Chapter 3 : The absurdity of 2095

1672 Words
Pagi itu, Amara terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah kejadian kemarin, dia memutuskan untuk memastikan satu hal: Ryzen tidak boleh sampai kelaparan. Karena kalau tidak rumahnya akan jadi sasaran medan perang. Dia melirik dapur, lalu menghela napas. Persediaan bahan makanan habis total. Gara-gara Ryzen yang sok mau masak, tapi selalu berakhir gagal. Tanpa pikir panjang, Amara mengambil jaket dan dompet, lalu ia cepat pergi ke warung di ujung gang. Amara berjalan santai sambil menikmati udara pagi. Warung kecil yang dia tuju sudah buka, dan penjualnya langsung menyapanya. “Pagi, Neng Amara! Tumben pagi-pagi banget belanja?” sapa wanita paruh baya itu. Amara tersenyum kecil. “Iya, Bu. Lagi ada … tamu di rumah. Jadi beli sarapan aja sekalian.” Wanita itu tertawa kecil, melihat Amara. “Wah, tamunya spesial, ya? Apa cowok ganteng, nih?” goda nya, sambil tersenyum. Pipi Amara langsung terasa panas. Dia mengulum senyumannya, berusaha terlihat biasa saja. “Ah, enggak, Bu. Cuma … teman lama aja.” Dengan cepat-cepat, Amara memilih beberapa bungkus nasi uduk dan lauk. Karena sudah datang ibu-ibu yang lain, Amara tak mau tersesat lebih jauh. Yang pasti, obrolan itu akan semakin memanjang. *** Baru saja knop pintu Amara buka, indra pendengarannya langsung disambut suara gaduh dari arah dapur. Dia buru-buru ke sana, dan sudah Amara duga. Dia menemukan Ryzen yang tengah sedang membongkar lemari dapur dengan ekspresi kelaparan. “Ryzen! Kamu ngapain!?" pekik Amara langsung. Dia berkacak pinggang, ketika dapur nya kembali seperti kapal pecah. Pemuda tukang rusuh bin bawel, itu menoleh dengan wajah kusut. Dia menghampiri Amara, dengan tampang tak berdosa. “Ra, lo ke mana aja? Gue udah hampir mati kelaparan, loh. Nih, lemari lo kosong banget, kayak hati orang yang ditinggal gebetan!” Amara mendengus sambil mengangkat kantong belanjaannya. Berisi beberapa lauk, dan nasi. “Makanya, sabar! Aku udah beli sarapan. Nih, nasi uduk. Ayo makan!” Wajah Ryzen langsung sumringah melihat itu. Dia langsung menyambar salah satu bungkus nasi uduk itu. Dia duduk di kursi dapur dan membukanya dengan semangat. Amara yang melihat tingkah Ryzen, layak anak kecil yang baru mendapat hadiah ulang tahun. Dalam hatinya, Amara merasa senang sekaligus kesal dalam kehadiran Ryzen yang tiba-tiba saja ada di hidupnya. Meski begitu, Amara terhibur dengan tingkah Ryzen, dan cukup membuatnya tak kesepian. "Ryz, jangan pergi ya? Nanti aku sendirian lagi." gumam Amara tanpa sadar. Ryzen yang berada di kursi menjadi makan spontan menoleh, menerjapkan matanya. "Lo bilang apa, Ra?" tanya Ryzen, yang tak sepenuhnya mendengar ucapan itu. Amara tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya. Dia ikut duduk di kursi makan, di samping Ryzen. “Eh, ini nasi apa? Kok ada rasa kelapanya?” Ryzen menatap isi bungkusnya dengan dahi berkerut. “Itu nasi uduk. Di sini makanan murah meriah yang enak. Kamu harus bersyukur masih bisa makan ini. Aku belum bisa kalo harus ajak kamu ke restoran,” jawab Amara santai sambil melahap makanannya. “Ya, gue bersyukur sih.” Ryzen berhenti mengunyah. Dia menatap makanannya lalu beralih pada Amara yang tatapannya seperti kosong. “Tapi, Ra, lo tau nggak? Kalau gue di tempat asal gue, tinggal bilang ‘sarapan’ terus poof, makanan kayak gini muncul sendiri.” Amara mendelik tajam. Membuat Ryzen diam-diam lega, karena ekspresi Amara kembali seperti itu. Rasanya, Ryzen tak mau melihat Amara terdiam dan berhenti memarahinya. “Ya udah balik aja ke tempat asal kamu. Kalau mau serba instan.” jawab gadis itu setengah kesal. Ryzen tertawa kecil. Dia mengusap surai hitam gadis di sampingnya. “Yaelah, marah mulu. Gue bercanda, Ra. Makasih, mau nerima gue di sini. Lo sabar hadapin gue yang banyak mau nya, apalagi soal makan. Serius, lo nggak perlu bawa gue ke restoran ...." Amara mendengus, tapi ada senyum tipis di wajahnya. Ryzen memang suka bicara seenaknya, tapi pujiannya terasa tulus. Pemuda itu tersenyum setengah miring, membuat hati Amara berdegup kencang. Baru kali ini dia melihat seorang Ryzen tersenyum. Cara senyumnya unik, tapi tampak memesona. Apalagi, melihat penampilan Ryzen yang ternyata easygoing. Kelihatannya Ryzen cukup nyaman dengan pakaian yang diberinya itu. Tidak rusuh atau banyak komentar seperti biasanya. "Ryz, kamu nyaman pakai kaos gini?" tanya Amara penasaran. Ryzen menggelengkan kepalanya, seolah acuh. "Kaos ini jauh lebih enak dibanding baju aneh yang gue bawa. Lagian siapa sih yang mau ribet, Ra?" Amara menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal, merasa pendapat itu benar. Dia jadi merasa lega, jika soal pakaian pemuda itu tidak ribet. Selesai makan, Ryzen mulai membereskan bungkus nasi uduk. Amara yang melihat itu, menatapnya curiga. “Kok kamu tumben, mau beresin bekas makan?” tanyanya. Ryzen membuang bungkusnya ke tempat sampah sambil menoleh. “Gue nggak mau kena ceramah lo lagi soal sampah. Lagian, gue orangnya peduli lingkungan, tau.” Amara tertawa kecil. “Ya ampun, baru tau aku! Ternyata bisa peduli lingkungan juga? Kemarin kemana aja, kok bisa kamu bikin rumah berantakan.” Ryzen hanya melirik dengan datar. Dia sibuk membereskan barang-barang yang tadi ia acak-acak. Saat Amara juga sudah selesai sarapan. Gadis itu pergi membawa bekas makanannya ke wastafel, berniat akan mencucinya. “Eh, Ra, sini gue bantuin! Kayaknya seru nyoba cuci itu!" ujar Ryzen, sambil menyingsingkan lengan bajunya. Amara mengangkat alis. Tatapannya seakan tak percaya. “Kamu? Mau bantu apa? Jangan bikin ulah lagi, Ryz. Aku cape beresin semuanya." keuh gadis itu. “Kan namanya juga beradaptasi. Yakin deh, gue bisa. Lo kasih tau aja kerjaannya.” Ryzen berusaha menyakinkan Amara. Amara menghela napas panjang. “Oke, kalau gitu kamu sapu lantai dulu aja, ya. Sapu ada di pojok situ.” tunjuk nya. Ryzen yang melihat itu, langsung dengan semangat mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dapur. Tapi lima menit kemudian, Amara mendengar suara aneh. “Ryzen … itu kenapa kamu nyapu sambil muter-muter kayak baling-baling?” Ryzen berhenti dan menatapnya dengan wajah bingung. “Lah, bukannya biar debunya cepet ngumpul? Nih, gue muter pake gaya putaran turbo!” Amara menepuk dahinya. Dia spontan mengusap dadanya, sambil beristighfar. “Astagfirullah, Ryzen! Itu malah bikin debunya nyebar ke mana-mana! Bukan kayak gitu caranya!” “Eh, serius? Tapi kan lebih cepet, Ra. Lo liat nih, gue udah mau selesai satu ruangan!” Amara menghela napas panjang lagi sambil merebut sapu dari tangan Ryzen. “Udah, udah, sini aku aja yang nyapu. Kamu duduk diem aja.” Sambil menyapu, Amara seperti mendengar suara keran air menyala. Dia berbalik, dan melihat Ryzen berdiri di depan wastafel, mencuci piring bekas tadi. “Oh, kamu mau cuci piring? Baguslah. Tapi pelan-pelan ya, jangan rusuh.” peringat Amara untuk kesekian kalinya. Ryzen menyahut santai. “Tenang aja, Ra. Gue udah ahli nyuci piring waktu magang di restoran .…” Belum selesai Ryzen bicara, piring yang dia pegang meluncur dari tangannya dan jatuh ke lantai dengan bunyi kraaak! “RYZEN HALVARA!!!” Ryzen langsung melompat mundur. Dia mulai panik, ketika melihat wajah merah padam Amara. Ditambah lagi, Amara menyebutkan nama lengkapnya. “Wah, maaf, Ra! Itu licin banget piringnya. Gue kira udah gue pegang erat-erat …” Amara memijat pelipisnya, kembali pusing dengan tingkah pemuda itu. “Udah, sana. Jangan pegang apa-apa lagi. Duduk aja di kursi.” Ryzen berjalan ke kursi dengan wajah penuh rasa bersalah. Tapi sesampainya di sana, dia malah nyengir sambil berkata, “Tapi lo harus akuin, Ra. Gue niat banget bantuin lo!” Amara nggak tahu harus marah atau ketawa. Di satu sisi, Ryzen memang bikin repot. Tapi di sisi lain, dia nggak tega marahin seseorang yang, meskipun ceroboh, kelihatan benar-benar mau membantu. Akhirnya, Amara tak menggubris. *** Sore itu, rumah Amara akhirnya bersih. Tapi hasilnya lebih banyak karena usaha Amara daripada Ryzen. Dia menatap Ryzen yang sudah tertidur di sofa dengan mulut setengah terbuka. Amara tersenyum kecil sambil menatapnya. Melihat Ryzen dia sudah seperti kakaknya saja. Padahal, dilihat dari postur tubuh, Ryzen lebih tinggi dan besar darinya. “Dasar bayi gede. Bikin ribet, tapi … ya sudahlah.” Dia mengambil selimut dan menutupinya dengan lembut sebelum melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sekarang, hidup Amara berubah karena pemuda itu. Awalnya Amara tidak percaya bahwa pemuda itu dari masa depan. Tapi, dengan pakaian dan alat yang ia bawa membuatnya yakin. Amara duduk di lantai, bersandar di sofa tempat Ryzen tertidur pulas. Nafas pria itu teratur, wajahnya damai seperti bayi, berbeda jauh dari biasanya yang penuh energi dan keluhan. Dia terlihat begitu tenang, seakan-akan masalah dunia telah menghilang untuk sesaat.Nano, hologram kecil berbentuk wajah pria tanpa ekspresi, muncul tiba-tiba di udara. Suaranya halus namun terdengar tajam, selalu penuh perhitungan. "Bagaimana jika kami bisa kembali ke masa kami lagi, tahun 2095?" tanyanya datar. "Apa nona Amara akan ikhlas?"Amara menoleh ke arah hologram itu, terdiam sejenak sebelum menjawab. "Ikhlas? Aku... nggak tahu, Nano. Aku belum siap kehilangan Ryzen."Nano menatap Amara dengan tatapan digitalnya yang kosong, tetapi ada kesan lembut dalam nada bicaranya. "Saya adalah robot AI, nona Amara. Dan setiap akan tidur, Tuan Ryzen selalu mencari cara agar bisa kembali ke masanya." Amara tertegun, mendengar kenyataan yang selama ini tidak pernah diungkapkan Ryzen. "Jadi ... dia benar-benar ingin kembali? Bahkan di saat dia tidur?"Nano mengangguk perlahan. "Tuan Ryzen sering menyebut waktu kami sebagai rumahnya. Wajar jika ia merindukan masa depan yang telah ia tinggalkan. Namun..." Nano berhenti sejenak, hologramnya tampak berpendar. "Namun apa?" desak Amara.Nano melanjutkan, "Namun ia juga menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan Anda, nona Amara. Anda adalah pusat dari segala hal yang membuatnya bertahan di sini."Amara tersenyum getir. "Jadi dia terjebak di antara dua dunia, ya?""Benar," jawab Nano tanpa ragu. "Jika saya boleh menambahkan, kehadiran Anda memberikan stabilitas dalam hidupnya di masa yang asing ini." Amara menatap Ryzen yang masih tertidur nyenyak, wajahnya yang polos membuat hati gadis itu terasa hangat sekaligus berat. "Aku... nggak tahu harus gimana kalau dia benar-benar pergi, Nano. Dia mungkin ribet dan bikin pusing, tapi dia juga bikin hidup aku lebih berarti."Nano tidak langsung menanggapi. Sebagai AI, ia tidak memahami emosi seperti manusia, tetapi data interaksi antara Amara dan Ryzen menunjukkan hubungan yang erat. "Keputusan Tuan Ryzen untuk kembali atau tetap tinggal akan bergantung pada situasi. Namun, nona Amara, kehadiran Anda telah memberi arti baru dalam kehidupannya."Amara memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. "Aku harap... kalau dia harus pergi, dia nggak lupa sama aku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD