Ian berpikir mengunjungi tempat itu akan menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Tetapi yang terjadi justru berbanding terbalik dari apa yang diharapkan. Siapa bilang membuntuti istrinya adalah pengalaman yang menyenangkan? Membuntuti Faith sampai ke depan vila dan melihat bagaimana istrinya berjalan bersama pria lain dengan lengan saling mengait dan tubuh yang menempel erat, memasuki vila itu, kemudian ia harus menunggu selama satu jam penuh sampai akhirnya memutuskan untuk kembali adalah hal paling konyol yang Ian lakukan sepanjang hidupnya. Namun, terlepas dari kekesalan akan apa yang dilihatnya, Ian puas karena setidaknya ia sudah memastikan bahwa Faith baik-baik saja.
Begitu ia sampai, ia segera memarkirkan mobil di garasi, beranjak naik untuk membasuh diri dan berpikir untuk segera tidur dan melupakan gambaran tentang bagaimana Mike menyentuh Faith. Niat itu baru akan dituntaskannya sebelum Ian berpikir bahwa sebaiknya ia menunggu di sofa dan melakukan kegiatan apapun yang membuat Faith tidak mencurigainya.
Ian tidak berniat membiarkan Faith pulang sementara ia sudah tidur dengan nyaman di atas ranjang. Tugasnya belum selesai, setidaknya ia harus menunggu wanita itu benar-benar kembali.
Setelah meneguk habis obatnya, Ian meraih beberapa panekuk yang baru dipanaskan kemudian beranjak menuju ruang duduk. Meletakkan panekuknya di atas meja, ia duduk di sofa dengan menselonjorkan kaki sambil menyalakan stasiun televisi. Channel pertama yang dipilihnya adalah berita kemudian ia beralih ke channel seputar olahraga.
Ian berusaha keras untuk fokus pada siaran tv, namun bayangan Faith sedang b******u dengan Mike menghantui pikirannya, membuat darahnya naik hingga ke ubun-ubun. Sejauh ini Ian selalu berhasil mengandalikan dirinya, namun dalam kasus ini, entah bagaimana, ia merasa telah bertindak jauh lebih bodoh dari yang sudah-sudah.
Seharusnya Ian tahu risiko dari sandiwara dalam pernikahan ini. Semua hal-hal konyol tidak baik untuk dirinya dan tidak pernah ia lakukan-setidaknya sampai pertunangan itu terjadi. Tapi, melepaskan Faith sama saja seperti mengecewakan banyak pihak. Dan bukan hanya Faith yang tersakiti, tapi keluarga besarnya terutama keluarga wanita itu. Menyakiti Faith adalah hal terakhir yang ia inginkan.
Ian menolak untuk merasa kecewa atas apa yang baru saja terjadi. Ia tahu bahwa dirinya telah membuat kesepakatan bersama Faith dan itu berarti ia harus bersikap suportif.
Jarum jam telah mengarah pada angka sebelas ketika sorot lampu cadillac tua yang ia kenali menembus masuk melalui jendela. Ian mendengar seseorang menaiki undakan dan masuk melalui pintu belakang. Tepat seperti yang diperkirakan, Faith muncul beberapa detik setelahnya. Wanita itu masih berpenampilan sama: memakai topi dan mantel hitam dengan terusan jeans berwarna biru pucat dan gaun putih yang minim, kecuali rambut Faith kelihatan lebih lembab dari terakhir kali Ian melihatnya. Ian sempat mengira kalau Faith baru saja berendam bersama Mike dan b******u di bak mandi.
Pemikiran itu membuat Ian semakin gusar. Sebelum ia membuatnya semakin menjadi-jadi, Ian segera meluruskan kedua kakinya, mematikan siaran televisi dan berusaha menyambut Faith dengan hangat.
Faith berbalik dari ambang pintu dan tersenyum ketika bertemu pandang dengannya. Wanita itu tidak menunggu ditawarkan ketika mengambil posisi duduk di samping Ian. Menatap mata dan rona di wajah Faith tidak pernah terasa sememilukan ini. Ian bertanya-tanya dalam benaknya: kepuasan apa yang baru saha diberikan Mike pada Faith, istrinya. Ian selalu membayangkan ia bisa menggantikan tugas Mike untuk memuaskan Faith. Ian selalu berharap bisa menyentuh Faith sampai sejauh itu.
Demi Tuhan, dia istrimu! Kau berhak atas dirinya.
Sayangnya pernyataan itu tidak berlaku untuk pernikahan mereka.
Faith meletakkan telapak tangannya di atas paha Ian yang terbalut oleh jeans usang. Sentuhannya saja mampu membuat Ian terhenyak di tempat. Tapi sepertinya Faith tidak merasa terusik barang sedikitpun.
"Kau tidak menyebut soal kebiasaan tidur malam? Kupikir kau memedulikan pola tidur untuk kesehatanmu juga."
"Aku hanya merasa tidak begitu sehat saat sedang tidur." Kilah Ian sambil mencari posisi senyaman mungkin di atas sofa. Ian tidak berharap Faith membaca isi pikirannya, mengenali rasa canggungnya dan betapa terusiknya ia akan tangan mungil yang singgah di atas jeans usang miliknya.
"Kau pasti belum mencoba lebih keras."
Ian tersenyum masam. "Bagaimana liburanmu?" pertanyaan itu terhantur begitu saja. Benar-benar melewati batas pemikirannya.
Faith menanggapinya dengan enteng. "Semenyenangkan seperti biasa. Aku mulai memikirkan suasana baru jika seandainya kau ikut berlibur, mungkin semua akan jadi semakin menyenangkan."
Tanpa disadari Faith-pun, Ian sudah ada disana, bersamanya, berusaha menjaganya dari jauh. Namun Ian menolak soal pernyataan terakhir Faith.
"Aku meragukan itu."
"Terserah bagaimana kau akan percaya tapi aku sudah menyusun semua daftarnya."
Dahi Ian berkerut, kedua alisnya menyatu. "Oh ya?"
Faith mengeluarkan secarik kertas berukuran kecil yang tergulung rapi dari balik mantelnya, kemudian menyerahkan gulungan itu pada Ian. "Daftar pencapaian terbaikku!" kata-kata Faith terdengar penuh dengan antusiasme dan rasa percaya diri.
Faith memerhatikan sementara Ian membaca semua poin-poin utama yang sengaja diletakkan Faith disana. Ketika Ian tersenyum, ia bisa membayangkan tulisannya.
Daftar pencapaian terbaikku.
Menulis satu paragraf skandal
Membuat tart rasberi sendiri
Berkuda
Berlayar di tepi pantai
Mengunjungi berbagai negara di penjuru dunia
Membuat taman hortikultura
Meneliti patung di museum
Bertemu banyak orang
Membaca rasi bintang
Bersepeda
Melihat matahari terbenam
Berdiri di atas tebing
Menakhlukan dokter ahli bedah..
"Apa ini?" Ian tersenyum menatap Faith dan wanita itu balas tersenyum.
"Daftar pencapaianku."
"Aku tahu," Ian melambaikan jarinya pada kalimat terakhir. "Apa maksud yang satu ini?"
Faith berpura-pura terlihat wajar. "Oh.. Kau bisa simpulkan sendiri."
Tapi Ian belum menyerah. Ia bergeser mendekat dan membuat Faith canggung ketika harus menatapnya. "Kau ingin menakhlukanku, Senorita?"
Kata 'Senorita' terdengar akrab di telinga Faith. Faith tidak tahu banyak tentang bahasa Spanyol, namun ia tahu sedikit istilah panggilan yang familier.
"Kedengarannya itu hal besar untukmu? Setiap pria yang datang dalam hidupku, harus ku takhlukan.”
"Aku tidak semudah itu."
"Itulah mengapa aku menulisnya dalam catatan tambahan."
"Tapi kau menulisnya dalam daftar pencapaian."
"Apa yang salah dengan itu?"
Dengan seulas senyumnya yang memesona, Ian merajuk. "Tidak ada yang salah dengan itu." Ian beringsut mendekat pada Faith, menatap wanita itu sampai Faith merasa jengah.
"Ian," Faith merasakan wajahnya merona dan Ian hanya tersenyum. "Ian, ceritakan aku tentang kesehatan!"
"Kau ingin aku bicara tentang kesehatan?"
"Ya, tolong.."
Ian memutar wajahnya, tersenyum ketika Faith menunggu, kemudian berbalik kembali untuk meraih tangan Faith. Jari-jarinya menelunsuri urat di bawah punggung tangan Faith. Ian menggerakan jemarinya dengan lembut di atas tangan Faith, mengirim sensasi aneh yang segera menjalar ke seputar tubuh Faith.
"Kau tahu? Tubuh kita memiliki sekitar 5,6 liter darah. 5,6 liter darah ini beredar ke seluruh tubuh sebanyak tiga kali setiap menitnya. Dalam satu hari, darah menempuh perjalanan total sekitar 19.000 km. Sekarang kau bisa tahu betapa jauhnya darah berkelana.." Ian menatap Faith dan wanita itu masih membatu di tempat. Tersenyum, Ian mengerahkan jemarinya menyusuri pergelangan tangan Faith, merambat naik hingga ke tulang siku Faith kemudian sampai di lengan Faith yang telanjang. Faith merasakan sensasi aneh mulai mengocok seisi perutnya. Sentuhan Ian mengantarkan gelombang keresahan yang entah bagaimana terasa menyenangkan, membuat sebuah janji kesenangan yang dirindukan Faith.
Ian masih terus bicara, “seorang wanita dewasa memiliki sekitar 5 liter darah dan seorang pria memiliki sekitar 6,5 liter. Arteri, vena dan kapiler membantu dalam transportasi darah.” Ian berhenti sebentar kemudian, menatap Faith dan tersenyum kecil setelah melihat bagaimana mata almond Faith yang sebelumnya cerah mulai menggelap. Kemudian Ian melanjutkan penyiksaannya. Satu tangannya merambat naik sampai ke atas bahu Faith, kemudian secara perlahan menyusuri tulang selangka Faith dan berhenti tepat di samping rongga d**a sebelah kiri Faith yang sedikit terekspos.
Nafas Faith tercekat. Matanya menatap lurus ke Ian yang tidak berusaha mengangkat pandangannya.
“Jantung memompa sekitar satu juta barel darah selama seumur hidup rata-rata. Jantung menjadi bagian sentral dari sistem tubuh kita karena menjadi pusat penggerak darah ke seluruh tubuh. Ia berdetak 30 juta kali dalam 365 hari. 4000 galon darah dipompa oleh jantung per hari. Bahkan setelah jantung diambil keluar dari tubuh, dia akan terus berdetak.”
Ian menatap Faith sekadar memastikan wanita itu sadar sepenuhnya. Ia melanjutkan begitu semuanya berjalan sesuai keinginan. Ian berusaha keras untuk mengangkat tangannya dan membawanya menyusuri tulang bahu, kemudian singgah pada bagian selembut sutera berwarna kecokelatan milik Faith. Ian memerhatikan rambut itu, segera memanfaatkan waktu untuk merasakan teksturnya lebih lama begitu ada kesempatan.
“Rambut manusia tumbuh sekitar 6 milimeter setiap bulan dan terus tumbuh hingga 6 tahun lamanya. Rambut yang sudah mencapai usia 6 tahun kemudian jatuh dan rambut lain akan tumbuh di tempatnya.”
Jemari Ian tidak singgah begitu lama dan segera beralih untuk menyentuh tulang wajah Faith. "Meskipun rata-rata ketebalannya hanya 2 milimeter, kulit kita hanya mendapat seperdelapan dari seluruh suplai darah di seluruh tubuh."
Ian menatap mata Faith, mendekatkan wajahnya sampai yang dapat ia hirup adalah nafas Faith dan begitu pula sebaiknya. Kulit Faith mulai bergelenyar, jantungnya berdegup kencang, bahkan ketika Ian menyentuh tulang hidungnya sambil bergumam, “tengkorak tampak seolah-olah terdiri dari satu tulang. Padahal, tengkorak terdiri dari 22 tulang yang terpisah, disatukan bersama-sama dengan sendi kaku sebagai penyambungnya.”
Faith tidak pernah merasa lebih bodoh dari ini. Tidak pernah merasa lebih gila begitu mendapati seorang pria tepat di depan wajahnya, mendekat seakan bersiap untuk melahapnya hidup-hidup. Bulu roma Faith meremang. Mata gelap Ian masih tampak seperti biasa, begitu tenang. Namun, bibirnya yang sedikit terbuka menawarkan godaan yang membangkitkan gairah Faith sampai ke ubun-ubun.
Faith tidak pernah menjadi lebih rakus dari yang sudah-sudah. Faith sudah mrnginginkan Ian sementara belum genap satu jam lalu ia b******u bersama Mike. Faith tidak pernah merasa sekeji ini, tidak pernah merasa jadi senakal sekaligus.. sehidup ini. Ian adalah godaan besar. Lelaki itu beraroma khas rempah-rempah. Sangat menyenangkan mencium aroma tubuh Ian. Faith membayangkan akan seperti apa rasanya jika ia b******u dengan Ian, suaminya, atau sebut saja begitu.
