15 : Berduka

1299 Words
Satu-satunya hal yang paling melemahkan aku adalah : ditinggal oleh kekasih hati. •••• Tidak ada yang tau apa rencana Tuhan selanjutnya untuk kita. Jodoh, rezeki, dan maut adalah ketetapan-Nya. Tidak ada satupun manusia di alam semesta ini yang bisa menolak siapa jodohnya, seberapa banyak rezekinya, dan juga, kapan maut menjemputnya. Jika saja orang-orang yang sedang berkabung dirumah ini dapat meminta kepada Tuhan, maka mereka akan meminta agar orang tersayang mereka, pahlawan mereka, tidak pergi meninggalkan mereka sekarang. Tapi sayang seribu sayang, meskipun pahit, inilah kenyataannya. Bahwa kita tidak bisa sekalipun menolak apapun ketetapan-Nya. Daffa turun dari mobil begitu melihat bendera kuning tertancap jelas di depan pagar rumah orang tuanya. Ia bergegas turun mengabaikan koper dan juga hat pilot yang ia tinggalkan di dalam mobil. Kerumunan orang-orang itu seketika memisahkan diri dan membuka jalan ketika melihat Daffa —selaku anak dari yang berduka— datang dengan tergesa-gesa. Lutut Daffa terasa seperti jelly kala ia melihat sosok pahlawannya yang terbujur kaku di ruang keluarga. Dari depan pintu masuk ia masih bisa melihat sosok istrinya serta kedua adiknya disana. Sosok yang tubuhnya terselimuti kain tersebut nampak tenang. Perlahan tapi pasti Daffa mendekatinya. "Ayah!" Luruh sudah tangisnya. Daffa memeluk erat jenazah Raka yang sudah tampak damai di atas karpet rumah mereka. Reya beringsut menghampiri Daffa lalu memeluknya. Mencoba menenangkan Daffa yang terlihat hancur, sama seperti di telpon beberapa jam lalu. "Ayah bangun ayah! Ayah kenapa tinggalin aku, rayyan, Diffa dan bunda?!" Daffa mengguncang tubuh Raka. Reya ikut menangis. Di usapnya punggung sang suami dengan perasaan sakit luar biasa. "Istighfar sayang, istighfar masyaAllah." Bunda Nara berpelukan bersama Diffa di dekat kaki Raka. Sedangkan Rayyan menunduk, masih dengan menggenggam tangan ayahnya. Daffa sudah tergugu di samping Raka tanpa memperdulikan tubuhnya yang masih terbalut seragam maskapai penerbangannya. "Ayah ingkar janji! Ayah bilang ngga akan pernah tinggalin Daffa! Ayah bilang ayah masih mau pergi sama Daffa ke mars?! Mana janji ayah!" Daffa mengguncang tubuh Raka dengan sentakan yang keras. Bunda Nara menghampiri Daffa. Lantas memeluk anak tercintanya. "Istighfar Aa, astagfirullah. Kita semua sakit A. Bukan cuma Aa aja, Aa harus kuat. Jangan bikin ayah sedih disana," Daffa tetap tidak melepas pelukannya pada tubuh Raka. Mengabaikan dua wanita tersayang nya. Tangisannya benar-benar pilu. Siapapun yang mendengar tangisan Daffa, sudah dipastikan ikut merasakan apa yang Daffa rasa. Kasih sayang ayah Raka selama ini benar-benar mampu menjadikannya kuat dalam keadaan rapuh sekalipun. Di saat orang-orang yang di harapkannya membuang Daffa layaknya kotoran yang tidak pantas di pungut ayah Raka datang dengan segala keikhlasan juga cinta kasihnya untuk Daffa. Ayah Raka, orang pertama yang Daffa ajak berdiskusi mengenai cinta waktu itu. Ayah Raka, orang pertama yang memperkenalkannya dengan hobi-hobinya sekarang. Ayah Raka, orang yang dengan senang hati berbagi kopi serta jam tidurnya demi menyenangkan Daffa semaja remaja kala itu.  Ayah Raka, orang yang tidak punya hubungan darah apapun dengan dirinya tapi bisa menjaga serta mencintai Daffa melebihi rasa cintanya kepada dirinya sendiri. Tuhan. Daffa masih saja terus tergugu. Tidak mau berhenti memberontak di depan semua orang yang ada dirumah nya sekarang. Rasa sakit itu perlahan-lahan semakin besar tatkala melihat jenazah Raka yang harus dimandikan serta di sholatkan. *** Prosesi pemakaman berjalan dengan cepat. Setelah semua orang sudah pergi meninggalkan tanah kuburan yang masih basah ini, Daffa masih enggan untuk beranjak. Terhitung sudah dua jam Daffa disini hanya untuk menangis dan merenungi semua kebaikan-kebaikan Raka kepadanya. Bunda dan Diffa serta Rayyan sudah pulang satu jam yang lalu. Tadi Daffa sudah diajak oleh keluarganya, tapi ia menolak. Ia masih ingin berada disini lebih lama. Istrinya pun masih terlihat disana, ikut menemani Daffa sambil terus menggenggam tangannya. Istrinya ikut sakit melihat sang suami yang begitu rapuh saat ini. "Ayah tau? Daffa sebenernya pengen pukul ayah saat ini. Ayah tau karna apa?" Daffa bermonolog. Istrinya semakin mengusap bahu Daffa. "Ayah buat semua orang sedih, termasuk Daffa. Ayah inget ngga, dulu pernah janji sama Daffa kalo ayah ngga akan pernah tinggalin Daffa? Ayah dulu pernah minta Daffa buat ke mars kan yah? Ayo yah, bangun! Kita ke mars bareng-bareng. "Ayah ngga lupa janji ayah kan? Kenapa sekarang ayah tinggalin Daffa? Kenapa yah?" Tangisnya kembali meledak. "Sayang stop. Jangan kayak gini. Ayah Raka pasti sedih dengernya," Daffa menatap Reya, lantas memeluk istrinya dengan erat. Menumpahkan semua air mata sakitnya kepada sang istri. "Aa udah stop, tangisan ngga akan ngebalikin semuanya. Ini udah takdir A. Kita semua ngga bisa mengubah itu semua selain ikhlas. Re juga sakit A, semua orang sakit, bukan cuma Aa. Tapi kita harus tau kalo ini yang terbaik buat ayah Raka." Daffa masih memeluk Reya dengan erat. Tangan reya membelai rambut serta punggungnya dengan lembut. Beberapa jam lalu ia mendapat telpon bahwa Raka berpulang. Awalnya ia memang tidak percaya, tapi ketika mendengar suara tangis bundanya, dia jadi percaya dan pulang dengan segera kerumah orang tuanya. Daffa masih tidak habis pikir kenapa bisa Raka mengalami serangan jantung saat ini? bukankah angina stable yang dideritanya kala itu sudah menghilang dari tubuh ayahnya? Daffa melepas pelukan Reya. Membuat Reya menangkup pipinya. "Ayo pulang ya. Kita udah terlalu lama disini, bentar lagi juga mau hujan." Ucap Reya lembut. Samar Daffa mengangguk. Ia menatap batu nisan yang masih berbentuk papan itu dengan pandangan sayang. "Aku sama Reya pulang dulu, yah. Jangan lupa mampir di mimpi aku. Terimakasih udah jadi ayah terbaik dari yang terbaik yang pernah aku milikin. Semoga aku bisa menjadi ayah, yang ngga pernah membedakan kasih sayang ke anak-anaknya. Aku sayang ayah. I love you, yah. Baik-baik disana. I'll miss you, captain." Daffa mengecup papan nisan Raka lama. Satu tetes air matanya jatuh mengalir ke tanah. Membuat angin kencang tapi menyejukkan itu menerpa mereka. Daffa tersenyum, ia lantas bangkit dan menggandeng tangan Reya. Bergegas ke mobil untuk kembali ke rumah Bunda Nara dan ayah Raka. *** Ketika sampai dirumah, Daffa melihat semua keluarga nya sedang berkumpul di ruang keluarga. Istrinya menghampiri keluarga dari mertuanya, bermaksud untuk bersikap sopan. Tapi Daffa tidak begitu. Laki-laki itu langsung masuk ke kamarnya tanpa mengindahkan tatapan saudara-saudara nya. "Dia masih terpukul, sejak kecil selalu bersama mas Raka. Maafin sikapnya, ya. " Kata bunda Nara. Semua keluarga seolah memaklumi, Reya akhirnya bangkit lalu menghampiri Daffa di kamar. Lagi, ketika ia masuk ke kamar pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah Daffa yang duduk menghadap jendela kamarnya. Sesekali terdengar suara tangis tertahan dari bibir sang suami. Reya mengunci pintu, perempuan itu melepas kerudungnya. Dihampiri nya Daffa lalu duduk di sebelahnya. Sadar ada seseorang yang ia cinta di sebelahnya, Daffa menidurkan kepala nya diatas kepala Reya. Membuat Reya mengusap-usap rambutnya dengan penuh kasih sayang. "Sakit banget rasanya nda. Kenapa ya. Astagfirullah," suara daffa terdengar serak. Daffa menekan kuat dadanya. Matanya memerah, tapi tangisannya sudah berhenti. Reya menggenggam tangannya. Lantas berujar lembut. "Aku tau. Ngga akan ada orang yang siap dengan kehilangan. Bukan cuma kamu yang sakit ayah. Bunda juga sakit. Bunda Nara, Diffa, juga Rayyan. Kita semua ada pada luka yang sama. Tapi jangan terus-terusan seperti ini ayah. "Ayah Raka ngga akan seneng ngeliat kita kayak gini. Kamu tau kan, ayah Raka itu orang baik. Dan Allah lebih sayang ayah Raka dibanding kita semua." "Tapi ngga harus sekarang nda," "Hei sayang. Denger aku, ya? Mungkin kamu akan bilang kalimat barusan juga kalo benar-benar Allah tidak mengambil ayah Raka sekarang. Kita ngga akan pernah siap, ayah. Ini ketentuan-Nya." "Ayah Raka is the best father in the world, re. Aku nggak bisa menghilangkan sosoknya dihidup aku," Reya mengusap rahang Daffa, mengecup keningnya dengan penuh cinta. "Siapa bilang kita akan menghilangkan sosoknya ayah Raka dihidup kita, hm? Ayah Raka akan selalu hidup sayang. Hidup di hati kita masing-masing." "...." "Kamu harus bangkit. Kamu nggak sendiri. Kamu punya aku buat kamu jadiin tempat cerita kamu. Aku akan selalu siap untuk mendengarkan semua keluh kesah kamu, ayah." Daffa memandang Reya. Ia mengambil tangan Reya lantas menciumnya perlahan. "Makasih love. Kamu tau aku cinta kamu, kan?" "I know captain. I love you most!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD