***
Arman berjalan menelusuri koridor gedung bertingkat itu, di tangannya tersimpan seorang bayi dengan mata terbuka menatap wajah sang ayah. Sedikit terdengar ocehan tidak jelas dari mulutnya, kadang, dia juga sedikit tertawa, layaknya seorang bayi yang sedang diajak berbicara.
Arman sudah memutuskan ini dari semalam, ia akan memulai kedekatan kembali dengan Raina, bertemu setiap hari, seperti yang sering ia lakukan dulu semasa SMA.
Dari arah berlawanan, kedua matanya bisa menangkap sosok Raina yang berjalan lamban, gadis itu tergugu di tempatnya saat melihat pria yang tiba-tiba datang di kampus ini, dan itu artinya lelaki itu akan menemuinya, -ahh, tidak! Bodoh! Kenapa ia bisa berfikir seperti itu?!- Raina memicingkan matanya masam perseis seperti orang yang mengigit jeruk nipis, sedikit ia mengigit bibirnya guna menetralisirkan perasaan yang tidak karuan, semuanya begitu samar, ada rasa senang dan ada juga rasa tidak suka.
"Ha..hai," Arman terlihat begitu kikuk, bertemu dengan Raina benar-benar membuat jantungnya bekerja tidak normal, serasa ingin melompat keluar dari dalam tempatnya.
"Arman?"
"Kamu sendirian? Yang lain mana?"
"Salsa sama Kevin kan beda fakultas sama aku, jadi mereka masih jam kuliah."
Arman hanya mengangguk-anggkukan kepalanya sebagai respons, "Kalau, Rafa?"
"Nggak tau, dia nggak masuk."
"Oohh.." kembali Arman menganggukan kepalanya, dengan mata tidak lepas dari wajah gadis itu.
Ferrel merengek kecil, hingga mengundang sepasang mata Raina beralih menatap bayi tampan itu, bayi yang benar-benar sempurna, kulitnya putih bersih, wajahnya begitu bulat dengan kedua pipi yang begitu chubby, rambutnya tipis bahkan nyaris botak benar-benar sangat menggiurkan sepasang suami istri untuk segera memiliki momongan.
"Ini bayi kamu?"
"Iya, ini Ferrel yang kemarin aku ceritain."
"Kenapa kamu bawa keluar? Kalau dia sakit gimana?"
"Nggak bakal, kan aku yang jagain dia, ayah super hero nya." kata Arman setengah bercanda, ia tertawa, tapi tidak dengan Raina.
"Oh iya, kamu bisa bantu aku?"
"Apa?"
"Setelah tiga tahun nggak ketemu, aku rasa kamu diam-diam belajar cara mengurangi omongan, beda dari yang dulu."
"Setiap apa pun pasti mengalami perubahan, begitu pun dengan manusia, terlalu banyak bicara hal yang nggak penting, sama aja dengan buang-buang koin emas yang berharga." Raina berucap lamban, tapi berhasil menyelekit hati Arman.
Arman mengeha nafas berat, dia harus bisa mengikuti siklus perubahan yang terjadi dalam diri gadis itu, karena ia tahu, berada disisi Raina ia memiliki harapan yang begitu besar.
"Ohh oke,"
"Mau minta bantuan apa?"
"Hari ini, aku akan mulai mencari keberadaan ayah kandung Ferrel, kamu mau kan temenin aku?"
"Memangnya kamu nggak dikasih alamat tempat tinggal ayah bayi ini?"
Arman menggeleng, "nggak, kalau pun Kanaya tau, pasti saat dia hamil, dia akan langsung nyusul laki-laki itu."
"Jadi, kita nyarinya gimana? Masa kita harus keliling jakarta? Nggak mungkin."
"Kalau soal itu aku tau, kemungkinan nya emang kecil. Tapi aku sempat dikasih alamat sekolah dia sama Kanaya. Dari sekolah itu, kita bisa cari data-data dia, dan dimana alamat rumah dia."
Raina mengerti, "oke, jadi kita kesekolahnya sekarang?"
"Iyah, kamu mau kan?"
"Oke..." Raina mengangguk setuju, berjalan di samping Arman neyusuri koridor yang hampir habis, tidak meperdulikan sorotan mata dari beberapa penghuni kampus yang menatap mereka dengan tatapan tak mengerti.
Sampai di depan mobil, Arman menghentikan langkah Raina. "Kamu bisa menggendong Ferrel?"
Selama beberapa detik menatap Ferrel, Raina mengangguk, dia akan sangat dengan senang hati menggendong bayi itu, sejujurnya sudah sejak dari tadi tangannya gatal ingin memangku sang bayi.
"Boleh," kini kedua tangan Raina beralih mengambil alih posisi bayi itu dari pangkuan Arman, pada saat itu juga Arman bisa melihat waja Raina dari dekat, wajahnya begitu cantik, mulus tanpa ada cacat sedikit pun, namun Raina tidak pernah menyadari tatapan yang disorotkan Arman, karena dia terlalu larut menatap wajah lucu Ferrel.
"Ya ampun lucu banget sih beby nya..." telak Raina mencium sayang pipi lembut Ferrel, sedikit membuat bayi itu bergumam tidak jelas tapi ekspresi wajahnya sangat senang dengan tawa khas bayi.
"Iyah, makanya aku nggak pernah bosen buat liatin dia terus."
Bau harum Ferrel berhasil membius rongga hidung Raina membuatnya serasa ingin menciumi tubuh mungil itu berkali-kali.
"Jangankan kamu, aku aja ini baru pertama liat dia langsung pengen gendong aja."
"Yaudah, yuk."
***
Rafa masih bergerak lemah di atas ranjangnya, rasa sakit yang menyerang tubuhnya tidak sebanding dengan rasa sakit yang ia rasakan di hatinya. Padahal, ia sudah beruhasa untuk melupakan perasaannya pada Raina tetapi semakin membuatnya merasakan sakit yang teramat di ulu hati. Bagaikan paku yang sudah di tancapkan di dalam kayu saat paku itu di cabut maka akan menimbulkan bekas yang tidak akan pernah hilang. Rafa adalah laki-laki yang sulit jatuh cinta, namun saat ia mengenal cinta ia harus siap menelan pahitnya patah hati, membuatnya benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa.
Di atas nakas sudah tersedia semangkuk bubur dan air putih, tapi ia begitu malas untuk menelan makanan itu, apa salah ia berharap Raina datang dan menyuapinya dengan manja? -ahhh sepertinya Rafa sudah tau jawabannya, itu tidak akan pernah tercatat dalam sejarah hidupnya-
"Gua nggak tau Rain, saat Arman nggak ada aja, gua begitu sulit buat ngedapatin lo. Apalagi sekarang Arman udah kembali, itu artinya gua emang benar-benar nggak punya harapan ,Rain."
"Apa gua salah? Kalau saat ini gua minta lo buat rawat gua?"
Rafa berbicara sendiri, sudah seperti orang kehilangan akal. Di tanganya sudah tersimoan ponsel miliknya, mengetik pesan pada Raina, meminta agar gadis itu datang menjenguknya, dan ia benar-benar sanggat mengharapkan Raina untuk saat ini.
Rafa mendesah resah setelah menunggu beberapa menit, tidak ada balasan apa pun dari perempuan itu, mungkin ia terlalu berharap hingga membuatnya terluka sendiri.
Di waktu yang sama, Raina dan Arman sudah berada di salah satu sekolah menengah pertama, sekolah yang masih ramai dengan anak-anak berbaju putih biru itu, ada yang masih bermain kejar-kejaran dengan setangkai sapu di tangannya, Raina jadi tertaqa sendiri melihat bocah yang baru lepas dari masa SD itu, kebanyakan mereka benar-benar masih terlihat polos, membuat larut dalam histerical masa lalunya.
"Rain, ayo kita keruangan guru." Arman menyentuh lembuh kedua bahu gadis itu, membuatnya sedikit tersentak.
"Ohh, iya..."
Arman membawa Raina kedalam pelukannya, Ferrel begitu nyaman saat tidur dalam pelukan Raina seperti seorang bayi dengan ibunya. Pemandangan kedua pasangangan itu benar-benar seperti orang tua muda, sangat serasi dan cocok bahkan Raina pun tidak bisa menolak perlakuan pria itu, hati dan otaknya sangat kontradiktif.
Dua pasang kaki itu mulai berjalan memasuki area lapangan sekolah, ciaca kemarau yang terjadi membuat debu berterbangan di sisi lapangan, belum lagi pasir-pasir putih yang ikut berterbangan saat kaki-kaki para siswa yang berolahraga menendang bola kaki
"Dulu, waktu masih SMP aku juga paling suka main bola kayak gini, nggak perduli mau seterik apa pun mataharinya, dan aku udah nggak pernah kehitung berapa kali aku mecahin kaca jendela sekolah." Arman tertawa mengingat masa itu, aplagi dulu ia paling jail terhadap perempuan.
"Oh ya?"
"Iya, sampe-sampe mamah aku kapok ganti rugi mulu, sampai mamah pernah hukum aku, ditingglin di kamar mayat. Dia pikir aku takut padahal enggak, malahan aku ikut tidur di atas brangkat itu." lagi-lagi Arma tertawa dan itu membuat Raina semakin terkagum-kagum, tapi kini ia jauh lebih bisa menahan diri.
"Kamu kan sebangsa sama mereka, jadi wajar kamu ngga takut."
"Apaa kamu bilang? Aku sebangsa merekaaa?" kedua mata Arman memicing sipit, siap-siap ingin melakukan sesuatu, dalam hitungan detik tangan Arman sudah berada dipinggang Raina, dengan cepat gadis itu menghindar, membuat bayi di dalam gendongannya sedikit terganggu dan merengek kecil,
"Tuh kan Arman, kamu apaan sih Ferrel jadi kaget ini."
"Haha, maaf-maaf, yaudah buruan masuk, banyak debu nanti Ferrel sakit."
Dengan cepat keduanya langsung masuk menginjakan kakinya di atas teras, berjalan dengan gerakan lamban.
Kedua matanya bisa menangkap papan nama yang mengangtung di atas pintu, lantas keduanya masuk ke dalam ruangan itu.
"Permisi, Buk?"
Beberapa guru yang masih tersisa di sana melempar iris matanya ke lawang pintu, menatap heran kepada dua pasangan muda ini, setau mereka, tidak mungkin siswa mereka memiliki orang tua yang masih sangat muda.
"Ohh, iyaa silahkan masuk.."
"Iyaa buk.."
"Maaf yaa buk, kami menganggu waktu ibu."
"Ohh iya tidak apa-apa, memangnya ada perlu apa kalian kemari? Salah satu siswa disini anak kalian?" perempuan tua itu memperlihatkan wajah konyolnya membuat Arman tertawa, "memangnya saya ini sudah terlihat begitu tua ya, Buk?"
"Ohh maaf, lalu kalau bukan itu ada urusan apa kalian datang kemarin?"
"Apa ibu sudah lama, mengajar disini?"
"Yaaa sudah lumayan lama, sudah 30 tahun yang lalu, mungkin kalian murid saya dulu?"
"Ohh tidak bu, malahan umur saya itu baru 21 tahun."
"Dua puluh satu tahun, sudah menikah dan punya anak?" Guru itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya,
"Kami menikah muda bu."
Raina membelalakan kedua matanya, pria itu berkata seenaknya, "bohong bu, kami cuman teman, dan tidak menikah," kata Raina tak terbantahkan, sebenarnya pengakuan Raina sempat membuat Arman tercengang, perempuan itu hanya menganggapnya teman?
"Jadi begini, Bu. Kami sedang mencari teman kami. Dan dulu sekitar 10 tahun saya dengar dia bersekolah disini, saya yakin Ibu ini psti tau murid itu."
"10 tahun yang lalu? Saya rasa itu sudah cukup lama. Nggak mungkin saya bisa mengingat semua murid saya, apalagi ini sudah cukup lama. Memangnya kenapa?"
"Dia itu suami dari teman saya, dan mereka terpisah, kata teman saya dia sempat bersekolah disini. Saya mohon Bu, saya harus ketemu dia dan memberikan Bayi ini kepada dia, karna ini pesan almarhum teman saya, saya nggak punya petunjuk lain selain disini."
Perempuan tua itu mengangguk mengerti, "Nama lengkap dia siapa? Barang kali saya tau dan masih bisa ingat."
"Namanya Abizar Novaldi, dia biasa di panggil Aldi, apa ibu tau?"
Perempuan itu berfikir sejenak mencoba mengingat nama-nama muridnya kala itu.
"Saya tidak ingat, begini saja, saya akan mencoba mencari datanya dari buku siswa dan saya juga harus mencari buku itu dulu, karena ini sudah 10 tahun yang lalu. Dan guru-guru disini pun itu juga guru-guru baru, saya juga nggak bisa janji bisa menemuka buku itu."
"Saya mohon bu, saya butuh alamat tempat tinggalnya, bayi ini harus kembali kepada orang tuanya."
"Kamu tenang saja, saya akan berusaha mencarinya, kamu bisa tinggalkan nomor telfonmu, dan jika sudah bisa saya temukan nanti, saya akan hubungi kamu."
"Makasih, Bu. Saya benar-benar berharap ibu bisa menemukan alamat dia."
Raina hanya diam, dia yang tidak tahu menau tidak terlalu ingin ikut campur, gadis itu kagum pada Arman, dia benar-benar laki-laki yang baik, mau berjuang demi bayi yang jelas-jelas bukan anaknya.
***
Bersambung