Ketika Faith berpikir Ian mendekati dan berusaha menciumnya, seluruh indranya terjaga. Namun, tak seperti apa yang dipikirkan begitu Ian justru melewatinya untuk meraih sepiring panekuk yang diletakkan di meja seberang. Pria itu kembali sambil menyerahkan panekuknya tepat di hadapan Faith. Melihat Faith dengan seluruh indranya yang tegang, senyum Ian merekah.
"Sudah saatnya makan malam," Ian memaksa Faith untuk meraih piring yang terisi itu sebelum meminta Faith menghabiskannya. "Aku tidak tahu apa perutmu sudah terisi penuh, tapi kau harus menghabiskan panekuk ini untukku. Dan jangan khawatir, aku membuat panekuk bebas gula. Kau bisa mengosumsinya kapanpun." Ian menambahkan.
Faith tidak berpikir panjang ketika melahap potongan-potongan makanan itu dan menelannya. Rasanya sangat enak tapi Faith tidak bisa merasa lebih tergugah seperti biasa atas apa yang baru saja terjadi. Ian membuat tangannya bergetar dan tubuhnya nyeri. Seandainya Faith tidak berpikir dengan lebih sehat, mungkin ia sudah menarik pria itu dan menciumnya sampai puas. Tapi beruntung, Faith masih sanggup mengendalikan dirinya dari nafsu berahi.
Tawa Ian mengembalikan suasana seperti sebelumnya. Faith bersyukur karena itu. Ia tidak berniat menghabiskan panekuknya sendiri, jadi ia menyodorkan sebagian panekuk bekas gigitannya pada Ian. Awalnya pria itu menolak, namun berkat paksaan Faith, Ian melahap sisa makanannya sambil tersenyum.
“Aku sudah memikirkan segalanya.”
Faith tidak mengerti. “Maaf?”
“Rencanamu untuk membuat hortikulturamu sendiri. Kau ingin aku membantumu?”
“Ya.. ya, itu yang ku harapkan,” sahut Faith dengan antusias.
“Kalau begitu kau tidak perlu memusingkan detail. Aku sudah menyiapkan semua yang kau butuhkan. Besok, kalau kau punya waktu aku ingin mengajakmu berkunjung ke rumah hortikultura milik seorang teman. Dia juga menyediakan semua yang kau butuhkan untuk membuat taman hortikulturamu sendiri.”
Tidak ada yang jauh lebih menyenangkan dari penawaran itu. Bagaimana Faith akan melewatinya?
“Aku sudah putuskan kalau besok aku akan pergi bersamamu.”
Ian ikut bahagia. “Itu bagus. Aku pikir kau butuh istirahat yang cukup. Kau harus menyiapkan energi untuk hari yang menyenangkan, bukan?”
Yah.. jarum jam juga sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Faith tidak pernah menghabiskan harinya sampai selarut itu, hanya saja ia merasa lebih senang jika bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengobrol dan mengenal Ian lebih jauh.
Mengabaikan keinginan untuk tetap tinggal, Faith meletakkan piring kosong itu di meja seperti sebelumnya kemudian bangkit berdiri. Ia berbalik untuk menatap Ian. Tepat seperti yang diharapkannya, lelaki itu masih duduk di sana, menunggu Faith pergi lebih dulu sebelum beranjak ke ruangan pribadi mereka masing masing.
Berdeham, Faith angkat bicara. “Ian,” Ian hanya merespons dengan senyumnya yang memesona. “Aku berpikir bahwa akan jauh lebih mudah jika kita jadi sepasang teman yang akrab. Kau tahu? Kau pria yang menyenangkan, aku ingin berteman denganmu.”
Terjadi keheningan selama beberapa detik selagi Ian menimbang. Faith mulai ragu dengan kata katanya, namun Ian berhasil menepis keraguan itu dengan menjulurkan tangannya dan menghanturkan janji pertemanan yang indah.
“Kau akan menjadi lebih baik jika berteman denganku.”
Faith tertawa, menimbang sebentar sebelum menerima jabat tangan itu. Tangan Ian terasa dingin di kulitnya. Dalam benaknya Faith bertanya tanya sudah berapa lama Ian duduk di sana, tanpa pakaian hangat, di tengah udara dingin yang begitu menusuk. “Penawaran yang adil sepertinya.”
Dahi Ian berkerut, kedua alisnya bertaut. “Kelihatannya begiitu.”
Faith yang harus melepas jabat tangan mereka lebih dulu. Berbalik, ia mengambil langkah menuju ruangannya. Faith baru akan menyusuri anak tangga ketika Ian berseru di belakang.
“Faith!”
Setelah menghentikan langkahnya, Faith menatap Ian lagi. Kali ini ia hanya menunggu.
“Pink?”
Tawa Faith terdengar indah di telinga Ian.
“Berikan alasanmu!”
Ian mengatakan satu satunya jawaban yang terlintas dalam benak. “Semua wanita suka warna pink.”
“Tidak dengan aku.” Faith melihat bahu Ian merosot dan senyum bahagianya terpancar. “Selamat malam, Ian!”
“Selamat malam Faith.”
Kemudian Faith beranjak pergi dengan perasaan tak keruan. Ia hanya mampu tersenyum sepanjang perjalanannya menuju kamar dan masih terus tersenyum hingga matanya merasa lelah untuk terjaga. Dalam benaknya hanya terngiang sebuah kalimat sederhana: Lelaki itu menginginkan aku. Masih menginginkan aku.
Faith tidak punya alasan akan mengapa ia begitu merasa bahagia karena fakta itu.
Ian seharusnya tahu, Faith wanita yang berbeda. Wanita itu tidak menyukai perhiasan mahal, barang-barang antik. Kegemaran Faith terletak pada hal-hal yang sederhana. Dan hidupnya yang serba berkecukupan tidak pernah membuat Faith jatuh pada kebiasaan bersosialita tinggi seperti para wanita kebanyakan. Satu yang terpenting, Faith tidak menyukai warna pink.
Hhmm.. Ian bergumam dalam hati. Warna apa yang disukai istrinya yang luar biasa? Ia membawa pertanyaan itu dalam tidurnya.
***
Faith merasa terusik ketika sinar matahari menembus masuk melalui tirai jendela. Hari sudah semakin siang dan ia segera terjaga. Faith merasakan godaan untuk tetap bergelung di atas beledu yang nyaman itu sampai beberapa menit lagi, tapi ingatan akan janji yang menyenangkan membawa kakinya turun menjejaki lantai kayu yang dingin.
Faith menatap jam dindingnya, bergegas masuk ke kamar kecil sebelum beranjak ke luar untuk menemui Ian.
Pria itu tengah sibuk dengan tali sepatu dan pakaian olahraganya ketika Faith turun menyusuri susuran tangga dengan piyama berbahan minim yang membungkus tubuhnya. Faith segera berhenti di anak tangga terakhir.
"Ian?"
Ian menengadah dari sofanya, meninggalkan ikatan sepatunya untuk melihat Faith berdiri disana. Dengan pakian minim yang hampir transparan. Liur Ian tertahan di tenggorokan. Tatapannya menjarah tubuh Faith dari atas rambut hingga ujung kaki. Tatapan itu berhenti pada kaki Faith yang jenjang. Kemudian merambat naik dan terpaku pada perut Faith yang sedikit terekspos karena kain minim terkutuk itu. Ian berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dan tetap terlihat wajar.
"Kau sudah bangun."
Faith tersenyum kemudian beranjak menuju konter. Ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sekotak s**u dari sana.
"Apa kau berniat untuk melatih otot-ototmu lagi?"
Sekarang mata Ian tertuju pada tulang selangka Faith. "Sebenarnya aku berencana untuk jogging."
"Dimana?”
"Aku akan memutari rawa dan berhenti di dekat danau. Sudah sejak lama aku tidak menempuh jalur itu. Aku ingin memastikan semuanya tidak berubah."
Faith meneguk botol susunya sebelum bicara, “keberatan kalau aku ikut? Kelihatannya ini pagi yang terlalu cerah untuk dilewatkan.”
Ian menangguk. Merasa tidak sanggup menemukan kata-katanya ketika tenggorokannya terasa kering oleh pemandangan yang menakjubkan.
"Baik. Tunggu sebentar! Aku akan segera kembali." Faith tersenyum kemudian dengan penuh antusias ia pergi untuk mengganti pakaian.
Lima belas menit kemudian mereka berjalan ke luar menyusuri jalur setapak. Embun pagi membasahi rumput liar yang tumbuh di sepanjang jalur setapak. Tanahnya masih basah dan kerikil menutupi jalan. Pohon-pohon berdiri di kedua sisi jalan dan beberapa genangan air bekas hujan menutupi jalur yang berlubang.
Faith berlari-lari kecil sembari mengatur nafasnya dan Ian berusaha untuk menyeimbangkan langkah. Wanita itu tidak pernah berhenti bicara sepanjang perjalanan dan entah sejak kapan Ian menjadi sangat pasif. Tidak ada yang dilakukan Ian selain berusaha menjawab setiap pertanyaannya.
"Kapan terakhir kali kau mengunjungi tempat ini?"
"Saat aku berusia dua belas tahun."
"Siapa yang ada bersamamu saat itu?"
"Pamanku. Dia yang selalu mengajak aku berlayar di danau. Terkadang mengajak aku berkeliling dan berburu. Daerah ini begitu menyenangkan dan jarang sekali aku jumpai. Terkadang aku merindukan masa-masa ketika aku berburu di hutan. Ada banyak sekali yang bisa ku temukan dan aku belajar banyak hal."
"Dimana pamanmu sekarang?"
Ian ragu sebentar, seulas senyum mengambang di bibirnya. Ia kelihatan tidak senang dengan topik mereka. "Di suatu tempat di Texas."
Faith kelihatan meragu, segera paham bahwa Ian tidak begitu nyaman membahas topik itu. Namun, dalam benaknya Faith punya sejuta pertanyaan yang belum terjawab. Perasaannya ingin mengenal apa dan siapa Ian lebih jauh. Sebagai seorang teman, Faith menganggap hal itu wajar, dan ia tipe orang yang jika mengartikan sesuatu sebagai hal yang wajar, maka ia akan terus berusaha menggali informasi dengan cara yang wajar.
Faith menolak untuk mengajukan pertanyaannya sepanjang perjalanan menyusuri rawa. Ia sengaja menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu begitu mereka sampai di danau. Ian yang bergerak beberapa langkah lebih depan dari Faith, matanya berkeliling seakan sedang berusaha mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari?"
Ian beranjak begitu menemukan rakit di atas tumpukan bambu. Senyumnya melebar begitu ia membawa rakit itu ke tepi sungai, sementara Faith berdiri dan memerhatikan.
Setelah memastikan rakit itu mengambang di atas air, Ian menjulurkan satu tangannya pada Faith sembari bergumam,
"Kemari, Faith!"
Faith ragu sebentar, tapi kemudian beranjak mendekat. "Apa yang kau lakukan?"
Bibir Ian mengulas seringai. "Aku ingat sepenuhnya kau menulis kata 'berlayar di tepi pantai' dalam daftar pencapaian terbaikmu. Kenapa kita tidak mencobanya sekarang? Air di danau ini jernih."
Faith menghela nafas sesaat, membalas seringai Ian dengan kernyitan di dahi kemudian mengoreksi pria itu. "Aku menulis kata 'di pantai'."
Ian mengangkat kedua bahunya dengan tidak acuh. "Kau perlu latihan, kan? Kau tidak mungkin mengambil risiko untuk hanyut terseret ombak karena tidak punya pengalaman berlayar. Mari, biar ku tunjukan padamu betapa menyenangkannya ini!" Ian menjulurkan tangannya sekali lagi dan untuk kali ini Faith tidak menolak. Sambil tersenyum, Faith meraih tangan itu kemudian membiarkan Ian membimbingnya menaiki rakit sementara pria itu berusaha menjaga keseimbangan.
Ian bergabung beberapa detik setelahnya kemudian, dengan menggunakan kayuh bamboo, mereka mendayung mengarugi danau. Matahari pagi bersinar cerah meninggalkan seberkas siluet keemasan yang terpantul di air danau yang jernih. Suasana begitu teduh berkat pohon-pohon di sekitar mereka, kemudian suara-suara jangkrik menambah kelengkapan suasana. Faith duduk sambil memerhatikan Ian, tidak kehilangan fokus dengan kayuhnya sendiri. Meski jalur yang mereka tempuh berkesan singkat dan terlalu padat, Faith menikmatinya. Terutama karena Ian banyak bicara dan berhasil mencairkan suasana dengan humornya yang aneh.
"Apa kau takut pada tupai?"
"Tupai?" Faith mengulangi dan Ian mengangguk. "Tidak. Mengapa?"
"Itu bagus," kata Ian. "Terkadang tupai sering kehilangan langkahnya dan jatuh dari atas dahan pohon. Seringkali aku kejatuhan tupai. Terakhir kali binatang itu jatuh di atas bekal piknik yang ku bawa. Aku harus kembali dengan perut kosong dan menyumpah sepanjang perjalanan karena binatang itu."
Faith tertawa. "Apa kau takut tupai, Ian?"
