Faith dan Ian baru kembali satu jam kemudian. Mereka baru akan masuk ke halaman depan seandainya Mike tidak datang dengan motor tuanya. Pria itu menyerukan nama Faith dari jauh dan berhenti tepat di hadapan pasangan suami-istri yang berdiri berdampingan dengan mimik wajah heran.
Mike turun dari motornya, menarik Faith mendekat kemudian mendaratkan kecupan singkat di keningnya sembari berkata. "Ikutlah bersamaku, Sayang!"
Faith berusaha menjauh sambil memerhatikan bagaimana raut wajah Ian yang berubah suram dalam sekejap. Entah sejak kapan ia merasa lebih risih dan perlu menjaga sikap di hadapan Ian. Faith tidak tahu alasannya, yang ia tahu hanyalah: bahwa semua itu penting, tidak peduli bagaimana pandangan Ian terhadap dirinya.
"Mike, bagaimana kau bisa di sini?"
Mike tertawa kecil, tawanya lebih mirip dengusan. "Mudah sekali mencari bangunan yang kau tinggali, Sayang. Daerah ini terpencil, tidak banyak penduduk selain di kota, tidak banyak bangunan-bangunan yang berdiri. Beruntung aku bisa menemukanmu lebih cepat."
Ian merasa perlu pergi dari sana. Meninggalkan Faith sebelum pikirannya semakin kalut dan emosinya membuncah. Tapi tangan Faith menahannya untuk tetap di tempat. Wanita itu mungkin tidak menyadarinya karena genggaman Faith begitu kencang hingga membuat Ian merasa sakit di seputar pergelangannya akibat kuku Faith yang menancap tajam di sana. Namun, Ian tidak berniat melepaskan Faith atau bahkan sekadar memberi isyarat pada Faith bahwa wanita itu telah membuatnya merasa sakit. Alih-alih Ian diam selagi Faith menatap Mike dan berbicara,
"Mike, aku dan Ian baru saja kembali. Kenapa kita tidak masuk untuk makanan dan secangkir teh?" Faith menoleh ke arah Ian, senyum lebar tersungging di bibirnya. "Masakan Ian enak. Kau akan memasak untuk makan pagi kita, kan?"
Ian tersenyum kemudian mengangguk. Faith semakin antusias, berbalik dan kembali berhadapan dengan Mike, wanita itu melepaskan diri dari Ian, menarik Mike kemudian membimbing mereka masuk.
Percakapan mereka selanjutnya berlangsung di meja makan. Faith kelihatan begitu senang menyantap hidangannya, wanita itu tidak pernah berhenti berceloteh tentang banyak hal. Mike juga kelihatan sama. Tapi Ian tidak. Di sepanjang waktu tidak ada yang berusaha dilakukan Ian selain mendengarkan Faith sambil sesekali membalas tatapan permusuhan yang terpancar di mata biru Mike. Tentu saja Mike tidak senang atas aktivitas apapun yang baru dilakukan Faith bersama Ian. Namun, dengan kesungguhan hatinya, Mike hanya tersenyum ketika Faith bercerita panjang lebar tentang danau di dekat rawa dan bagaimana serunya berlayar bersama Ian.
Faith tidak membahas tentang apa yang terjadi disana, dan Ian mengerti. Wanita itu hanya mengatakan keinginannya untuk berlayar lagi. Sayangnya Ian segera menyadari kalau orang yang akan ada di atas rakit untuk menemani Faith adalah Mike, bukan dirinya. Ian memutuskan untuk bersikap tidak acuh. Meski besar keinginannya untuk memiliki Faith, namun Ian tidak bisa membodohi dirinya sendiri dengan cinta Faith yang semu.
Setelah mereka menghabiskan sarapan pagi, Mike segera membantu Faith membenahi sisa makanan mereka di tempat pencuci piring sementara Ian berusaha memeriksa lemari pendinginnya untuk menemukan buah-buahan yang masih tersisa disana. Begitu memeroleh sebutir apel, Ian duduk di konter, melahap buah itu sambil sesekali melirik ke lorong yang menghubungkan tempat mencuci dengan konter, dari sana Ian bisa mengamati Faith dengan jelas.
Faith tampak bahagia ketika Mike menggodanya, wanita itu bahkan tidak ragu untuk tertawa keras-keras dengan tidak melihat ke arah Ian atau bahkan sedikit saja menganggap bahwa Ian juga ada di bawah atap yang sama.
