8. Arti Persahabatan

1029 Words
Sekali lagi Raisa memeluk manja Raina yang masih dalam keadaan lemah. Ia tahu bagaimana keadaan Reina selama ini di kediaman Brahmantya, tidak ada kasih sayang apalagi cinta dari mereka. “Kau pasti bisa meraih apa yang sedang kau gapai. Aku percaya itu, Reina”. Selagi Reina menyandarkan kepalanya yang terasa berat di pundak Raisa, Bibi An datang dan langsung memasuki ruangan karena memang pintu sedikit terbuka. Bibi An terlihat membawa beberapa bingkisan dan menaruhnya di meja lalu menghampiri Reina dan memberi salam. “Nyonya, bagaimana keadaan anda saat ini? Tuan Axton berpesan pada saya untuk menemani dan menyiapkan segala kebutuhan Nyonya selagi masih ada di rumah sakit”. Ujar Bibi An dengan ramah serta menoleh pada Raisa dan menyunggingkan senyum. Reina tersentak kaget dan beranjak dari sandaran Raisa begitu mendengar kata ‘Nyonya’. Sulit bagi Reina menerima begitu saja statusnya. Rasanya ini terlalu cepat baginya hingga ia membelalakkan matanya sejenak lalu memandang tajam ke arah Bibi. “Ayolah Bibi An.. bisakah Bibi memanggilku Reina?!” pinta Reina tegas, namun permintaan itu di balas Bibi An dengan menundukkan setengah badannya. “Maafkan saya Nyonya, saya tidak bisa melakukan itu. Mana bisa saya memanggil anda seperti itu Nyonya. Anda mulai sekarang adalah istri sah dari Tuan Axton, sudah seharusnya saya memanggil anda Nyonya. Ngomong-ngomong Nyonya, Tuan Axton adalah tipe pria yang tidak suka di bantah, dan Tuan mau menerima bantahan pertama kali sampai seperti ini itu hanya karena Nyonya. Saya hanya bisa berpesan, jangan sia-siakan kasih sayang Tuan Axton, karena dari binar matanya, beliau benar-benar menyayangi Nyonya dengan tulus.” Ujar Bibi An panjang lebar. Raisa yang sejak tadi diam memperhatikan dengan seksama pun angkat bicara, “Benar, Reina. Tidak ada salahnya untuk mempercayai Tuan Axton. Aku tahu kau sudah cukup kenyang memakan janji dan kasih sayang palsu dari orang-orang di sekitarmu, tapi tidak seumua orang memiliki sifat yang sama. Untuk kali ini saja, demi masa depanmu..” kata Reina meyakinkan. Ia menggenggam kedua tangan Reina dengan sungguh-sungguh. Demi menjaga perasaan Raisa sahabat baiknya, Reina membalas dengan anggukan dan senyuman simpul. “Uhm.. aku akan mendengarkan apa kata-kata kalian,” ujar Reina singkat. Bagi Reina cukup omong kosong sebenarnya dengan mengatakan semua perkataan yang menurutnya ‘Bulshit’. Karena bagaimanapun, baru pertama kali bertemu dan mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama, itu konyol dan tidak masuk akal. Anak kecil pun sepertinya akan tertawa jika mendengar hal ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan Reina tidak bisa kembali lagi ke titik awal. Kini ia hanya menganggap ini adalah jalan Takdir yang sudah Tuhan berikan untuknya kembali menemukan identitas dan ingatannya yang hilang. “Reina, dari pada mood mu jelek gini, mendingan kita jalan-jalan yuk. Aku antar kamu keluar dari ruangan ini untuk berkeliling rumah sakit. Aku dengar di sebelah selatan Rumah Sakit ada taman yang cukup luas.” Ajak Raisa untuk menghilangkan suntuk yang Reina rasakan. “Benar juga apa yang di katakan Nona ini. Oh ya, sebelumnya perkenalkan, saya Bibi An pelayan khusus mansion Tuan Axton. Saya di tugaskan Tuan untuk menjaga dan memberikan semua hal yang Nyonya perlukan.” Kata Bibi An memperkenalkan diri pada Raisa dan mengulurkan tangannya, “Bibi An, perkenalkan saya Raisa Aditama. Sahabat dari Reina. Oh ya Bi, saya titip Reina kalau saya tidak ada di sampingnya. Reina ini sahabat saya yang suka pecicilan dan sedikit kasar. Semoga Bibi An mau memakluminya. He he..” ujar Raisa menerima perkenalan dengan Bibi An dengan terkekeh menahan tawa melihat reaksi Reina yang tersinggung karena membawa-bawa namanya. Reina menyikut Raisa dengan mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih Raisa! Bisa tidak, kau sedikit menutupi aibku!”. Bisik Reina dengan mendelikkan matanya. “Ha ha ha. Oke maafkan aku Reina, aku hanya bercanda. Sudahlah, bukannya kita mau ke tamna?!”. Tanya Raisa mengalihkan pembicaraan. “Silahkan Nyonya bersiap-siap, saya akan ambilkan kursi roda terlebih dahulu”. Bibi Yun lekas keluar dari ruang rawat untuk mengambil kursi roda, sementara itu Raisa membantu Reina berganti pakaian dengan pakaian yang ada di bingkisan yang baru saja Bibi An bawa. *** Saat ini mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Setelah selesai berganti pakaian dan Bibi An mengambilkan kursi roda, Reina di bantu Reisa yang mendorong kursi rodanya keluar dari ruang rawat untuk pergi ke taman sebelah selatan Rumah Sakit. Rumah Sakitnya terlihat ramai dan luas, namun ruang VVIP yang jarang di tempati cukup lenggang dan dekat dengan taman. Mungkin ini juga bentuk fasilitas dari VVIP. Ah.. benar juga, ‘Uang selalu berbicara’. Setidaknya itu yang menjadi landasan orang di abad 21 ini. “Reina, kita sudah sampai. Kau sedari tadi diam saja, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Raisa. Di sebuah taman yang luas dengan berbagai tumbuhan dan tanaman hias yang menambah kesejukan di sela-sela bau anti septik yang menyengat di sepanjang koridor Rumah Sakit. Reina yang duduk di kursi roda dengan sampingnya sebuah bangku memanjang, dan Raisa duduk di ujung bangku tersebut. Keduanya memandang lurus ke depan, menghirup dalam-dalam oksigen yang masuk dan memenuhi ruang paru-paru, mengganti rasa sesak yang beberapa waktu lalu menghimpit Reina. Siksaan yang terus berulang tanpa sebab, seketika bagai karbon dioksida yang keluar dengan perlahan dari hidupnya. “Raisa, terima kasih. Kalau bukan karenamu yang menjadi satu-satunya sahabat yang ku percaya. Mungkin aku tidak akan bertahan sampai saat ini.” tiiba-tiba saja Reina mengatakan hal yang konyol, mengantarkan Raisa pada tawa yang cukup keras. “Hahaha.. apa yang kau katakan Reina. Kita ini sahabat walau baru sekitar 1.5 tahun yang lalu, sih. Jika bukan karenamu yang menolong ku waktu itu, mungkin kita juga tidak akan bertemu dan menjadi sahabat. Ini adalah Takdir yang sudah Tuhan persiapkan untuk kita”. Kata Raisa, ia menoleh ke arah Reina yang sedang  menikmati ketenangan ini dengan senyuman. “Berisik! Ketawa mu nggak lucu tahu. Rese’ kau Raisa. Itu hanya masa lalu, mengapa kau tertawa sekeras itu. Memangnya ada yang lucu!”. Tukas Reina yang terlihat sebal dengan tawa receh sahabatnya, Di tengah-tengah menikmati indahnya taman, hal yang tidak ingin Reina lihat ataupun dengar malah datang  tepat berdiri di sampingnya saat ini. Karena malas berurusan dengan orang b******k seperti tamu tak di undang itu, Reina mengacuhkannya. “Reina, mengapa kau mengabaikan ku seperti ini? aku tahu dan sadar kalau aku itu salah, tapi setidaknya kau memberiku kesempatan untuk berbicara..” kata seorang pria dengan ratapan bersalah. Seorang pria yang sangat Reina benci, setidaknya dari 2 bulan yang lalu. “Hngg.. tidak ada yang perlu di bicarakan. Sejak kau menghianati perasaanku 2 bulan yang lalu, seorang Luze sudah aku  anggap mati di telan bumi. Pergilah!”. usir Reina tanpa menolehkan wajahnya pada Luze.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD