***
Malam itu suasana rumah mewah milik Raina benar-benar hening, bahkan dentingan jarum jam dinding terdengar begitu nyaring di telinga. Raina masih tergugu lama, tidak menyangka di hadapannya sekarang ada sosok pria yang selama ini ia rindukan, pria yang sudah menghantarkannya pada rasa rindu yang teramat, kini duduk tersenyum kearahnya.
Di samping Raina, Rafa juga masih berusaha menyembunyikan keterkejutannya, tidak menyangka kalau pada detik ini Arman telah kembali, sampai akhirnya Rafa sadar, tidak semua tanya ada jawabnya, dan tidak semua jawaban pantas untuk dilontarkan.
"Aku senang, akhirnya kamu pulang juga, Rain." kata Arman ragu, ia mencoba berekspresi tenang, mengenyampingkan hati yang berteriak ingin memeluk. Ia sangat mencintai gadis itu, sangat-sangat, bahkan setelah memutuskan pergi demi mematuhi perintah orang tua membuatnya harus siap menelan nestapa. Melepaskan adalah cara pertama yang ia lakukan justru menghancurkannya sendiri, ia terjebak sendiri dalam dua pilihan yang tak pernah sejalan.
Raina hanya tersenyum sebagai respon, tubuhnya benar-benar kaku, yang terpancar di wajahnya hanya ketenangan.
"Sekarang, berhubung kalian semua sudah pulang, om minta kita semua biarkan Raina dan Arman berbicara."
Om Rudi menegakkan tubuhnya, membawa tungkainya berjalan menjauhi ruangan itu, begitu pun dengan Kevin, Salsa dan Rafa. Sebenarnya Rafa khawatir dengan kembalinya Arman, sudah membuat semua harapannya pupus, dua orang yang saling mencintai akan kembali bersatu dan itu artinya ia harus siap dengan perubahan yang akan terjadi di hari berikutnya.
"Kamu apa kabar?" tanya Arman sedikit basa-basi, berusaha memecahkan keheningan yang masih menyelimuti keduanya.
"Aku baik." jawab Raina singkat, sangat singkat, padat dan jelas,
Arman hanya mengangguk sebagai respons, "Rain, aku minta maaf."
"Sudahlah, Arman. Nggak ada yang perlu di maafkan, semuanya udah berlalu." seolah tau apa yang dimaksud Arman, jawaban itu tercetus begitu saja dari mulutnya
"Aku udah baca surat dari kamu."
Raina hanya memasang wajah datarnya.
"Dan aku kesini untuk menjelaskan sesuatu sama kamu Rain, aku tau aku salah, aku udah ninggalin kamu waktu itu, tapi sungguh, aku nggak punya pilihan lain Rain, aku pikir dengan cara aku ninggalin kamu diam-diam kamu bisa membenci aku, dan aku bisa melupakan kamu Rain, aku nggak siap untuk terluka, itu sebabnya aku pergi tanpa pamit sama kamu..." suara pria itu sudah semakin berat, dadanya serasa dihimpit beban berat sehingga membuatnya sulit untuk bernafas, tubuhnya bergetar menahan tangis yang ingin membeludak,
Raina menggelengkan kepalanya tak habis fikir, "kamu terlalu egois, Man. Kamu salah kalau kamu mikir kayak gitu, dan asal kamu tau, keputusan yang kamu ambil itu udah ngelukain diri kamu sendiri, dan juga aku."
"Aku tau aku salah, Rain. Aku mengerti, semenjak aku mengambil keputusan itu setiap hari aku selalu merasa bersalah sama kamu,"
"Lalu, kenapa kamu nggak pernah menghubungi aku? Kamu telfon pun itu udah membuat aku seneng,"
"Maaf, aku bener-bener minta maaf, aku ngga punya keberanian kalau hanya sekedar menghubungi kamu lewat telfon, Rain. Selama di sana aku bertekat cepat-cepat menyelesaikan kuliahku di sana, supaya aku bisa kembali kesini, menemui kamu."
Raina hanya tertawa sarkastis, "dan setelah aku baca surat dari kamu, itu bener-bener bikin aku sakit Rain, kamu pingin hubungan kita berakhir? Sementara kamu masih mencintai aku kan?"
"Arman, semuanya memang sudah berakhir semenjak kamu memutuskan pergi, dan sejak saat itu juga, aku tau kamu laki-laki seperti apa. Memang, aku akuin, rasa cinta itu nggak semudah itu bisa hilang, tapi buka berarti semuanya bisa sama kembali seperti semula, Arman, dan ak..."
"Kamu pengecut Raina!" potong Arman cepat, "kamu cuman bisa menghakimi aku karena kesalahan aku, tanpa mau memberi aku kesempatan kedua, lalu apa artinya aku kembali kesini, apa aku pantas menerima ini? Padahal aku harus berbakti sama orangtua aku? Oke, aku emang salah, tapi apa aku nggak berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua? Raina, cinta itu memaafkan, dan aku bener-bener butuh maaf dari kamu, dan aku cuman pingin kita sama-sama lagi, karna aku butuh kamu, Rain... Aku butuh kamu..." nafas Arman memburu mataya sudah memerah mengekuarkan butiran kristal, dia tidak malu menangis di hadapan Raina,
"Kamu, kembali untuk aku?" kening Raina berkerut bingung, padahal setaunya Arman sudah berkeluarga, mengingat Salsa yang tanpa sengaja pernah bertemu Arman membawa seorang bayi di toko perlengkapan bayi, lalu apa maksud ucapan yang terlontar dari mulut pria itu?
Arman mengangguk, "dan aku mohon sama kamu, aku bener-bener minta tolong, tarik ucapan kamu, karena aku membutuhkan kamu di hidup aku, aku sangat mencintai kamu Raina."
"Semudah itu kamu ngungkapin cinta, Man? Kamu ngga mikirin gimana perasaan istri kamu?"
"Istri?"
"Beberapa hari yang lalu, Salsa ketemu kamu di toko perlengkapan bayi, kamu datang bersama seorang bayi,"
Arman mengusap wajahnya frustasi, "aku bisa jelaskan soal bayi itu. Dia bukan bayiku Raina, demi apa pun, aku bisa jelaskan tentang Ferrel."
Raina mngubah air mukanya menjadi bingung,
"Ferrel itu adalah anak dari sahabatku ketika aku kuliah di Australia, dia salah satu mahasiswi dari indonesia, dia terlalu larut dalam dunia barat yang terjadi di negara sana, sampai akhirnya dia hamil di luar nikah. Pacarnya tidak mau bertanggung jawab, laki-laki yang sudah berjanji akan menikahinya menghilang tanpa kabar, ketika dia bilang menjemput orang tuanya ke indonesia, sampai bayinya lahir laki-laki itu tidak pernah ada kabar, dan ibu Ferrel meninggal ketika dia melahirkan Ferrel." Raina membuka mulutnya gelagapan, tidak tahu apa yang di ucapkan Arman benar atau salah.
"Itu sebabnya aku membawa Ferrel kesini, karna dia berpesan, agar aku memberikan Ferrel pada Ayahnya, karna Ferrel berhak dan tinggal bersama Ayahnya. Tapi sampai saat ini, aku masih belum bisa menenukan dimana keberadaan laki-laki b******k itu."
Arman beranjak, lalu duduk di bawah lutut Raina, memegang erat kedua tangan Raina.
"Raina please, jangan pernah akhirin hubungan kita, aku janji, aku ngga akan pernah ninggakin kamu lagi Raina aku janji, aku pengen kita menikah." entah Arman yang selalu ingin to the point, atau dia yang memang kaku dan tidak bisa berlaku romantis, yang jelas dia tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk berkata manis.
"A..aku, aku nggak bisa langsung nerima kamu gitu aja Arman, aku butuh waktu."
"Waktu? Berapa lama?"
"Aku juga nggak tau,"
Arman mendesah pelan, Raina telah berubah, tidak seperti dulu yang langsung mengambil keputusan tanpa menimbang baik dan buruknya, dan itu benar-benar membuat Arman tidak bisa tenang.
"Kalau kamu emang benar-benar mau menunggu aku, kamu harus sabar, Man. Karena aku ngga bisa semudah itu ngejalin hubungan lagi sama kamu, kita lihat aja kedepannya, kalau emang kita jodoh, pasti kita akan berstu."
"Apa ini artinya kamu menolakku secara halus?"
Raina menggeleng, "kasih aku kepastian Rain,"
"Kamu tentu tau, aku memang masih mencintai kamu, dan aku rasa itu udah cukup sebagai jawaban,"
Di balik dinding Rafa berdiri, menyandarkan punggungnya di sana, memegang d**a yang dirasa perih, Raina masih mencintai Arman, dan sekarang sudah jelas, kalau mereka akan kembali bersatu dan kehadirannya tetap tidak berpengaruh apa pun, harusnya Rafa sudah tau ini sejak awal, tapi ia selalu yakin akan memiliki hati Raina, hingga pada akhirnya, ia sendiri tersakiti karna terlalu berharap ada di dalam hidup Raina.
"Dia kembali, dan kamu masih mencintainya,"
***
"Gua nggak habis fikir Vin, sekarang Arman masih berani datamg kesini, nemuin Raina dengan mudahnya."
"Jangankan lo, gua aja rasanya pengen nonjok dia sampe babak belur, dia udah lukan perasaan Raina, padahal Raina itu udah tulus sama dia, kalau sampai Raina kembali lagi sama dia, sumpah, Raina bener-bener cewek terbodoh yang pernah gua temuin."
"Nggak segitunya juga kali, Vin. Lo juga nggak berhak ngehakimin Raina kayak gitu. Kita juga nggak bisa tau kan, apa yang diinginkan sama Raina, dan cuman dia yang bisa nentuin jalan hidupnya dia."
"Tapi lo nggak liat, Sal? Rafa segity baiknya, nggak pernah dikasih kesempatan sama Raina."
"Itu wajar, karna cara berfikir lo dan Raina itu beda. Bahkan kalau gua sendiri pun jadi Raina gua juga pasti udah lupain Arman, tapi Raina enggak kan? Karena lo tau apa? Gua sama Raina itu nggak sama, begitu pun dengan lo."
Kevin mendesah resah, tidak pernah terfikirkan kalau pada akhirnya hari ini Arman kembali menyatakan cinta pada Raina.
"Gua ngga ngerti lagi deh, apa tujuan cowok b******k itu tiba-tiba datang dengan wajah sok polos dan tanpa dosa,"
"Ck, ya terus gimana? Emang Raina mau dengerin lo? Udah ah, dari pada lo terus-terusan mikirin hubungan mereka, mending urusin hubungan lo sama Anissa tuh."
"Kenapa lo jadi bawa-baqa hubungan gua sama Anissa? Kan gua sama dia baik-baik aja."
"Baik-baik aja bukan berarti lo sama dia nggak bakal kenapa-kenapa sama lo, dulu aja gua sama Arman juga baik-baik aja lama-lama ngga cocok bisa putus kan?"
Kenin kevin berkerut bingung, "maksud lo? Jangan bilang lo mau rebut Arman dari tangan Raina, karna gua pernah dengan ucapan lo yang mengarah ke situ?!"
"Kok lo jadi nuduh gua? Sedikit pun nggak ada niatan gua buat ngerebut Arman daribtangan Raina, dia sahabat gua, mana mungkin gua nikung dia."
"Oh ya?"
"Lo pikir gua lagi main ludo? Yang sibuk makan temen?" kata Salsa setengah bercanda, Kevin hanya tergelak pelan.
***
Arman berjalan memasuki kamar nya, di samoing ranjangnya tersimpan box bayu yang di dalamnya terdapat Ferrel yang terlelap tidur dengan mulut setengah terbuka, kedua tangan yang di balut sarung rangan bayi tersimpan di sisi kepalanya. Arman tersenyum, bayi itu terlihat begitu pulas, wajah polosnya membuat Arman semakin jatuh, sangat menyayangi bayi itu, bahkan dia sendiri tidak bisa membayangkan, bagaimana jika bayi itu sudah kembali ke tangan ayahnya.
"Ayah ngga tau sayang, gimana nanti kalau kamu udah kembali ketangan ayah kamu. Mungkin di saat itu, ayah bakal ngerasain gimana rasanya kehilangan harta ayah yang paling berharga." tangan Arman dengan lembut menyentuh pipi chubby Ferrel, "kamu udah ngajarin ayah arti kesabaran sayang. Tapi ayah janji, ayah nggak akan egois, ayah akan satuin kamu dan ayah kandung kamu." Arman membungkuk kan tubuhnya mencium pipi harum milik Ferrel. Bayi itu menggerekkan kepalanya sedikit terusik. Arman tersenyum, sedikit dia bisa tenang, hubungannya dengan Raina sudah mulai menemui titik terang, ia sangat yakin perempuan itu pasti akan kembali.
***
Bersambung