4

3131 Words
Lima puluh menit kemudian, Faith sudah berdiri di depan cermin dengan jubah mandi dan sibuk memilah pakaian. Setiap malam, ia selalu menggunakan tank top berbahan kain tipis dan celana pendek, tapi kemudian Faith mengingat Ian dan status barunya. Jadi ia melepas kembali pakaian minimya dan mengenakan piyama yang jauh lebih sopan. Siapa bilang hidup berumah tangga itu menyenangkan? Faith lebih suka saat ia menikmati masa lajangnya yang bebas. Sekarang ia harus menghawatirkan banyak hal. Ia harus bangun lebih pagi dan tidur lebih awal. Ia tidak bisa keluar tanpa izin dan semua kegiatannya akan diamati. Tapi Ian bukan tipe suami seperti itu. Ian jauh lebih santai dan bersahabat. Memikirkan itu membuat kegelisahan Faith mereda. Takut jika Ian menunggu terlalu lama, Faith segera turun ke dapur. Ian belum menunjukkan dimana dapurnya, namun aroma taco dan daging asap berhasil membawa Faith ke tempat yang benar. Bagian dapur, sama seperti ruangan lainnya, tampak indah dan tertata. Di sudutnya terdapat sebuah lemari pendingin dan patung kucing yang manis. Beberapa pajangan dinding klasik memperindah suasana. Mejanya terbuat dari kayu ek. Di sisi lain, yang membuat Faith semakin tertarik, terdapat sebuah ukiran kayu yang indah. Ukirannya membentuk sebuah tulisan berbahasa Spanyol. Faith berharap ia bisa mengetahui artinya. Ian menyambut Faith dengan senyuman. Lelaki itu meletakkan makanan siap sajinya di konter dan memberi isyarat pada Faith untuk mendekat. Faith memerhatikan Ian dengan saksama. Lelaki itu tampak lebih bersih dengan janggut yang tercukur habis. Kaus yang dikenakannya berwarna biru gelap yang hampir senada dengan kulit kecokelatannya. Otot-otot Ian jauh lebih kentara dengan pakaian yang mengepas di badan. Ian masih mengenakan jeans hitamnya, namun tampak lebih santai tanpa ikat pinggang. Begitu Faith menempati kursi di konter, Ian segera mematikan mesin pemanas kopi dan meraih dua cangkir kopi yang baru terisi. Ia meletakkan yang satu di depan Faith kemudian meneguk yang satunya lagi. Menarik sebuah kursi, Ian duduk berhadap-hadapan dengan Faith. “Makanlah!” Ian teringat sesuatu, ia bernjak ke lemari pendingin, memeriksanya kemudian mengeluarkan beberapa buah buahan dari sana. Faith tertegun memerhatikan makanannya di depan. Aromanya lezat dan mengundang, namun Ian membuat Faith jauh lebih tertarik ketimbang masakan itu dan perutnya yang keroncongan. Ketika Ian kembali duduk di hadapannya dengan mulut terisi penuh oleh buah buahan, Faith baru bicara. “Kenapa kau tidak makan masakanmu juga?” Ian menunggu kerongkongannya mencerna makanan itu sebelum menjawab, “aku tidak mengosumsi protein pada malam hari.” “Apa itu berpengaruh pada kesehatan?” “Ya. Beberapa orang perlu membiasakannya, terkadang pencernaan kita sulit bekerja sama.” Ian melambaikan tangan pada makanan di depan Faith dan meminta wanita itu untuk segera memakannya. Faith enggan membantah, ia menurut dan segera menghabiskan makanan itu. Lagi pula perutnya yang keroncongan sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ian memasak taco dan daging asapnya dengan begitu sempurna. Faith segera jatuh cinta saat pertama kali melahapnya. Ketika Faith sibuk menghabiskan makanan, Ian duduk diam dengan sebutir apel dalam genggamannya. Faith melirik Ian kemudian. Ia hampir tertawa begitu menyadari bagaimana sikapnya. "Maaf, sepertinya aku akan menghabisi makanan ini sendiri. Masakanmu enak.” Ian mengerutkan kening, menunggu Faith menghabiskan makanannya sebelum berbicara. "Kalau kau memasaknya dalam suhu yang pas, hasilnya akan bagus." "Dari mana kau belajar memasak?" Faith mengatakannya sembari meraih secangkir kopi panas yang diletakkan Ian kemudian menyesapnya perlahan. "Buku resep masakan. Saat itu aku sedang dalam traning untuk bisnis. Aku mengunjungi beberapa kota dan menetap selama beberapa bulan. Masakan hotel dan menu spesial di restoran membuat aku bosan, jadi aku mencoba untuk memasak sendiri." "Apa kau selalu berkerja keras?” Kedua mata Ian menyipit. "Maaf?" Faith membenahi ucapannya. "Kau punya tiga klinik cabang dan usahamu sukses. Kau pasti bekerja terlalu keras." Ian tertawa mendengarnya, tapi Faith tidak. "Aku punya daftar pencapaian terbaik sepanjang hidupku. Apa yang tertulis disana, harus kuwujudkan. Cobalah untuk mempraktikannya, kau akan merasa lebih hidup." "Daftar pencapaian terbaik?" Faith membeokan. "Sudah sejak lama aku menulisnya." "Jangan pernah takut untuk mencoba lagi." "Apa yang harus kutulis disana? Imajinasiku benar-benar payah." "Mulailah dari hal terkecil." "Seperti?" Faith menatap Ian, sekilas pemahaman terlintas dalam pikirannya. "Kalau kau berpikir bisa memasukan kata 'ingin tahu ukuran pakaian dalam-ku' dalam daftarmu, maka sebaiknya kau bermimpi saja." Ian tergelak dan Faith tidak bisa menahan tawa gelinya. "Sayangnya aku sudah melakukannya," aku Ian. "Kau tahu, semua yang kutulis disana, akan kucapai." "Aku tidak akan membiarkannya." "Kalau begitu aku akan memaksa." "Silakan coba. Kau mungkin tidak akan berhasil." "Faith, katakan sesuatu tentang bagaimana aku bisa melucuti pakaianmu tanpa harus memaksamu!" Faith diam sebentar kemudian tersenyum licik. "Coba tebak warna kesukaanku!" "Biru?" "Salah." "Hijau?" "Sayangnya kau hanya dapat satu kesempatan dalam 24 jam." *** Sinar matahari yang merambat masuk melalui pintu kaca membuat Faith terjaga dari tidurnya. Ia memeriksa arlojinya dan bergegas begitu teringat sesuatu. Mike pasti sudah menunggunya. Satu jam kemudian Faith sudah rapi dengan pakaian lengkap berupa kemeja dan blus warna merah terang. Faith berjalan menuruni tangga dan tiba di dapur untuk memeriksa persediaan makanan. Sebelum itu, Faith beranjak untuk menemui Ian. Begitu sampai di depan ruangan Ian, ia segera mengetuk pintu. Faith terus melakukannya sampai percobaan ketiga dan ketika tak kunjung ada jawaban, ia segera membuka pintu kamar tersebut. Seperti yang sebelumnya telah ia bayangkan, tidak ada seorangpun dalam ruangan kecil yang ditata begitu rapi dan sempurna. Hanya ada sebuah ranjang yang bersih, aroma mint khas Ian dan sebuah tas barang yang masih tergeletak di sudut ruangan. Ian pasti tidak sempat membenahi barang-barangnya. Memikirkan hal itu membuat Faith tergerak untuk masuk dan membenahi segalanya. Entah dimana pria itu berada, Faith berharap bisa menemuinya segera dan meminta izin untuk menemui Mike. Faith turun ke dapur setelah bebenah. Ia melihat rantang makanan yang segaja di letakkan Ian di atas meja makan. Faith tersenyum kemudian beranjak untuk memeriksa isi rantang tersebut. Aroma lezat dari roti yang dipanggang dengan selai rasberi segera menyeruak begitu tutup rantang dibuka. Faith tersenyum kemudian membaca isi pesan yang terselip di antara rantang makanan itu. Tiga puluh menit untuk latihan kebugaran dan aku akan segera kembali. Ian tidak pernah mengatakan bahwa pria itu mejalani rutinitas berlatih di tempat gym. Namun, mengingat bagaimana otot-ototnya yang kentara, hal itu menjadi wajar. Dokter ahli bedah sekaligus suami sempurna yang meminta untuk dikhianati. Luar biasa! Faith duduk untuk menyantap roti isi selainya dengan hikmat. Ia menikmati tiap jengkal masakan itu. Entah bagaimana Ian melakukannya, pria itu selalu kelihatan unggul dalam berbagai hal. Bahkan masakannya mampu menyihir Faith. Awalnya Faith berniat membagi jatah rotinya pada Mike, namun masakan Ian membuatnya jatuh cinta hingga titik terakhir. Akhirnya Faith memutuskan untuk pergi tanpa bekal apapun. Ia mengendarai sebuah cadillac tua yang terparkir di garasi. Bertung Ian telah memberinya izin untuk mengendarai cadilac itu semalam sehingga Faith tidak perlu sibuk memikirkannya lagi. *** Ian baru keluar dari pusat pelatihan kebugaran di kota ketika Faith menghubunginya. Ia berhenti di depan SUV-nya untuk mengangkat sambungan telepon itu dalam deringan ketiga. Suara Faith masuk jauh sebelum Ian merespons. Wanita itu tidak berhenti berbicara setidaknya sampai Ian mendengus lalu tertawa. "Omong-omong terima kasih untuk roti panggangnya. Aku sangat menyukainya. Pelatihan kebugaran kelihatan cocok untukmu. Jangan mencari aku begitu kau tiba di rumah! Aku dan Mike sudah membuat rencana, kami akan pergi untuk mencari hiburan. Ada penyelenggaraan apresiasi seni di pusat kota. Aku akan segera kembali. Jangan menghawatirkan aku! Dan mungkin kau tidak akan senang mendengarnya, tapi aku memakai cadillac yang terparkir di garasi." Ian mendengus sekali lagi. Enggan menggubris sedikitpun pernyataan Faith barusan. Ia justru bertanya, "kau ada di mana?" Faith membunyikan klaksonnya beberapa kali, berdecak kemudian mengumpat kasar hingga membuat Ian membeliak. "Maaf, kau tidak menyebut soal jalanan yang padat pada pagi hari." "Semua orang beraktivitas di pagi hari," sahut Ian. "Benar. Kau harus menghubungiku lain kali.." Ian cepat-cepat membantah, "kau yang menghubungiku." Faith bahkan melupakan yang satu itu. Ia dibuat tergelak karenanya. "Aku pasti sudah gila menghadapi jalanan yang padat ini. Maafkan aku.. Apa aku mengganggu latihanmu?" "Sebenarnya aku baru selesai latihan." "Apa rencanamu setelah ini?" "Mungkin aku akan mulai menulis tesis." "Benar, aku hampir lupa. Orang sibuk, ya.." goda Faith dan Ian tertawa kecil. "Faith," kata Ian. "Hhmm?" "Berhati-hatilah di jalan. Kembali dengan selamat atau aku akan menghukummu." Sekali lagi, itu bukan perintah, lebih mirip seperti sebuah permintaan. "Baiklah." Faith yang menutup teleponnya lebih dulu. Ia menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi, tapi kemudian kata-kata Ian terulang dalam ingatan. Kembali dengan selamat atau aku akan menghukummu. Faith belum siap untuk hukuman apapun, jadi ia memperlambat lajunya sembari menghela nafas. Ian berniat untuk mengunjungi toko buku untuk mencari referensi bagi tesisnya. Ia sudah mengosongkan jadwal untuk bersantai dengan menikmati kopi dan menonton acara televisi, dua hal yang jarang sekali ia peroleh di tengah kesibukannya. Namun, rencana yang sudah tersusun rapi dalam otaknya segera buyar karena Faith, karena suara klakson yang dibunyikan berulang kali dan umpatan kasar itu. Ian segera memutuskan untuk merelakan jadwal santainya dengan aktivitas lain. Namun sebelum itu, Ian harus kembali untuk berganti pakaian dan mengambil beberapa barang yang dibutuhkan lainnya. Ia tidak mungkin berpergian dengan kaus yang lembab, keringat hasil latihan beserta celana training dan sepatu olahraga. Jadi ia segera mengambil keputusan. Saat semua rencana baru telah terstruktur dalam otaknya, Ian menyeringai lebar. Ia segera masuk dan duduk di kursi pengemudi, memulai starter kemudian menginjak pedal gas dan pergi meninggalkan gedung pusat kebugaran di Memphis. *** . "Aku akan membunuhmu seandainya kau melakukan itu lagi!" kata Faith begitu Mike bergabung dengannya di kursi penumpang. Mike tidak kelihatan seperti Faith, lelaki itu tertawa puas setelah berhasil dengan rencananya mengejutkan Faith. Kemudian Mike mendekat untuk menggoda Faith dengan mencium tengkuknya sembari berbisik, "Aku merindukanmu, Sayang. Apa yang kau lakukan malam ini? b******u dengan dokter ahli bedah itu? Katakan sayang, apa dia teman ranjang yang baik?" Faith merasa sensasi panas dari nafas Mike menggelitik tengkuknya, ia berusaha menjauhkan diri, namun Mike terus menariknya mendekat. Lelaki itu tidak berhenti berusaha membuatnya kalut. "Mike.. Hentikan!" Tangan Mike merambat naik menangkup wajah Faith. "Tidak, Sayang. Biarkan!" Mike menggelitik turun ke tengkuk Faith. "Mike.. Jangan!" Mike tidak mengacuhkannya. "Mungkin dia bisa menjadi teman ranjang yang baik, tapi dia tidak sehebat aku, kan?" Ketika Mike memutar wajah Faith dan berniat menciumnya, Faith mendorong pria itu menjauh. "Mike, hentikan!" Mike sontak menjauh, menatap Faith sambil terkekeh. "Ada apa sayang? Kau jadi berbeda dalam waktu semalam. Apa dokter ahli bedah itu telah mencuci otakmu?" Sikap Mike membuat Faith tersinggung, tapi itulah yang selalu terjadi, Mike selalu membuat Faith tersinggung. Terutama dengan ejekannya tentang 'mencuci otak', seolah Faith terlihat seburuk itu di matanya. Faith tidak bisa mengendalikan dirinya dengan lebih baik lagi. Ketika ia bicara, nada suaranya meninggi beberapa oktaf. "Tidak ada apapun yang terjadi. Berhentilah bersikap seperti itu padaku! Kau benar-benar jadi pria yang menjengkelkan." “Baik, aku minta maaf," ucap Mike dengan setulus hati. "Sekarang apa kau masih ingin bicara atau kita akan pergi dengan mobil butut ini?" "Ini Cadillac lama milik Ian." "Yah, terserah. Jadi di mana mobilmu?" "Aku tidak membawanya ketika sedang berbulan madu." Mike terkekeh sementara Faith berusaha mengabaikannya dengan menginjak pedal gas. Cadillac melaju keluar menuju jalan raya. Pusat kota sudah ramai ketika Faith dan Mike tiba di sana. Apresiasi seni telah digelar dan ratusan orang memadati area. Gedung bergaya mozaik berdiri di bundaran utama. Terdapat beberapa poster-poster pegelaran seni yang terpajang besar di sudut jalan, pedagang bunga di bundaran yang lebih kecil dan beberapa orang yang mengitari pancuran air di antara patung-patung klasik. Begitu tiba, Mike langsung menarik Faith menuju sebuah restoran yang menyajikan masakan dari berbagai negara. Faith tidak membantah begitu Mike menariknya. Restoran itu telah dipadati oleh beberapa pengunjung dan hanya menyisakan beberapa kursi kosong di sudut ruangan. Begitu mereka memilih tempat yang nyaman seorang pelayan segera datang untuk mencatat menu kemudian pergi begitu semua pesanan tercatat. Mike memerhatikan Faith yang duduk diam sembari menatap ke luar jendela. Wanita itu ada di hadapannya, namun pikirannya sudah berkelana entah kemana. Ketika Mike menyentuh punggung tangannya, Faith tersentak dan dengan cepat menoleh untuk memusatkan perhatian. “Apa yang kau pikirkan?” Faith memikirkan Ian dan rumah baru mereka. Suasana yang begitu menyenangkan. Tersenyum, Faith mengatakan isi pikirannya tanpa ragu. “Ian memiliki rumah yang menyenangkan. Aku berpikir mungkin aku bisa membuat beberapa rencana. Ini akan menjadi akhir pekan yang menyenangkan.” Mike mengernyitkan dahinya. Apa yang dikatakan Faith tidak membuatnya merasa lebih baik. Mike lebih suka saat Faith bicara tentang kisah cinta mereka, tentang pekerjaannya dan masa depan mereka. Namun Faith terlalu antusias dan Mike tidak berniat mengecewakan wanita itu, jadi ia hanya berusaha tersenyum, mendengarkan sambil sesekali melontarkan pendapat. “Rencana?” Mike mengulangi kalimat Faith sebelumnya. “Ya. Bukankah membuat suatu rencana berlibur adalah hal yang menyenangkan?” “Ya, mungkin.” Faith semakin antusias dalam setiap kalimat yang dihanturkannya. “Ian memintaku untuk membuat daftar pencapaian terbaik. Semua yang ingin kulakukan. Aku pikir aku akan mulai menulisnya hari ini.” “Apa yang ingin kau tulis di sana?” “Semuanya. Semua yang ingin ku lakukan.” “Seperti?” “Aku ingin membuat taman hortikulturaku sendiri. Aku ingin berkuda dan aku ingin berlayar di tepi pantai pada malam hari dan memandangi bintang-bintang..” Mike langsung tertawa seakan Faith bergurau tentang impian bocah kecil. Respons itu membuat hati Faith mencelos. Ia tidak berharap seseorang akan menertawai mimpinya sejak kecil. Untuk ukuran seorang wanita cerdas yang terus berusaha membahagiakan orang tua sampai melupakan kebahagiaannya sendiri, hal itu terasa wajar, tapi tidak bagi Mike. “Kau ingin menghabiskan waktumu untuk mainan anak anak? Apa kau juga mencatat monster gula dalam mimpimu? Ayolah sayang, orang dewasa biasa menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, bukan memikirkan impian konyol seperti itu. Aku bisa memberimu yang lebih menyenangkan. Bagaimana dengan sebotol anggur dan pesta malam? Kau telalu lama mengurung dirimu selama ini, kau perlu lebih dari sekadar bersenang senang. Ingatkan aku untuk mengunjukkannya padamu!” Menampakkan emosinya di hadapan Mike tidak akan banyak membantu. Lagi pula, Mike tidak menerima segala mimpi anak kecil. Mike selalu mengatakan pada Faith bahwa dunia Faith terlalu kecil, terlalu sempit dan sejauh ini Faith berusaha mengerti dunia seperti apa yang Mike singgahi. Klub malam, sebotol anggur, permainan orang dewasa, bersenang-senang dan percintaan yang dahsyat. Namun, seiring berjalannya waktu, Faith sadar bahwa dunia itu bukan miliknya. Itulah mengapa hubungan mereka diwarnai oleh perseteruan karena perbedaan pendapat. Faith mencoba mengingatkan dirinya bahwa bukan hal yang bijaksana jika ia mengomentari ucapan Mike. Faith tidak berharap ada perseteruan lagi di antara mereka, tidak untuk saat ini. Faith beruntung karena pelayan segera datang mengantar pesanan sehingga ia tidak perlu repot-repot mencari pengalih perhatian yang sempurna. Selanjutnya mereka hanya berusaha menyantap hidangan dan sesekali berbincang tentang rencana berlibur setelah ini. Setelah keduanya merasa cukup dengan makan siang, mereka segera berlalu menuju gedung pusat kesenian. Beberapa pertunjukkan yang ditampilkan berhasil mengubah suasana hati Faith yang tidak keruan. Belum lagi pertunjukan komedi yang membuat Faith tergelak penuh tawa. Faith beruntung karena Mike tidak memprotes untuk keluar dari gedung sesegera mungkin. Terutama ketika penampilan opera ditayangkan – lelaki itu tidak pernah menyukai opera. Faith melirik Mike sesekali dan tersenyum ketika melihat bagaimana kerasnya usaha Mike untuk tetap duduk tenang. Faith segera membenahi posisinya, ia bergelung dan mendekap erat lengan Mike, tahu bahwa hanya dengan cara seperti itu ia bisa berterima kasih. Faith kemudian mendekat ke telinga Mike dan berbisik dengan suara parau, “terima kasih.” Kulit Mike bergelenyar di bawah sentuhan Faith. Mike memutar wajahnya hanya untuk mendapati senyum Faith yang memesona. Senyum Faith selalu membuatnya merasa lebih baik. Wanita itu kelihatan lebih tenang dan terkendali. Jauh berbeda dari beberapa jam yang lalu. Mike senang saat Faith mengundangnya, jadi ia menerima tawaran itu, merunduk untuk mencium sudut bibir Faith yang terasa semanis madu. Di sela sentuhan intimnya, Faith mendengar Mike berbisik, “Malam ini, di vila..” Dunia Faith seakan melayang setelah mendengarnya. Tubuhnya merindukan Mike setiap saat dan kalimat itu selalu membawa irama perdamaian yang mampu mengendurkan setiap urat yang tegang. Faith, seperti biasa, hanya tersenyum dengan wajah merona malu, dan Mike selalu menganggap hal itu sebagai persetujuan. Selanjutnya semua berjalan sesuai dengan rencana. Waktu menjadi berputar amat cepat sampai Faith sadar bahwa sudah seharian penuh ia bersama Mike. Bahkan ketika ia mengunjungi vila itu dan berniat untuk bermalam disana, Faith baru teringat akan Ian dan pesannya. Faith tidak berniat untuk bermalam disana, tidak ketika ia sudah membuat janji pada Ian untuk segera kembali. “Sayang, kau bisa tinggal lebih lama,” kata Mike sambil berusaha mendekat dan mendekap Faith dari belakang. Ketika Mike menghujani tengkuknya dengan ciuman mesra, Faith hampir kehilangan akal. Ia berbalik, membalas ciuman Mike dan dengan tergesa gesa, melepas diri. Tangan Mike masih bermain di tengkuknya satu yang lain berusaha menarik turun resleting gaun Faith. Dan sebelum Mike bertindak lebih jauh, Faith menarik diri. “Mike, aku harus kembali. Aku minta maaf tetapi Ian pasti menungguku. Aku sudah berjanji padanya akan segera kembali. Aku akan menghubungimu besok. Sekarang biarkan aku pergi!” Faith meraih ke belakang punggungnya, menutup kembali kulitnya yang terekspos kemudian meraih mantel sementara Mike bersandar di sudut dinding. Tidak ada yang dilakukan Mike selain memerhatikan bagaimana kekasihnya membuat pola ikatan rambut seperti biasa. Segera setelah Faith selesai dengan pakaiannya, Mike meraih gelas yang terisi penuh oleh cairan wine kemudian meneguknya. Faith memerhatikan Mike dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu temaram yang mengespos d**a Mike yang telanjang membuat fokusnya hampir buyar. Dalam benaknya ia bertanya-tanya tentang apa yang baru saja berniat ia lakukan. Rasanya ia sudah berulang kali melakukan hal seintim itu bersama Mike, namun jauh setelah hari pertungannya ditentukan dan pesta pernikahan digelar, melakukannya bersama Mike entah menjadi sangat aneh dan menakutkan. Faith merasa bahwa dirinya menjadi lebih keji dari sekadar iblis serakah. Merasa bahwa dirinya telah melakukan sebuah pelanggaran besar. Faith telah melanggar sumpah setianya sebagai seorang istri. Faith tahu di mana kesalahannya, tapi ia tidak punya jalan keluar yang lebih baik. Jauh terasa lebih menyenangkan jika semuanya tetap seperti ini. Dan tidak lama lagi dunianya akan hancur. Fakta itu membuat Faith kalut. Ia tidak berniat merusak suasana, jadi begitu ada kesempatan, Faith segera menghambur ke ambang pintu. Tangannya sudah bersiap di kenop sebelum ia memutar wajahnya untuk menatap Mike dari atas bahu. Pria itu masih menatapnya dengan gelas kosong dalam genggaman. “Jangan meminum cairan itu terlalu banyak. Aku khawatir kau bisa menjadi gila karenanya.” Mike tertawa keras. Suaranya hampir serak ketika berkata, “aku memang sudah gila sejak tahu kau akan menikahi pria lain, sayang.” Faith bergeming, wajahnya tampak serius. Mike segera membenahi kata katanya. “Kembalilah sesegera mungkin dan jangan khawatirkan aku.” “Hubungi aku jika ada sesuatu.” Mike merespons dengan memiringkan sedikit kepalanya kemudian melihat Faith memutar kenop dan menghilang di balik pintu. Ia masih diam di tempat sampai suara gemuruh dari mobil tua mulai menghilang. Kemudian, Mike mencoba merogoh ponsel dalam saku jeans-nya dan menekan nomor satu-satunya orang yang bisa membantu meredakan rasa berdenyut-denyut di bawah perutnya. “Ini Mike.” Terdengar suara yang familiar dari seberang. Senyum Mike melebar. “Sepertinya aku tidak akan menyia nyiakan tawaranmu malam ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD