2

3571 Words
“Kau gila!” Mike mendengus setelah mendengar seluruh penjelasan Faith. Tidak ada yang lebih gila dari perselingkungan yang kongkrit dimana kedua pihak benar-benar menginginkannya. Mike tidak mengerti mengapa calon tunangan kekasihnya menganggap bahwa hal itu maklum. Seolah itu adalah hal yang sederhana. Tapi Mike tahu, bahwa ia tidak bisa menolak Faith. Mike terlalu menginginkan Faith untuk melepasnya. Faith maju mendekat, mencoba meraih lengan Mike dan membujuk. “Mike, aku minta maaf tapi aku tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih baik. Ian pria yang baik, kau akan segera memahaminya..” “Karena dia calon tunanganmu? Atau karena dia seorang dokter ahli bedah?” “Bukan itu, Mike. Tolong.. jangan buat semuanya menjadi semakin sulit. Antata aku dan Ian tidak ada apapun. Aku berani bersumpah.” “Dia calon tunanganmu, Faith.. Demi Tuhan!” Faith merajuk, “tapi itu tidak mengubah segalanya. Ini hanya akan jadi kesepakatan antara aku dan Ian. Apa kau akan mengakhiri semuanya karena ini, Mike?” Tentu saja tidak. Faith bodoh jika berpikir Mike akan meninggalkannya. Mike sudah bersumpah bahwa Faith akan menjadi tambatan hati Mike selamanya. Faith sempurna, tidak satupun dari pria berotak yang akan menolak pesona Faith, tidak juga Mike. Tapi, siapa yang bisa menjamin soal dokter ahli bedah yang menyebut dirinya Ian? Sungguh gila jika Ian benar-benar membuat kesepakatan sekonyol itu dengan Faith. Apa Faith juga menyadarinya? “Mike!” Faith mengguncang bahu Mike dan usahanya tidak sia-sia ketika Mike menarik Faith mendekat kemudian mendekapnya. Dekapan Mike begitu erat, lebih erat dari yang sudah-sudah. Faith samar-samar mendengar Mike berbisik di telinganya. “Kau milikku, kau tahu itu?” “Ya. Semuanya tidak akan berubah. Aku akan menikahi Ian dan kami akan menunggu waktu yang tepat untuk mengakhirinya. Semuanya tidak akan berlangsung lama. Kau hanya perlu bersabar.” Mike sepenuhnya yakin pada Faith, tapi tidak dengan dokter ahli bedah itu. Siapa pria yang akan merasa nyaman jika kekasihnya membuat sebuah kesepakatan pada pria konyol dengan tujuan absurd? Persetan dengan Ian. Kalaupun Mike mengajukan saran lain untuk membawa Faith pergi jauh bersamanya dan meninggalkan semua masalah itu, Faith pasti menolak. Wanita itu cukup mencintai orang tuanya untuk pergi dari mereka. Pada akhirnya, Mike harus menyetujui Faith. *** Faith tidak sepenuhnya menyetujui fakta bahwa gaun pernikahannya akan menjadi gaun pernikahan yang begitu mewah. Untuk pernikahan dengan sebuah pondasi berupa kesepakatan belaka, rasanya hal itu terlalu berlebihan. Satu pekan telah berlalu setelah hari pertunangan mereka dan selama itu ia hanya berkomunikasi dengan Ian melewati telepon. Pembicaraan mereka tidak lebih dari seputar rencana pernikahan dan gaun pengantin yang akan dikenakan. Bersamaan dengan itu, Faith telah berhasil meyakinkan Mike bahwa semua akan berjalan sesuai rencana dan hubungan kompleks mereka tidak akan terganggu oleh status yang akan segera disandang oleh Faith. Faith menemui Mike setiap malam sebelum pernikahannya. Mereka selalu menjanjikan pertemuan di motel yang di sewa Mike dan hanya disela itu Faith bisa b******u dengan kekasihnya. Selama sepekan penuh Faith terlalu disibukkan oleh persiapan pernikahan. Kylee yang begitu antusias merancang gaun pernikahannya dan karena Jordyn menginginkan sebuah pesta yang megah dan mewah, maka Faith dan Ian harus disibukkan untuk menentukan tema, menulis daftar undangan, memilih makanan dan semua kegiatan yang menurut Faith terlalu membosankan. Faith berusaha untuk tidak terlihat begitu 'terpaksa', jadi ia menjalaninya dengan sabar. Faith beruntung karena Ian, atau calon suaminya, begitu pengertian. Dua hari sebelum resepsi pernikahan mereka digelar, Ian yang menemani Faith menjejali gaun pengantin mewahnya. Faith tidak begitu yakin, tapi ia bisa menyadari tatapan Ian yang menjamah. Ian memandanginya dan bukan sekadar memandangi Faith, namun pria itu memandangi Faith dengan cara yang begitu intim, begitu spesial, begitu memikat. Seakan tatapan Ian mampu menembus benteng pertahanan Faith yang terakhir. Faith merasa gugup ketika dirinya menjadi pusat perhatian, dan seperti biasa, Ian selalu berhasil mencairkan suasana. Ian memilih warna hijau untuk gaun pernikahan mereka. Menurut Ian, Faith sangat cocok mengenakan gaun berwarna hijau. Ian mengatakan bahwa mata Faith begitu indah, warna almondnya akan jadi sangat cocok bila dipadankan dengan gaun hijau gelap. Kemudian malam berlalu begitu cepat. Sehari sebelum pesta pernikahannya digelar, Faith menghubungi Mike. Baik Faith maupun Ian sepakat untuk tidak menulis nama Mike maupun Monica dalam daftar undangan mereka. Faith khawatir kalau hal itu hanya akan memicu masalah yang tak diinginkan terjadi. Namun pagi itu, Ian berhasil mendapatkan dua tiket lebih bulan madu di sebuah pulau yang telah mereka rencanakan. Mereka juga telah menyepakati bahwa Mike dan Monica akan ikut pergi bersama mereka secara diam-diam. Faith berterima kasih pada Ian karena pria itu yang akan memusingkan segalanya seperti: kendaraan untuk mereka dan villa yang bisa di tempati Mike dan Monica. Ketika hari yang tak dinantikannya tiba, Faith merasa begitu canggung. Ia berdiri di depan cermin-seperti biasa-sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan melewati pernikahannya dengan mudah. Faith tampil seperti seorang permaisuri dalam sebuah lukisan kerajaan. Dengan balutan gaun hijau gelap, rambut lebat berwarna gelap yang dikat menjalin di belakang punggungnya dan mata berwarna almond, Faith benar-benar tampil memukau. Faith membayangkan dirinya berada di atas altar bersama Ian. Ia berpikir pasti akan lebih mudah jika Mike yang ada di sana. Akibatnya, ia tidak bisa menghentikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Sebentar lagi ia akan menjadi bagian dari Landon dan fakta itu membuat tenggorokannya tercekat. Faith dan Ian. Faith dan Ian. Faith dan Ian. Dan bukannya-Faith dan Mike. Kalimat yang sama selalu terulang dalam benak Faith. Pernikahan adalah sebuah hal yang besar, yang sakral dan betapa terkutuknya ia karena berniat mempermainkan sebuah pernikahan. Faith tidak pernah menghadapi hal besar seperti pernikahan. Tapi satu hal lain yang juga diketahui Faith, bahwa: penyakit ayahnya juga tidak bisa menunggu sampai Faith menjadi lebih dewasa lagi. Faith ingin, jika sewaktu Juan pergi, rohnya akan tenang di atas sana. Menikahi gadis kecilnya dengan salah satu putra Landon adalah impian Juan sejak dulu. Faith bertanya-tanya bagaimana jika situasi yang dialaminya berbeda? Bagaimana jika ia dijodohkan dengan Luke, si tampan? Atau dengan Joseph, pria dingin yang begitu pendiam? Apa mereka akan memberi tolerir yang sama seperti yang dilakukan Ian? Luke mungkin akan bersikap tidak acuh dengan pengakuan Faith. Lelaki itu dikelilingi oleh banyak wanita dan Luke jelas bukan tipe yang pencemburu, tapi Joseph? Mungkin Faith sudah dicampakkannya di tempat. Joseph seorang agen FBI, dari caranya berbicara sampai caranya bersikap telah mengunjukan dedikasinya yang besar terhadap pekerjaannya. Lagi pula Joseph pria yang cerdas. Faith cukup yakin, bukan hal yang sulit jika pria itu meninggalkannya dan mencari calon penganti lain yang lebih baik dan tentunya – masih perawan. Bukan berarti Ian bodoh karena memutuskan untuk tetap menikahinya. Mengenyahkan pemikiran itu, Faith mencoba kembali pada kenyataan. Ayahnya datang dengan balutan jas hitam dan kemeja putih yang mempertegas sisi maskulinnya. Dulu, ayahnya pasti sangat tampan karena Faith masih bisa menyadarinya walau Juan sudah tidak muda lagi. Faith agak terkejut melihat ayahnya tidak lagi menggunakan kursi roda. Meski kelihatan begitu pucat dan tubuhnya diserang oleh rasa sakit kecil sebagai efek dari kemoterapi yang dijalaninya, Juan tetap berusaha menjaga langkahnya agar tidak tertatih. Faith mengerti ayahnya tidak pernah ingin terlihat lemah di hadapan orang-orang yang begitu dia cintai. Itulah sikap angkuh yang selalu dicintai Faith dari sosok Juan Hudson. Juan melangkah dan berhenti di belakang Faith. Keduanya bertemu pandang di cermin. Saat Juan tersenyum, Faith ikut tersenyum. Kemudian Juan memutar tubuh Faith hingga berhadap-hadapan dengannya. Pria itu mengamati Faith dengan teliti kemudian tersenyum puas begitu merasa semuanya pas. "Kau tahu apa yang kupikirkan begitu melihatmu berdiri dengan gaun indah ini?" Faith tidak bicara, ia hanya menunggu Juan menyelesaikan kalimatnya. "Aku melihat ibumu di malam pernikahan kami. Kalian benar-benar mirip. Kau cantik seperti ibumu. Oh Tuhan, aku sangat mencintai putri kecilku.." Juan bergerak untuk mendekap Faith dari samping. Pria itu hanya melingkarkan seputar lengannya di bahu Faith dan menepuk lengan Faith seperti biasa. Ayahnya tidak pernah mengizinkan Faith memeluknya. Faith tidak tahu mengapa. "Tidak sebesar cintamu untuk mom, dad." Juan tidak mau berbohong. "Kau benar. Dan kau adalah putri kami. Kau harus percaya Faith bahwa Ian akan memberikan cinta sebesar cintaku untuk ibumu. Ian akan melakukannya." Faith tidak merespons, hanya mengangguk-anggukan kepala. Keheningan terjadi dalam semenit penuh sebelum Faith menengadah untuk menatap ayahnya. Tinggi Faith hanya mencapai bahu pria itu. Juan menjulang tinggi di atas Faith. Pria itu hampir mencapai angka seratus sembilan puluh untuk tingginya, dan itu selalu membuat Faith merasa nyaman berada di samping Juan. Faith membuka mulutnya untuk bicara. "Boleh aku memelukmu, daddy?" Juan menggeleng. "Aku tidak ingin riasanmu rusak karena memelukku." "Oh, berhentilah berbicara, dasar pria tua!" Faith tampaknya mengabaikan peringatan Juan dan menarik diri untuk mendekap pria itu erat-erat. Tubuh Juan hampir rentan. Usianya sudah tidak muda lagi dan kanker yang berbahaya sedang menggerogoti tubuhnya. Namun, ketika Juan memeluknya, Faith masih bisa merasakan kekuatan besar Juan dan hasrat terpendamnya untuk menikahi satu-satunya putri yang dimiliki dengan pria yang tepat. Jika saja Juan tidak menghentikan aksi melodramatis mereka, mungkin riasan wajah Faith sudah luntur oleh air mata. Ia melepas putrinya dan merasa begitu tegar, begitu siap. "Kita harus pergi sekarang, Nak." Faith tidak berkata apa-apa ketika Juan membimbingnya menuju altar. Tidak ada yang dilakukannya selain menggenggam tangan Juan dengan erat ketika setiap sorot mata teralih padanya. Faith bisa mendengar sambutan hangat dari para kerabat dan keluarga dekat dan ia semakin gugup. Juan yang harus melepas tangan Faith dan mengangguk pada putrinya sebagai isyarat. Awalnya Faith ragu, tapi kemudian penggiring pengantinnya membawa ia berjalan menyusuri karpet merah, menuju altar, tepat dimana calon suaminya sudah berdiri menunggunya dengan tatapan yang begitu kompleks. Ian tampak begitu tampan dengan balutan jas berwarna senada dengan gaun Faith dan celana formal serta beberapa aksesori kecil yang melengkapinya. Bahunya lebar, dadanya bidang dan otot-ototnya kentara. Tidak ada pasangan yang lebih sempurna dari Ian. Setiap wanita akan iri dengan Faith. Ian masih menatapnya, meraih tangan Faith dan menuntunnya ke atas altar dimana mereka berdiri berhadap-hadapan untuk mengucap janji setia. Faith tahu ia tidak siap menghadapinya, tapi tatapan Ian berhasil mengunci tatapannya. Sekilas Faith melihat ada kilau kekaguman, keteguhan sekaligus.. rasa simpati dalam mata Ian. Tidak, ia mungkin salah mengartikannya. Kilau itu lebih memancarkan aura kepedulian ketimbang rasa prihatin. Tatapan Ian yang membuat Faith semakin teguh, semakin yakin disetiap detiknya dan semakin percaya bahwa ia telah mengambil langkah yang tepat. Dan ketika mereka usai mengucapkan janjinya masing-masing, di hadapan para saksi, orang tua, kerabat, terhadap dzat yang MahaTinggi, saat itu pula dunia Faith runtuh di sekitarnya. Ian hanya memberi Faith ciuman singkat. Ciuman yang tidak berarti apapun untuk seorang pasangan suami-istri, tapi sebelum itu, Faith mendengar bisikan kecil Ian sebelum menyentuh bibirnya. "Percayalah padaku!" Bukan ungkapan: aku mencintaimu, atau: kau milikku, seperti yang selalu dikatakan Mike padanya. Hanya sekadar dua kata yang sederhana, namun Ian mengatakannya seolah pria itu sedang memegang kendali atas dunia Faith dan bersumpah akan mengendalikannya dengan baik. *** Prosesi pengikatan dua insan telah berakhir, namun Faith dan Ian masih harus menjalani perayaan mewah yang telah dirancang oleh Jordyn dan Kylee. Mereka harus menyapa seluruh tamu yang datang untuk memberi selamat, sedikit bercengkrama dan tertawa ketika diperlukan. Faith tidak ingin terlihat kaku karena Ian juga tidak menunjukkan sedikitpun rasa canggung di hadapan semua orang. Ketika tiba saat alunan musik diputar, Ian menuntun Faith ke lantai dansa. Menggenggam satu tangan Faith dan meletakkan satu tangan lainnya di pinggul ramping Faith. Ian membawa Faith berputar dan wanita itu sama sekali tidak bicara ataupun menatapnya, selain berusaha untuk fokus dengan alunan musik dan tarian mereka. "Ada apa?" Suara Ian mengejutkan Faith, matanya segera bertemu pandang dengan mata gelap Ian. Faith berusaha keras agar bisa menemukan kata yang tepat untuk dikatakan. Ia mendesah ketika hanya sanggup mengatakan, "bukan apapun." "Faith, apa kau tahu kau sangat cantik dengan gaunmu?" "Daddy sudah mengatakannya." "Kalau begitu aku jadi orang kedua sepertinya?" Faith mengangguk sambil tersenyum masam. Ian memerhatikan cara bulu mata Faith bergerak kemudian ia menelan liur. "Faith, ceritakan aku sesuatu tentang dirimu!" Faith membelalak lagi. "Apa?" "Kenapa kau selalu bertanya begitu tiap kali aku mengatakan sesuatu padamu?" Faith mengabaikan pertanyaan Ian barusan. "Aku tidak pandai bercerita." Mike tidak pernah meminta Faith menceritakan suatu tentang dirinya. "Aku tidak menginginkan sebuah kisah dongeng putri tidur, cantik. Aku hanya ingin kau menceritakan sesuatu padaku tentang dirimu." Tampaknya, penggunaan kata 'cantik' sama sekali tidak mengusik Faith. "Apa yang ingin kau tahu?" Ian diam untuk menimbang, pada detik berikutnya ia sudah punya beberapa pertanyaan untuk diajukan. "Apa makanan kesukaanmu?" "Aku suka kue tar." Ian mengerutkan dahinya. "Selain itu?" "Cokelat." "Dan..?" "Pie dengan selai rasberi." "Oh, apa kau selalu makan makanan dengan gula tinggi?" "Kau bertanya tentang makanan yang kusuka." Faith benar, Ian mengangguk. "Buah apa yang kau suka?" “Stroberi. Semua jenis buah beri." Baik Ian maupun Faith, mereka mencoba untuk tetap bergerak di lantai dansa. "Tempat apa yang begitu ingin kau kunjungi?" Faith tertegun. Begitu banyak tempat yang ingin ia kunjungi dan belum sempat ia wujudkan. Sejauh ini kuliah dan semua tuntutan telah menyita waktunya. Ketika ia beranjak remaja, Faith sudah menyusun beberapa daftar tempat yang ingin dikunjungi. Tapi kemudian kebutuhan untuk membuat orang tuanya bangga membuat Faith semakin disibukkan oleh prestasi. Ia lulus dengan nilai terbaik dan seiringan dengan itu, semua impian Faith terkubur begitu dalam. Bahkan ketika Faith mulai mengenal pria dalam hidupnya, Faith menjadi liar dan tak terkendali dan ia semakin jauh dengan dirinya. Pertanyaan Ian barusan telah mengulas kembali ingatan Faith kala remaja. Masa dimana ia benar-benar menjadi Faith yang bahagia. Di luar kehendaknya, Faith tersenyum lebar. Ketika Ian ikut tersenyum, Faith baru menyadari tingkahnya. "Wajahmu merona," kata Ian. Faith semakin dibuat malu oleh tingkahnya sendiri. "Ya. Aku selalu melakukan itu. Semacam respons alami." "Ketika kau mengingat sesuatu?" "Tepat." "Jadi, apa kau akan mengatakannya padaku?" "Aku ingat daftar perjalanan yang kubuat saat aku masih remaja. Aku berpikir akan jadi menyenangkan jika aku mengunjungi semua tempat yang kuinginkan, tapi sebelum itu, aku harus punya daftar." Faith menatap Ian dan pria itu memberi perhatian penuh untuk mendengar ceritanya. Mike tidak punya waktu luang untuk mendengar omong-kosong itu. "Kau tahu? Ada beberapa tempat yang membuatku segera jatuh cinta ketika melihatnya. Aku tidak pernah ke sana tapi aku sudah menyelesaikan semua bacaanku tentang wisata dunia. Aku ingin ke Amsterdam, tapi pertama-tama aku ingin ke Paris dan London. Aku ingin melihat tembok raksasa di China, aku ingin mengunjungi negara di Asia, aku ingin pergi ke Bali, aku ingin ke Jepang dan India. Oh.. Aku juga berencana pergi ke Hongkong. Aku ingin melihat petasan besar di langit malam, cahayanya selalu membuat aku jatuh cinta.." Senyum Ian semakin lebar, Faith dibuat canggung karenanya. "Apa aku bicara terlalu banyak?" "Tidak. Aku senang mendengarmu mengatakannya. Jadi apa ada tempat lain yang ingin kau kunjungi?" "Aku pikir tidak." "Jadi.. Apa yang paling senang kau lakukan?" "Aku suka menulis." "Kolom berita?" "Bukan. Hanya cerita fiksi. Aku suka holtikultura, aku suka melakukan penelitian ilmiah. Sekarang aku jarang melakukan semuanya. Aku selalu merindukan masa ketika aku merasa benar-benar hidup.” Mata Ian menerawang jauh ke dalam mata Faith. Menembus hingga ke ulu hatinya. "Apa yang terjadi?" "Aku harus menyelesaikan kuliahku dengan nilai terbaik." "Biar ku tebak. Kau berhasil melakukannya?" "Ya." "Lalu apa rencanamu setelahnya?" Faith tidak tahu. Ia menggigit bibir bawahnya dan tanpa sadar gerakan itu telah menimbulkan aura sensual di tubuh Ian. Faith mengerjap beberapa kali, merasa keberatan dengan riasan yang menurutnya berlebihan, namun di sela itu pertanyaan Ian telah menyita pikiran Faith sepenuhnya. Apa rencananya setelah itu? Faith sudah memeroleh prestasi terbaik, sudah menjadi putri Hudson yang baik, telah mengabdikan dirinya kepada orang tuanya, berhasil membuat kesan baik di mata mereka, tapi.. Apa yang ia tuju dari semua itu? Faith tidak tahu jawabannya. Seakan Ian tahu isi hati Faith, pria itu bertanya, "Faith, keberatan jika aku bertanya sesuatu yang lebih pribadi padamu?" Faith tidak menjawab dan Ian melanjutkan. "Kapan terakhir kali kau melakukan apa yang benar-benar ingin kau lakukan?" Kapan tepatnya? Mungkin saat remaja, sebelum ia benar-benar kehilangan dirinya. Kebahagiaan dan kebebasannya. Ian masih menunggu, tapi Faith tidak sedikitpun membuka mulutnya untuk bicara. Beruntung Ian memahami keadaannya. Pria itu mendengus dan kembali mengambil alih pembicaraan. "Berapa usiamu?" "Dua puluh tujuh tahun." "Kau masih sangat muda." "Aku tahu." "Kau masih punya banyak waktu untuk mewujudkan semuanya." Mata almond Faith membesar. "Apa?" "Daftar harapan." "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah benar-benar mewujudkannya." "Selalu ada yang pertama." Ia mengulas seringai dan Faith tertawa geli. "Kau benar. Apa menjadi dokter juga harapanmu?" Ian mengernyit, hal yang baru disadari Faith selalu dilakukan pria itu tiap menanggapi sebuah pertanyaan. "Salah satunya." "Jadi apa yang lain?" "Oh, kau mungkin akan merasa bosan mendengarnya. Jumlahnya ada seribu." "Ayolah, kau akan mengatakan salah satunya padaku." Ian menggeleng dan Faith terus menggodanya. "Kau mungkin tidak suka mendengarnya." "Aku masih ingin mendengarnya." "Baiklah, karena kau memaksa. Sungguh Faith, aku menginginkan banyak hal terjadi, tetapi hanya ada satu yang bisa kuharapkan: aku ingin agar kau mengatakan berapa ukuran pakaian dalam-mu. Tidak ada yang lebih kuinginkan dari itu." Faith terkekeh lagi, dan Ian hanya tersenyum memandanginya. Di luar sadar, satu tangan Faith menepuk lembut bahu Ian. "Kau dokter ahli bedah berotak c***l yang pernah aku temui." "Dan itu berarti, aku jadi yang pertama?" "Sayangnya begitu." Musik telah berhenti begitu pula pergerakan mereka. Ian tersenyum di hadapan Faith sebelum mendekat untuk berbisik, “sekarang aku senang.” *** Faith mendekap Kyle erat-erat dengan Ian berada di sampingnya. Perayaan pernikahan telah berakhir, Faith dan Ian juga sudah berganti pakaian. Mereka berkemas kurang dari satu jam yang lalu dan bersiap untuk pergi berbulan madu. Tapi Faith tidak ingin pergi begitu saja. Ia perlu mengucapkan selamat tinggal, ia perlu memeluk orang tuanya bahkan untuk satu menit sekalipun. Ketika Faith mendekap Kylee, air mata Kylee segera tumpah dan membasahi setelah sederhana yang dikenakan Faith. Kylee cepat-cepat melepas Faith untuk menyeka air mata di wajah kemudian memasang senyum terbaik yang pernah Faith lihat. "Doaku memberkatimu. Semoga kau bahagia, sayang.." Faith menjauh untuk beranjak mendekati Juan yang berdiri di samping Kylee. Ayahnya tampak setegar kelihatannya, tampak sekuat seperti biasa sekaligus tampak begitu rapuh. Wajahnya pucat, Faith sadar bahwa bukan hanya ia yang merasa bahwa hari ini begitu melelahkan, tapi ayahnya juga. Faith tidak meminta izin dan segera menghambur ke dalam pelukan Juan. Faith berusaha untuk mengendalikan diri, menjaga agar air matanya tidak tumpah, namun bahunya sudah berguncang dengan amat keras dan air mata terlanjur tumpah. Tangan besar Juan membelai kepala Faith dengan kelembutan yang tak diragukan. Juan menepuk bahu Faith dan seiring berjalannya waktu, menyerah pada dirinya sendiri. Juan mendekap putri tunggalnya erat-erat, membiarkan air matanya jatuh di puncak kepala Faith. Mereka tetap seperti itu sampai semenit penuh sebelum Juan menarik diri. Rasanya Faith ingin terus menerus mendekap Juan seperti itu. Sulit sekali bagi Faith untuk melepas Juan. Menatap lelaki itupun terasa bagai ujian yang berat. "Aku akan merindukanmu, daddy." Faith berkata. "Segera pulang dan beri aku kejutan." Dan sekali lagi, itu bukan perintah. Faith tidak berjanji akan menepatinya, ia hanya memeluk Juan sekali lagi sebelum beranjak menjauh darinya. Ian membimbing Faith menuju SUV mereka. Seluruh barang dan pakaian di dalam koper sudah tersedia di bagasi. Mereka tinggal pergi ke bandara dan terbang ke tempat tujuan. Ketika Faith sudah duduk di dalam mobil, Ian menstarter sementara Faith memandang ke luar jendela. Semua keluarga melambai pada mereka. Faith merasakan jantungnya mencelos. Air mata tinggal di pelupuk sebelum jatuh di atas wajah. Faith segera menyeka air matanya saat Ian mulai menginjak pedal gas dan SUV bergerak menjauh dari kerumunan orang. Semakin jauh hingga menyisahkan setitik cahaya merah dari lampu sen yang menyala. SUV mereka melalui jalur sepi kendaraan sehingga keheningan yang mencekam menggantung di sekitar mereka. Ian merasa terusik dengan keheningan itu, tapi sepertinya Faith tidak merasakan hal yang sama. Ketika Ian berpaling untuk memerhatikan, Faith sibuk dengan pikirannya. Pancaran matanya yang menatap ke depan menerawang kosong, pikirannya ada di tempat lain dan di luar sadar, matanya sudah basah lagi. "Kenapa kau begitu murung beberapa hari belakangan?" Faith baru sadar ketika Ian menyentuh bahunya. Ia terparanjat di tempat, menatap Ian sambil membelalakan mata. "Apa?" Ian tertawa kecil. Menyenangkan rasanya mendengar Faith mengajukan pertanyaan yang sama setiap kali ditegur. "Aku bilang, kenapa kau jadi begitu murung?" Faith terburu-buru menyeka air matanya. "Aku khawatir." "Itu dampak dari peredaran darah yang terhambat." Faith mengernyitkan dahinya. "Jangan terlalu menghawatirkan banyak hal. Darahmu butuh tiga puluh detik untuk beredar ke seluruh bagian tubuhmu. Seluruh organ dalam tubuhmu terlalu sibuk untuk menghawatirkan banyak hal. Cobalah untuk mengatur nafasmu lebih sering, kau akan merasa lebih terkendali." Faith memerhatikan Ian dalam beberapa detik sebelum membuka mulutnya untuk mengatakan satu-satunya hal yang bisa dipikirkan. "Apa kau selalu mengatakan semua tentang kesehatan?" Ian menanggapinya dengan logis. "Itu respons alami. Aku seorang dokter, sepanjang jam aku habiskan untuk duduk di ruangan yang berbau obat dan menangani pasien yang datang padaku." Faith merasa penasaran. Senyum kecil tersungging di bibirnya ketika ia berbisik, "apa saat bercinta kau juga bicara tentang kesehatan?" Ian tidak segera menjawab, namun tidak juga mengabaikan Faith. Sesekali ia memutar wajahnya untuk menatap wanita itu kemudian seulas senyum keji terlintas di wajahnya yang tampan. "Mungkin. Aku tidak benar-benar tahu apa yang kukatakan saat sedang bercinta." "Itu respons alami," ujar Faith, membeokan ucapan Ian sebelumnya. "Ya." Faith tergelak di kursinya ketika Ian tersenyum masam. Dan selanjutnya suasana menjadi lebih menyenangkan. Ian membuat Faith merasa penasaran tentang semua fakta kesehatan yang tidak ia tahu selama ini, Ian juga kelihatan tidak keberatan menjawab semua pertanyaan Faith seputar kesehatan. Bahkan, ia menjelaskan detailnya hingga wanita itu mengangguk penuh pemahaman. Sesekali Ian menggodanya, dan Faith terus menganggap usaha Ian sebagai lelucon yang menyenangkan, jadi ia hanya tertawa, namun Ian tidak menanggapi dengan sama. Lelaki itu kelihatan merengut ketika Faith menertawai semua rayuannya. Faith sepertinya tidak mengerti, namun, selama itu bisa membuatnya terus tertawa, Ian tidak akan merasa tersinggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD