01 : Buna Reya Melahirkan
Beberapa bulan kemudian~
Sore itu Daffa dan Reya mengajak serta ketiga anak mereka untuk mengunjungi kediaman Mama Nur. Awalnya memang Daffa tidaklah setuju. Karna hari kelahiran si bungsu akan segera tiba. Walaupun memang prediksi dokter Nina meleset dari perkiraan.
Bug!
"Aaaw sakit!"
Daffa memungut sebuah sepatu bayi yang di lemparkan oleh Qila, si bungsu tidak jadi. Matanya menatap sang anak dengan pandangan sabar-sabar menyebalkan. "Kakak, kok dilempar ke ayah?" Tanyanya.
Qila tertawa, usianya baru memasuki bulan ke 13 atau setara dengan 1 tahun 1 bulan. Ulang tahun yang di adakan secara besar-besaran bulan lalu memang cukup menyita perhatian banyak orang. Ditambah buncitnya perut Reya waktu itu, membuat Daffa dan Reya menjadi bulan-bulanan keluarga besar mereka.
"Ayah eyek!"
Eh? Apa katanya? Aku jelek? -daffa
"Hah? Kamu ngomong apa kakak?"
Reya mengusap rambut daffa, perempuan itu menatap anak-anak serta suaminya sedari tadi. "Kata Qila, kamu jelek ayah!"
"Lho kok ayah jelek?" Daffa merengut. Bibirnya mengerucut lucu, ia mendekati sang putri, lantas menggigit lengannya. "Kak ko ayah dibilang jelek sih?"
"Ayah eyek!" Anak itu tertawa cekikikan. Daffa menarik tubuhnya, lantas memangku Qila di atas pahanya.
"Ayah ganteng tauuuuu!"
"Nda!"
"Ganteng!"
Perdebatan mereka terhenti ketika mendengar suara Reya yang meringis kesakitan. Mama Nur menghampiri Reya, lalu mengusap perutnya. "Udah berasa sakit nya re?"
"Udah ma," Reya meringis. Daffa bangkit, ia menaruh Qila di atas karpet untuk bergabung bersama Qira dan Radinka. Daffa mondar-mandir, ia terlihat panik. Tangannya menggenggam sebuah handphone dan sedang mendial nomor rumahnya.
Radinka mengerjapkan matanya. Terlihat bingung ketika melihat ayah mondar-mandir tidak jelas di depannya. Ia menatap sang nenek yang juga sedang mengusap perut bundanya. Radinka tau ia akan memiliki saudara/saudari lagi. Anak berumur 3 tahun 11 bulan itu langsung menghampiri bundanya, dan mengikuti sang nenek yang sedang mengusap perut bundanya.
"Bunda sakit ya?"
Reya mengangguk. Ia berusaha tersenyum tipis walau sakit di perutnya makin kian terasa. "Panggilan Daffa, Ma."
Nur menghampiri Daffa, "samperin istri kamu, gih! Langsung bawa ke rumah sakit aja. Nanti anak-anak kalian Mama sama Papa yang bawa kesana," kata Nur.
Daffa mengangguk. Ia segera menghampiri Reya, lalu menggendongnya untuk segera membawanya masuk ke dalam mobil dan pergi ke rumah sakit.
***
"Argh! Sakit banget ayaaaah!" Rengek Reya kepada Daffa. Daffa memperhatikan Reya yang sedang mengigit bibir bawahnya menahan rasa sakit. Tangannya di cengkram Reya, sedangkan rambutnya di jambak habis-habisan oleh istrinya.
"Iya-iya bunda, sabar ya. Pembukaannya belum penuh soalnyaa,"
"Kamu sih ah! Demen banget ngapa-ngapain aku!" Reya menatap Daffa galak.
Daffa meringis, suster yang berjaga di ruang bersalin itu terlihat menahan tawa. "Kamu kenapa gitu ih ayah! Sakit bangetttt!"
Daffa tidak bisa berbicara lebih, ia hanya bisa menciumi kening, wajah, serta leher bahkan bibir Reya dalam situasi seperti itu. Sejak 45 menit yang lalu Reya terus saja mencak-mencak dihadapan Daffa. Ia terus berceloteh bahwa Daffa keterlaluan karna terus-menerus membuatnya isi.
Pintu ruangan terbuka, terlihat dokter Nina masuk sambil tersenyum lebar. "Ibu Reya!" Sapanya. Reya meringis, ia diam tapi matanya tetap menatap wajah dokter Nina.
"Dok sakittt,"
"Iya sabar ya, saya akan cek pembukaannya dulu,"
Dokter Nina mengambil masker serta mengenakan nya. Tangannya sudah memakai sarung tangan. Ia mengambil tempat duduk di depan s**********n Reya yang sudah terbuka sejak tadi.
Dokter Nina memeriksa Reya, lalu menatap suami istri di hadapannya. Waktu pertama kali Reya memeriksakan dirinya ke dokter Nina, dokter Nina sempat tertawa. Pasalnya ibu muda di depannya ini baru saja melahirkan beberapa bulan lalu sebelum akhirnya kembali mengandung.
"Pembukaannya udah lengkap, bisa dimulai sekarang, ya!"
Reya sudah siap mengejan di atas brankar bersalinnya. Tangannya menggenggam tangan Daffa semakin erat. Satu kali, dua kali, hingga tiga kali mengejan anak bungsunya belum juga mau menampakan kepalanya.
"Tarik nafas terus buang, ya. Jangan terlalu buru-buru, ayo sekali lagi, ibu pasti bisa!" Semangat dokter Nina.
Reya kembali menarik napas. Ketika mengejan untuk yang keempat kalinya, akhirnya suara tangisan bayi melengking dengan indah di dalam kamar bersalin itu.
"Selamat ya Bapak Daffa dan ibu Reya, anaknya punya Monas!"
Dokter Nina memperlihatkan bayi itu ke depan Daffa dan Reya. Daffa menatap Reya terkejut begitu juga dengan Reya. Memang selama ini mereka tidak pernah ingin melihat jenis kelamin anak mereka ketika usg sedang berlangsung. Mereka ingin semuanya menjadi kejutan. Dan benar saja. Ini benar-benar kejutan untuk mereka berdua. Akhirnya mereka memiliki anak laki-laki.
Daffa mencium kening Reya dengan penuh kasih sayang, bayinya berada di atas d**a Reya sambil menyusu dengan ibunya. "Makasih, sayang. I love you more and more, Reya."
"I love you too ayah," balas Reya lemah. Ia mengusap rambut anak laki-lakinya yang masih berlumuran darah.
"Mau dikasih nama siapa ayah?"
Reya menatap mata Daffa dalam-dalam. Daffa tersenyum lembut, ia mengusap rambut Reya sambil membiarkan jemarinya di genggam anaknya.
"Keagan Gaaraldi Malik."