"Ya. Tapi tidak dengan kodok."
"Kodok?!" Faith mengulangi kata itu seakan Ian baru saja membicarakan soal hantu. Kemudian Faith mendesis. "Aku tidak suka binatang itu."
"Aku suka kodok," sahut Ian sambil menyeringai. "Bagaimana soal cacing?"
"Astaga, aku benci cacing. Melihatnya bisa membuatku mual seharian!" aku Faith secara terus terang. Mimik wajahnya berubah total.
"Tapi kau suka hortikultura?"
"Tidak dengan cacing. Binatang itu memang baik untuk tanaman, tapi bagiku tidak ada mimpi yang lebih buruk selain bertemu cacing."
"Bagaimana dengan aku?" Ian menggoda Faith dan wanita itu segera merespons dengan tawanya.
"Kau seperti cacing, Ian." Faith tertawa sekali lagi, tampak puas dengan humornya sendiri. Anehnya, Ian tampak tidak begitu terusik dengan itu.
"Setidaknya aku tidak seperti semut. Terlalu banyak mengosumsi gula."
"Kau pasti bercanda. Aku tidak begitu menyukai semut."
"Apa yang kau suka, Faith?"
"Serangga.."
"Selain itu?"
"Aku suka soda."
"Soda tidak terlalu baik dikonsumsi secara berlebih."
"Sama seperti makanan dengan gula tinggi," timpal Faith. "Aku hanya berusaha membuat diriku senang."
"Kalau begitu kau harus mencoba jus."
"Aku lebih suka scotch."
Kedua mata Ian menyipit, sementara tangannya terus mendayung, ia menatap mata almond Faith lekat-lekat. "Apa yang kau rasakan saat meminumnya?"
"Terbakar, dan setelah itu aku merasa hilang kendali. Rasanya sungguh luar biasa. Segala masalah akan hilang dari pikiranku selama sesaat.."
"Dan setelah rasa itu berlalu, kau akan menghadapi masalah itu lagi?"
"Ya." Faith mengatakannya dengan lesu, wajahnya tampak murung.
"Apa yang coba kau singkirkan dari hidupmu yang tidak cukup berani untuk kau hadapi Faith?"
"Kenyataan."
"Bahwa kau menikah denganku?" tanya Ian secara terang-terangan.
Itu juga termasuk. Tapi Faith tidak akan mengatakannya. "Bahwa aku tidak pernah bisa mengecewakan orang tuaku."
"Dan itu berarti: ya."
Faith merajuk. "Ian, aku tidak bermaksud.."
Tawa Ian kemudian menyusul. "Senorita, jangan menganggap aku serius! Kau harus belajar untuk memahami bagaimana aku bicara dengan wanita."
Kalimat itu terdengar menyakinkan, bahkan berhasil membuat Faith ikut tersenyum. "Ada berapa banyak wanita, Ian?”
“Lima..” Ian tertegun kemudian meralat. "Mungkin sepuluh."
"Yang terhitung?"
Ian tertawa lagi. "Tidak termasuk kau."
"Sudah ku duga."
"Kau ada dalam daftarku sekarang."
"Jangan harap kau bisa mendapatkan aku!"
Kemudian Ian merengut masam. Menatap wanita itu dan tertawa kecil. "Sayangnya kau istriku."
"Ian!"
Ian tertawa bebas. Menarik diri lebih dekat. Ketika Faith menjauh, rakit yang mereka tumpangi kehilangan keseimbangan. Faith berusaha memberontak karena panik, tapi Ian menarik wanita itu dan mendekapnya sampai tenang. Hingga rakit mereka seimbang lagi.
"Aku bisa membunuhmu seandainya aku kembali dengan baju basah, kau tahu?"
Faith tertawa. Ia berusaha menjauh tapi Ian menahannya di tempat. Wangi rempah-rempah dari tubuh Ian menyeruak ke dalam indra penciuman Faith.
"Kalau kau berusaha membunuhku, aku tidak akan segan untuk melakukannya lebih dulu."
"Gracias!"
Faith tersenyum lebar. Dalam dekapan Ian ia berbisik,
“Ian?”
"Hhmm?"
Telinga Faith menempel erat di atas d**a Ian. Dari sana ia mampu mendengar suara gemuruh dan aksen khas Spanyol Ian yang kental. "Apa kau suka bicara bahasa Spanyol?"
"Terkadang."
"Katakan sesuatu padaku dengan bahasa Spanyol!"
"Kau ingin aku mengatakan apa?"
"Apapun! Tolong, aku ingin mendengarnya.."
"Todavia conmigo !"
Senyum Faith mereka kembali. "Apa artinya?"
Ian menolak untuk bicara. Alih-alih ia menjawab, "kau akan tahu."
Beberapa menit kemudian terjadi keheningan. Faith bergelung dalam dekapan Ian sampai ia merasa butuh ruang yang lebih leluasa untuk bergerak.
"Ian?"
"Hmm?"
"Kau bisa melepaskan aku sekarang!"
Ian tidak serta merta menurutinya, namun sebagai respons ia hanya mengendurkan dekapan itu dan membuat Faith merasa lebih leluasa. Kemudian Ian menurunkan wajahnya untuk berbisik di dekat telinga Faith.
"Katakan querida, apa jika aku menyebut warna merah kau akan membuka pakaianmu untukku?"
Faith menggeleng. Tersenyum begitu mendengar bagaimana Ian berdecak karena kesal.
"Sial!"
"Jangan mengotori dirimu dengan umpatan kasar apapun!"
"Tidak peduli bagaimana aku di matamu, apa kau menyukai warna-warna lembut? Atau kau menyukai sesuatu yang rumit?"
Faith benar-benar tertawa. "Kau punya lebih banyak waktu untuk mencari tahu."
“Sial, kau mempermainkan aku!”
Ungkapan Ian barusan terdengar asing di telinga Faith hingga wanita itu harus menengadah untuk menatap langsung mata hitam Ian kemudian melepas dekapan pria itu secara paksa.
"Apa katamu?"
"Kau sengaja mempermainkan aku," ulang Ian tanpa merasa bersalah.
"Hanya karena aku tidak berniat menikahimu, bukan berarti aku harus menghalangi usahamu melucuti pakaianku. Kau hanya perlu berusaha lebih baik, Ian. Lakukan yang kau inginkan dengan caramu dan begitu juga aku."
Ian tidak mau kalah. "Bahkan saat aku merasa perlu merasakan seperti apa istriku kau masih berusaha mempermainkan aku."
"Aku tidak mempermainkanmu!" Faith memberi penegasan pada kata terakhirnya.
Ian mendengus, matanya menatap Faith dan pria itu memasang mimik wajah yang jarang dilihat Faith. "Coba lakukan itu Faith! Katakan berapa ukuran pakaian dalammu?"
"Kau gila!"
"Ah!"
Sebuah ranting yang patah dari dahannya jatuh tepat di atas rakit. Terkejut, Faith berusaha menjauh hingga membuat rakit mereka kehilangan keseimbangan lagi. Kalau saja Ian tidak segera menarik wanita itu, rakit mereka pasti akan berbalik dan membuat keduanya basah kuyup oleh air danau.
Faith bergetar saking terkejutnya, diluar sadar kedua tangannya mendekap Ian erat-erat. Beberapa detik setelah insiden itu berlangsung, Faith segera tersadar. Menengadah, matanya bertemu pandang dengan Ian. Faith menjadi lebih terkejut lagi ketika mendapati dirinya berkata, "aku berbohong.."
Ian benar-benar tidak mengerti. "Apa?"
"Aku takut pada tupai."
Kemudian pemahaman segera melintas. Ian tertawa sementara Faith berusaha mengatur nafasnya yang memburu akibat ranting sialan itu. Apa yang membuatnya berpikir kalau ranting itu adalah seekor tupai dan bagaimana ia menjadi begitu bodoh dengan mengatakan kebenarannya?
"Kau takut semua binatang. Kau tidak bersahabat dengan binatang apapun." Kali ini Faith tidak punya alasan yang lebih baik untuk mengelak. "Tidak apa-apa querida! Tidak apa.." lanjut Ian.
Faith benci saat pria itu tertawa atas ketakutannya namun Faith harus mengakui ucapan Ian barusan telah membuatnya lebih terkendali. Bahkan, Ian berusaha menariknya lebih erat dalam dekapan.
Hal itu berlangsung selama beberapa menit yang senyap. Tidak ada yang lebih diinginkan Ian selain mendekap Faith seperti itu, sementara Faith sendiri hanya berusaha meredakan ketakutannya. Dengan wajah yang menempel erat di atas d**a bidang Ian, ia samar-samar mendengar pria itu berbisik. Bisikannya terkesan absurd dan dimaksudkan untuk diri sendiri.
"Di sinilah seharusnya kau berada. Tepat di sini."
Sayangnya Faith tidak mengerti klausa itu.