Ketika Mike menurunkan wajahnya untuk mencium bahu Faith, Ian segera memalingkan wajah. Berharap ia bisa menemukan objek lain yang mampu mengusir kegelisahannya. Pada satu titik dimana Ian sudah kehilangan kesabaran, Ian melempar sisa apelnya ke dalam bak sampah sebelum ponselnya berdering dan ia melihat nama yang familier terpampang disana.
Ian memutuskan keluar untuk menjawab panggilan. Ibunya yang menelepon, jadi ia tidak akan mengambil risiko untuk tetap di dalam, kecuali jika ia ingin ibunya mendengar suara tawa Faith dan pria lain di seberang.
Begitu memastikan bahwa semuanya aman, Ian segera mengangkat ponselnya. Ian tidak banyak bicara dan berusaha menyimak dengan baik – seperti yang selalu dilakukannya.
"Aku tidak tahu mengapa kau tidak berusaha mengubungiku, Ian. Apa yang Faith lakukan sampai membuatmu sebegitu sibuk? Aku tidak mengerti kenapa anakku sendiri tidak pernah membuat aku merasa tenang. Kau tahu sudah berapa lama kau pergi? Seharusnya kau menghubungiku, Ian, tidak peduli bagaimana Faith membuatmu sibuk," gerutu Jordyn dari seberang. Ian tersenyum kecut ketika mendengarnya, namun juga tidak bisa menahan godaan untuk tertawa.
"Ma.. Berbulan madu di Memphis adalah idemu."
"Aku tahu! Demi tuhan, kau butuh hiburan! Kau dan istrimu butuh waktu untuk beradaptasi. Aku tidak mungkin membiarkan kau terus bekerja di klinik. Tapi kau punya lebih banyak waktu untuk menghubungiku, walau hanya untuk menyapaku!"
"Hai, ma!”
"Hentikan itu Ian!" bentak Jordyn dan Ian tertawa. "Kau pikir itu lucu?!"
"Maaf.."
"Sekarang kau bisa ceritakan bagaimana pengalamanmu di Memphis?"
"Luar biasa."
Terdengar suara dengusan di seberang. "Tentu saja. Biarkan aku bicara dengan Faith!"
Ian diam sebentar, melirik ke dalam rumah dan melihat Faith disana, bersama Mike, sedang tertawa bebas. Kemudian ia berbohong, "tidak bisa."
"Apa katamu?"
"Maaf, ma. Faith kelihatan sangat kelelahan, dia butuh istirahat yang cukup."
Ian sanggup mendengar ketika ibunya berdecak. "Apa yang kau lakukan padanya?"
Ian tidak bisa menahan godaan untuk tersenyum. "Menurutmu apa yang Landon lakukan dimalam-malam setelah pernikahannya bersama Jordyn?"
Ibunya tertawa dan entah mengapa respons itu membuat hati Ian mencelos. Ian selalu berbohong pada ibunya, tapi ia tidak pernah bisa berbohong pada ayahnya. Ayahnya selalu tahu apa yang coba ia sembunyikan.
"Kalau begitu sampaikan salamku untuknya, Nak." Kalimat itu menyadarkan Ian dari lamunan. Ia segera angkat bicara.
"Akan ku lakukan."
"Ian?"
"Ya?"
"Begitu Faith sudah merasa lebih baik, ajaklah dia ke kota. Ada perayaan besar di gedung pusat, aku sudah memesan dua tiket masuk sejak jauh-jauh hari untuk kalian. Teman lamaku yang menyelenggarakan perayaan itu. Nicolas Tyler akan menyambut kalian, jadi sampaikan salamku padanya dan katakan aku baik-baik saja di istana Landon. Kalian akan menikmati liburan yang menyenangkan."
Ian ragu Faith akan menyetujui ajakan itu, tapi Ian tidak berniat mengecewakan ibunya, jadi ia mengunjukkan respons yang sama seperti biasanya: tertawa kemudian menyetujuinya.
"Hubungi aku begitu kau punya waktu senggang."
"Aku meragukan itu," sanggah Ian dan ibunya menggeram lagi. Ian tertawa sekali lagi sebelum memutus sambungan telepon. Ia berdiri disana selama beberapa menit tanpa melakukan apapun kecuali menimbang keputusannya untuk membawa Faith ke kota dan menghadiri pesta. Akhirnya, setelah berpikir secara jernih, Ian memutuskan untuk hadir disana, dengan atau tanpa Faith dan ia sudah memikirkan jawaban dari segala kemungkinan tentang berbagai pertanyaan yang akan dihadapi nanti. Tapi sebelum itu, ia akan menepati janjinya pada Faith untuk membawa wanita itu berkunjung ke rumah hortikultura milik seorang teman.
Ian kembali ketika Mike sedang berusaha menggoda Faith. Kalau saja Ian tidak berdeham, mungkin mereka tidak akan menyadari kehadirannya. Faith sontak menjauh demikian Mike menarik tangannya yang melingkar di seputar pinggul ramping wanita itu. Menghadap Ian, Faith tersenyum kecil.
"Ian."
Ian merunduk, berusaha menetralisir emosinya dan terlihat wajar. Ketika ia mengangkat wajah dan tatapannya, sekilas ia melihat seringai di wajah Mike. Seringai yang menyatakan kemenangan atas Faith.
"Sejujurnya aku ingin mengingatkanmu soal rencana berkunjung ke rumah hortikultura," Ian melirik jam tangannya. "Kita bisa pergi kurang lebih tiga puluh menit lagi."
Wajah Faith menjadi semringah. "Ya. Biarkan aku mengganti pakaian. Aku akan menemuimu dalam dua puluh menit."
Ian mengangguk, melirik Mike sesaat sebelum beranjak pergi ke luar menyusuri lorong. Ian menghilang di balik lorong dalam lima detik terakhir dan Faith berbalik untuk bertemu tatap dengan Mike. Ia menyandarkan pinggulnya pada tepian meja saat bertanya, "Kau akan ikut bersamaku?"
Mike tersenyum kecut, maju selangkah kemudian meletakkan tangannya di kedua sisi pinggul Faith. "Sayang sekali aku harus menemui seseorang."
"Biar ku tebak. Klienmu?"
"Ya. Aku ingin menyelesaikan rencana pertemuan di Memphis, setelah itu aku akan menemuimu."
Faith mengernyitkan dahinya, mengerling sebelum tersenyum dan bicara, “yah, aku tidak bisa menghalangimu, kan? Selesaikan urusanmu dan cepat kembali.”
Mike menarik Faith, mencengkram pinggulnya erat-erat sebelum mendaratkan ciuman singkat di bibir Faith. Sekujur tubuh Faith hampir kaku dibuatnya.
"Ingat, kau milikku, Sayang!" dan itu menjadi sebuah perintah. Faith membiarkan Mike melepasnya kemudian berlalu pergi dalam hitungan detik. Ia hanya berdiam diri disana dalam beberapa menit tanpa melakukan apapun. Setelah Faith berhasil menjernihkan kembali pikirannya, ia baru beranjak untuk mengganti pakaian.
***
Tiga puluh menit berikutnya, Ian sudah mengendalikan Cadillac tua miliknya bersama Faith. Mereka menempuh perjalanan menuju pinggiran kota dan bercengkrama sepanjang perjalanan. Seperti yang biasa terjadi, Faith yang mengisi kekosongan dengan ocehannya, sementara Ian hanya berusaha menjadi pendengar yang baik untuk wanita itu, sesekali merespons jika Faitih bertanya.
Ian tidak bisa memungkiri fakta bahwa ia senang mendengar Faith berbicara. Suara wanita itu khas, dan mata almond-nya tampak begitu ekspresif. Faith tidak merasa kesulitan untuk menemukan sebuah topik, wanita itu cerdas dalam setiap kalimatnya yang terstruktur. Cara berpikir dan cara pandang Faith akan dunia begitu menakjubkan. Faith adalah yang terbaik dari segalanya. Sayangnya Ian tidak bisa memiliki wanita itu seutuhnya.
“Kau mungkin berpikir kalau ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan?” Ian baru bicara setelah sepuluh menit penuh Faith menceritakan observasinya tentang holtikultura.
“Tentu saja ini akan jadi perjalanan yang menyenangkan,” Faith mengerutkan dahinya, menoleh dan menatap pria yang duduk di kursi kemudi sambil mencengkram setir. “Menurutmu tidak begitu?”
“Kau mungkin tidak akan menyukai ini tapi Lucy punya tiga orang putra kembar yang hiper aktif. Terakhir aku menemuinya, mereka tidak pernah berhenti membuat jebakan. Jangan terkejut ketika kau menemui mereka disana.”
Faith tertawa kecil, segera memahami situasi yang dijelaskan Ian. “Sudah berapa lama sejak terakhir kau menemuinya?”
“Kurang dari tiga tahun yang lalu. Lucy teman baikku, suaminya, Austin, seorang dokter spesialis, pernah bekerja sama denganku di New York. Mereka juga sempat tinggal di New York sebelum Austin memutuskan untuk mengembangkan bisnisnya di Memphis. Sementara Lucy sendiri, dia sangat senang dengan hortikultura. Austin memberi kesempatan untuk istrinya menyisihkan waktu untuk kegemaran itu. Aku mungkin akan memberimu kesempatan yang sama.”
Faith tersenyum lebar. Wanita itu mengerjap beberapa kali. Ian menatap Faith melalui spion luar mobil dan tersenyum begitu wanita itu mulai mengangkat lengannya untuk mengikat rambut menjadi satu ikatan ekor kuda. Kulit Faith bersih, rambut berwarna cokelat kayu dan bentuk hidungnya yang unik membuat wanita itu kelihatan menarik dari segala hal. Bibirnya yang ranum dan tulang pipinya yang tirus membuat Faith tampak seperti wanita yang menggiurkan. Memperistri Faith adalah hal terakhir yang bisa Ian bayangkan. Tapi saat ini, wanita itu duduk bersamanya. Tersenyum padanya dan kelihatan semringah.
"Cuacanya cerah hari ini," ucapan Faith mrmbuyakan lamunan Ian.
"Sepertinya begitu."
"Apa yang biasa kau lakukan di pagi yang cerah?"
"Memastikan pasienku tidak sekarat." Jawaban Ian yang berkesan terus terang kembali memicu tawa Faith. Dahi Ian berkerut karena respons itu.
"Aku tahu apa yang kau lakukan," ujar Faith. "Cobalah untuk mengatakan hal lain. Yang biasa kau lakukan. Terlepas dari pekerjaanmu."
Ian merenung sejenak sebelum merespons, "mungkin pergi gedung pusat kebugaran."
"Selain itu?"
"Berlari-lari kecil mengitari taman kota dan pergi minum kopi. Menonton film dan membaca buku."
"Buku apa yang suka kau baca?"
"Penelitian ilmiah."
Faith mengerutkan dahinya. Kedua matanya menyipit penuh prasangka. "Kapan kau pernah melakukan sesuatu di luar dari pekerjaanmu?"
"Aku pernah menghadiri opera."
"Kau suka opera?"
"Aku tidak suka opera, tapi aku suka pesta. Kau suka pesta?"
Pengalih pembicaraan itu berkesan mendadak, Faith merasa bimbang dengan jawaban Ian, namun Faith juga tidak bisa menghentikan dirinya untuk menjawab, "aku tidak begitu suka pesta."
Dan harapan Ian tentang pergi bersama Faith malam ini untuk menghadari pesta di pusat kota pupuslah sudah. Namun, harapannya seakan kembali membubung tinggi begitu Faith melanjutkan dengan suara yang terdengar mantap dan meyakinkan.
"Tapi mungkin akan berbeda jika bersamamu."
Sahutan Faith lantas mendapatkan perhatian penuh dari Ian. Lelaki itu langsung menatap ke dalam matanya sementara indra-indra Ian yang lain terfokus pada jalan raya.
“Apa kau berniat mencobanya?”
Faith mengerling, menjauh dari tatapan Ian sambil bergumam, “jika itu yang kau inginkan.” Kemudian Faith kembali menatap Ian. “Apa kau berniat mengajakku pergi menghadiri pesta, Ian?”
“Apa kau keberatan?”
Tawa Faith yang menggema berhasil memecah ketegangan. “Memangnya aku bisa menolakmu?” Dan Ian menganggap itu sebagai tanda persetujuan. Seulas senyum terbentuk di bibirnya. Melalui spion dalam mobil, Ian menatap ke dalam mata Faith, memerhatikan ketika bulu matanya bergerak secara anggun dan perlahan. Hasrat Ian membubung di udara.
Cadillac mereka melaju melintasi jalan raya, lima menit kemudian berbelok di tikungan. Jalan tampak sunyi dan senyap, jarang ada kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar sana, Ian menginjak pedal gas, mempercepat lajunya. Mereka mengitari hutan pinus, berbelok di pertigaan, melewati bangunan tua dengan dua pilar bersar dan tiang penyanggah yang kokoh. Perhatian Faith sempat teralih.
"Bangunan apa itu?"
"Hanya museum tua yang sudah tidak ditempati."
"Kau tahu sejarahnya?"
Ian menatap lurus ke jalan raya, memutar setir di tikungan berikutnya. Langit masih cerah dan beberapa pohon di tepi jalan mengelilinginya. "Terakhir aku mengunjunginya saat aku berusia sepuluh tahun. Grandpa senang mengajak aku berjalan-jalan, mengunjungi museum dan pusat ilmu pengetahuan yang lain. Saat itu tempat ini masih ramai sampai lima tahun kemudian beberapa penembak dan teror bom di Memphis memicu kericuhan yang memperburuk segalanya. Bagunan ini akan dihacurkan dengan izin legal tapi rencana itu dibatalkan. Kepolisian di Memphis menginginkannya tetap berdiri dan hingga saat ini, bangunan itu sudah tidak difungsikan lagi."
Faith memerhatikan Ian, tersenyum kemudian mengajukan pertanyaan lain, "kau tinggal di Memphis selama itu?"
"Umurku 15 tahun ketika aku pindah ke New York. Grandpa meninggal dalam penembakan sembarang, sebulan setelahnya penyakit Grandma kambuh dan dia meninggalkanku. Tampaknya mereka tidak bisa berpisah terlalu lama."
Raut wajah Faith berubah murung. "Oh, aku minta maaf soal itu."
Ian tertawa, tawa yang menghangatkan hati Faith. "Kau istriku sekarang. Setidaknya sampai waktu yang tidak ditentukan. Dan selama itu, kau harus mengenalku."
"Benar. Jadi katakan padaku, apa film yang kau suka?"
Ian mengerutkan hidungnya, kedua alisnya bertaut dan tatapannya lurus ke depan. "Aku tidak begitu suka drama. Aku lebih suka acara olahraga."
"Sudah kutebak. Aku pernah mendengar tentangmu. Kau memenangkan piala altet lari 10 tahun lalu."
"Juga badminton," ujar Ian dengan percaya diri. "Dan.. Tenis."
Ian adalah pria yang percaya diri dengan setiap kata-katanya. Tidak pernah ragu untuk mengungkapkan gagasan dan entah bagaimana fakta itu membuat hati Faith semakin lapang.
“Ya.. Ya. Kau meraih banyak prestasi.”
“Kau penulis terbaik, dan pemenang tunggal dalam festival hortikultura.”
Faith tahu soal fakta bahwa Ian bukan hanya seorang dokter yang andal namun juga seorang atlet olahraga yang menawan, dari perbincangan orang tuanya disatu waktu, tapi Faith tidak pernah menduga kalau Ian juga akan tahu pencapaiannya sejauh ini. Ia tidak ingat pernah mengekspos dirinya di hadapan siapapun. Fakta bahwa Ian mengetahuinya membuat Faith terperanjat.
“Bagaimana kau tahu?”
Lelaki itu tidak pernah membiarkan fokusnya pada jalan raya terbengkalai walau tidak juga mengabaikan Faith.
“Slogan dalam hidupku, aku tidak menikahi orang asing.” Sederhana saja. Ian menganggap serius pernikahan ini. Lagipula hanya wanita tidak waras yang menganggap bahwa pernikahan itu hanya sebuah permainan belaka. Yah, untuk sementara ini, Faith enggan berkomentar.
“Berapa banyak lagi yang kau tahu tentang aku?”
“Tidak banyak, tapi aku tidak butuh waktu lama untuk tahu.”
“Aku percaya itu.”
“Sebaiknya begitu.”
Cadillac mereka tiba di halaman parkir sepuluh menit kemudian. Faith melirik dari balik jendela ketika dua bocah Austin berlari memengejar satu di antaranya. Satu bocah dengan pakaian marun memegang pistol mainan satu bocah lain dengan jeans hitam dan jaket hijau lumut berlari terbirit-b***t keluar halaman, mencari tempat persembunyian yang tepat. Kemudian satu bocah lain dengan jeans usang yang kebesaran dan pakaian serba hitam keluar dari persembunyiannya, secara spontan menangkap bocah dengan jaket hijau.
Pekikan memenuhi halaman yang senyap. Faith dan Ian memutuskan untuk turun begitu seorang wanita pirang dengan pakaian santai, tubuh yang terlalu kurus dan tinggi di atas rata-rata keluar untuk menghentikan permainan ketiga bocah kembarnya.
“Itu Lucy,” bisik Ian ketika mereka mulai berjalan mendekat. “Santai saja. Dia tidak menyukai cara formal apapun. Lucy sangat ramah dan bersahabat. Kurasa dia akan menjadi tuan rumah yang baik.”
Faith menatap Ian hanya untuk tersenyum setelah mendengar ucapannya. Sesuai dengan yang dikatakan Ian tentang Lucy, Faith segera menemukan fakta bahwa wanita itu memang bersahabat. Semua terlihat jelas dari cara Lucy menyambut kedatangan mereka. Wanita berambut pirang, memiliki mata biru yang besar dan rahang yang tinggi itu tersenyum lebar. Pertama kali, Lucy menyambut Ian dengan jabat tangan sebelum melangkah lebih dekat untuk mendekapnya.
“Aku menerima pesanmu,” Lucy menatap Ian kemudian berpaling pada Faith. “Kurasa kau Faith, benar?”
Faith mengangguk, sekilas tersenyum memerhatikan tiga bocah pirang yang menggemaskan tengah berdiri sembari menatapnya heran. “Ian pasti sudah mengatakannya padamu?”
“Tentu saja. Kupikir dia tergila gila padamu.”
Faith jadi canggung. Matanya berpaling sementara, Ian tidak menunjukkan banyak reaksi, hanya diam dengan sikap tenang dan terkendalinya, kemudian Faith meninggalkan Ian dan kembali menatap wanita di hadapannya. Tawa kecilnya meredakan sedikit kecanggungan. “Apa dia bicara begitu?”
“Tidak, tapi jika kau bertanya satu-satunya hal yang membuat dia menyempatkan waktu untuk mengunjungiku lagi hanya hal penting yang benar-benar berarti untuknya.”
Ian tertawa, Faith ikut tertawa. Bahkan ketika lelaki itu melingkarkan lengannya ke seputar bahu Lucy dan Faith bertanya-tanya apa ia bisa memiliki teman dengan keakraban yang sama seperti mereka. Seorang teman yang tidak merasa tersinggung dengan semua ucapannya.
“Aku tergila-gila padamu Lucy..” kata Ian. “..sayangnya, Austin yang berhasil memenangkanmu. Itulah mengapa aku tidak pernah mengunjungimu lagi.”
Lucy memutar bola matanya, menyikut Ian secara perlahan kemudian memutar wajahnya. “Dia selalu bicara begitu. Sungguh, kesalahan besar kau menikahinya. Ian benar-benar b******n andal.”
“Itulah mengapa kau lebih memilih Austin daripada aku.”
Kali ini Lucy yang tertawa. Disela itu, Faith hanya diam memerhatikan mereka dengan senyum yang merekah di wajahnya. Entah mereka bicara soal lelucon lama atau sungguhan, yang pasti Faith memperhitungkannya. Perasaan aneh yang ditimbulkan dari pernyataan bahwa Ian pernah menginginkan Lucy membuat perasaannya berkecamuk. Tidak seharusnya Faith merasa begitu. Hal yang salah telah terjadi pada dirinya.
"Ian bilang kau punya rumah hortikultura," Faith merasa senang bisa mengalihkan topik perbincangan mereka. Lucy mengangguk penuh antusiasme, wajahnya berubah semringah dan wanita itu menarik tangan Faith, berdiri mendekat. Tiga bocah Austin tampaknya mulai berkonsentrasi dengan permainan mereka kembali. Pekikan yang menggema segera membuktikannya.
“Ian juga bilang kau suka hortikultura.”
Faith menangguk.
"Kalau begitu kau datang ke tempat yang tepat. Mari, ku tunjukan padamu!" Lucy menarik Faith sambil berteriak memanggil ketiga bocah kembarnya. "Anak-anak, waktunya makan siang! Cepat habiskan makananmu atau tidak ada jatah makan siang besok."
Tiga bocah kembar Austin segera menghambur dari balik persembunyiannya, kemudian saling berebut masuk lewat pintu belakang rumah. Kemudian Lucy berjalan, membimbing Faith di sampingnya. Ian menyusul dengan cepat.
"Kau menangani tiga bocah kembarmu dengan sangat baik."
Lucy kelihatan bangga. "Sudah kubilang padamu, aku ibu yang baik."
"Mereka mirip Austin."
Lucy mendengus, mengunjukkan seringainya ketika mengatakan, "aku bersyukur. Setidaknya aku tidak menghabiskan tahun-tahunku untuk melihat manifestasi dari wajahmu."
Ian tertawa keras. "Seandainya begitu Austin pasti akan meninggalkanmu."
"Meski begitu, aku tidak akan memberimu peluang."
"Aku tahu."
Kemudian segalanya menjadi lebih mudah dengan bualan mereka. Lucy membimbing pasangan itu untuk sampai di sebuah pondok kecil yang dibatasi oleh sekat-sekat bambu. Jarak antara pondok dengan rumahnya hanya beberapa meter, jadi pekikan para bocah Austin dari dalam rumah masih terdengar jelas.
Lucy membuka kenop pintunya dan memperlihatkan ruangan yang kedap dan gelap. Tidak ada cahaya penerangan selain siluet sinar matahari yang menembus masuk melalui ventilasi udara. Beberapa kayu tertumpuk rapi di sudut ruangan. Terdapat sebuah meja bundar dan lemari usang di sudut lain. Warnanya hampir pudar tertutup debu. Lucy menarik kain penutup yang berdebu sambil menutup hidungnya, sesekali terbatuk oleh debu yang bertebaran. Kain itu menyibak beberapa peralatan panen yang sudah tua, meski begitu, peralatannya masih kelihatan layak pakai. Kemudian wanita itu menarik sekat yang membatasi pintu lemari, meraih-raih ke dalam dan mengeluarkan dua sarung tangan, dua bot usang, dan peralatan lain yang dibutuhkan untuk mengunjungi rumah tanaman.
Lucy memberikan satu untuk Faith sementara ia mengenggam satu yang lain. Faith menerimanya, medengarkan celotehan Lucy, sesekali menoleh ke belakang. Ian masih berdiri di luar pondok, kelihatan sedang diam mengamati.
"Maaf berdebu. Aku ingat terakhir kali aku membersihkan tempat ini. Dua bulan yang lalu tepatnya. Bibiku sakit berat, aku meninggalkan rumah selama itu dan pergi ke Kansas untuk menemaninya.
"Aku turut sedih mendengarnya."
Lucy menepuk matras berdebu, menyeretnya ke sudut ruangan sembari merapatkan dengan tali. "Kondisinya sudah membaik."
"Kapan kau kembali ke Memphis?"
"Sepekan yang lalu. Anak-anakku membuat kekacauan. Austin tidak bisa mengurus mereka dengan baik. Mereka membuat anak anjing tetangga mati dan aku harus membereskan masalah itu. Semua itu menyita waktuku untuk berkebun."
"Bagaimana dengan tanamanmu? Siapa yang merawat ketika kau pergi?"
"Austin yang melakukannya. Dia tidak begitu suka hortikultura tapi dia tahu taman itu adalah sebagian dari hidupku, jadi dia merawatnya untukku. Aku tahu pekerjaannya tidak bisa jadi sebaik aku, tapi aku bersyukur."
"Suamimu kedengaran sangat mencintaimu."
Lucy terhenti, berbalik untuk menatap Faith lamat-lamat. Ada pancaran yang sulit untuk diartikan Faith saat wanita itu menatapnya. "Apa Ian memperlakukanmu dengan buruk?"
"Ian pria yang baik."
"Aku tahu. Dia suami yang baik, kau beruntung mendapatkan si ahli bedah itu. Tidak ada yang lebih baik darinya. Tapi itu bukan jawaban dari pertanyaanku."
Faith mengangkat kedua bahunya, tertegun sebelum angkat bicara. Setiap kalimat yang terucap di bibirnya dikatakan dengan sangat lembut dan hati-hati. Faith tidak ingin Lucy salah pengertian. "Rumah tangga kami baik-baik saja."
Lucy tersenyum hangat sembari meletakkan telapak tangannya di atas lengan Faith. Genggaman wanita itu terasa hangat dan bersahabat, kata-katanya juga mampu meredakan kegelisahan Faith. "Ian tidak pernah bicara ada seorang wanita yang berhasil memikatnya. Setiap hari yang dipikirkannya hanyalah pekerjaan. Aku pernah bicara dengannya, dia tipe pekerja keras. Dia akan merasa sangat bersalah jika tidak bisa membuat pasiennya tetap bernafas bahkan untuk beberapa jam lebih lama. Dia pernah gagal sekali dan itu membuatnya sangat terpuruk. Dia berdedikasi terhadap pekerjaannya. Austin sempat menjadi rekannya karena itu aku sangat mengenalinya. Ian adalah sahabat dekat kami. Tidak ada yang lebih mengejutkanku selain berita pernikahannya dengan putri seorang aktor diumumkan di media. Kalau Ian sudah memutuskan untuk menikahi seseorang, percayalah, dia akan bersungguh-sungguh dengannya. Hal terakhir yang bisa dilakukannya adalah membiarkan kau lepas darinya, seperti yang selalu dilakukannya pada pasiennya. Sekali lagi ku katakan, kau beruntung mendapatkannya."
Faith mencoba untuk tersenyum meski hatinya mencelos. Lucy membuat ia merasa bahwa ia telah mengambil sebuah krputusan yang salah dengan menikahi Ian. Dengan semua rencana konyol itu, dengan semua pengkhiatan dan penginkaran janji suci yang diucapkannya di atas altar. Faith tidak tahu bagaimana dengan Ian: apa niat Ian dalam pernikahan mereka, apa yang mendasari pikiran Ian untuk membuat sandiwara dalam pernikahan mereka, atau apa yang dirasakan Ian. Faith hanya tahu bahwa ia bersalah karena telah menyeret Ian ke dalam situasi yang rumit.
Faith melihat Lucy masih menatapnya, menunggu ia bereaksi dan dengan usaha keras, Faith mencoba untuk membuka mulut. "Tentu saja," Faith merasa tidak ada kata yang lebih tepat dari itu dalam situasi ini. "Pasti begitu."
Kemudian Lucy berbalik, melanjutkan perkerjaannya sementara Faith menoleh untuk memastikan Ian tetap di luar sana. Pria itu dalam keadaan sama seperti satu menit yang lalu ia melihatnya: berdiri tenang, memerhatikan keadaan.
"Aku akan mengajakmu berpanen, sudah sejak lama aku tidak melakukannya. Aku akan mengambil beberapa bibit sementara kau melihat-lihat."
Lamunan Faith pecah begitu Lucy kembali berbalik menghadapnya. Faith kemudian mengangguk, senyumnya merekah. "Aku rasa aku sudah tidak sabar lagi."
"Mari!"
Mereka keluar, lengkap dengan pakaian berkebun serta alat-alat berkebun dalam lima menit. Mata Faith menatap lurus ke Ian sementara pria itu memerhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Batin Ian tidak bisa berhenti mengagumi Faith. Bahkan dengan baju kurung dan peralatan berkebun Faith masih tampak cantik dan menarik. Istrinya adalah sosok yang sempurna dengan tinggi dan pas dan berat tubuh yang ideal. Faith bak dewi pahatan yang sempurna. Kulitnya putih bersih dengan mata almond dan cahaya terang yang terpantul di dalamnya. Rambutnya dijalin dalam satu ikatan ekor kuda sehingga memperlihatkan bentuk rahang yang sempurna, lekuk bahu dan otot leher yang luar biasa indah. Rasanya Ian ingin melahap Faith bulat-bulat. Ian tidak akan pernah merasa puas dengan Faith.
Suara keramik yang pecah karena membentur lantai membuyarkan fokusnya. Tampaknya Lucy jadi orang pertama yang tanggap. Wanita itu menoleh ke rumah dimana suara pecahan itu berasal, kemudian mengumpat kasar.
"Aiden pasti melakukannya. Anak itu punya kebiasaan buruk memecahkan barang-barang antikku."
Ian maju selangkah. "Biar kuurus, kau bisa pergi bersama Faith."
"Kau yakin bisa mengatasinya? Mereka tipe bocah pembangkang."
"Ah, sama seperti kau kalau begitu."
"Sialan kau!" Lucy mengumpat lagi dan Ian tertawa. Tanpa meninggalkan banyak kata lagi, Ian segera mengambil langkah menjauh. Faith memerhatikan sampai lelaki itu menghilang di balik pintu belakang rumah. Kemudian ia mengikuti Lucy masuk ke kebun hortikulturanya yang berjarak tak jauh dari sana.