1

3733 Words
New York, Amerika Juni, 2015 Dua hari berlalu begitu cepat sebelum Faith menghadapi pertemuan keluarganya dengan keluarga Ian pada makan malam yang tak terhindarkan. Pertemuan itu dirancang khusus oleh Juan dan Kylee untuk memperkenalkan putri mereka yang malang dengan putra pasangan Landon yang serasi, Ian K. Landon. Faith tidak berniat mengecewakan seluruh rencana Juan, jadi ia berusaha untuk melakukan yang terbaik. Setidaknya ia masih menyimpan gaun lama berwarna biru safir dengan potongan d**a rendah dan hiasan sederhana di seputar lengan yang membuatnya kelihatan seperti remaja tujuh belas tahun. Faith berdiri di depan cermin dan memandangi dirinya. Ia masih tampak menarik dengan gaun itu. Faith masih ingat saat pertama kali Kylee merancang secara khusus sebuah gaun berwarna biru yang begitu indah sebagai hadiah ulang tahun Faith yang ke-17. Kala itu Faith masih menjadi putri Hudson yang pemalu, penuh cerita dan cerdas. Sekarang Faith tidak merasa lebih cerdas dengan keputusannya untuk menikahi seorang pria asing yang tidak ia cintai. Faith hanya bergantung pada nasib baik. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, gaun itu masih tampak cantik dan pas di tubuh ramping Faith. Faith sempat mengalami masalah dengan berat badannya beberapa bulan lalu namun berkat pelatihan gym dan olahraga yang cukup, Faith berhasil mengembalikan tubuhnya ke ukuran normal. Ia tidak terlalu kurus dan bukan berarti gemuk. Tubuhnya terasa pas dan elok di pandang. Dadanya penuh dan pinggulnya ramping di tambah lagi kakinya yang jenjang membuat pria manapun rela bertekuk lutut untuk satu malam percintaan dengan Faith. Faith mengira hanya tubuhnya yang sejauh ini ia andalkan agar tetap bersama Mike. Berkali-kali Mike memuji Faith dan wanita mana yang tidak suka dipuji? Memikirkan Mike membuat bulu roma Faith meremang. Ia memerhatikan dirinya di cermin sekali lagi – berusaha untuk menilai penampilannya. Semua yang ada pada dirinya tampak sempurna. Ia memiliki tinggi dan ukuran tubuh yang proporsional. Rasanya tidak ada yang terlalu buruk saat itu kecuali suasana hatinya. Fakta bahwa Faith sudah tumbuh besar dan akan segera menikah nyaris membuatnya hilang akal. Fakta itu sekaligus membawa Faith kembali pada kenyataan. Ia segera menyeruak ke ambang pintu begitu Kylee memanggilnya. Faith sudah menduga ekspresi Kylee sehingga ketika wanita itu terpana dengan penampilan Faith, Faith sudah tidak merona lagi. “Oh Tuhanku! Faith.." ibunya mendekat sembari merentangkan kedua tangannya dan memandangi Faith dari ujung kaki hingga atas kepala. "Kau tahu tidak ada pria yang lebih beruntung dari pada Ian karena akan memilikimu, nak.” Salah. Tidak ada pria yang lebih merugi dari pada Ian begitu mendapati wanita cantik yang sudah tidak perawan di ranjangnya. Faith mengutuk dalam hati, namun di depan Kylee, ia mencoba tersenyum lebar. "Apa semuanya sudah datang?" Kylee meletakan tangan di kedua lengan Faith dan tersenyum ramah. Ibunya sangat penyayang dan juga cantik. Kecantikan Faith mewarisi kecantikan Kylee. Meski telah berusia paruh baya, ibunya bahkan tetap terlihat muda dengan balutan gaun cokelat gelap yang bersahabat dan dandanan yang tidak terlalu mencolok. Sama seperti Kylee, Faith juga tidak begitu menyukai dandanan yang mencolok. Wajar jika malam ini ia hanya memoleskan bedak, memakai eyeliner dan maskara serta lipstik yang senada dengan warna bibir. Tidak begitu mencolok dan tidak pula berkesan 'seadanya'. Setiap wanita selalu punya ketertarikannya sendiri. "Mereka sudah menunggumu di ruang makan. Aku harap kau tetap tersenyum dan bersikap hangat. Christopher Landon pria yang menjunjung tinggi kehormatan. Meski jamuan makan ini bukan acara yang formal, kau tetap harus menjaga sikap." "Aku pastikan aku tidak akan mengecewakan, Bu." Dan selalu kalimat yang sama. 'Aku pastikan aku tidak akan mengecewakan' bukannya: 'aku akan berusaha melakukan sebisaku'. Tapi Faith tidak berniat untuk memusingkannya sekarang. Bersama Kylee, Faith turun dari lantai atas menuju meja makan, dimana keluarga Landon sudah menunggunya di sana. Faith merasakan kecanggungannya kian tersulut. Dari jauh ia masih sanggup memerhatikan. Ayahnya duduk di atas kursi roda dan berhadapan dengan sang senator, Christopher Landon di seberang. Mereka kelihatan tengah berbincang-bincang. Kemudian tatapan Faith beralih pada wanita mungil berkulit putih dan berambut pirang yang duduk di samping sang senator. Faith mengenali wanita itu sebagai Jordyn Landon, istri Christhoper yang menawan. Jordyn lahir dari keluarga kaya yang bergelut dalam dunia politik. Ayahnya seorang jaksa dan adik bungsunya merupakan agen FBI. Kini, putranya yang ke-2, Joseph, juga menggeluti bidang yang sama dalam FBI. Faith mencoba mengabaikan Jordyn dan beralih pada pria tinggi bertubuh besar yang duduk di sudut terkiri. Dari caranya berpakaian yang formal dan tatapannya yang kosong, Faith menduga bahwa pria itu tidak lain adalah Joseph Landon, putra kedua dari pasangan Landon. Joseph masih tampak seperti biasa: dingin, kaku dan terlalu formal dengan kecerdasannya yang memesona. Kemudian tatapan Faith beranjak dari Joseph ke pria yang duduk di sebelahnya. Pria dengan balutan kemeja putih sederhana, celana dan sepatu yang formal itu tampak menawan. Faith sempat menduga bahwa pria itu adalah Luke, namun ia tahu dugaannya salah begitu mendengar suara tawanya yang aneh dan bergemuruh memenuhi ruangan. Dan tepat seperti yang tersisa, ia segera tahu bahwa pria itu Ian. Calon tunangannya yang tidak lama lagi akan menjadi calon suaminya. Satu hal yang segera di sadari Faith bahwa Ian tidak pernah berubah. Bahkan ketika pertemuan keluarga yang melibatkan obrolan seputar rencana pertunangan mereka, Ian tidak merasa canggung untuk tampil sederhana. Lelaki itu menjawab semua pertanyaan Juan, merespons dan tertawa dengan cara yang aneh ketika ada sesuatu yang dianggapnya menarik. Khas Ian. Faith merasakan tangannya lembap hanya dengan mendengar tawa Ian yang aneh itu. Dalam benaknya ia bertanya-tanya: benarkah ia akan menikah dengan Ian? Ia pasti sudah gila. Kehadiran Faith dan Kylee menyita segala perhatian. Tidak ragu jika semua mata tertuju pada wanita cantik berambut hitam yang mengenakan gaun biru safir, kecuali Juan. Juan adalah yang pertama dan yang terakhir menatap istrinya. Faith segera merasa iri pada ibunya sendiri. Ia selalu berharap suatu saat nanti akan ada seseorang yang menatapnya seperti Juan menatap Kylee – seakan pria itu rela menyerahkan hidupnya untuk satu-satunya wanita yang paling dicintai. Kemudian Faith memerhatikan Ian dan tersenyum ketika pria itu memberi anggukan ramah. Faith tidak nyaman menjadi pusat perhatian, maka ia segera mengambil posisi duduk di kursi yang telah disiapkan yaitu tepat di samping Ian. Butuh usaha keras bagi Faith untuk duduk dan tetap tenang. Ia masih menjaga tatapannya agar tidak bertemu pandang dengan Ian, meski begitu Faith bisa merasakan tatapan Ian yang tidak pernah lepas darinya. Ian adalah pria yang bisa mencairkan suasana. Pria itu berbicara dengan cara yang blak-blakan dan membuat seisi ruangan terhibur dengan leluconnya yang-menurut faith - aneh. Ian bahkan tidak merasa segan berbicara bahwa ia menyukai Faith dan ide pernikahan adalah hal terbaik. Tapi Faith tidak merasa demikian. Ia tidak banyak bicara dan memilih untuk tersenyum sepanjang acara makan malam dan pertemuan. Dalam waktu kurang dari satu jam, dua keluarga itu sudah menentukan waktu pertunangan dan konsep yang tepat. Faith yang mengajukan bahwa ia tidak begitu menginginkan pesta besar. Awalnya Jordyn menolak. Istri Landon itu beranggapan bahwa pernikahan putra-putrinya adalah momen terpenting dalam hidup mereka dan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, jadi wanita itu berharap semua yang ada disana harus spesial. Ketika Kylee menyetujui usulan Jordyn, Faith menyerah. Satu hal yang baru disadari Faith bahwa: Luke, si bocah Landon yang tampan dan menawan tidak ikut hadir dalam jamuan tersebut. Luke bekerja disebuah perusahaan internasional sebagai wakil direktur dan pekerjaannya telah menyita waktu sehingga Luke jarang menikmati momen berkumpul bersama keluarga. Sementara Joseph, pria itu sudah cukup lama mengemban tugasnya dalam keanggotaan FBI dan Ian sendiri, sekarang lelaki itu memiliki sebuah klinik pusat dan sekurangnya tiga klinik cabang di daerah yang berbeda. Tidak ada yang kurang dari Ian. Faith menyadarkan dirinya sendiri, namun dari lubuk hatinya, ia tidak pernah merasa siap menghadapi pernikahan itu. Tiba ketika kedua keluarga bersantai, Faith mejauhkan diri dan berusaha mendapat ketenangan untuk menyendiri di taman belakang rumahnya. Ia selalu melakukan hal yang sama ketika pikiran dan perasaannya kalut. Di taman itu Faith menumpahkan segala kegundahannya dengan mencoba mempelajari berbagai jenis tanaman yang ada dan di sana-lah ia mulai menggemari holtikultura. Faith ingat di usia remajanya ia memulai membangun hortikultura-nya sendiri. Di sini, di rumahnya, tepat di taman belakangnya yang luas dan indah. Kemudian semua itu berkembang sampai Faith menemukan kesibukan baru untuk menulis. Tidak sedikit dari karya-karyanya yang sudah dibukukan. Tidak sedikit penghargaan yang ia peroleh, bukan hanya penulis terbaik namun juga penulis termuda yang menciptakan karya-karya luar biasa. Faith mencintai dunianya, kemudian ia bertemu dengan Mike dan segalanya hampir berubah. Faith sudah jarang menulis lagi dan menghabiskan waktu bersa Mike. Ia hanya melakukan perkerjaan itu begitu ada waktu luang. Mike telah mengalihkan dunia Faith dan dengan mudah mengunjukan pada Faith warna dunia yang jarang Faith masuki. Faith mencintai Mike begitu pula sebaliknya, namun Faith belum menemukan alasan yang cukup logis tentang apa yang benar-benar ia kagumi dari Mike. Entah caranya berjalan, berbincara atau bercinta. Atau caranya memuja Faith di atas ranjang. Faith duduk di atas dahan pohon besar yang sudah tumbang dan mulai memikirkan segalanya. Tentang pertunangannya, tentang Mike, tentang kanker Juan. Semua pemikiran itu akan membuat Faith gila jika ia tidak segera menghentikannya. Suara gemerisik dari sepatu yang bergesekan dengan daun-daun kering di taman telah menyita perhatian Faith. Ia menengadah dan sudah mendapati Ian berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu tersenyum dan menyapa Faith dengan sapaan hangat. "Halo Faith!" Faith balas tersenyum. "Halo Ian." Ian melambaikan tangannya pada dahan pohon yang diduduki Faith. "Keberatan jika aku bergabung?" Ya. "Tidak." Awalnya Ian merasa ragu, tapi kemudian ia mengambil posisinya di samping Faith. Ian berusaha menjaga jarak dari Faith agar ia bisa memandang wanita itu lebih leluasa. "Ibumu mengatakan kalau kau sangat pemalu dan sedikit pendiam dan kau tau apa anggapanku ketika melihatmu?" Faith tidak merespons dan hanya menunggu Ian menyelesaikan kalimatnya. "Aku beranggapan bahwa.. sangat tidak pantas untuk mengatakan ini secara sopan tapi kau terlihat begitu cantik dan mengundang. Sama sekali tidak seperti wanita kecil yang berdansa bersamaku dan canggung dengan setiap gerak-geriknya.” Faith tertawa kecil, Ian ikut tertawa. "Kenapa kau masih mengingatnya?" tegur Faith. Ia menghela nafas ringan sebelum menjawab, "karena malam setelah aku menghabiskan dansa denganmu, aku selalu bertanya-tanya berapa ukuran pakaian dalam-mu dan berharap agar rasa penasaranku terpenuhi." Tubuh Faith segera menegang, namun ia juga tidak bisa menghentikan respons alami untuk tertawa. Jadi satu lagi fakta tentang Ian, bahwa: pria itu tidak pernah berniat mengubah otaknya yang c***l. "Jadi apa sudah terpenuhi?" goda Faith dan Ian hanya mengerutkan dahinya. Tentu saja, Faith tidak akan menjadi yang utama. Hal itu masih bisa dianggap wajar, namun Faith bertanya-tanya bagaimana reaksi Ian kelak bila tahu kalau dirinya juga bukan yang pertama untuk Faith? "Serius. Kau cantik." Ian menatap Faith dan ketegangan kembali menyiksa keduanya. Ian merasa ia perlu mengatakan sesuatu untuk melerai suasana, tapi begitu ia melihat Faith merunduk dengan murung, ia memutuskan bahwa menunggu wanita itu mengatakan sesuatu adalah yang paling bijak. Dua menit penuh terlewati sampai Faith menemukan suaranya. Butuh usaha keras baginya untuk bicara dan Ian segera mengerti. "Ian, aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Ian diam sembentar dan ketika ia mengira bahwa Faith menunggu respons darinya, Ian baru bicara. "Aku akan mendengarkan. Tapi sebelumnya, keberatan jika kau memberitahu padaku apa yang akan kau katakan adalah hal buruk?" "Ya," respons spontan adalah yang tidak bisa diragukan kebenarannya. Ian segera mengoreksi. "Ya?" "Tidak." "Tidak?" "Sebenarnya.. Aku tidak tahu." Tiba-tiba Faith merasa canggung lagi. "Dengar Faith, aku sudah mempelajari penilitian ini lama sekali dan aku segera menemukan kebenarannya bahwa seseorang merasa canggung karena dirinya tertekan. Ada beberapa urat di tubuhnya yang tegang dan ketika seseorang merasa begitu terdesak, otaknya akan sangat sulit merespons dan setiap kata-katanya akan melantur. Jadi, izinkan aku untuk melakukan ini," Ia meraih satu tangan Faith dan menahannya begitu Faith merasakan gerakan refleks untuk menjauh. Ian menatap Faith sebelum menekankan jari-jarinya ke seputar tangan Faith dan mencari pembuluh darah di sana. Begitu Ian merasakannya, ia segera menekan pembuluh darah itu dan memberi pijatan ringan. Faith tidak tahu mengapa namun ia merasa jauh lebih tenang dan terkendali setelahnya. Segera setelah Faith merasa lebih tenang, Faith memutuskan untuk bicara. "Dengar, ini serius. Aku minta maaf karena mengatakan ini tapi aku harap kau bisa menjaga rahasia." Ian mengulas senyum kecilnya yang menawan dan membuat Faith hampir meleleh dengan garis wajahnya yang tegas dan bibirnya yang ranum. Ian memang tidak tampil memukau seperti Luke, namun pria itu cukup memikat. Ia punya sisi yang membuat Faith merasa cukup tenang dan nyaman ketika berada di dekatnya. Faith semakin gentar untuk mengatakan faktanya, namun Ian terus mengirimkan semacam gelombang yang dihasilkan dari kontak kecil tangan mereka dan entah bagaimana terasa ajaib. Faith jauh lebih tenang, lebih terkendali. "Aku ahlinya," sahut Ian akhirnya. "Kau bisa memercayaiku." "Ian.. Soal pernikahan itu. Ayahku difonis mengidap kanker sejak setahun lalu. Kau tahu? Kanker darah.." Ian mengangguk paham. "Leukimia." "Apa?" "Jumlah sel darah putih berada di atas normal akibatnya tubuh kekurangan sel darah merah. Penyakit yang cukup berbahaya." Yah, Ian memang cerdas dalam bidangnya. "Aku yakin kau tahu. Semakin hari kanker-nya semakin parah. Sejak kecil aku berusaha untuk menjadi yang terbaik di matanya. Aku sangat mencintai daddy. Aku.. tidak bisa membayangkan hidup tanpanya. Dua hari yang lalu aku menunggunya di rumah sakit. Saat dia sadar dia meminta aku untuk menikah denganmu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba berpikir begitu, tapi aku segera tahu kalau Juan dan Mr. Landon sudah merencanakan semua ini sejak dulu. Bagaimana aku harus menyebutnya.. Semacam perjodohan." Ian mengangguk lagi dan ketika tidak ada respons, Faith melanjutkan. "Aku sudah memikirkan ini selama dua hari penuh. Setiap malam aku terjaga dan aku selalu bertanya pada diriku sendiri apa aku siap menghadapi sebuah pernikahan dengan seseorang yang tidak benar-benar aku kenali. Aku harap kau bisa memaafkan aku." Ian hanya merengut kemudian tersenyum sambil lalu. Kemudian Faith melanjutkan, "aku tahu aku tidak bisa mengecewakan daddy, aku ingin memberinya yang terbaik di hari-hari terakhirnya dan menikahimu ada di luar dugaanku, tapi aku selalu berpikir bahwa mungkin ini cara terbaik yang bisa kulakukan untuknya." Faith memandang Ian sesekali. Ia sempat berpikir akan melihat wajah Ian yang memanas dan penuh amarah karena Faith – secara tidak langsung – telah mengatakan fakta terburuk yang ingin didengar seorang pria. Namun ia salah besar. Pria itu masih memerhatikannya, masih mendengarnya dengan sabar, jadi Faith merasa tenang untuk melanjutkan. "Dan aku berpikir bahwa tidak ada yang harus ditutup-tutupi dengan pernikahan ini. Jadi aku akan mengatakan semuanya padamu." "Aku menghargai usahamu untuk bersikap terbuka." "Tidak. Belum," ujar Faith. Merasa resah dan takut dengan dirinya sendiri. Dengan kebenaran yang hakiki. Ia takut jika kelak Ian akan membencinya. Membenci pernikahan mereka sementara hal terakhir yang ingin dilakukan Faith adalah mengecewakan Juan dan Kylee. Lebih baik jujur sekarang ketimbang menyesal nantinya. "Kau tidak mengerti.." Ian menekan pembuluh darahnya lagi dan untuk kesekian kali, Faith merasa lebih tenang, lebih mudah untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Aku mencintai pria lain.." Faith berhenti untuk menatap Ian dan ia hanya mampu melihat segaris kerutan di dahi, jadi ia melanjutkan. "Aku benci mengatakan ini, tapi kau harus tahu. sebagai pertimbanganmu sebelum menikahiku. Aku memang sedang terlibat hubungan yang sangat kompleks dengan seorang pria. Namanya Mike. Mike bekerja sebagai pemandu tur, hidupnya sederhana dan mungkin itu yang membuat orang tuaku berpikir dua kali untuk menikahkan aku dengannya. Kami menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. Aku tidak ingin memperkeruh hubunganku dengan mom dan daddy, tapi aku juga tidak bisa berhenti melibatkan Mike dalam hidupku. Sudah tiga tahun sejak kami bersama dan kau tahu persisnya kedekatan apa yang dijalin oleh seorang pria dan wanita dalam kurun waktu yang cukup lama. Aku sempat berpikir bahwa aku bisa mencintai Mike seperti mom mencintai daddy, tapi Mike mengunjukkan pengalaman luar biasa yang tidak pernah aku alami. Kami bercinta dan itu berlangsung hingga saat ini. Aku seharusnya tidak mengatakan ini pada calon tunanganku tapi aku mencoba memberimu kesempatan.. Dan.." Faith menatap Ian sekali lagi. Pria itu bergeming. Emosinya stabil, sangat kentara. Faith sampai tidak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Ian dan ia benci karenanya. "Oh, apa aku menyinggungmu?" Tidak ada jawaban dalam beberapa detik, namun akhirnya Ian membuka mulut dan mengatakan satu kata yang terlintas dalam benaknya. "Monica.." Alis Faith menyatu, dahinya berkerut. "Apa?" "Aku bertemu dengannya di sebuah klub di kota," Ian mulai menjelaskan dan seiring berjalannya waktu Faith segera mengerti. "Kami telah menjalin hubungan tanpa status selama sebulan terakhir. Aku orang yang menganggap seks adalah kebutuhan alami. Kau pikir seberapa payahnya seorang dokter ahli bedah menangani kebutuhan primitifnya? Aku tidak sepayah pria kebanyakan dan aku sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan. Pekerjaanku menyita semua waktu dan pikiranku, terkadang seseorang membutuhkan sedikit refleksi untuk menyegarkan kembali otaknya. Jadi ketika aku membutuhkannya, aku selalu datang pada Monica. Aku tidak menyebutnya sebagai wanita simpanan, aku lebih senang menyebutnya sebagai 'teman'. Sekarang apa semuanya adil?" Faith tidak mengerti mengapa Ian mau berterus terang padanya dengan sedemikian rupa? Terlepas dari semuanya, Faith jauh merasa lebih nyaman dan tidak canggung berkat pengakuan Ian. Ian mungkin bermaksud ingin membuat posisi mereka sebanding. Tapi seharusnya Ian marah atau melakukan sesuatu untuk melampiaskan kemarahannya sehingga Faith tidak perlu merasa begitu bersalah. Namun Ian melakukannya dengan cara yang berbeda. Membuat posisi mereka imbang. "Ian aku tidak tahu apa menikah denganmu akan menjadi lebih baik atau tidak." Ian tersenyum masam, Faith bisa mendengar suara tawa Ian yang lebih mirip seperti dengusan. "Faith.. Aku tidak tahu bagaimana denganmu tapi aku hanya memahami dua hal yang sederhana di sini. Kau tidak menghendaki pernikahan ini dan begitu pula aku," jelas Ian pria yang berbicara secara blak-blakan, namun Faith suka dengan pendekatan itu. "Jika kau tidak benar-benar yakin dengan keputusanmu, maka kau berhak membatalkannya. Jangan berpikir kalau aku akan merasa tersinggung tapi.. percayalah, aku bukan pria yang suka memaksa.” Ian jelas salah pengertian. Faith segera meluruskan. "Tidak, Ian. Aku tidak bermaksud begitu. Tolong.. menghindari pernikahan ini hanya akan mengecewakan Juan dan Kylee." "Lalu bagaimana denganmu?" "Ian, aku tidak peduli seperti apa dan akan bagaimana aku nanti. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik." "Jadi, sepertinya kau terjebak?" "Kelihatannya begitu." Terjadi keheningan yang mencekam sebelum Faith mendesah karena putus asa. "Ian, aku harap kau bisa memaafkan aku. Ini seharusnya tidak menjadi begitu sulit untukmu." Awalnya Ian diam, tidak mengatakan apapun dan terlihat menimbang sesuatu. Faith khawatir jika ia menyinggung Ian, namun merasa tersinggung adalah hal terakhir yang bisa dilakukan pria seperti Ian. "Hei, Faith.." suara Ian lebih lembut dari bisikan dan Faith merasa tenang mendengarnya. "Mengapa kau tidak melihatku?" Faith meragu, menatap mata gelap Ian, ia mulai menilai. Ian memiliki mata hitam yang tajam dan penuh pengamatan. Rambutnya juga hitam dan kulitnya berwarna coklat keemasan. Faith baru menyadari satu hal lain lagi, bahwa Ian tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan keluarga Landon yang berkulit pucat. Wajah Ian juga tidak mewarisi wajah Christopher maupun Jordyn. Sifat dan karakter Ian sangat bersahabat, setiap ucapannya diungkapkan secara blak-blakan dan senyumnya yang memesona sama sekali tidak mewarisi senyum sang senator maupun istrinya. Ian berbeda dan begitu memesona. Hanya wanita yang cukup bodoh untuk menolaknya. "Apa?" "Faith," Ian masih menekan pembuluh darah Faith dan sesekali memerhatikan bagaimana bentuk jari-jari Faith yang indah. "Aku tahu betapa sangat tidak menyenangkannya membicarakan soal perasaan pada seseorang, jadi aku akan membicarakan soal kesehatan." Faith benar-benar tidak mengerti. Cara berpikir Ian terlalu absurd. "Tubuh manusia menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida setiap menitnya. Mungkin kau akan menganggap kalau hal itu adalah hal sepele. Kau bisa menemukan oksigen dimana-pun dan kau akan bernafas. Tapi aku banyak menemukan kasus lain seperti, nafas buatan, atau mungkin.. bantuan tabung oksigen. Seseorang bisa bertahan hidup karenanya dan betapa tidak percayanya aku bahwa manusia memiliki sejuta cara yang tepat untuk mempertahankan hidup. Tapi ada satu hal yang tidak bisa diteliti, yang tidak bisa dipikirkan secara logis bahwa seluruh organ dalam tubuh manusia digerakan oleh generator utama yang absurd. Pikiran manusia mengendalikan segalanya. Pikiran yang mencegah kita bernafas, pikiran yang membuat kita bernafas. Jadi betapa sederhananya semua hal itu sekaligus betapa sulitnya untuk dipahami. Aku pernah mencoba untuk menahan nafasku dan ketika aku berpikir bahwa aku butuh oksigen itu, aku segera bernafas lagi. Sejak saat itu aku memahami fakta yang sederhana bahwa semua terjadi jika kau menghendakinya. Kau masih bisa bernafas dan kau akan terus bernafas ketika kau berpikir begitu. Sementara kau akan mati jika kau membiarkannya terjadi. Faith, kau harus memahami ini. Pernikahan ini tidak akan menjadi begitu sulit ketika kau menemukan jalan keluar terbaik." "Ian.." "Aku belum selesai bicara.." Faith merajuk. Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Maafkan aku." "Bukan masalah. Menurutmu kenapa aku harus berbicara denganmu di sini?" "Kau akan membantuku, kan?" "Aku tidak bisa membantumu," Ian melihat Faith mengerutkan dahinya. "Tapi aku punya saran untukmu." "Kau akan mengatakannya?" "Jadi biar kita pahami dua masalah yang sederhana. Kau dan aku tidak menghendaki pernikahan ini dan kau tidak berniat mengecewakan orang tuamu. Ketika kita tidak bisa menghindari suatu keadaan maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan sebuah kesepakatan." "Kesepakatan?" "Ya. Kita akan menikah dan orang tua kita akan bahagia, khususnya ayahmu. Dan.. Kau tetap memeroleh kebebasanmu. Seperti yang kau mau." Faith mencoba mencerna maksud yang dikatakan Ian, namun ia tidak bisa memahami apapun. "Apa maksudmu?" "Kita akan berbulan madu dan kita tidak akan melakukan semua prosesi itu. Kita hanya butuh sedikit manipulasi. Kau masih bisa berhubungan dengan kekasihmu Max.." "Mike," koreksi Faith. "Benar. Dan aku akan mencari pelepasanku sendiri pada Monica. Semuanya akan jadi adil. Tidak akan ada yang tersakiti dan kau tidak mengecewakan kedua orangtuamu." "Tapi.. Bagaimana jika mereka tahu..?" "Mereka tidak akan tahu jika kita tidak mengatakannya. Ini hanya akan terjadi selama sementara. Kau tahu? Kehidupan rumah tangga adalah alasan yang paling baik untuk berpisah. Dengan begitu kau akan memenuhi keinginan orang tuamu untuk menikah denganku dan dengan sedikit rekayasa, kita akan mengakhirinya dengan mulus. Tidak ada yang bisa mengerti kehidupan rumah tangga, kan? Setiap orang di negara ini menikah dan bercerai secara cuna-cuma. Kenapa kau tidak mencoba menjadi salah satu dari mereka?" "Kau sangat licik, kau tahu?" Ian mengulas senyuman bangga. "Ya, aku selalu bangga dengan diriku." "Kenapa kau mau melibatkan dirimu dalam hal ini? Kalau kau mau, kau bisa meninggalkan aku saat ini juga." Ian bergeming. Matanya berkilau ketika terpana oleh warna almond mata Faith yang begitu indah. Ia tersenyum dan dengan pelan berbisik. "Karena aku seorang dokter.." satu tangan yang sebelumnya menekan pembuluh darah Faith mulai terlepas. Ian mendekat untuk melanjutkan, "dan perkerjaanku adalah membuat pasienku tetap bernafas." Faith hampir tertawa, tapi karena ia menanggapinya dengan serius, jadi ia hanya bicara, "apa kau selalu seperti itu?" "Terkadang." "Jadi apa yang bisa ku lakukan untuk berterima kasih?" Ian terdiam untuk menimbang. "Cukup menikahiku dan beritahu aku berapa ukuran pakaian dalam-mu." Faith tertawa, sangat keras sampai Ian yakin wanita itu akan terjungkal jika tidak segera menghentikannya. "Tidak." Faith berujar. "Menikahimu mungkin tidak akan jadi hal yang begitu buruk." "Kau akan menyukaiku." Faith meragukan klausa itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD