masih memberontak. Pergerakannya membuat sebuah vas di atas meja ek terjatuh hingga pecah. Faith tersentak, tapi Mike tidak melepaskannya. Dalam hitungan detik, dunia Faith runtuh di bawah dekapan Mike. Pria itu mabuk dan disatu waktu juga memabukkan. Faith tidak memiliki daya yang lebih besar lagi untuk melepaskan diri. Mike terus melumatnya dan ia hanya memberi apa yang diinginkan lelaki itu, menyerahkan diri dan membiarkan dirinya perlahan meleleh seperti lilin. Faith hampir berpikir kalau ia tidak akan kembali ke dunianya lagi sampai suara entakan kaki yang menginjak tangga kayu terdengar berat di telinganya. Faith baru bisa mengendalikan dirinya dalam beberapa detik. Dorongan untuk berbalik dan melihat keadaan membuatnya berusaha keras melepaskan diri dari Mike. Tepat ketika Faith berbalik, Ian sudah berdiri membatu di anak tangga ketiga. Tangannya mencengkram kuat susuran kayu namun ekspresi wajahnya tenang dan terkendali. Seandainya Faith bisa berpikir dan memerhatikan dengan lebih baik lagi, mungkin ia sudah melihat urat di pelipis Ian yang muncul namun tertutupi oleh topeng emosi yang sarat. Ian menelan liurnya. Matanya menatap lurus ke arah Faith, samar-samar Ian melihat berbagai emosi melintas di sana: sedih, menyesal, bimbang, kalut. Kemudian Ian berpaling sejenak untuk menatap Mike, dan senyum kemenangan yang diulas Mike membuat ia merasakan rahangnya berkedut dan jantungnya terpompa semakin cepat. "Ian," Faith tidak menyuarakan kalimatnya, hanya Ian bisa mengerti dari cara Faith menggerakan bibirnya yang kaku. Ian bertanya-tanya apa suara Faith akan terdengar seperti yang diharapkannya – menyesal atau setidaknya merasa bersalah? Yang pasti, Ian hanya mampu memberi respons berupa anggukan kecil dan beberapa kalimat yang terlintas dalam benaknya saat itu juga. "Aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja," tatapan Ian turun pada keramik dari vas yang pecah, berserakan di lantai, kemudian pandangan Faith mengikuti. "Apa kau baik-baik saja?" Faith mengangkat kembali pandangannya, menelan liurnya sebelum mengangguk dengan ragu. Berada dalam kondisi seperti itu tidak pernah membuat Faith merasa lebih baik. "Itu bagus. Maaf menganggumu," kemudian Ian tidak bicara lagi, berbalik dan segera pergi menaiki tangga kayu. Ian datang dan pergi begitu cepat hingga Faith harus mengumpulkan akal sehat untuk menyadari kepergian lelaki itu. Semenit penuh setelah kepergian Ian, Faith berbalik, matanya menyorot Mike dengan tatapan sinis. "Keluar Mike!" tegas Faith dan Mike tertawa. "Apa katamu, Sayang? Apa kau sedang membual?" "Tidak," nada suara Faith meninggi beberapa oktaf. Tatapan yang sebelumnya hanya menatap Mike lurus, kini tampak marah. "Aku bilang, keluar!" "Faith.." senyum Mike pudar, tangannya mencoba meraih lengan Faith dan ketika itu juga Faith menepisnya. "Jangan bercanda!" Faith tertegun, melihat Mike dan membuat kenyitan di dahi Mike pudar. "Kapan kau pernah menganggap aku bicara serius? Keluar! Sekarang! Atau kau lebih suka aku yang menyeretmu keluar?" Kali ini senyum Mike benar-benar pudar, ekspresinya menjadi sekeras batu dan rahangnya berdenyut karena amarah. "Jadi ini yang kudapatkan? Setelah dengan suka rela aku meninggalkan pekerjaanku, meninggalkan semua klien dan urusan bisnisku dan aku melakukannya hanya untukmu, kau malah mengusir aku?" Semburat emosi melintas di wajah Faith yang memerah. Bibirnya terasa kaku dan pikirannya kalut. Faith tidak pernah merasa jadi sebodoh itu, namun disaat seperti itu, yang diinginkannya hanya melampiaskan emosi. "Mike kau tidak mengerti!" "Aku memang tidak mengerti, Faith! Aku sudah tidak bisa mengerti apa lagi yang ada dalam pikiranmu sejak kau menikahi pria itu." "Namanya Ian.." "Kau benar," urat di pelipis Mike semakin kentara, tangannya membentuk kepalan. "Namanya Ian. Terima kasih untuk sambutanmu malam ini, aku terkesan sekali." Dan demikian itu menjadi sarkasme terakhir yang dihanturkan Mike sebelum pria itu beranjak keluar dan menghilang dengan cepat. Faith hanya mampu berdiri di tempat beberapa menit setelahnya. Ia memperhatikan ketika Mike mengambil langkah pergi, hingga lelaki itu hilang di bawah langit malam yang menyulubungi kota Memphis. Pikiran Faith kembali berkecamuk. Entah sejak kapan Faith merasa tidak bisa berpikir lebih jernih dari saat itu. Kemudian Faith menatap pecahan keramik dari salah satu vas antik yang diyakininya berharga tinggi. Sudah tidak dapat diragukan lagi, vas itu pasti milik siapapun orang yang menempati rumah itu jauh sebelum ia datang. Mungkin milik buyut Ian. Faith ingat betul ketika Ian mengatakan bahwa semua barang dan porselen yang terdapat dalam rumah itu adalah kesayangan buyutnya. Seharusnya Ian marah atau setidaknya menyinggung Faith tentang vas antik yang pecah itu, tetapi lelaki itu justru menghawatirkan dirinya bahkan memastikan bahwa ia baik-baik saja. Faith ingat bagaimana Ian terlihat. Lelaki itu pandai menyembunyikan emosinya, namun Faith juga bukan wanita bodoh. Disuatu-waktu, Faith mampu memahami sekelibat emosi yang disembunyikan Ian tanpa harus lelaki itu menasang topeng yang membuatnya terlihat lebih tenang serta terkendali. Perasaan kalut yang menghunjam Faith lantas tidak membuat Faith berdiam diri terlalu lama tanpa melakukan apapun. Faith segera mengumpulkan beberapa potongan keramik dan membenahi remahnya yang tersebar di lantai. Ia mempercepat pergerakannya hingga tindakan itu membuat tangannya terluka. Salah satu pecahan keramik menusuk jari tengah Faith. Darah segar mengalir dari jarinya, rasa ngilu yang membuat Faith segera menutupi lukanya dengan kain. Usai mengumpulkan semua keramik itu, membungkusnya dalam satu wadah berupa kain, Faith segera memutuskan untuk menemui Ian. Atas apa yang telah terjadi, Faith merasakan dorongan untuk berbicara dengan Ian. Setidaknya ia harus membuat keadaan kembali seperti semula. Faith tidak punya alasan yang lebih baik, ia hanya merasa bahwa ia perlu melakukannya. Faith tidak menemukan Ian di ruangannya, alih-alih pria itu tengah duduk di halaman belakang yang memampangkan sebuah kolam dengan air jernih yang dikelilingi oleh tanaman juga undakan batu yang tersusun secara apik. Air yang mengaliri undakan itu kemudian jatuh di atas kolam hingga menciptakan percikan kecil yang menjadi satu-satunya latar suara. Ian, seperti yang dibayangkan Faith, hanya duduk terdiam, tangannya sibuk memainkan sebuah batu kecil dan melilitnya dengan benang berwarna hitam pekat. Faith berhenti di belakang Ian, merasa ragu untuk mengganggu lelaki itu, tapi kemudian Ian bicara tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Reaksi itu spontan membuat Faith terkejut. "Kemari, querida.. duduklah!" Faith ragu sejenak, kemudian memutuskan untuk berjalan mengitari Ian, duduk pada kursi yang terletak tak jauh dari kursi yang diduduki Ian. Mata Faith mengikuti pandangan Ian, awalnya turun pada batu kecil yang sedang dililit dengan benang sebelum berpaling pada percikan air di kolam. "Apa kau melihat cahayanya?" Faith tidak segera menjawab, memilih untuk memerhatikan air di kolam kemudian mencari apa yang dimaksudkan oleh Ian, tersenyum ketika melihat siluet kecil dari sinar berwarna pelangi yang terpantul dengan air jernih di undakan. "Ya," jawab Faith kemudian. "Cahayanya membias," kata Ian. Samar-samar, senyum terlukis di wajahnya. "Itu pamandangan yang paling kusuka dari rumah ini. Cahayanya hanya dapat kutemukan pada dini hari. Aku ingat betul ketika aku mengendap-endap keluar sementara pamanku sedang tertidur. Aku berharap bisa meneliti kilau cahayanya. Dulu sekali aku sempat berpikir bahwa seorang peri dalam tokoh fantasi yang kutonton turun di atas undakan itu, tapi ketika aku menjadi semakin dewasa aku tahu bahwa cahaya itu dihasilkan oleh kawanan kunang-kunang yang berkeliaran di sekitar undakan," Ian tertawa kecil di tengah kalimatnya. Faith segera menyadarinya. Pria itu ada di tempat, namun pikirannya sedang menjelajah jauh ke tempat lain. "Lucu sekali, aku hampir memercayai bahwa peri itu sungguhan. Tapi aku tidak pernah berhenti memerhatikan cahayanya. Setiap malam menjelang pagi. Bagiku, itu keindahan yang memesona." "Bisa kulihat." Ian memutar wajahnya, menatap ke dalam mata Faith dan tersenyum lebar. "Kau akan menyukainya, querida." "Aku sudah menyukainya." Senyum Ian mengambang lagi. Lelaki itu kemudian mengalihkan fokusnya pada batu dan benang itu kembali. Setelah semenit penuh terjadi kekosongan, Faith mulai berdeham, memberanikan diri untuk menggerakan bibirnya. "Ian.." Ian mengangkat pandangannya, mencoba memfokuskan tatapan itu pada titik hitam di mata Faith yang berkilau dan bukannya melihat tulang selangka Faith yang terekspos oleh pakaian tidur minimnya. "Aku minta maaf," Dahi Ian berkerut dan Faith segera memperjelas kalimatnya dengan meletakkan kain berisi pecahan keramik di atas meja yang memisahkan kursi mereka. "Vas ini milik buyutmu. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Mike membuat aku panik dan secara tidak sengaja, aku menjatuhkannya." Ian melirik ke arah pecahan itu sebelum berpaling pada luka berdarah pada jari tengah Faith. Secara spontan ia mendekat. Meletakkan batunya di atas meja dan meraih tangan Faith yang terluka. Faith mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Ian menahannya di tempat. "Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil." "Yang akan terinfeksi jika tidak segera di tangani." Faith mencoba menarik tangannya lagi, meringis dalam usahanya yang justru menimbulkan rasa sakit pada jemarinya. "Jangan, querida. Biarkan aku mengobatinya! Kau mungkin bisa terinfeksi, pecahan keramik itu menusuk ke dalam jarimu." "Aku baik-baik saja, sungguh.." Ian mengunci tatapan Faith dan membuat wanita itu membisu hanya dengan melihat intensitas cahaya di mata gelapnya. "Jangan bodoh! Aku sudah biasa mendengar dan menyaksikan sendiri tentang keluhan pasienku akibat membiarkan luka kecil itu hingga membusuk dan menyerang fungsi saraf-saraf mereka beberapa minggu setelahnya. Kau tentu tidak ingin menjadi bagian dari mereka?" Faith menggeleng perlahan dan Ian mengendurkan genggamannya. "Bagus, jadi biar aku obati lukanya! Tetap disini, aku akan kembali!" Faith memilih untuk tidak membantah. Pria itu pergi dan kembali satu menit kemudian dengan kotak obat dalam genggamannya. Ian mengambil posisi di hadapan Faith, berjongkok sambil menggeledah seisi kotak obat dan mencari apa yang dibutuhkannya disana. Faith bergeming ketika Ian menyiramkan cairan alkohol pada lukanya. Cairan itu terasa dingin tapi kemudian membuat sekujur tubuhnya mati rasa. Faith tetap bergeming dan Ian menatapnya untuk sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak merasa sakit. "Rasanya akan sedikit sakit," kata Ian kemudian meraih satu tangan Faith yang bebas, meletakkannya di atas bahu lekaki itu sebelum menyiramkan cairan gelap lain yang memiliki efek lebih dahsyat. Faith mendesis, secara spontan mencengkram erat bahu lelaki itu dan melampiaskan kesakitannya. Faith memerhatikan ketika Ian membungkus jarinya dengan perban tipis berwana putih. Terheran bagaimana Ian tidak meringis akibat cengkramannya yang kuat dan keras pada bahunya. Kemudian pemikiran sejenak terlintas dalam benak Faith: Ian mungkin sudah biasa merasakannya. Lelaki itu sudah cukup berpengalaman menghadapi reaksi pasiennya dan tidak lagi merasa keberatan untuk mendampingi pasiennya melewati rasa sakit. Faith tertegun sejenak, tatapannya masih berfokus pada Ian – cara ketika lelaki itu memasangkan perban dan mengobati lukanya dengan serius. Ian tampak tegas, piawai, tidak ada senyum yang terlukis di wajahnya dan fokusnya hanya tertuju pada luka Faith. Pemandangan itu membuat Faith tersenyum. Begitu usai, Ian membenahi kembali peralatannya, mengangkat wajah dan mengernyit ketika melihat senyum di wajah Faith. “Kenapa kau tersenyum begitu?” “Aku hanya berpikir bagaimana seandainya kau marah padaku.” “Kenapa aku harus marah padamu?” “Vas itu dan.. Mike. Kau seharusnya marah padaku dan tidak perlu repot-repot memedulikan lukaku. Aku pikir ini yang pantas kudapatkan.” Tangan Ian terasa hangat ketika pria itu meletakkannya di atas punggung tangan Faith. Senyumnya menjadi pelupur lara bagi Faith. Pria itu menampakkan sederet gigi putihnya sebelum mengatakan, “jika aku melakukannya, mungkin kau tidak akan menyukaiku dan dengan begitu, aku akan kehilangan kesempatan untuk melucuti pakaianmu.” Faith tergelak di kursinya dan Ian terpana setelah melihat wajah anggun Faith di bawah cahaya temaram. “Ya mungkin kau benar. Tetapi aku tetap harus meminta maaf padamu. Aku mungkin bisa mengganti vas milik buyutmu, tapi semuanya tidak akan sama, kan?” "Kau benar. Semuanya tidak akan sama. Dan aku juga berpikir bahwa jika aku menunjukkan amarahku padamu, tindakan itu tetap tidak akan membuat vasnya menjadi utuh kembali." "Jadi apa yang bisa ku lakukan untuk menebus kesalahanku?" "Jangan pecahkan vas yang lain dan itu saja sudah cukup." Faith tertawa untuk kali kedua. "Tidak, rasanya itu tidak adil untukmu." Kerutan di dahi Ian bertambah dalam ketika pria itu mencoba memikirkan hukuman yang setimpal. "Sejujurnya, kau bisa menebus kesalahanmu dengan satu cara.." "Akan kulakukan andai aku mampu. Katakan saja!" Ian meraih batu yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. Ia telah merajutnya menjadi sebuah gelang yang cantik. Menatap Faith, Ian tersenyum kemudian ia mengikatkan gelang itu pada pergelangan tangan Faith. Gelang batu berwarna gelap itu terajut indah di atas pergelangan tangan Faith. Faith mendekatkan pergelangannya untuk menghirup aroma yang menyenangkan dari batu itu. "Wangi apa ini?" "Aku mencampurkan cairannya dengan sedikit wewangian cendana. Apa kau alergi cendana?" "Aku suka wangi cendana." "Jadi kupikir semuanya setimpal. Jaga pemberianku itu dan kuanggap kau sudah menebus kesalahanmu." Kedua mata Faith menyipit. "Kau benar-benar sudah memaafkan aku?" "Aku menganggap itu adil," koreksi Ian. "Aku memecahkan vas milik buyutmu dan ini yang kuterima? Gelang berbau cendana? Ini hampir kedengaran seperti kemenangan yang pilu." "Lantas apa? Kau berharap aku mencampur cairannya dengan racun?" "Yah, setidaknya itu jadi lebih konkrit." Ian tertawa, tawanya lebih mirip dengusan. "Aku seorang dokter querida. Tugasku adalah menyembuhkan penyakit, bukan menimbulkan penyakit." "Sayangnya itu bukan termasuk bagian dari kesepakatan dalam pernikahan ini." "Kau benar-benar ingin agar aku meracunimu, ya?" Faith tertawa, benar-benar tertawa setelah melihat bagaimana Ian bereaksi terhadap pernyataan yang ia utarakan sebelumnya. Tapi Faith tahu bahwa Ian salah memahami apa yang ia maksudkan. "Bukan itu Ian. Yang kuinginkan sangat sederhana. Perlakukan aku layaknya orang biasa, kau tidak perlu membuat aku berada di posisi yang istimewa. Hukum aku jika aku bersalah dan aku pikir itu akan jadi lebih wajar." "Kenapa Faith?" suara Ian yang melembut dan tatapannya yang menghunjam membuat Faith membatu. "Mengapa aku tidak boleh mengistimewakanmu?" Selama sesaat Faith hanya mampu duduk tertegun, mendengar satu-satunya suara yang bisa ia dengar: suara percikan air yang jatuh dari atas undakan. Bibirnya seakan membisu, tapi Faith tidak bisa membiarkan Ian menunggu. "Aku hanya tidak ingin bersikap tidak adil padamu. Aku tidak memberikanmu hal baik apapun dalam pernikahan ini. Kau bahkan terus berusaha membantuku. Aku tidak mengerti bagaimana aku harus menebus utangku padamu nanti." Dan pemahaman segera melintas dalam benak Ian. Faith masih menganggap semua yang dilakukannya adalah sebuah utang yang suatu saat harus ditebus, entah bagaimana caranya. Faith tidak mengerti. Utang adalah kata terakhir yang bisa dipikirkan Ian dalam pernikahan mereka, tapi sepertinya kata itu menjadi acuan terpenting bagi Faith. Hati Ian mencelos. Apa Faith selama ini menganggapnya sedemikian itu? Apa Faith berpikir Ian mengharapkan imbas dari segala yang diusahakannya? Apa Faith tidak melihat usaha Ian sampai sejauh ini? Tentu saja. Wanita itu tidak tertarik padanya, bodoh jika Ian berpikir Faith bisa memahami tindak tanduknya. Alih-alih tersenyum, Ian menjawab, "kau akan mengerti. Kau akan menebus utangmu suatu saat nanti, tapi untuk saat ini, biarkan aku melakukan apa yang harus kulakukan." Faith menatap ke dalam mata Ian dan melihat pancaran ketulusan dari setiap kata yang terucap, kemudian senyumnya merekah. "Lucy mengatakan banyak hal tentangmu." Perubahan topik itu tidak mengusik Ian, ia justru mengerutkan batang hidungnya dan mendengus pelan. "Apa aku sudah mengatakan padamu kalau dia wanita keras kepala yang banyak bicara?" Wajah Faith merona. "Pasti belum." "Dia selalu berpikir bahwa dia tahu semua hal tentang aku." "Setidaknya dia mengenalmu." "Dia teman baikku." "Aku istrimu," kalimat itu lantas membuat Ian terpaku, matanya menatap lurus ke arah Faith. ".. tapi aku tidak pernah tahu banyak hal tentang kau," lanjut Faith. "Kalau kau tahu semua tentang aku, kau mungkin tidak akan menyukaiku." "Kau terdengar terlalu yakin," goda Faith, senyum manisnya mampu membuat Ian meleleh. "Mulai dari hal terkecil, Ian." "Seperti?" "Kau tidak pernah mengatakan padaku tentang buku bacaan favoritmu." "The Lost Soul. Aku ingat terakhir kali aku membacanya, air mataku menitih." Faith mengenal penulis fiksi itu, tidak mengenal secara akrab tapi ia pernah menjumpainya dalam beberapa pertemuan. Penulisnya adalah pria paruh baya yang mengabdikan diri untuk berbakti pada Tuhan melalui semua karyanya yang berbau relegi. Fakta bahwa Ian menyukai bacaan yang bersifat religius mengejutkan Faith. "Aku tidak tahu kau termasuk orang yang religius." "Aku hanya membaca apa yang kuanggap menarik." "Apa kau sering menghadiri misa setiap akhir pekan?" "Tidak sesering itu. Terkadang pasienku membutuhkan aku untuk memastikan keselamatannya sepanjang akhir pekan." "Bagaimana dengan Luke dan Joseph? Aku tidak tahu seperti apa hubungan antara kalian." "Berada satu atap bersama mereka setiap waktu bisa membuat aku gila," Ian tidak sepenuhnya sadar dengan apa yang diucapkannya hingga membuat wanita itu terkikik. "Kau tahu, kan? Luke tidak pernah berhenti bermain-main dengan wanita. Aku masih ingat ketika dia meninggalkan kekasihnya di tengah jalan, lalu kekasihnya datang mengetuk pintu rumahku dan menangis di hadapanku, berharap aku bisa meluluhkan hati Luke untuk menerima gadis itu lagi. Semua wanita tergila-gila padanya." "Aku tahu." "Dan Joseph.. Yah, dia tidak sepenuhnya menjengkelkan seperti Luke tapi terkadang sikapnya yang realiatis dan semua fakta yang dia sampaikan secara gamblang membuat aku malu di hadapan banyak orang. Joseph bukan penjahat tapi terkadang pekerjaannya sebagai detektif membuat aku waspada. Sesekali dia bisa menjadi ancaman besar bagiku. Dia mengatakan semua fakta dan kebenaran tanpa memedulikan sudut pandang dan aku harap kau tidak perlu biacara banyak padanya. Kau akan segera menyadari semua kekuranganmu sampai kau menjadi semakin gila." Gelak tawa Faith semakin menjadi-jadi. "Apa kalian selalu bertengkar?" "Tidak sesering itu. Terkadang, kami bisa jadi satu tim Landon yang baik. Tapi mungkin itu juga menjadi alasan utama kami untuk hidup mandiri. Luke lebih memilih tinggal di rumahnya sendiri dan aku membeli sebuah rumah yang jaraknya tidak jauh dari klinik tempat aku bekerja. Sementara Joseph, sepertinya dia tidak bisa meninggalkan Jordyn terlalu lama. Meski aku putra tertua ataupun Luke yang paling muda, Joseph tetap menjadi kesayangannya." "Bisa kulihat." "Kalau kau sudah bergabung dengan kami, kau akan sadar betapa buruknya pilihanmu dan disatu waktu kau juga akan merasa betapa beruntungnya kau." Faith tersenyum sembari menngangguk. "Aku pikir aku sudah memutuskan akan menjadi beruntung." "Tidak dengan aku." Giliran Faith yang mengernyit. "Kenapa?" "Karena aku tidak akan berhenti meneror setiap malammu dan berharap kau bersedia menghabiskan malam denganku." Faith tertawa di kursinya, Ian ikut tersenyum. "Ian maafkan aku.." Faith baru akan meletakkan tangannya di atas bahu Ian, namun lelaki itu sudah meraihnya lebih dulu. "Tidak. Aku tidak menerima penolakan apapun." "Tapi kau akan menunggu lebih lama." "Aku akan berusaha lebih keras." "Aku berharap aku bisa takut padamu." "Aku hampir akan menakutimu." Faith menggeleng, suaranya menggoda. "Kau tidak akan bisa." Ungkapan Faith dianggap Ian sebagai tantangan, ketika lelaki itu berdiri, Faith mulai waspada. "Apa?" "Aku sudah bilang, kan? Aku akan berusaha lebih keras. Sekalipun akan ada sedikit paksaan, akan kulakukan." Meraih tangan Faith, Ian menarik wanita itu hingga berdiri berhadapan dengannya. Satu tangannya melingkar ke seputar pinggul Faith dan senyum kejinya terulas. Faith hampir meringis begitu Ian mendorongnya pelan, membuat punggungnya terbentur oleh dinding penyekat kemudian mendekat. "Ian.." "Takut?" Faith menggeleng, merasa tidak sanggup menahan senyumnya. Satu tangannya berusaha menahan Ian untuk tetap di tempat. "Jangan coba-coba!" "Sayangnya, aku sudah memutuskan." Ketika Ian menurunkan wajahnya lebih dekat, gelak tawa Faith pecah. Secara spontan Faith mendorong Ian menjauh, membebaskan dirinya dari perangkap Ian dan berlari masuk menuju ruang tidurnya. Ian menyusul, berlari mengejar Faith di belakang sambil menyumpah. "Sialan, Faith. Kemari!" "Jangan coba-coba, Ian!" seru Faith sambil tertawa. Sebelum pria itu melangkah masuk ke dalam ruangannya, Faith lebih dulu menutup pintu kamar, mengunci dan bersandar pada tepiannya. Sembari mengatur nafasnya, Faith berseru ketika suara ketukan terdengar. "Kau tidak akan mendapatkan aku!" Ian berusaha mengetuk lagi. "Aku bisa saja memaksamu untuk keluar, ini rumahku. Cepat buka pintunya!" Senyum Faith merekah. "Silakan saja, tapi sebelum kau mencobanya aku akan menghubungi polisi dan mengatakan seorang pria berusaha melucuti pakaianku." Tawa Ian memenuhi ruangan. "Jangan bodoh, querida. Mereka tidak akan mendengarkan keluhanmu. Kau istriku." "Berengsek!" Suara tawa Ian selanjutnya Ian menyusul. "Keluar, Querida! Aku menginginkanmu sekarang." "Aku akan membunuhmu." "Kau membuat aku takut." Faith tersenyum. "Itu yang kuharapkan." Menyerah, Ian menghela nafas. Helaan nafasnya terdengar sampai ke telinga Faith dan wanita itu tersenyum lebar – merasa puas atas kemenangan kecilnya. Ian bersandar di tepian pintu, tidak bicara selama semenit penuh dan baru menegur ketika tatapannya terarah pada jarum jam yang menunjukkan pukul satu dini hari. "Faith apa kau masih di sana?" "Ya sampai kau pergi." Ian mendengus, mencoba memutar otaknya untuk menebak satu warna lagi. Warna apa yang benar-benar disukai Faith? Faith wanita yang penuh gairah, antusias dan bersahabat. Wanita seperti Faith mungkin tidak begitu menyukai warna lembut. Ian mencoba membayangkan wajah Faith dan ia selalu mengingat kilau cahaya di kolam. Faith seperti cahaya itu: membias hingga membentuk sebuah warna menakjubkan dan elok dipandang. Cahaya.. Mungkin Faith menyukai warna cerah. "Faith, beritahu aku apa kuning warna yang tepat?" Gelak tawa Faith memenuhi indra pendengaran Ian dan seketika itu juga Ian tahu bahwa tebakannya gagal untuk kesekian kali. "Coba lain kali, Ian. Mungkin kau akan lebih beruntung." Wajah Ian merengut masam. "Akan ku coba. Tunggu sampai aku berhasil menebaknya kemudian kau akan melayaniku sepanjang malam." "Akan ku tunggu." "Selamat malam, Querida." "Selamat malam Ian." Kemudian Ian pergi meninggalkannya tanpa berkata-kata lagi dan entah mengapa, malam menjadi sangat sunyi dan sepi. Meski begitu, Faith tidak bisa menyingkirkan Ian dalam pikirannya. Faith memutuskan untuk naik ke atas ranjang. Ia merebahkan tubuh di tepian kasur, menatap bulan purnama melalui pintu kaca dan di luar kehendaknya: ia mengulas senyum. Wangi cendana menyeruak dalam indra penciumannya, wangi itu terasa menyenangkan dan senyum itu semakin lebar. Senyumnya enggan pudar sampai ia menutup mata dan tertidur pulas. Selanjutnya, Ian mengunjunginya dalam mimpi yang terasa singkat. Yang membuat Faith bergidik malu, ia memimpikan malam yang panjang dan indah yang mereka habiskan bersama. Paginya, Faith terbangun dengan wajah merona.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD