3

4487 Words
Perjalanan panjang menuju bandara tidak terasa sudah usai. Ian membuka pintu untuk Faith dan membiarkan wanita itu menghambur ke bagasi lebih dulu. Ian segera menyusul untuk membantu. Membawa koper, mereka berjalan menuju pintu masuk bandara. Namun, belum sampai di dalam, sebuah mobil jeep kusam berwarna hitam yang familier menghentikan langkah Faith. Ian menoleh untuk melihat kemana arah tatapan Faith. Seorang pria dengan setelan kaus putih yang dibalut oleh jaket berwarna cokelat kusam turun dari jeep tersebut. Tinggnya mencapai 180 sentimeter dengan kulit pucat dan rambut pirang. Mata birunya bersinar terang. Kakinya yang panjang tertutup oleh jeans usang dan sepatu bermerek. Pria itu mengenakan tas di punggungnya dan melambai pada Faith. Ketika Faith ikut melambai sambil tersenyum, Ian segera tahu bahwa pria itu tidak lain adalah Mike, kekasih Faith – istrinya. Mike berjalan mendekat ke arah Faith, tersenyum kemudian menarik Faith ke dalam dekapan. Dari atas bahu Faith, tatapan Mike bertemu dengan Ian. Tampaknya Faith merasa terusik dengan dekapan itu, karena ia segera melepas diri untuk menatap Ian. Dan seperti yang diharapkannya, Ian tidak mengunjukkan reaksi apapun. Untuk ukuran seorang dokter, lelaki itu tampak setenang air. "Sayang," Faith menoleh pada Mike. "Selamat atas pernikahanmu. Uh.. maksudku, kalian." Faith mendesah memberi isyarat pada Mike agar tidak memperpanjang masalah itu. "Mike, tolong.." Mike mengangkat satu tangannya. "Well, aku tidak akan mengulanginya." Beralih pada Ian, Mike menjulurkan tangan, menjabat tangan Ian. "Aku yakin Faith sudah mengatakan tentang aku padamu." Ian menatap Faith, tidak tersenyum tapi tetap terlihat sarat emosi. "Dia mengatakan semuanya." "Ku katakan sungguh aku terkejut tentang ide untuk merebut istri orang, tapi aku sungguh menghargainya. Percayalah, tidak ada yang lebih kuinginkan dari pada Faith." Ian melepas jabat tangan mereka dan mengangguk setuju. "Tampaknya Faith juga begitu." Mike melingkarkan tangannya ke seputar bahu Faith dan menarik wanita itu lebih dekat. "Kami memang pasangan serasi." Mengecup kening Faith, Mike tersenyum ketika melihat Ian berpaling dari pemandangan di depannya. Faith berusaha menjauh dari Mike untuk mengajukan saran, "kenapa kita tidak segera masuk? Aku yakin pesawat akan lepas landas beberapa menit lagi." Ian hanya mengangguk, membiarkan dua pasangan itu mendahuluinya sebelum mengekor di belakang. Pesawat mereka lepas landas beberapa menit setelahnya. Faith, sudah bisa dipastikan, memilih untuk duduk di samping Mike sementara Ian harus cukup puas dengan kursinya sendiri yang jauh lebih nyaman sekaligus jauh lebih belakang dari mereka. Tentunya tatapannya tidak pernah lepas dari Faith. Bahkan ketika Faith mengaitkan jari-jemarinya pada Mike dan bersandar di bahu Mike untuk beristirahat, Ian harus menelan liur. Mike sesekali meliriknya dengan penuh simpati, tapi Ian tidak menanggapi dengan serius. Ian terus berusaha menyibukkan dirinya dan sesekali melirik Faith untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Satu jam perjalanan telah ditempuh, namun kondisi cuaca sama sekali tidak bersahabat, jadi pilot memutuskan untuk berhenti dan akan melanjutkan perjalanan nanti hingga kondisi cuaca membaik. Para penumpang dipersilahkan untuk turun di tempat perhentian. Mereka menghambur untuk menikmati udara segar. Ian mencari Faith begitu sampai di luar. Wanita itu kelihatan pucat berdiri di samping Mike. Satu tangannya melilit di perut sementara satu yang lain menutupi hidung dan mulut. Merasa khawatir, Ian segera menghampirinya. Mike kelihatan sibuk bicara dengan seorang penumpang ketika Ian datang. Mengabaikan Mike, Ian meraih lengan Faith dan menuntunnya menjauh. "Apa kau baik-baik saja?" Faith menepis sebagian helai rambutnya dan menyampirkan ke balik telinga. "Perutku sakit dan aku merasa mau muntah." Ian teringat satu hal. "Kau belum makan hampir seharian ini. Mari kita pergi dan lihat apa yang bisa kita temukan." Faith mengangguk lemah, ia baru akan beranjak ketika tangan yang besar dan kuat menahan pergelangannya. Mike melewati Ian dan mengambil alih lengan Faith bersamanya. "Faith bersamaku." Ian enggan menganggapi. "Kita cari makanan untuknya. Dia pucat sekali." Mike menatap Ian getir sebelum berlalu pergi dengan Faith berada di sampingnya. Ian baru mengekor beberapa detik setelahnya. Mereka mengunjungi sebuah kedai yang menjual stiek dan ayam panggang. Faith menunggu sementara Ian memesan makan mereka. Sedangkan Mike masih sibuk dengan telepon genggamnya. Faith ingat Mike mengatakan kalau ada beberapa turis yang membatalkan kunjungan hingga Mike terpaksa harus bekerja ekstra untuk menunda semua perjalanan itu. Tampaknya lelaki itu bermasalah lagi sekarang. Semua segera terjawab begitu Mike kembali duduk di samping Faith. "Orang itu sudah benar-benar tidak waras. Semua tiket sudah disiapkan dan dia benar-benar membatalkannya, bahkan dia ada di luar kota sekarang!" Faith sempat mendengar Mike mengumpat kasar, namun rasa pening di kepalanya menuntut ia untuk tidak merespons. Ian datang lebih cepat dari dugaan Faith. Seorang pelayan dengan nampan yang terisi penuh mengekor di belakangnya. Ian memilih kursi yang berhadap-hadapan dengan Faith sehingga ia bisa memantau wanita itu secara langsung. Acara makan berlangsung selama lima belas menit. Ian tidak berniat untuk mengatakan apapun tapi sepertinya Mike punya banyak cerita yang harus dikatakan. Faith tampak sibuk drngan makanannya, sesekali melirik Mike kemudian mengangguk penuh pemahaman. Apa yang dibicarakan Mike sama sekali tidak bisa dimengerti Ian. Pria itu berbicara tentang tur, tempat wisata dan masalah para pekerja. Ian ingat Faith pernah mengatakan bahwa profesi Mike adalah seorang pemandu wisata, hanya saja Ian menyimak dari semua yang dikatakan Mike bahwa pria itu tidak begitu mencintai profesinya. Mike kelihatan lebih arogan dari yang ia bayangkan. Hasrat untuk menjauhkan Faith dari pria kasar seperti Mike semakin membubuh dalam benak Ian. Namun, Ian tidak akan melakukan hal itu. Setidaknya tidak dalam waktu dekat. Ia sudah berjanji pada Faith dan itu berarti ia tidak akan melakukan tindakan diluar janji tersebut. Acara makan telah usai. Mereka memutuskan untuk pergi mengunjungi tempat terdekat selagi menunggu infoemasi penerbangan selanjutnya. Mike menghentikan Faith di sebuah toko perlengkapan pakaian. Pria itu butuh beberapa pakaian layak untuk beberapa hari ke depan. Sementara mereka sibuk berbelanja, Ian memutuskan untuk menunggu di luar. "Aku suka ini," ujar Mike sambil mengangkat sebuah piyama tanpa lengan berwarna pink dengan kain tipis yang transparan, ia menjulurkan pakaian itu ke dalam keranjang belanja. Faith kelihatannya tidak suka, jadi ia memprotes. "Apa yang kau lakukan?" Faith baru akan berniat mengembalikan pakaian itu sebelum Mike merebutnya dan meletakkannya pada keranjang belanjaan mereka lagi. "Sshhh.. Sayang. Aku suka melihatmu memakainya." "Aku tidak akan memakainya. Tidak di hadapanmu." Faith bersikukuh. Mike menampakkan seringai kecil yang membuat sisi maskulinnya tampak kentara. Senyum itu yang selalu menyihir Faith bahkan berhasil membawanya ke atas ranjang bersama Mike. "Lalu siapa? Dokter ahli bedah itu?" Faith membantah dengan cepat. "Tidak di hadapan siapapun!" "Lupakan saja. Mungkin sewaktu-waktu kau membutuhkannya." Kemudian Mike berlalu untuk memilih setelan kemeja dan kaus lainnya. Ian memerhatikan Faith dari jauh, terus berharap kalau ia yang akan menggantikan posisi Mike disana. Faith tersenyum polos di hadapan Mike dan membuat hati Ian mencelos. Faith tidak pernah tersenyum seperti itu padanya. Faith selalu memandangnya seolah-olah ia adalah pria asing yang menyenangkan. Ian menggeleng, menunduk, mencoba menjernihkan pikirannya. Ia berpikir bahwa mungkin Mike bisa menjaga Faith, jadi Ian memutuskan untuk pergi dan melakukan sesuatu yang selalu ia lakukan saat sedang kalut: menyendiri. Ian berjalan ke luar pembatas, menyusuri undakan batu menuju sungai kecil di ujung jalan. Ia duduk di tepian, mencoba meselonjorkan kaki sembari menenangkan pikiran. Air sungai yang tenang menjadi pusat pemandangan, kemudian jauh di ujung sana, terdapat sebuah pohon-pohon besar. Ian meraih ke balik jaketnya, merogoh kantong tersembunyi untuk menemukan beberapa obat pil di sana. Ia baru akan menarik pil itu ke luar sampai suara gemerisik sepatu yang menginjak daun kering memenuhi pendengaran. Pelan-pelan Ian memasukkan tangannya ke dalam jaket dan mengembalikan obat-obatannya ke saku, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ia tidak berbalik, tahu siapa yang akan datang dengan suara langkah kaki yang ringan. Bunyi sepatu yang mulai familer. Sampai Faith duduk di sampingnya, Ian baru tersenyum. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Faith begitu Ian menatapnya. "Berkhayal tentang banyak hal," jawab Ian, enteng. Ia berpaling sesaat sebelum memulai kembali. "Kau meninggalkan kekasihmu. Aku ragu dia bisa bersenang-senang tanpamu." "Mike pergi ke toilet. Aku sudah bilang ingin ke luar sebentar." "Seberapa lama yang kau sebut sebentar itu?" Faith mempertimbangkan. "Lima menit, mungkin sepuluh." "Sepuluh menit." "Ya." "Apa yang bisa kita lakukan dalam sepuluh menit?" tanya Ian, tatapan matanya menggoda Faith. "Bercerita tentang banyak hal." "Oh ya?" Faith mengangguk, Ian berpaling. Matanya menatap lurus ke arah sungai. Dalam beberapa detik, Ian baru bersuara. "Faith, ceritakan padaku tentang putri kecil Hudson yang malang!" Faith tergelak di tempatnya sementara Ian hanya tersenyum memperhatikan bagaimana cara wanita itu tertawa. "Aku serius," kata Ian. "Ya.. Dia menyukai banyak hal. Putri kecil Hudson punya banyak mimpi dalam hidupnya." "Apa dia bermimpi menikahi pangeran?" "Tidak. Mimpinya lebih gila dari itu," Ian melihat tatapan Faith menerawang ke depan. Seakan pikiran wanita itu telah pergi jauh dari jasadnya. "Dia pernah bermimpi seorang pekuda gila membawanya pergi jauh dan menikahinya di jalan. Dia pernah bermimpi bisa pergi dari kehidupannya." Faith melirik Ian, tertegun ketika sadar bahwa mata gelap Ian mengunci tatapannya. "Dia pernah berharap hidup di dunia lain." "Dunia seperti apa?" Faith merunduk, tersenyum ketika mengingatnya. "Dunia di mana hanya ada dia dan permen cokelat. Dan kue tar. Dan selai rasberi..." "Dan makanan dengan gula tinggi lainnya," Ian melanjutkan, Faith tersenyum lebar di hadapannya. "Kapan terakhir kali kau makan semua gula itu?" Faith mengangkat bahu. "Aku tidak ingat. Mungkin saat aku berusia 17 tahun. Kylee tidak pernah meletakkan semua makanan itu di meja makan. Aku ingat minggu-minggu terakhir aku memakannya. Berat badanku langsung bertambah 10 kilo. Aku tidak begitu peduli, tapi Kylee merasa khawatir." "Jadi dia menjauhkan semua gula itu darimu?" Faith mengangguk setuju. “Apa kau berniat memakannya lagi?” Faith mengeluarkan sekotak permen dari kantong belanjaan. Ian membelalak melihatnya, namun ia hanya berusaha untuk tersenyum, membuka semua bungkus kotak itu dan mencobanya satu persatu. Disela itu, Faith berbisik, "kesempatan baik tidak boleh disia-siakan.” Ian tersenyum masam. Ia duduk dan menerima tawaran ketika Faith menjulurkan kotak permen itu padanya. “Jadi apa kekasihmu juga melarangmu memakan semua gula ini?” “Ya. Dia tidak suka saat berat badanku bertambah.” “Kenapa?” Karena Faith tidak akan menjadi teman ranjang dengan proporsi yang sama lagi. “Karena dia tidak suka wanita gendut.” Ian memerhatikan Faith secara mendetail. “Kau tidak gendut.” Faith mengangguk. “Mungkin karena itu ia masih bertahan sampai sekarang.” Faith mengunyah permennya hingga habis dan Ian hanya memerhatikan. Tepat ketika Ian meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Faith, perhatian Faith segera beralih. “Faith, kau harus mengenali dirimu. Kau luar biasa dalam hal apapun.” “Itu yang dikatakan Daddy.” “Oke, akan kucoba cara lain..” Ian berhenti untuk memikirkan tak tik yang sempurna, sampai bibirnya mengatakan kalimat lain. “Kau sempurna dalam segala hal.” Faith menggeleng, tersenyum kecil di hadapan Ian. “Aku ingin dengar yang lain!” Ian tidak mau menyerah. “Faith kau harus memerhatikan bagaimana para lelaki memandangmu, seakan mereka ingin memilikimu dalam satu malam yang indah, bahkan termasuk aku.” “Benarkah?” “Ya.” “Seperti apa?” Ian tersenyum masam kemudian meraih satu tangan Faith, menangkatnya sebelum mendaratkan kecupan yang lama di atas punggung tangan itu. Faith membatu ketika Ian melakukannya, ia baru berhasil berkedip begitu Ian mengangkat wajahnya, tersenyum sembari mengatakan, "kalau ku beri tahu kau mungkin tidak akan suka." Faith menarik tangannya secara perlahan. Merasa perlu tersenyum untuk menutupi kecanggungannya. Menatap Ian membuat Faith semakin canggung, jadi Faith mengerling pada air sungai yang terhampar di depannya. Nyatanya, kesenyapan itu nyaris membunuh Faith. Ian terus diam dan memerhatikannya, membuat Faith semakin merona dan dengan segera memutuskan untuk bicara. "Katakan bagaimana rumah yang akan kita tempati!" Ian bersingsut mencari posisi nyaman. "Letaknya tidak jauh dari pantai. Pemandangannya sungguh indah. Rumah itu tidak besar dan bukan berarti kecil. Rumah itu sangat sederhana dan menarik. Di bagian belakang rumah ada kolam renang dan kebun stroberi.” “Kebun stroberi?!” Ian menatap Faith kemudian tersenyum. "Seperti yang kau pikirkan. Dulu rumah itu ditempati oleh buyutku. Dia keturunan Spanyol yang merantau ke Amerika. Dia perempuan yang cantik dan menyukai hortikultura." Faith langsung tertarik begitu Ian menyebut soal 'hortikultura'. Mata almond miliknya membulat sempurna ketika mengatakan, "Menyukai hortikultura?" Ian tersenyum, hampir tidak sanggup menahan tawanya setelah melihat antusiasme Faith. "Ya. Hortikultura." "Ceritakan padaku ada berapa banyak jenis tanaman di sana?" "Sebenarnya sudah lama sekali. Rumah itu sudah tidak pernah ditempati sejak buyutku meninggal. Sudah tiga tahun berlalu. Aku meragukan ini tapi mungkin tanamannya sudah layu dan tidak terawat lagi." Faith merengut. "Jika kita sampai di sana, boleh aku melakukan susuatu pada tanaman-tanaman itu?" Ian mengangguk yakin, ia menekankan satu lututnya ke d**a begitu mengatakan, "tentu saja. Sekarang rumah itu milikmu. Milik kita." Dan itu berarti sampai kontrak mereka usai. Faith akan kembali lagi ke Now York sebagai seorang janda dan bebas dari Ian berikut taman hortikultura milik buyutnya. Entah mengapa pemikiran itu mengusik Faith. Faith tidak tersenyum, tapi Ian memberi tawaran yang menggoda dengan senyum tipisnya yang maskulin. Jika diperhatikan dengan lebih baik, Ian menarik dalam segala hal. Lelaki itu berkulit cokelat dengan garis di wajah yang menunjukkan sedikit darah spanyol. Aksen suaranya juga tidak biasa. Faith jadi penasaran apa pria itu juga fasih berbahasa Spanyol? Pertanyaannya segera terkubur begitu Mike hadir di tengah-tengah mereka dan menarik Faith untuk menjauh. "Maaf Sayang, aku seharusnya tidak meninggalkanmu begitu lama." Ian ikut berdiri bertemu pandang dengan Faith sebelum melirik arlojinya. "aku pikir cuaca sudah membaik dan waktu untuk berkumpul tinggal tiga menit lagi. Sebaiknya kita cepat kembali." "Aku baru akan mengatakannya," kilah Mike sebelum menarik Faith untuk kembali ke tempat perkumpulan awal mereka dan membiarkan Ian menyusul di belakang. Ian tidak melihat pasangan itu lagi beberapa menit ketika para penunpang dikumpulkan. Baru ketika mereka kembali ke dalam pesawat, Ian bertemu pandang dengan Faith. Istrinya tersenyum dan perasaan kalut Ian segera terbayar. Ia duduk di kursinya untuk satu jam ke depan sebelum pesawat kembali mendarat di tempat tujuan. *** Hari sudah menjelang malam ketika Ian mengendari SUV-nya menyusuri Memphis. Vila yang dituju mereka masih jauh karena itu Ian membiarkan Faith duduk di kursi belakang dengan Mike berada di sampingnya. Kota masih ramai ketika SUV-nya melewati perbatasan, namun selang tiga puluh menit, jalur yang dilaluinya menjadi sangat sepi. Sesekali Ian memerhatikan Faith melalui spion dalam mobil. Cengkramannya pada setir mengencang begitu melihat Mike mengaitkan jari-jemarinya dengan Faith. Mike beringsut mendekat dan Faith tidak menolak tawaran untuk bersandar di bahu Mike. Wanita itu kelihatan lelah sementara Ian harus mengendarai SUV-nya beberapa jam lagi. Lima belas menit kemudian, Faith tertidur. Ian masih berusaha berkonsentrasi pada kemudi ketika ia sadar kalau Mike sedang berbicara padanya. "Aku masih tidak mengerti mengapa kau mau melakukannya?" "Apa?" Ian benar-benar tidak mengerti. "Pernikahanmu dan Faith. Dan rencana gila ini." "Oh," Ian sanggup membuka mulut setidaknya sampai ia menyadari satu fakta bahwa ia tidak memiliki jawaban yang logis. Ian melirik Mike melalui spion dan segera sadar bahwa lelaki itu masih menunggu jawabannya. Selang beberapa detik, Ian baru menjawab, "Faith teman yang baik. Aku banyak berutang padanya." Jelas jika Ian berbohong. Lantas apa yang lebih baik dari jawaban itu? Karena ia mulai mengagumi Faith? Atau karena ia berusaha untuk tidak mengecewakan Faith? Faith akan marah jika Ian jawab begitu, sementara menjadi musuh Faith adalah hal terakhir yang diinginkan Ian. Mike hanya mengangguk sekali, tapi sudah sangat jelas kalau tatapan matanya tidak mendukung apapun alasan Ian. "Aku tidak ingat kau berteman cukup baik dengan Faith." Ian mendengus, nyaris membuka kedoknya jika ia tidak berpura-pura memainkan sandiwara besar. Demi Tuhan, ia seorang dokter. Bersandiwara bukan keahliannya! "Bukan karena kau sangat mengenal Faith, mengenali setiap jengkal tubuhnya, kau bisa tahu segalanya. Kami berteman akrab sejak Faith remaja. Faith pernah membantuku, jadi bukan hal yang sulit jika aku berharap bisa membantunya keluar dari kesulitan. Juan sahabat karib orang yang paling berjasa untukku. Sudah bukan menjadi pertanyaan bagiku untuk membantunya. Juan ingin putrinya segera menikah, aku hanya berusaha membantu." "Faith yang malang," gumam Mike sebelum mendaratkan kecupan di puncak kepala Faith. Ian hampir mendengus ketika Faith bergelung dalam pelukan Mike untuk mencari posisi nyaman. Mike menunggu reaksi Faith, namun begitu sadar bahwa Faith masih tertidur pulas, ia melanjutkan obrolannya. "Faith dan aku sudah lama berhubungan." "Aku tahu," aku Ian. "Dia mengatakan segalanya." "Aku pernah mencoba untuk mengakhiri hubungan kami dan kau tahu apa yang terjadi?" Ian terdiam, menunggu jawaban tanpa harus mengatakan apapun. Kemudian Mike melanjutkan, "Faith hampir dibuat gila karenanya. Setiap malam dia menghubungiku dan ketika aku tidak menjawab panggilannya, dia mengunjungi motel sewaanku. Dia terus membujuk agar aku melupakan masalahnya dan caranya selalu berhasil. Sejak saat itu aku tahu bahwa kami tidak pernah bisa berpisah dalam waktu lama." Ian hampir muak mendengarnya, namun ia terkejut begitu mendapati dirinya sendiri berkata, "karena itulah kau ada di sini." "Benar. Aku tidak akan membiarkannya berpaling walau untuk semalam saja." Ian berbelok begitu sampai di tikungan jalan. Lampu mobilnya menyorot jalanan luas yang membentang. Mereka sudah melewati rawa dan tinggal beberapa menit lagi mereka akan tiba di tempat. "Faith sudah dewasa," kata Ian. "Kau tidak bisa mengurungnya begitu lama dalam kungkungan. Faith punya kehidupan yang harus dijelajahinya tanpa gangguan. Biarkan dia memilih sesuai apa yang dikehendakinya." Alis Mike bertaut, ia melingkari satu tangannya ke seputar tubuh Faith dengan cara yang posesif. "Dia sudah menentukannya," ujar Mike, jelas-jelas beniat membantah apapun yang dikatakan Ian. "Di sini, bersamaku, itulah pilihannya. Hanya saja Faith terlalu rendah hati dan kurang memedulikan dirinya demi kepentingan orang-orang di sekitarnya. Tidak ada yang lebih diinginkannya selain hubungan ini." "Tidak," Ian membantah dengan nada yang menyatakan kebenaran dan bukan hanya sekadar emosi bahwa ia tidak ingin Mike mengunggulinya. ".. ada banyak hal yang diinginkannya dan tidak pernah dicapai. Aku berniat untuk mewujudkan semua harapan itu." Ian ingat ketika Faith menyebut semua daftar tempat yang ingin dikunjunginya, ingat ketika Faith menyebut soal makanan favorit dan bagaimana antusiasme wanita itu pada hortikultura. "Teruslah bermimpi. Kau melihat kenyataannya di sini, tepat di hadapanmu! Lihatlah siapa yang sedang memeluk Faith dan membuatnya merasa nyaman?" Ian tidak sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari jalanan. "Dia menikahimu karena dia berharap hal itu bisa memperpanjang usia ayahnya. Dia tidak benar-benar berniat untuk menikahimu. Satu-satunya pernikahan yang dia harapkan adalah pernikahan di mana ada dirinya dan aku terlibat di sana." Well, untuk yang satu itu mungkin Mike benar. "Mungkin kau benar," aku Ian tanpa berkecil hati sedikitpun. "Tapi suatu saat dia akan menyadari tindakannya." Mike mendengus. "Teruslah bermimpi!" Dalam kurun waktu kurang dari dari dua puluh menit tidak ada obrolan selain situasi yang menganggkan. Ian berhasil memarkirkan SUV nya di depan halaman vila yang akan di tempati Mike. Ia segera turun untuk membuka bagasi sekaligus memberi keloggaran bagi Faith. Mike membangunkan Faith dari tidurnya dan pasangan itu segera menyusul Ian di luar. Ian bertemu pandang dengan Faith dan mengangguk sebelum menyerahkan beberapa barang milik Mike yang baru di keluarkan dari bagasi. Ian tidak berniat mengusik mereka, jadi ia berlalu kembali ke dalam kursi kemudi. Meski begitu, Ian tidak pernah melepas pandangannya dari Faith. Mike meraih lengan Faith, membawa tatapan Faith beralih padanya dari pemandangan Faith yang tertuju penuh pada Ian sebelumnya. Begitu Faith menatap lekat matanya, Mike baru bicara. "Kau akan tinggal." Kalimat itu tidak terdengar seperti sebuah permintaan maupun pertanyaan, namun lebih terdengar seperti perintah. Faith tidak berpikir panjang untuk menjawabnya. "Aku minta maaf. Mom dan Dad pasti akan menghubungi Ian. Apa yang akan terjadi seandainya mereka tahu aku tak bersamanya." Mike berdecak masam, tangannya masih melingkar di seputar lengan Faith. "Kau pikir untuk apa aku di sini?" "Mike, tolong.." Faith memutar wajahnya sesekali dan entah mengapa merasa lebih tenang ketika melihat Ian masih menunggu di dalam SUV. "Kau berjanji tidak akan memperpanjangnya lagi. Ian memilih vila yang tidak terlalu jauh dari rumah, jadi aku bisa menemuimu kapanpun." "Sayang.." bantahan Mike segera dibungkam oleh Faith. "Tolong.." Mike menyerah. "Baik. Aku tidak akan memperpanjang." Tangannya secara spontanitas menarik Faith mendekat. Mike mendekap Faith dengan erat sementara Faith tidak berusaha menjauh. Baru setelah semenit berlalu, Faith melepas diri. Tapi sepertinya hal itu tidak membuat emosi Mike reda karena pria itu langsung menarik wajahnya dan membungkam Faith dengan ciuman. Ciuman Mike, seperti biasa, selalu serakah. Faith tidak menggubris tidak pula berperan, hanya berusaha menerima sensasi panas yang selalu dirindukannya dari Mike. Jantung Ian serasa mencelos memerhatikan bagaimana pasangan itu saling berbagi ciuman mesra dari jauh. Tangannya menggenggam setir dengan erat dan otaknya terus berusaha mencari pengalih perhatian. Ketika kesenyapan membuatnya semakin kacau, Ian merogoh saku jaket dan menemukan pil di sana. Ia meneguknya tanpa air. Seharusnya Ian tidak membiarkan emosi menguasainya, tapi hal itu merupakan dampak dari terlambat minum obat. Ian berusaha mengalihkan perhatian sampai Faith melepas diri dari Mike, perlahan mulai menjauh kemudian bergabung dengan Ian di kursi penumpang. Mike sudah masuk ke dalam vila ketika SUV milik Ian bergerak menjauh. Sementara itu, Ian berusaha melerai ketegangan dengan bicara pada istrinya. "Rumahnya tidak jauh dari sini." Faith memerhatikan. "Di sudut utara ada kebun dan kalau berbelok ke selatan, di sana ada rawa. Ini daerah terpencil di Memphis jadi jarang penduduk. Beberapa kilo meter dari sini ada hutan pinus. Sementara di arah timur kau akan menemukan dermaga di laut perbatasan. Terkadang cuaca akan menjadi sangat lembab kemudian menjadi sangat tropis." "Kurasa aku benar-benar akan menyukai tempat ini," ujar Faith sambil tersenyum. "Sama seperti aku," balas Ian. Angin malam yang masuk melalui jendela menyibak beberapa helai rambut Faith yang lepas dari ikatan. Ian ikut tersenyum sembari mengarahkan mobilnya ke sebuah bangunan tua bergaya gotik. Bangunan itu, seperti yang dikatakan Ian, tampak tidak terawat. Istana kecil yang tak terawat. Letaknya di arah barat. Bangunan itu dikelilingi oleh halaman dan kebun yang luas. Butuh hampir setengah kilo meter untuk menemukan bangunan lain. Tidak banyak bangunan yang berdiri di sana selain beberapa pondok kecil yang terawat. Jarang sekali ada orang yang berlalu lalang. Mereka harus mengendara sampai ke kota jika menginginkan keramaian. Segalanya telah tersedia di sana, Faith yakin Ian sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Mobil SUV terparkir di depan teras dan Faith segera menghambur ke luar. Saat pertama kakinya memijak halaman rumah itu, hatinya terasa damai – seakan di sinilah tempat di mana ia semestinya berada. Pantas jika buyut Ian begitu mencintai rumahnya bahkan sampai membentuk taman hortikultura-nya di sini. Di tempat ini, semuanya begitu senyap dan terkendali. Udaranya yang hangat juga terasa menyenangkan. Tidak seperti di New York, daerah terpencil di Memphis ini berhasil membuat Faith jatuh cinta saat pertama kali melihatnya. Faith mengira bahwa ia akan merasa nyaman tinggal berlama-lama di sini. Meski semuanya tak selalu berjalan sesuai rencana. Ian berhenti di sampingnya dengan sebuah koper dan beberapa barang bawaan. Faith segera membantunya sebelum mengekor pria itu menaiki undakan batu yang tersusun rapi membentuk tangga masuk. Pintu rumahnya terbuat dari kayu kokoh dan aroma cendana segera menyeruak dalam penciuman Faith begitu Ian membuka pintu. Di dalam, semua tampak seperti yang diharapkan Faith. Beberapa hiasan bergaya gotik diletakkan pada setiap sudut ruangan. Dindingnya berupa batu dengan corak yang rumit. Di ruang utama terdapat sebuah perapian. Lantainya berupa kayu dan sofa santai telah tersedia di ruangan. Ian berbalik untuk sekadar menatap Faith dan mengatakan. "Mari ku tunjukan ruangan yang akan menjadi kamarmu!" Faith hanya mengangguk kemudian mengikuti Ian menyusuri lorong dimana terdapat satu lagi tangga kayu yang menuju sebuah ruangan besar. Ian membukakan pintu untuk Faith dan membiarkan wanita itu menyeruak masuk lebih dulu. Ian meletakkan semua barang di ruangan, berusaha berbicara ketika melakukannya. "Aku tidak tahu bagaimana pendapatmu, tapi dulu kamar ini ditempati oleh buyutku. Dia merawatnya dengan segenap cinta dan sekarang semua ini milikmu. Aku berharap kau menyukainya.." "Ya, tentu saja. Aku sangat menyukainya." Faith berpikir bahwa semua orang akan menyukainya. Ruangan itu dirancang secara khusus dengan detail dan tampilan yang sempurna. Dindingnya dicat dengan warna pastel, kemudian hiasan klasik melengkapi keindahan interior yang ada. Terdapat sebuah meja rias besar, patung serigala yang menakjubkan sekaligus sofa-sofa nyaman di setiap sudutnya. Faith merasakan keinginan alami untuk menyentuh patung serigala yang dipajang di atas meja mahoni. Satu tangannya menyusuri tekstur patung dengan pahatan sempurna dan ia tersenyum puas setelah merasakannya. "Buyutku sangat senang mengoleksi patung. Patung serigala itu menjadi satu favoritnya. Dia memajang yang lain untuk interior rumah namun dia bersikap defensif untuk yang satu itu. Aku harap aku bisa menjaga patung itu untuknya." "Aku mengerti mengapa patung ini menjadi favoritnya. Aku pikir aku bisa jatuh cinta dengan semua barang miliknya. Semuanya begitu indah.” "Biar kutunjukkan padamu yang lainnya." Faith berbalik, mengikuti Ian. Di dalam ruangannya terdapat sebuah pintu kaca di mana ia bisa melihat pemandangan indah dari kebun stoberi dan kolam berenang di halaman belakang. Ian menggeser pintu kaca itu agar terbuka kemudian mengkah ke luar, Faith mengikuti di belakang. Ian berhenti dan membiarkan Faith mendahuluinya. Wanita itu tampak terpana dengan semua pemandangan yang memanjakan mata. Meski tanaman hortikultura itu tampak layu dan sudah tidak terawat lagi, Faith yakin dulu taman itu merupakan taman terbaik yang pernah dilihat. Faith berjalan melewati kolam renang untuk melihat lebih jauh. Dari sana, ia bisa melihat seluruh gemerlap kota. Suasana begitu senyap dan suara jangkrik dari kebun menjadi latar suara. Faith tersenyum lebar, merasa tidak sanggup menyembunyikan kekagumannya. Ia berbalik hanya untuk mendapati Ian berdiri di sana, tersenyum memerhatikannya. "Aku benar-benar menyukai tempat ini. Tempat ini sempurna!" "Aku senang mendengarnya." Ian berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Faith. Ia meletakkan satu tangannya di atas wajah Faith dan menghirup aroma mawar dari kulit wanita itu. Wanginya begitu erotis, nyaris membuat Ian hilang kesadaran. Jika saja Ian tidak segera memperbaiki tindakannya dengan menarik diri, mungkin ia sudah melebur dalam kehangatan tubuh Faith. Faith tampaknya tidak terusik dengan tindakan Ian karena wanita itu terus tersenyum memandanginya. Mata almond milik Faith tampak berkilau di bawah cahaya temaram dari lampu yang hampir padam. Ian berharap ia dapat menyentuh wanita itu lebih lama, walau ia tahu semua itu akan jadi harapan semu belaka. Setelah tiga puluh detik keduanya menjalin kontak mata, Ian akhirnya berbicara, "aku akan menyiapkan makanan." "Kau bisa memasak?" mata Faith terbuka lebar ketika mengatakannya dan hal serupa membuat Ian tertawa. "Hanya beberapa masakan sederhana. Kau mungkin akan menyukainya," kata Ian. "Sementara itu aku akan memberimu waktu untuk membersihkan diri." Ian berbalik, baru beberapa langkah menjauh ketika Faith menghentikannya. "Ian!" Berhenti, Ian memutar wajah untuk menatap Faith. Tubuhnya menyamping dan Faith bisa melihat otot-otot Ian yang kentara di balik kaus polosnya. Faith lupa kapan Ian melepas jaketnya, tapi ia berusaha keras untuk berpaling. "Apa kau keberatan jika aku.. memintamu untuk.. Bagaimana aku mengatakannya? Di rumah ini ada ruangan lain?" Ian mendengus ketika pemahaman melintas dalam benaknya. Ia segera mengklarifikasi. "Jangan khawatir! Aku sudah memikirkan yang satu itu. Di lantai bawah ada dua kamar kosong. Aku akan menempati salah satunya. Kau tidak perlu menghawatirkan soal privasi, aku bukan tipe yang suka melanggar." Hati Faith menjadi damai setelah mendengarnya. Baguslah jika Ian bisa mengerti. "Dan.. meskipun besar hasratku untuk tahu berapa ukuran pakaian dalam-mu, aku tetap tidak akan melanggar privasi. Kau bisa memegang janjiku." Ian mengucapmya begitu ringan seakan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dalam pernikahan dan sandiwara yang mereka ciptakan. Hal itu nyaris membuat Faith melayang tinggi di udara saking bahagianya. Faith tidak ragu untuk tertawa bebas di hadapan Ian. Ia senang bahwa di saat seperti itu, Ian masih berusaha menghiburnya. Ian senang melihat Faith tertawa. Hal itu mampu mendamaikan jiwanya lebih dari apapun. Semua kekecewaannya sirna hanya dengan mendengar Faith tertawa. Begitu merasa puas dengan kemajuan yang dibuatnya, Ian segera pergi untuk memberi Faith kelonggaran privasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD