Daffa turun dari mobil. Laki-laki itu mengajak Reya masuk tanpa memperdulikan pak satpam yang sedang meminum kopi di pos penjaga. Ia menggandeng tangan reya, dalam hati ia berdoa semoga saja tidak ada orang rumah sekarang.
By the way, bunda Nara dan ayah Raka sudah pergi ke Bandung sore tadi. Kemungkinan besar hanya akan ada Rayyan dirumah ini. Karna Diffa juga ikut bersama kedua orangtuanya.
Daffa masuk ke kamarnya. Ia membuka laci lantas menarik kunci yang jumlahnya ada tiga itu dari sana.
"Ayo ikut aku,"
Daffa dan Reya berjalan menuju ruangan paling pojok dekat kamar mandi di lantai tiga. Ruangan yang hampir tidak terlihat karena tertutup oleh lampu besar yang berada di atas langit-langit.
Ceklek.
Pintu terbuka.
Keadaan pertama yang mereka lihat adalah gelap. Daffa menarik napas sebelum akhirnya menyalakan saklar lampu. Disusul oleh menyipitnya mata Reya karna pancaran lampu yang ada di ruangan itu.
Daffa berjalan sendirian ke dalam. Tangannya memegang dan memandangi foto yang ia jepit maupun yang ia bingkai di atas tembok.
"Ini bukan ruangan Caca, ataupun segala kenangan aku sama dia," daffa mengambil satu foto lalu memandangnya lama.
"Ini ruangan kamu, Reya."
Daffa berbalik menatap Reya yang diam mematung. Matanya melihat ke segala penjuru arah. Foto dirinya hampir memenuhi ruangan ini.
"Aku mencintai kamu sejak dulu. Bahkan sejak kita masih sama-sama kecil. Tapi waktu itu aku taunya kamu adalah saudara aku, makanya aku bersikap seakan-akan aku benci kamu,"
"Sejak kapan?" Suara reya serak, seperti tercekat di tenggorokan.
"Sejak aku pertama kali liat kamu dirumah opa sama oma. Kamu itu cantik, inget ngga aku sapa kamu waktu kamu lari di belakang rumah Oma? Waktu orang-orang anterin Diffa ke rumah sakit?" Tanya Daffa.
Reya mengangguk. Ia ingat. Kala itu sesosok bocah laki-laki yang pernah ia temui disekolah sedang menjulurkan tangan didepannya sambil membawa sebuah permen dari saku jeans-nya.
"Aku tau kamu sedih. Jangan nangis. Kata bunda nangis hanya untuk orang yang jelek, kamu kan, cantik!"
Reya kecil bergeming menatap anak di depannya. Tangannya masih terkepal, tidak ingin mengambil permen itu dari tangan Daffa kecil.
Daffa terlihat memaksa. Anak lelaki itu menarik tangan Reya pelan, lalu membuka jari-jarinya. "Ini buat kamu. Dimakan ya, biar sedihnya Ilang."
Daffa tersenyum. Reya pun melakukan hal yang sama.
"Aku Daffa, kamu siapa?"
"Aku Reya, Freya Binar Abigail."
Daffa berjalan ke arah box putih berisi barang-barang jaman dulunya. Ia menarik salah satu box, lalu mengambil buku diary dari sana. Buku diary berwarna biru dengan motif planet-planet ruang angkasa itu ada ditangannya.
"Kamu baca ini, tapi sambil duduk ya. Biar ngga capek."
Daffa menarik kursi kayu dan mendorongnya ke arah Reya. Istrinya duduk. Daffa memberi buku diary itu kepada Reya. Sejenak Reya tertegun. Di tangannya sudah ada buku diary milik Daffa, yang sampul depannya bertuliskan
Daffa's secret
Tulisannya jelek. Terlihat kentara kalau ini adalah tulisan anak-anak. Daffa berdiri di samping Reya. Diusapnya rambut sang istri dengan perasaan cinta. "Kamu buka, baca satu persatu. Tapi maaf kalo tulisannya jelek, itu tulisan masa kecil aku."
Gemetar, Reya membukanya. Di halaman pertama ada foto keluarga nya. Ayah Raka, bunda Nara, Diffa dan juga Daffa. Tulisan yang diberikan di bawah foto itu adalah
Sebentar lagi Abang Daffa akan punya adik baru!
"Itu waktu bunda hamil ry, semua orang bahagia. Aku juga termasuk,"
Reya kembali membuka halaman berikutnya. Kali ini foto seorang anak perempuan berbaju pink, dengan rambut yang di kuncir kuda sedang bersedekap d**a. Tulisan yang berada di bawahnya adalah
Dear diary, dia Reya. Anak disekolah paling cerewet dan banyak bicara.
"Kamu dapet foto ini kapan?" Tanya Reya.
"Udah lama. Waktu ada acara di sekolah, kamu dateng sama Mama Nur, terus kamu ngambek karna ngga di bolehin beli eskrim saat anak lainnya beli eskrim. Kamu inget?"
Reya mengangguk. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia kembali membuka diary itu. Lembar ketiga, bukan foto yang ia temukan. Melainkan sebuah catatan dengan tulisan yang acak-acakan.
Dear diary
Hari ini aku tau nama panjang anak cerewet itu.
Dia bilang namanya Reya, Freya Binar Abigail.
Tapi opa bilang, reya adalah saudaraku.
Lembar ke empat
Dear diary
Setelah hampir beberapa tahun aku nggak ketemu reya, kenapa harus sekarang aku ketemu dia?
Lembar ke lima
Dear diary,
Kamu tau? Reya semakin cantik. Dia bilang, dia suka padaku. Tapi, kita ini kan saudara(?)
Lembar ke enam
Hari ini aku marahin Reya karna dia bikin Caca nangis. Tapi aku ngga bermaksud. Maafin aku, love.
Reya menutup buku itu. Itu adalah lembar berisi tulisan terakhir disana. Reya mengusap air matanya. Menatap Daffa dengan mata memerah.
"Sayang kok nangis?!" Tanya daffa khawatir.
Reya tidak menjawabnya. Melainkan langsung memberi Daffa pelukan erat. Reya menangis di d**a Daffa. "Maaf ayah, maaf. Maaf aku udah nuduh yang ngga-ngga ke kamu,"
Daffa membalas pelukan Reya. Ia memejamkan matanya. Diciumnya rambut Reya dengan lembut.
"Jangan nangis bunda. Aku nggak suka liat kamu nangis."
Reya melepas pelukannya. Ia menatap Daffa sambil meraba rahang laki-laki itu. "Aku ngga tau kalo kamu udah mendem rasa itu ke aku. Aku minta maaf udah berpikiran buruk tadi,"
"Its okaay. Kamu manusia, dan aku juga pernah nyakitin kamu. Jadi ngga aneh rasanya kalo kamu curiga kayak tadi," daffa tersenyum.
Daffa menarik tengkuk Reya. Lalu mencium bibirnya dengan penuh kelembutan. Di cecapnya bibir yang sudah menjadi candu bagi laki-laki itu. Daffa mengigit bibir bawah Reya, melesatkan lidahnya untuk beradu dengan lidah istrinya. Ciuman mereka semakin intens. Tidak ingin kebablasan, Daffa segera menarik bibirnya dengan satu kali hisapan panjang.
Daffa mengusap bibir Reya yang memerah dan bengkak sehabis di jamah oleh bibirnya. "Aku cinta kamu,"
"Me too,"
Keduanya tersenyum. Daffa menarik Reya ke dalam pelukannya. Berkali-kali memberi kecupan di atas rambut dan kepala istrinya.
"Kalo dulu kamu cinta aku kenapa kamu pacaran sama caca?"
"Itu karna Diffa, dia yang bilang aku homo karna ngga pacaran. Makanya aku deketin Caca, terus juga, ya dia—
"Eh udah kok malah ngomongin Caca sih? Nanti istriku ini cemburu lagi!" Goda daffa. Tangannya mengusap punggung Reya, sedangkan Reya mengigit bahu Daffa.
"Ih!"
Keduanya kembali tertawa. Daffa menangkup pipi Reya lalu menatap matanya. "Tidur di kamar kita yang dulu yuk?"
"Tidur atau tidur?" Balas Reya.
"Tidur sambil main. Yuk?"
Reya tertawa. "Iya ayo!" Daffa menggendong istrinya lalu mendorong pelan pintu itu tanpa menguncinya. Ia segera turun ke lantai dua lantas masuk ke kamar yang dulu sempat di tempati oleh sepasang suami istri itu.
Setelah pintu ditutup, mereka kembali mendaki puncak kenikmatan untuk yang kesekian kalinya. Seolah-olah tidak pernah bosan, karna keduanya benar-benar menganggap pasangan mereka sebagai candu.
****