Sore menjelang malam, Ian meminta Faith untuk bersiap-siap. Mereka akan menghadiri acara pesta demi memenuhi undangan, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Ian dengan Jordyn. Jarum jam telah menujukkan pukul tujuh, mereka punya waktu tiga puluh menit sebelum tiba di acara.
Dengan setelan kemeja putih dan celana hitam, Ian bergegas keluar dari kamarnya. Langkahnya membawa ia sampai ke depan pintu kamar Faith. Ian baru akan mengetuknya sebelum ia sadar bahwa pintu itu tidak ditutup rapat. Faith memberinya celah untuk melihat ke dalam. Ian mendorong pintu terbuka lebih lebar dan terpaku ketika memandangi Faith tengah berdiri di tengah ruangan dengan hanya mengenakan jubah mandi.
Melalui ponsel dalam genggamannya, Faith tampak sibuk menjawab panggilan dari seseorang hingga tak menyadari keberadaan Ian disana. Ketika Ian memberanikan diri untuk melangkah masuk, beberapa kata yang didengarnya dari pembicaraan itu adalah, "tidak malam ini. Aku harus pergi bersama Ian.. Ini acara penting.."
Bahkan, Ian tidak menyebut kalau pesta itu penting sebelumnya, tapi dengan cara apapun, Faith punya alasan sendiri atas jawabannya. Baru ketika suara pintu yang ditutup terdengar Faith berbalik dan terkesiap menghadapi pria di dalam kamarnya. Tanpa diminta, Faith segera memutus sambungan telepon, bertemu pandang dengan tatapan buas Ian yang menjarah tubuhnya dari atas kepala hingga ujung jari kaki.
Ian maju selangkah dan untuk menghindari kegugupannya, Faith mencengkram ponsel dan jubahnya erat-erat. Berusaha mempertahankan kain itu untuk tetap membungkus tubuhnya. Setidaknya sampai Ian pergi. Faith tidak bisa membayangkan apa yang bisa Ian lakukan seandainya pria itu tahu bahwa ia tidak menganakan pakaian sehelaipun di balik jubahnya.
Ketika Ian sampai di depannya, Faith tidak berkutip. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering. Ian mengangkat dagu Faith secara perlahan, membuat wanita itu menatap matanya, yang menjadi semakin gelap, dengan bibir yang sedikit terbuka.
Demi Tuhan, Ian pria normal!
Faith terlihat seperti selai stroberi di hadapannya. Siap disantap dan terlihat mengiurkan. Ian tidak bisa menolak godaan untuk menjarah tubuh Faith, namun Ian juga dikuasai oleh akal sehat yang memintanya menyingkirkan bokongnya dari ruangan itu. Pergi seolah tidak terjadi apa-apa dan bersikap wajar. Tapi ia tidak melakukannya. Faith tidak menolak, bukan berarti wanita itu menginkannya, tetapi tetap saja. Kalau Faith merasa takut, Faith sudah mengusir Ian sejak tadi. Dan lihat apa yang terjadi sekarang? Ian berdiri di hadapan Faith dengan gairah yang terbakar di matanya sambil terus berharap ia bisa melahap Faith bulat-bulat.
Faith mungkin berpikir Ian tidak menyadarinya, tapi wanita itu salah besar. Tatapan Ian rasanya sanggup merawang ke balik jubah itu. Faith tidak mengenakan pakaian apapun di balik jubahnya. Seolah Ian pria dungu yang tidak bisa menyadarinya. Tapi Ian tidak akan bicara, karena ia suka memandangi Faith.
"Kau cantik," kata Ian akhirnya. Menyerah pada godaan untuk menjauh dan bersikap wajar.
Faith menurunkan tatapannya, memerhatikan rahang dan kulit kecokelatan Ian sebelum berhenti di bibirnya. Ian adalah pria tampan dengan kemampuan yang luar biasa. Tiba-tiba saja semua ingatan akan perkataan Lucy terulang dalam benaknya: Ian adalah pekerja yang berdedikasi tinggi, tidak pernah terbuka soal hubungan asmaranya. Ian adalah seorang dokter yang akan melakukan berbagai cara hanya agar pasiennya dapat tetap bernafas, bahkan untuk beberapa detik saja. Jika Ian menikahi seseorang, maka ia akan bersungguh-sungguh dalam pernikahannya. Ian tidak akan melepaskannya, seperti apa yang dilakukan oleh pria itu pada setiap pasiennya.
"Ian?"
Ian mengangkat pandangannya dari bibir Faith dan bertemu pandang dengan wanita itu. Ia tidak menjawab, hanya menunggu apa yang hendak dikatakan Faith.
"Kita harus bergegas, kan?"
Barulah akal sehat Ian kembali. Secepat kilat, Ian menjauhkan tangannya dari Faith. Mundur selangkah untuk memberi jarak di antara mereka.
"Kau benar. Kita punya waktu tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Aku pikir aku akan menunggu di luar."
Pria itu mengambil langkah menjauh, keluar dari ambang pintu dan meninggalkan seberkas perasaan lega sekaligus sensasi aneh dalam diri Faith. Sebagian dari diri Faith merasa jauh lebih baik, namun sebagian yang lain merasa aneh. Entah perasaan apa, hanya saja terlalu aneh.
Dua puluh menit kemudian, mereka sudah ada di dalam cadillac yang menembus jalan raya menuju pusat kota. Ian duduk di kursi kemudi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pergerakannya berkesan kaku dan ia tidak bisa menatap Faith, kecuali jika ia mengambil risiko tidak akan sanggup melepas tatapannya walau hanya sekejappun. Ian tidak berniat kembali dengan celaka hanya karena dirinya bersikap seperti orang dungu yang kasmaran.
Faith tampak cantik dalam setiap jengkal tubuhnya. Wanita itu menata rambut gelapnya menyamping pada satu sisi dalam tatanan ikal berkilau. Riasan wajah Faith tidak tampak mencolok, namun cukup memikat mata setiap pria. Mata almond-nya berkilau, bibirnya yang ranum tampak menggoda dan setelan gaun hitamnya membuat pikiran Ian tidak bisa berada di tempat.
Tangan Ian mencengkram setir, wajahnya tampak tegang dan sorot matanya lurus ke depan. Sesekali Ian menatap Faith melalui spion dalam mobil, berharap menemukan ketegangan yang sama, namun usahanya gagal. Faith tampak menikmati perjalanannya. Bahkan wanita itu berani menangkat lengannya, membenahi bagian belakang rambutnya dan membiarkan Ian membatu dengan pemandangan lengannya yang telanjang.
Sialan.
Ian berdeham. Senang karena dalam usahanya, ia berhasil meredakan ketegangan. "Bagaimana kunjunganmu siang ini?"
Pertanyaan itu memang berkesan bodoh dan terlalu basa-basi, namun Ian tidak bisa memikirkan pengalih perhatian yang lebih baik lagi.
Faith tersenyum, bahunya merosot dan pikirannya jelas tidak ada di tempat. Meski begitu, wanita masih bicara dan menyuarakan pikirannya.
"Aku suka Lucy. Dia wanita yang menyenangkan. Dan ketiga anaknya, aku melihatnya seperti tiga komponen warna yang membentuk satu kesatuan. Tidak akan lengkap tanpa satu sama lain."
Ian memerhatikan cara Faith bicara, seolah wanita itu ada di tempat lain. "Kau suka mereka?"
Faith menangkat bahu, bimbang dengan perasaannya sendiri. "Sejak dulu aku tidak begitu akrab dengan anak-anak."
"Aku juga tidak suka anak-anak."
Gagasan Ian barusan lantas mendapat perhatian penuh dari Faith. Bukan karena apapun, melainkan karena fakta mrngejutkan itu. Ian kelihatan senang ketika bicara dengan para bocah, kelihatan antusias menanggapi jawaban mereka, jadi pernyataannya barusan jelas bertolak belakang dengan apa yang semestinya.
"Kau tidak kelihatan begitu," sanggah Faith kemudian. "Kau kelihatan senang dengan cerita mereka dan kau.. entah bagaimana membuat mereka harus menghabiskan secangkir jus. Lucy kelihatan terkejut sekali begitu mengetahuinya. Kau melakukan hal yang tidak biasa."
"Aku hanya melakukan apa yang semestinya," kilah Ian sembari memerhatikan jalan raya. "Para bocah itu suka makanan dengan gula tinggi dan aku berusaha mengubah pola mereka." Ian mengulas seringai puas ketika memberi penekanan pada kata 'gula tinggi', berharap Faith merasa tersinggung karenanya. Namun tidak demikian, Faith tampak tidak mengacuhkan sarkasme itu.
"Apa yang kau lakukan?"
"Bertaruh sepak bola. Mereka bocah yang luar biasa sampai aku merasa heran bisa mengalahkannya."
Faith tertawa ringan. "Aku masih tidak mengerti mengapa kau tidak suka anak-anak."
"Kau pasti menanggap aku gila, tapi aku punya trauma dengan urine mereka. Terakhir mereka membasahi kemejaku dengan urine-nya, aku harus berangkat dalam kondisi kotor dan sepanjang perjalanan orang-orang menjauhiku, mengira kalau aku penggila seks yang berbau urine anak-anak."
Faith tergelak di kursinya.
"Bagaimana dengan pasien yang masih balita?"
Ian menyeringai. "Sederhana saja. Aku hanya perlu menulis slogan 'biaya dua kali lipat untuk risiko urine balita.'"
Kemudian Faith tertawa sampai merasa perutnya sakit.
Mereka tiba di halaman parkir sepuluh menit setelahnya. Ian segera memakirkan cadillac tuanya di antara deretan mobil yang lain. Malam tampak ramai dan gedung pusat tampak dipadati oleh ratusan undangan yang datang. Ian mengitari mobil ketika Faith turun, berjalan ke samping wanita itu dan tertegun. Pandangannya terpaku pada bahu Faith yang terekspos. Faith menatapnya, merasa jengah setelah menyadarinya.
"Apa terlalu minim?"
Tuhan tahu Ian memuji pakaian dan tubuh yang tersembunyi di baliknya. Pakaian itu memang minim, namun membungkus tubuh Faith dengan cara yang sempurna. Hanya saja, Ian tidak rela berbagi pemandangan itu dengan pria lain.
Tersenyum, Ian mencoba menanggapi Faith. "Tidak. Semuanya sempurna."
Kemudian Faith mengikuti langkah Ian yang membingnya masuk ke halaman gedung, membaur dengan keramaian orang. Pramutamu meyambut mereka dengan ramah, membiarkan mereka bergabung dengan yang lain dalam kemewahan acara.
Faith tampak gugup. Mendekat, ia melingkarkan lengannya ke seputar lengan Ian. Tindakan itu lantas mendapat respons besar. Meski begitu, Ian hanya menatap Faith dengan bimbang, tak memutuskan untuk bicara sepatah katapun sampai wanita itu memulai.
"Disini ramai sekali."
Dahi Ian berkerut, kedua alisnya bertaut. "Apa kau tidak suka?"
"Aku tidak bilang begitu hanya saja aku jarang menghadiri pesta."
Keramaian dan suasana yang padat begitu menyita perhatian Faith sampai wanita itu tidak sadar ketika Ian menekan pembuluh darahnya, mencoba meredakan ketegangan dengan mempermudah aliran darah di tubuh Faith.
"Santai saja," kata Ian. "Setidaknya semua ini hanya akan berlangsung selama satu malam. Nikmati malammu, Querida.."
Faith tidak bisa mencerna ucapan Ian dengan lebih baik lagi, tapi apa pria itu baru saja memanggilnya 'sayang'? Panggilan itu mungkin terdengar akrab oleh Ian. Pria itu mungkin memanggil semua kerabatnya dengan sebutan yang sama, tetapi tidak untuk Faith. Rasanya panggilan seakrab itu terlalu intim. Pemikiran tersebut tidak mengusik Faith sedikitpun. Bahkan, keramaian mampu menutupinya.
"Ada berapa banyak orang yang kau kenal di sini?" tanya Faith akhirnya, kakinya tidak pernah berhenti berjalan mengikuti Ian dengan sisi tubuh yang merapat pada pria itu.
"Tidak banyak, hanya beberapa rekan."
Tidak lama setelah kesunyian, sosok lelaki tegap dengan tinggi mencapai seratus sembilan puluh sentimeter, berkulit gelap dan sorot mata yang ramah hadir menyambut kedatangan mereka. Ian yang pertama kali berbisik di telinga Faith, tatapannya terfokus pada lelaki itu.
"Nicolas Tyler salah teman lama ibuku. Kabarnya, mereka sempat akan menikah jauh sebelum Landon melamar Jordyn, sayangnya Nic pergi meninggalkan Jordyn untuk tuntutan pekerjaannya di bidang militer. Sekarang dia seorang pengusaha besar dan berhati-hatilah, querida.. dia pria ambisius yang belum menikah. Jangan coba-coba membuatnya tertarik padamu!"
Faith tidak tahu apa Ian tengah membual atau berbicara soal fakta, yang pasti ia dibuat tertawa atas pernyataan posesif itu.
Menanggapi respons istrinya, Ian merengut. "Apa yang lucu? Aku bicara serius!"
Ian pasti bercanda! "Maaf, itu salahku."
Tyler berhenti di antara mereka tersenyum pada Ian kemudian merunduk untuk mencium punggung tangan Faith. Ketika Tyler mengangkat lagi tubuhnya, sekilas Faith menangkap kilat yang mengatakan temui-aku-malam-ini di matanya. Dan saat itu pula Faith baru sadar bahwa Ian bicara serius.
"Halo Landon!" Tyler tidak berlama-lama menatap Ian dan segera berpaling untuk menikmati pemandangan indah yang terpampang di samping Ian. "Halo Miss..?"
"Faith," kata Faith. "Cukup Faith."
"Ah, ya, Faith. Nama yang indah seperti pemiliknya."
Tyler memandangi Faith lamat-lamat, membuat rona merah jambu di wajah Faith kian mengembang, setidaknya sampai Ian berdeham, pria itu baru berpaling.
"Hati-hati.." nada suara Ian tidak kasar, tidak juga lembut, tapi penuh dengan peringatan. "Dia istriku," lanjut Ian.
Pernyataan terakhir itu tampaknya tidak mematahkan pancaran harapan di mata Tyler sedikitpun, kecuali hanya meninggalkan bekas kernyitan kecil di dahinya.
"Sayang sekali.. Aku hampir akan melamarnya malam ini."
Ian tertawa, Tyler tersenyum dengan menampakkan sederet gigi putihnya yang rata. Tyler adalah pria paruh baya yang masih tampak begitu tampan di usianya. Garis tegas dan kerutan di dahinya terlihat jelas. Ketika pria itu mencium punggung tangan Faith sebelumnya, Faith bisa merasakan kulit kasar yang terbakar matahari. Faith yakin semua itu merupakan bekas yang ditinggalkan sejak pelatihan militer.
"Boleh saja," Ian bergurau lagi. "Hanya saja, kau perlu meminta restu padaku, dan kuperingatkan kau, itu tidak mudah."
Tyler yang tertawa. Aksennya kental dan berat. Seakan pria itu mampu menggemparkan dunia hanya dengan mendengar suaranya yang menggelegar.
"Ah, kau sama kerasnya seperti Landon."
"Aku yakin itu aku."
"Sekarang katakan mengapa Jordyn tidak hadir di sini?"
"Tampaknya dia tidak datang ke Memphis. Itulah mengapa aku hadir disini. Aku tidak yakin ini, tapi dia hanya memintaku untuk menyampaikan salamnya padamu dan mengatakan bahwa, dia baik-baik saja di istana Landon."
Kerutan terbentuk di dahi Ian ketika Tyler tergelak setelah mendengar pernyataan itu. Faith tersenyum, rapi Ian menyadari kegugupan wanita itu dari cengraman tangannya yang semakin erat. Untuk kali kedua ibu jari Ian berputar di sekitar pergelangan tangan Faith, begitu menemukan pembuluh darah wanita itu, Ian menekankan ibu jarinya dengan lembut. Dan sekali lagi ketegangan Faith mereda.
"Jordyn,," Tyler mengucapkannya seakan pria itu begitu memuja nama yang disebutnya. "Dia selalu membuat aku merindukannya."
"Aku yakin dia juga begitu."
"Yah, Nak, sayang dia tidak di sini."
Ian tersenyum lebar. "Seandainya ada yang bisa kulakukan untukmu.."
"Tentu saja," sela Tyler. "Katakan padanya, hubungi aku kapanpun dia siap."
Kali ini Ian yang tertawa, meski tidak menghentikan pergerakannya untuk meredakan ketegangan Faith.
"Akan kusampaikan."
"Terima kasih, Nak." Tyler berpaling pada Faith. "Nikmati pesta ini dan bersenang-senanglah. Aku harus menyambut yang lain."
Usai mengulas senyum, Faith melihat pria itu berbalik, bergabung dengan rerumunan orang. Faith menatap Tyler ketika pria itu menyambut para undangan lainnya. Jas abu-abu yang dikenakan Tyler mempertegas sosoknya yang tinggi dan tampan. Rambut kelabu tidak sedikitpun mengurangi aura maskulinnya. Tubuhnya tegap dan sorot matanya bersahabat. Faith tidak bisa memercayai alasan apapun yang membuat pria itu memilih untuk hidup lajang hingga usianya mencapai kata 'paruh baya'.
"Aku rasa akan tiba saatnya untuk berdansa."
Faith bergitu terfokus pada apa yang dilihatnya sampai bisikan Ian terdengar saru oleh suara keramaian.
"Maaf.. Kau bilang apa?"
"Apa kau suka berdansa?"
"Semoga saja begitu, karena aku tidak bisa menolakmu."
Tertawa, Ian membimbing Faith dengan langkah mantap menuju lantai dansa. Alunan musik mengiringi perjalanan mereka. Dengan mantap, Ian meletakkan satu tangannya pada sisi pinggul wanita itu sementara Faith berusaha untuk berhadapan secara wajar. Sorot matanya mengunci tatapan Ian. Ketika Faith salah langkah, Ian menyanggah kemudian membimbingnya. Mereka tertawa kecil.
"Apa yang terjadi?" tanya Ian.
"Aku tidak pandai berdansa."
"Tidak sepenuhnya kelihatan begitu."
"Daddy selalu mengajak aku menghadiri pesta dan sesering itu juga aku menolaknya."
"Kenapa?"
"Hanya saja terlalu banyak orang."
"Jadi, bagaimana kau menghabiskan waktumu?"
"Biasanya aku akan mulai menulis."
"Tentang kesehatan?"
"Tentang cinta," sanggah Faith, matanya menatap lurus ke arah Ian. Kulit Faith bergelenyar setelah merasakan genggaman Ian yang mengerat di pinggulnya.
"Bisa kau ceritakan?"
"Pria tidak begitu menyukai melodrama."
"Aku masih ingin dengar," suara Ian terdengar lembut dan tidak memaksa, namun cukup meyakinkan hingga Faith harus menelan liurnya karena terpana.
"Ya.. Hanya cerita sederhana tentang seorang gadis petani yang mencintai seorang bangsawan."
"London?"
Faith mengangguk, merasakan rahangnya berkedut.
"Apa dia cantik dan berambut gelap dengan kulit pucat?"
"Dia cantik, berkulit pucat, rambutnya pirang," koreksi Faith, sekali lagi berusaha menelan liurnya. Pikirannya berkecamuk. Faith tidak pernah merasa sedekat itu dengan Ian, tapi sekarang berbeda. Dalam jarak itu, Faith bisa melihat tatapan Ian yang dalam. Pikirannya teredam dalam sensasi hitam pekat. Rahang Ian keras, hidungnya membentuk satu garis lurus dan garis wajahnya tegas. Bibir lelaki itu sedikit terbuka. Samar-samar Faith dapat menghirup aroma mulut Ian yang berbau mint. Tepat ketika Ian tersenyum, Faith seakan meleleh dipelukannya.
Faith berani bertaruh bahwa tidak seorangpun wanita yang cukup cerdas dapat menolak Ian. Pesona lelaki itu mampu mencairan hati yang beku. Bahkan, Faith merasa bahwa dirinya telah terperdaya. Faith merasakan tatapan Ian menembus hingga ke bagian terdalam di otaknya, bahkan sampai ke ulu hati. Mike tidak pernah menatapnya seperti itu – seolah-olah Ian bersedia mengorbankan hidupnya untuk Faith, seakan-akan Faith adalah bagian dari jiwanya dan sudah tidak dapat dipungkiri lagi, merupakan bagian dari nafasnya. Sejak dulu Faith selalu berharap akan ada pria yang menatapnya seperti itu, dan ketika harapan itu terwujud malam ini, entah bagaimana, namun ia seperti tidak tahu cara untuk gembira. Seakan tersenyum adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan. Seakan kebimbangan melingkupinya.
"Dia pasti gadis yang sempurna," kata Ian. Butuh semenit penuh bagi Faith untuk mencerna kalimat itu.
"Dia gadis petani yang buta," sanggah Faith untuk kali kedua. Faith melihat dahi Ian berkerut, matanya menyipit dan alisnya bertaut.
"Bagaimana dia bisa mengenali pasangannya?"
"Dia mencintai pasangannya dengan cara yang berbeda. Mereka bertemu dalam perjumpaan singkat, perjumpaan yang penuh dengan sandiwara, kemudian mereka berpisah selama tiga belas tahun dan dipertemukan kembali dalam kondisi yang berbeda."
"Bagaimana akhir kisahnya?"
"Mereka hidup dalam pernikahan yang bahagia."
"Ah.. Ya.. Siapa nama gadis petani itu?"
"Esmeralda."
Ian tersenyum, menampakkan sederet gigi putihnya. "Nama yang indah."
Kesunyian terjadi dalam beberapa detik. Faith masih terus menatap Ian, begitu pula sebaliknya, seakan mereka saling mengunci tatapan. Langkah kaki Ian masih membimbing Faith, dengan keluwesan, di atas lantai dansa dan mereka berputar dalam alunan melodi. Tiba ketika Faith merasa canggung, secara spontan ia berkata, "Ian.."
"Ya?"
"Bagaimana dengan Monica?"
Ian pasti salah dengar karena ia merasa Faith menyebut nama wanita yang tidak pernah diingatnya. Tapi kemudian Ian mengingat segala percakapannya dengan Faith jauh sebelum mereka melangsungkan pernikahan dan dengan senyum yang menawan, ia menanggapi, "Aku yakin dia baik-baik saja."
"Tidak, bukan itu maksudku," Faith berusaha membenahi genggamannya di pundak Ian. "Kau.. Tidak membawanya ke Memphis."
"Kenapa?"
"Hanya saja aku merasa sangat tidak adil padamu."
"Kau ingin aku mengundangnya?"
Faith tertegun, wajahnya membatu namun ekspresi Ian melembut sehingga ia tidak menjadi begitu gugup. "Kupikir itu bagian dari kesepakatan kita. Aku akan mengundang Mike dan kau juga begitu."
"Aku pasti melupakannya," kata Ian. "Aku hampir merasa liburan ini menyenangkan."
"Aku juga begitu."
Sejenak Ian berpikir bahwa mungkin kesepakatan itu akan tetap berlaku. Seandainya Faith mengatakan bahwa semuanya tidak adil untuk Ian, sudah pasti wanita itu merasa risih dengan semuanya. Sementara, hal terakhir yang ingin dilakukan Ian adalah membuat pernikahan mereka menjadi tanggungan yang berat untuk Faith.
"Apa semuanya akan berbeda jika Monica datang?" tanya Ian akhirnya.
"Aku pikir tidak. Itu jadi adil, kan?"
Tidak dalam benak Ian. Tuhan tahu bahwa satu-satunya kehadiran yang dapat diharapkan Ian hanya kehadiran Faith. Itu saja sudah membuat Ian bahagia. Tapi Ian tidak bisa menyalahkan Faith karena berpikir demikian. Bagaimanapun, mereka dipersatukan dalam sandiwara konyol. Bukan hal yang aneh jika semuanya menjadi semakin konyol.
"Kau benar," Ian menyetujui dan disaat yang bersamaan, hati Faith mencelos. "Kupastikan dia tiba esok. Aku harap kau memaklumi sikapnya. Dia bukan wanita dengan tutur kata yang baik."
"Aku mengerti."
Dan dengan dua kata itu, segala perbincangan mereka berakhir. Bahkan, sepanjang perjalanan pulang, tak satupun dari mereka yang bicara. Ian sibuk dengan pikiran dan rencananya sementara Faith, entah bagaimana ia tidak bisa memercayai apa yang dirasakannya kala itu. Senang? Sedih? Bimbang? Faith benar-benar kalut. Tidak pernah ia jadi sehampa itu sebelumnya, bahkan tidak saat bersama Mike. Tentu saja, karena Mike selalu membuat Faith sibuk dengan semua cerita dan hasratnya. Mike tidak memberi kelonggaran waktu bagi Faith untuk berpikir sedikitpun. Tidak pernah membiarkan Faith membuka diri, mempertimbangkan pilihan dan mengerti perasaannya. Tapi Ian tidak begitu. Lelaki itu jauh dari apa yang dipikirkan Faith. Ian tidak memaksakan kehendaknya, berpikir dengan cara yang berbeda, cara yang membuat Faith berpikir lebih sehat tentang dirinya dan segala tindak tanduknya.
Dan saat itu juga Faith menyadari satu fakta bahwa, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah merasa lebih bodoh dari malam itu. Tahu dengan jelas bahwa ia telah membohongi dirinya. Membentengi perasaannya dan menuturkan semua kata yang tidak diharapkan oleh hati kecilnya.
Faith tidak mengharapkan kehadiran Monica atau siapapun Ian menyebut wanita itu, di tengah kebahagiaan sederhana mereka..