Mawar merah itu dihirup wangi harumnya dalam-dalam oleh seorang gadis cantik. Aroma khasnya menyeruak memenuhi indra penciumannya. Warna merah pekatnya begitu menarik, mekar dengan indah di tengah hamparan bunga lainnya. Tangan kecil Nya dengan telaten memetik bunga yang dirawatnya dengan penuh ketulusan.
Sinar matahari yang terik membuat kulit putihnya sedikit memerah. Tak mengenal lelah, gadis itu dengan semangat memetik bunga-bunga untuk memenuhi keranjang di tangannya.
Langkahnya perlahan meninggalkan kebun bunga, membawa keranjang yang sudah penuh berisi mawar-mawar merah. Rutinitas pagi tadi itu, Amara Isyana Celestia–sedang mempersiapkan bunga-bunga untuk toko bunga miliknya.
"Hai, Amara!" suara sapaan lembut terdengar, membuatnya menoleh.
"Hai juga, Kak!" balas Amara, tersenyum pada lelaki yang tengah berdiri di dekat pintu tokonya, senyum hangat tergambar di wajahnya.
"Ra, mawar merah ada, 'kan?" tanya lelaki berperawakan tinggi, sekitar 180 cm, dengan ramah.
"Ada, Kak. Baru aja aku petik," jawab Amara sopan.
"Bagus! Seperti biasa, satu buket mawar merah, ya," pesan lelaki itu.
Amara mengangguk, dia bergegas masuk ke toko nya. Dia memilih bunga-bunga segar yang baru saja dipetiknya, lalu merangkainya menjadi buket yang cantik.
Pria tinggi itu menunggu dengan senang hati, sesekali pandangannya mencuri-curi pada wajah manis Amara yang serius merangkai bunga. Saat sadar sedang diperhatikan, Amara tersenyum tipis, yang justru membuat lelaki itu terpana.
"Kak, bunganya udah siap," katanya, sambil menyodorkan buket itu pada lelaki bernama Erlan.
"Cepat banget, sih. Bunga nya wangi pula." Erlan menghirup aroma mawar yang dipadukan dengan parfum khusus yang disemprotkan Amara. Baginya, melayani pelanggan setiap hari adalah hal yang biasa. Sebanyak apa pun pesanan, Amara dapat menyelesaikannya dengan cekatan dan hasilnya selalu sempurna.
"Iya dong. Kak Erlan itu datangnya suka pas aku lagi petik bunga nya. Tiap hari jadi pelanggan utama," ujar Amara, sedikit tertawa.
Erlan, yang melihat senyuman Amara bibirnya juga ikut menyungging senyum hangat. Pandangannya tak lepas dari wajah teduh Amara. Gadis penjual bunga, dengan senyuman cantiknya.
"Ini, uangnya. Makasih udah buat buket yang indah! Pasti ibu suka bunga nya," puji Erlan, sambil menyodorkan beberapa lembar uang pada Amara.
Amara menerimanya dengan sopan dan hendak mengambil uang kembalian untuk Erlan. "Sama-sama, Kak. Tunggu bentar, aku ambil kembalian dulu, ya."
Namun, Erlan menahan tangan Aksara. "Nggak usah. Ambil aja. Kakak pergi dulu, ya!" pamit Erlan, lalu melangkah pergi.
Setelah punggung Erlan menghilang dari pandangan, Amara termenung, memandang uang yang pria itu berikan. Erlan memang sering memberikan lebih, seolah memahami bahwa Amara hidup seorang diri. Ibu dan Ayahnya sudah meninggalkan nya.
"Aku harus bertahan hidup ...," gumamnya. Ketika perasaan sesak kembali menyeruak di d**a nya.
Amara menghela nafas nya pelan, berusaha mengusir rasa sedih pada nasib nya. Tiada orang yang melindunginya. Hanya dia seorang diri.
"Ayah ... Bunda ... Amara rindu kalian ..." Tangan gadis itu mengepal, ketika melihat banyak serangkaian bunga yang ia buat. Bunga-bunga itu bagaikan pengingat untuknya.
Amara segera bersiap, ia mengganti pakaiannya dengan gaun selutut berwarna hijau sage dan memasukkan tas kecil ke pundaknya. Kini, waktu bagi nya untuk berjalan santai di pagi hari.
***
Helaan nafas lagi-lagi terdengar. Ketika Amara setiap hari melakukan rutinitas yang sama. Menjual bunga-bunga, pergi mencari makan, lalu pergi berjalan keluar sebentar. Amara bukan hanya hidup seorang diri, tapi dia tidak mempunyai teman juga.
Bosan, satu kata untuk hidup nya yang ia jalani saat ini. Amara berharap hidup nya ada yang berubah. Namun, entah apa. Yang jelas, hidup nya kini sudah ada ditingkat bosan.
Amara sedang berjalan santai di taman pagi, ia menikmati embusan angin yang berdesir lembut ke wajahnya. Terdengar samar-samar kicauan burung, yang membuat suasana semakin damai. Dia sangat menikmati ketenangan itu, dunia seperti miliknya sendiri.
Namun, di kejauhan, dia melihat sosok pria muda yang tampak terburu-buru dan terhuyung-huyung. Dahi nya berkerut, seperti menahan rasa sakit. Melihat itu, Amara langsung berjalan cepat menghampiri.
"Hei, kamu oke?" tanyanya dengan tenang, tapi matanya langsung tertuju pada lengan pemuda itu yang berdarah.
Pemuda itu mendongak, dan langsung mengerutkan alisnya. "Jangan ikut campur, gue baik-baik aja," jawabnya dengan suara datar, meskipun wajahnya tampak kesakitan.
Amara tetap mendekat dan mengulurkan tangan untuk membantu pemuda itu berdiri. "Kamu jelas nggak baik-baik aja, lihat itu, luka kamu parah banget," katanya sambil mengamati luka di tangan pemuda itu.
"Duduk sini dulu, biar aku obat-in." Gadis itu menyuruh pemuda itu agar duduk di sampingnya.
Pemuda itu mendengus kesal. "Gue nggak butuh bantuan lo! Gue cuma ... cuma butuh waktu buat nyari jalan keluar," jawabnya dengan nada ketus, langsung mencoba menghindari Amara yang berusaha menolongnya.
Amara menghela napas, berusaha menahan sabarnya. "Kalau kamu terus begini, yang ada luka kamu malah makin parah. Aku cuma bantuin, kok. Serius," katanya sambil tetap tersenyum. Namun, dalam hati nya Amara merasa sedikit emosi.
Pemuda ini benar-benar terlihat keras kepala. Tapi, wajahnya tak bisa disangkal. Dia tampan, nyaris parasnya hampir sempurna. Lamunan Amara tersadar, saat pemuda itu duduk di bangku, tapi jaraknya seakan tak mau berdekatan dengan Amara. "Gue nggak butuh lo ngurusin gue. Lo nggak ngerti apa yang gue alami. Lo nggak ngerti apa-apa." ucap lelaki itu.
Amara memutar bola mata nya, meski wajahnya terlihat tenang, tapi kesabarannya mulai diuji.
"Kamu bilang nggak butuh bantuan, tapi malah duduk kesakitan. Aku ngurusin kamu bukan karena aku peduli, tapi karena kamu jelas butuh pertolongan," jawabnya pelan, namun terdengar tegas.
Pemuda itu hanya mendengus. "Terserah lo. Mau peduli atau nggak gue gak peduli." katanya dengan ketus, lalu menoleh ke arah lain.
Amara, yang biasanya sabar dan selalu tersenyum, tampak emosi. Dia menatap pemuda itu dengan ekspresi yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.
Pemuda itu diam, menatap Amara yang wajahnya tiba-tiba saja berubah. Untuk pertama kalinya, dia merasa seperti ada sisi lain dari Amara yang kuat dan tidak mudah diganggu-gugat. Pemuda itu sejenak terkesima dengan cantiknya paras Amara.
Amara menatap pemuda itu dengan kesal, kemudian menghela napas panjang, berusaha meredakan emosinya. Amara seperti kehabisan energi, berhadapan dengan pemuda tak dikenal itu.
"Aku bukan orang yang bodoamat lihat orang lain terluka," katanya dengan suara lebih pelan, kali ini dengan terdengar kelelahan. "Tapi, kalau emang kamu nggak mau ditolong, ya udah."
Pemuda itu melihat Amara sejenak, bingung dengan perubahan sikapnya. "Lo beneran marah, ya?" tanya pemuda itu, seolah baru menyadari.
Amara mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia beranjak dari duduknya berniat akan pergi. Bila-bisa, rutinitas tenang Amara rusak gara-gara pemuda menyebalkan itu.
Pemuda itu akhirnya terdiam, tak berani melawan lebih jauh. Amara yang merasa tak ada urusan apapun lagi melangkah pergi. Baru saja ia berjalan beberapa langkah menjauh dari pria itu yang masih duduk di bangku. Ada perasaan khawatir, melihat pemuda memegangi luka di lengannya. Dia berpikir untuk pergi, tapi tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang menahan tangannya.
"Jangan pergi," kata pemuda itu dengan suara yang dingin, tanpa melihat Amara langsung.
Amara berhenti sejenak, dan menoleh ke arahnya, merasa agak bingung. "Hah? Bukannya tadi kamu bilang jangan peduli, ya? Harusnya kamu bersyukur, aku dengan sukarela mau nolongin."
Pemuda itu hanya mendengus, seolah tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. "Kamu manusia kuno?" Tiba-tiba saja, dia berkata seperti itu, dengan nada datar.
"Pakaian orang-orang di masa gue nggak gini. Ini kuno." Amara terdiam sesaat, benar-benar bingung dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Apa? Kamu ngomong apa sih?" jawabnya dengan kesal. Amara melipat kedua tangannya, berusaha sabar, dan ingin tahu apa yang pemuda itu mau.
"Ini tahun 2024, dan kamu bilang ini kuno? Coba liat deh, diri kamu itu kayak lagi ada di zaman apa. Kamu kayak seseorang yang habis dari luar angkasa. Keliatan futuristic attire." Pemuda itu mendengus kecil, ketika Amara mengomentari pakaian aneh yang dikenakannya.
"Gue nggak peduli," katanya sambil menarik napas. "Yang gue tahu, lo aneh banget. Tapi ya, makasih udah nolongin." Amara menghela napas panjang, matanya sedikit menyipit karena kesal.
"Udahlah. Terserah," ujarnya, langsung melangkah untuk pergi lagi. Amara sudah kepalang kesal. Tadi ditolak menolong, sekarang dibilang kuno.
"Jangan sampai berurusan lagi." gumam nya.
"Tunggu," pria itu berkata lagi, dan kali ini dia sedikit memundurkan tubuhnya, tampak seolah mulai merasa sedikit lebih risih.
"Lo nggak ngerti." Amara berhenti kembali dan memutar tubuhnya.
"Ngerti apa?" tanyanya, suara mulai frustasi. "Udah ya, kamu tadi nggak butuh bantuan. Aku mau pergi!" Amara menatap pria itu dengan tajam, tampak frustasi.
“Tunggu, lo harus tanggung jawab,” pemuda itu mendesah sambil menatap Amara tajam. “Karena lo orang pertama yang gue temuin di sini, di masa lalu. Tadi, lo bilang sekarang tahun 2024, 'kan? Berarti ...” Amara melipat tangan di depan d**a, menatap cowok di depannya dengan ekspresi nggak percaya.
“Berarti apa?” tanyanya, sedikit sinis.
“Berarti … gue resmi terdampar di tahun yang salah, dan lo satu-satunya orang yang bisa bantu gue. Gue dari tahun 2095,” pemuda itu menjawab, nadanya tetap dingin dan penuh keyakinan.
Amara tertawa kecil, berusaha meredam rasa aneh yang mulai muncul. “Jadi kamu serius nih? Kamu dari masa depan? Dan kamu nyuruh aku yang bantuin kamu balik ke … tahun 2095?”
Pemuda itu mengangguk tanpa ragu. “Gue nggak bercanda. Lo nggak sadar ya, teknologi di tahun lo tuh … kuno banget.” Dia melirik pakaian Amara dari atas sampai bawah. “Sama kayak gaya berpakaian lo. Ini udah ketinggalan jaman puluhan tahun di masa gue.”
Amara menggelengkan kepala, sebal sekaligus bingung. “Terserah!"
Cowok itu mendesah lagi, dan tiba-tiba langkahnya maju lebih dekat ke arah Amara. Tatapannya tajam tapi dalam, membuat Amara seketika terdiam.
“Gue nggak peduli lo percaya atau nggak. Tapi gue nggak punya banyak waktu,” katanya sambil menatapnya serius. “Lo harus bawa gue tinggal sama lo."
Amara menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Matanya membeliak lebar, tak percaya apa yang didengar nya. Dia tak berkedip, ketika melihat seulas senyuman miring dari pemuda itu.
Tinggal bersama? Apa Amara tidak salah dengar?