1. Meloloskan Diri
Bryur…!
Satu ember penuh air bekas cucian membasahi tubuh seorang wanita yang sedang di kurung dalam sebuah ruang rahasia yang terisolasi dari dunia luar dengan kondisi tubuh lemah dan penuh luka lebam.
“Dengarkan aku baik-baik Reina, Luze adalah milikku. Besok lusa kami akan bertunangan! Kau nikmatilah sisa hidupmu dalam ruangan menjijikkan ini”. Kata seorang wanita yang menjadi sahabat dekat Reina dengan senyum seringai.
“Carissa, jangan fikir setelah menyingkirkanku kau bisa menikmati hidupmu dengan tenang. Dan ku katakan ini dengan jelas, Aku tidak butuh pria tidak tahu diri seperti Luze! Kini ku berikan padamu secara cuma-cuma, Anggap saja itu sebuah amalku untukmu sahabat terbaikku!”. Kata Reina penuh penekanan.
‘Aku harus keluar dari ruangan menjijikkan ini sekarang juga! Untung saja, tadi aku sempat untuk meludahkan obat pelumpuh yang Carissa berikan. Saatnya untuk melawan, sudah cukup aku di siksa dan di beri obat bius setiap hari. Carissa, jangan berfikir aku akan tinggal diam melihatmu menyiksaku setiap hari. Semutpun akan menggigit jika terus disiksa seperti ini'. Batin Reina.
“Kurang ajar! Beraninya kau mengatakan itu padaku disaat kondisimu seperti gelandangan saat ini. Kau memang pantas mati Reina!”. Ancam Carissa.
Sebuah pisau lipat tiba-tiba saja berada di tangan kanan Carissa tanpa Reina sadari. Tanpa fikir panjang, Carissa mengarahkan pisau itu ke arah perut Reina. Melihat pisau mengarah pada Reina, dengan cepat dia menahan pergelangan tangan kanan Carissa dan menendang tubuh Carissa.
Baak!
“Nikmatilah ruangan ini Carissa, aku berbaik hati membiarkanmu untuk menikmatinya sesaat!”.
Reina berhasil menendang Carissa hingga terjatuh ke tanah. Demi keamanan, Reina mengambil pisau tersebut. Melihat ada kesempatan, Reina langsung berjalan keluar dari ruang isolasi tersebut. Namun sebelum Reina pergi, tanpa dia sadari dari arah belakang Carissa mengambil pistol yang masih di sembunyikan. Tanpa perasaan takut, Carissa mengarahkan pistol kearah Reina dan menarik pelatuknya.
“Reina, aku akan kirim kau ke Neraka saat ini juga!”. Ancam Carissa.
Bang!
Reina yang mendengar ancaman dan suara tembakan menyadari akan bahaya. Dia melompat kesamping berusaha untuk menghindar.
Srassh!
Meski Reina sempat menghindar, namun Peluru berhasil melukai lengan Reina. Dengan menahan sakit di lengannya, Reina memilih pergi sebelum Carissa melakukan hal yang lebih padanya.
‘Aneh.. Mengapa tubuhku bisa bereaksi secepat ini, seakan aku sudah biasa melakukannya. Apakah ada hal penting tentang diriku yang tidak ku ingat?’. Batin Reina.
Reina menyusuri bangunan yang begitu luas dengan menahan sakit karena luka tembak di lengannya. Dengan perjuangan keras, dia berhasil sampai di titik terakhir. Satu langkah lagi dia bisa keluar dari tempat penyiksaan itu. Namun, setiap sisi terdapat penjaga yang terus mengawas.
“Ada begitu banyak penjaga, bagaimana aku meloloskan diri dari mereka?”. Gumam Reina.
Seketika Reina teringat pisau yang masih berada di tangannya. Meski dia ragu untuk bertindak, Reina hanya bisa bertaruh untuk saat ini. Dia mengambil ancang-ancang untuk melempar pisau tersebut ke arah penjaga yang ada di depan pintu.
Srassh!
Pisau berhasil mengenai punggung penjaga tersebut hingga terjatuh ketanah. Reina keluar dari tempat tersebut sebelum penjaga lain datang.
Reina berhasil keluar dari tempat penyiksaan, di depannya membentang hutan belantara. Mau tidak mau Reina harus melewatinya dan terus berjalan tanpa arah. Dalam fikirannya selagi terus berjalan, pasti dia akan menemukan jalan keluarnya. Namun kenyataan memang tidak seindah apa yang di harapkan. Berjam-jam Reina menyusuri hutan, namun dia tidak menemukan jalan keluarnya.
“Aku sudah kehilangan banyak darah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa perjuanganku akan sia-sia?”. Gumam Reina.
Pandangan mata Reina mulai kabur, wajahnya kian memucat. Reina terus memaksa diri untuk berjalan, tanpa dia sadari ada tebing didepannya hingga dia terperosok jatuh kebawah.
“Arrrgh..!”. Teriak Reina.
Tubuhnya terus terperosok kebawah, terbentur pohon, kerikil hingga tubuhnya mati rasa. Perlahan Reina mulai kehilangan kesadaran.
‘Apakah ini akhir dari hidupku, aku belum mengetahui kebenaran dari diriku yang sebenarnya. Dan mereka yang melakukan semua ini masih tertawa dengan bebas. Apakah ini adil Tuhan!’. Batin Reina.