Amara merutuki dirinya sendiri, menyesali rasa bosan yang pernah ia keluhkan tentang hidupnya yang tenang. Dalam satu hari saja, Ryzen Halvara, pemuda asing yang tiba-tiba muncul di hidupnya, berhasil mengacaukan segalanya.
Pagi-pagi buta, suara gaduh terdengar dari dapur. Amara bangkit dengan punggung yang pegal setelah tidur di sofa kecilnya.
"Astaga, dia bikin apa lagi sih?" gerutunya sambil melangkah lesu. Padahal pagi ini biasanya ia menyiram bunga-bunga indahnya dengan damai. Tapi, tampaknya kedamaian itu hanya tinggal kenangan.Amara berjalan menuju dapur dengan langkah malas, masih mengantuk.
Di sana, Ryzen tampak bingung melihat peralatan masak yang sederhana.
“Kamu pasti nggak ngerti, 'kan?” Ryzen melirik Amara sambil mengambil wajan. "Gue biasanya masak pakai alat yang lebih canggih, tapi di sini ..." ia menggerakkan tangannya dengan kecewa. "Tahun 2095 itu lebih canggih dari ini, nggak ada yang ribet. Piring otomatis, makanan muncul sendiri, tinggal pilih, jadi dalam hitungan detik."
Amara memutar matanya, “Kalau cuma sentuh layar, kayaknya masakannya nggak ada rasa, deh!” Ryzen mengangkat alis, heran dengan jawaban Amara.
"Oh, jadi lo pikir kalau kita ke masa depan, makanan jadi lebih enak?" Dia menggelengkan kepala, memasang ekspresi tak percaya. "Di masa depan, nggak ada yang namanya ‘masak manual’. Semua ada teknologi yang bikin makanan itu sempurna, tanpa ribet."
Amara tersenyum sinis, "Padahal, masak itu asyik. Apalagi kita cicipi rasa masakan sendiri. Punya rasa itu juga penting. Makanan bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal hati yang dimasak."
Ryzen mengangkat alat masaknya—sebuah alat aneh yang melilit telinganya. "Kalau lo nggak percaya, coba deh lihat apa yang asisten gue bisa bantu."
Amara mengerutkan kening, "Asisten? Alat apa lagi itu?"
"Oke, Nano. Gimana caranya gunain wajan k-u-n-o ini?" Ryzen mengatakan kata kuno nya sambil melirik Amara.
Gadis itu memutar malas melihatnya, alat aneh macam apalagi yang pemuda itu miliki. Alat yang terpasang di telinga nya, tampak seperti earphones. Hampir mirip, bagi Amara yang melihatnya.
"Tuan Ryzen. Memasak memakai alat ini memerlukan api. Dan api itu berasal dari alat yang dinamakan kompor. Anda juga perlu membutuhkan banyak bahan untuk memasak sesuatu."
"Bahan? Biasanya lo juga masak ga pake bahan, Nan. Lo cuman perlu ngomong dan bilang makanan apa, itu udah jadi."
"Maaf, Tuan. Di tahun 2024 ini, memasak manual lebih banyak orang gunakan. Alat canggih seperti di masa kita belum diproduksi. Mungkin ada beberapa alat canggih di tahun ini yang diproduksi. Seperti menggunakan tombol, lalu akan mengeluarkan api. Tapi, sepertinya nona Amara hanya mempunyai kompor ini. "
Amara yang mendengarkan penjelasan robot itu diam-diam menahan tawa. "Jadi, gimana? Kamu pasti nggak bisa deh, Ryz. Soalnya kan kamu terlalu modern. Jadi, biar aku aja deh yang masak." ujar Amara, dengan nada meledek.
"Lo ngeremehin gue? Wah parah sih orang kuno kayak lo. Gue bisa lah. Nano bisa bantu gue!"
"Ya udah. Kalo emang bisa sendiri silahkan. Jangan buat rusuh."
Amara berlalu pergi meninggalkan Ryzen.
Amara sedang memetik bunga dengan tenang, ketika tiba-tiba terdengar teriakan keras dari dalam rumah. "Amara! AMARAAAA!!" suara Ryzen menggelegar, memecah keheningan taman. Amara mengelus wajahnya, cemas. *Ya Tuhan, suara apalagi itu?*
Erlan, yang baru saja datang, melongo. "Itu siapa, Amara? Suara orang keras banget."
Belum sempat Amara menjawab, Ryzen dengan gaya ceroboh keluar dari rumah, menggerakkan tangannya seolah dia baru saja tiba dari masa depan. "Amara! Kenapa kamu ngilang sih?!"
Erlan menatap Ryzen dengan tatapan bingung, dan Amara panik. "Eh, itu... teman lama. Teman lama yang... uh, baru balik dari... luar negeri," katanya dengan cepat, berusaha terdengar wajar.
Ryzen, yang tidak paham sama sekali dengan kebingungannya, hanya melongo ke arah Erlan. "Luar negeri? Ini... masih negara mana ya?" tanyanya polos.
Amara nyaris tersedak, memaksakan senyum. "Iya, iya, luar negeri... banget." Erlan tampak semakin bingung, namun berusaha menjaga sikap, walau matanya tak lepas dari Ryzen yang masih berdiri seperti alien.
"Oke, ayo, Kak!" Amara buru-buru menarik tangan Erlan, meninggalkan Ryzen yang masih berdiri dengan ekspresi bingung.
Erlan melirik ke belakang, memastikan Ryzen tidak mengikuti mereka, lalu menatap Amara dengan dahi berkerut. "Ra, tadi itu serius teman lama kamu? Bukannya kamu pernah bilang nggak punya teman?"Amara tersenyum kaku, berusaha menyembunyikan rasa gugup.
"Oh, iya. Maksudku, aku bilang gitu karena aku pikir dia nggak bakal balik lagi ke sini. Eh, ternyata dia masih ingat aku." Erlan menyipitkan mata, jelas tidak puas dengan jawaban itu.
"Tapi kok gelagatnya kayak aneh. Kamu yakin dia teman kamu?"
"Serius, Kak! Dia memang orangnya suka ... eh, aneh begitu." jawab Amara, berusaha menyembunyikan kegugupan nya.
"Udah berapa lama dia di sini? Terus, dia tinggal bareng kamu juga?" Pertanyaan itu membuat Amara nyaris tersedak udara. Tatapan Erlan yang tajam seperti bisa membaca setiap kebohongannya, membuat gadis itu makin kikuk.
Dia tahu Erlan tipe yang protektif, apalagi terhadap dirinya, tetangga sekaligus pria yang diam-diam dia suka.
"Dia cuma sementara tinggal di rumahku, kok, Kak. Katanya mau cari tempat tinggal di sekitar sini. Orangnya memang agak ribet." Amara mencoba tertawa, meski suaranya terdengar terlalu kecil. "Tenang aja, semalam aku tiduran di sofa. Nggak bareng dia sama sekali."
Namun, Erlan tidak langsung percaya. Matanya tetap mengawasi dengan tatapan yang penuh selidik. "Ra, kamu yakin nggak ada yang aneh? Aku cuma nggak pengen ada orang sembarangan deket-deket kamu."
Amara menelan ludah nya kasar. "Kak, serius, nggak ada apa-apa kok. Aku bisa jaga diri. Lagian ya, sekarang aku lagi bantu dia buat cari tempat tinggal. Jadi, kakak nggak usah khawatir."
Erlan mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyiratkan keraguan. Dalam pikirannya, bayangan pemuda asing yang tadi dia lihat terus mengganggu. Meski tidak mengatakan apa-apa lagi, pikirannya jelas sudah mulai melayang ke kemungkinan-kemungkinan buruk.
"Ya udah deh. Kamu hati-hati, ya. Makasih bunga nya, Ra." Erlan tersenyum saat menerima sebuket mawar dari Amara.
Amara hanya bisa membalasnya dengan senyuman juga. Walaupun jantungnya sudah berdebar-debar setiap melihat Erlan.
"Kakak pamit." Pria bersetelan kemeja formal itu melenggang pergi keluar dari tokoh Amara. Helaan nafas lega akhirnya Amara rasakan. Gadis itu keluar dari toko nya, dan pergi ke rumahnya yang di samping berdirinya toko ini.
Dia menghela napas lega. Terlihat Ryzen berdiri sambil bersedekap d**a, menatapnya datar. "Itu tadi siapa, Amara? Teman lo? Ternyata sama ku–"
Amara memotong ucapan pemuda itu cepat. "Jangan mulai deh!" jawab Amara dengan suara setengah marah. Kata kuno, pasti akan selalu keluar dari mulut pedas Ryzen.
Gadis itu melangkah memasuki rumahnya. Dan terdengar derap langkah Ryzen yang mengikutinya. Amara berhenti sejenak, lalu berbalik menatap pemuda itu.
"Ryz, mana nih masakan spesial ala masa depan lo tadi? Katanya mau bikin aku kagum?"
Ryzen, yang berdiri dengan wajah penuh minyak dan tepung, langsung menoleh sambil menutup panci di depannya dengan cepat. "Eh, masakannya … ya … lagi on progress. Sabar dong, Ra. Masakan gue tuh level 2095, nggak bisa instan kayak mie zaman lo."
Amara mendekat, melirik seisi dapur yang sudah berantakan. Minyak tumpah, tepung bertebaran seperti salju, dan ada wajan yang hangus di pojok meja. "Eh, ini dapur atau medan perang? Kamu masak apa tadi? Bom nuklir? Ditinggalin cuman beberapa menit doang, dapur aku udah kayak kapal pecah."
Ryzen mengusap tengkuknya, cengengesan. "Yah, baru eksperimen dikit. Nano juga nggak ngebantu banget, sih."
Nano, sang asisten yang berdiri di sudut meja dengan hologramnya menyala, langsung menyela. "Maaf, Tuan Ryzen. Saya sudah memberikan instruksi dengan detail. Namun, Anda memilih untuk memasukkan telur langsung ke dalam wajan tanpa memecahkannya terlebih dahulu."
"Heh, telur kan bakal pecah sendiri kalau panas!" protes Ryzen.
Amara berusaha menahan tawa nya. Gadis itu membayangkan jika orang-orang melihat Ryzen, pasti akan mengatakan pemuda itu ketinggalan zaman.
"Kamu serius masak telur utuh gitu? Mau zaman batu kek, zaman sekarang, zaman es, zaman Alien, atau zaman lo di masa depan, telur itu ya tetep harus dipecahin dulu kalau mau dimasak, Ryzen! Dipecahin dulu, bukan dilempar ke wajan kayak main baseball!" omel Amara, dia mengacak rambutnya frustasi akan tingkah manusia satu itu.
Ryzen hanya bisa cengengesan. Dia menatap Nano asisten nya penuh dendam. "Lo tuh robot AI, Nano. Harusnya bantu gue improvisasi, dong! Lihat, gara-gara tutor lo gak bener, jadi meledak."
Nano membalas dengan nada dingin. "Improvisasi tidak termasuk merusak kompor, menyalakan api terlalu besar, atau membuat dapur terlihat seperti zona bencana."
Amara mendekati panci yang ditutup rapat oleh Ryzen. "Coba aku lihat hasil eksperimen kamu."
"Nggak usah!" Ryzen panik, mencoba menahan tangan Amara, tapi terlambat. Gadis itu sudah membuka tutup pancinya dan mendapati sesuatu yang tidak bisa dikenali. Cairan aneh berwarna cokelat kehitaman dengan tekstur yang mencurigakan.
"Ini … apa, Ryz?" Amara menatap isi panci itu dengan ekspresi horor campur geli.
"Sup masa depan! Rasanya bakal nge-blow your mind!" Ryzen mencoba berbohong. Dia sebenarnya malu dengan Amara.
Amara mencolek cairan itu dengan sendok, lalu mengendusnya. Dia langsung mundur sambil menutup hidung. "Ryzen, ini bahkan nggak layak disebut makanan. Kamu cocoknya di lab, soalnya ini kayak cairan eksperimen!"
Ryzen akhirnya menyerah, mengangkat tangan. "Oke, fine! Masak itu nggak semudah kelihatannya! Gue cuma butuh waktu buat adaptasi sama alat-alat kuno lo!"
Amara lagi-lagi terbahak, dia mengatupkan bibirnya berusaha menahan tawa. "Makanya, jangan sombong. Mentang-mentang kamu dari masa depan. Ingat, ya. Masa kamu dengan masa aku itu beda. Kamu butuh adaptasi atau kalo mau kursus masak? Kayaknya kamu tuh lebih cocok makan di restoran aja, Ryz."
Nano menambahkan dengan suara serius, "Saya setuju dengan nona Amara. Mungkin memasak bukanlah keahlian Tuan Ryzen. Tuan tidak pernah memasak, jadi dipastikan dapur akan seperti kapal pecah bila ada di tangan Tuan Ryzen."
Ryzen menatap Nano dengan kesal. "Lo tuh kerja sama siapa, hah?! Malah ikut ngomporin!"
Amara masih tertawa sambil berjalan keluar dapur. "Udah deh, Ryz. Besok-besok masakannya biar aku aja. Kamu mending fokus jadi tamu yang makan doang."
Ryzen memandang dapur yang berantakan sambil menghela napas panjang. "Gue beneran nggak cocok di tahun ini."
"Ayo, sekarang aku ajarin masak. Biar nanti kalo sewaktu-waktu aku lagi nggak ada, kamu bisa sendiri."
"Oke."
"Nyalain knop nya, Ryz. "
"Uh, ini kompor lo rusak, ya?" katanya, menoleh ke Amara dengan wajah bingung. Amara, yang sedang mengambil bahan-bahan sudah menduga hal itu. Dia mendekat dengan senyum penuh kemenangan. "Bukan kompornya yang rusak, chef modern. Kamu lupa muterin knop gasnya."
"Knop apa lagi?" Ryzen mengernyit.
Amara menggeleng, nyaris tak percaya. "Knop buat nyalain gas, Ryzen. Yang ini, nih." Dia memutar knop, lalu menyalakan kompor dengan sekali klik. Api biru langsung menyala sempurna.
"Yah, lo nggak bilang ada triknya," kelit Ryzen, meskipun wajahnya jelas-jelas malu.
"Trik katamu? Itu dasar banget, tahu." Amara tertawa kecil, sambil mencuci beberapa sayuran di wastafel.
"Tapi nggak apa-apa, kamu lanjut aja. Aku penasaran makanan apa yang bakal kamu hasilin." Ryzen menegakkan bahunya, berusaha memulihkan harga dirinya.
"Tenang aja. Nano, langkah selanjutnya apa?"
"Anda ingin memasak apa, Tuan? Sepertinya nona Amara akan memasak sayur-sayuran. Jadi, Anda perlu merebus air."
"Gue mau nya ini. Masak telur, kayaknya enak!"
"Ya sudah. Anda harus panaskan minyak di wajan, Tuan." jawab Nano.
Ryzen menuangkan minyak tanpa ragu. Tapi entah kenapa dia merasa perlu menuang lebih banyak. Amara, yang berdiri di sampingnya langsung bereaksi.
"Stop! Ryzen! Itu kebanyakan minyaknya!" Ryzen menoleh dengan ekspresi bingung.
"Emang kenapa? Gue mau masak telur. Kalau minyak lebih banyak kan bikin makanannya lebih licin ... eh, lembut." Amara langsung terkekeh sambil menutup mulutnya.
"Ya ampun, jangan-jangan kamu mau goreng makanan atau mau bikin kolam renang?" Ryzen mendesah keras.
"Dih, kenapa lo ribet banget sih? Ini namanya seni memasak versi gue." Amara hanya mengangkat bahu, kembali ke kursinya sambil berkomentar,
"Kalau nanti dapur ini meledak, gue udah siap kabur." Ryzen tetap fokus, meski gerakannya semakin kikuk. Nano, meski tanpa ekspresi, tampaknya ikut stres.
"Tuan, saya menyarankan untuk menurunkan panas agar minyak tidak memercik." Ryzen memutar knop dengan sembarangan, dan minyak di wajan mulai mengeluarkan asap.
"Ryz ... jangan bilang itu telurnya gosong?" tanya Amara, sekarang dengan nada lebih serius.
Ryzen buru-buru mengambil spatula dan mulai mengaduk wajan tanpa arah. "Eh, Amara! Telurnya hitam! Buruan ini harus apa?!"
"Ya ampun ... " Amara meledakkan tawanya ketika melihat pemuda itu panik karena telurnya berubah menjadi hitam.
"Ryzen, konsepnya bikin dapur jadi tempat evakuasi bencana, ya? Goreng telur itu jangan dibiarin aja. Harus di bolak-balik biar matang." Ryzen menatap Nano dengan putus asa.
"Oke, Nano, kayaknya gue butuh lo buat ngeluarin makanan dari wajan ini."
"Tuan, wajan manual tidak memiliki fitur otomatis seperti di era kita. Anda harus melakukannya sendiri. Telur itu sudah gosong, Anda harus menjahit nya." Ryzen menunduk lemas, lalu melirik Amara yang kini memotong-motong sayuran.
"Oke, gue nyerah. Lo menang." pasrah Ryzen. Amara kemudian mendekat, masih tertawa kecil.
"Akhirnya! Oke, chef futuristik, minggir. Biar aku tunjukkin gimana caranya masak dengan alat-alat kuno ini." Ryzen mundur dengan berat hati, menatap Amara yang mulai memasak dengan cekatan.
"Ya udah, gue bakal belajar ... Tapi lo harus janji nggak ngomongin kejadian ini ke siapa pun."Amara tersenyum manis.
"Tenang aja. Tapi nggak janji buat nggak ketawa tiap kali aku inget." Ryzen mendengus pelan.
"Parah banget lo."