Bab 12

4864 Words
Sesuai janjinya pada Kevin. Jam istirahat, Raina menunggu Anissa di kantin, tadi pagi dia sudah berjanji, akan bertemu di kantin tante Desi. "Maaf, kak. Agak lama" Anisaa duduk di depan Raina, yang sedang meminum copicino gratis dari tante Desi. "Yap, nggak ap-apa kok. Duduk gih" Anissa tersenyum samar, dia sedikit malu dengan dandanannya yang memang terlihat norak. Tapi ini semua dia lakukan agar dia mempunyai teman. "Masalah tadi pagi, kamu tau kan? Kenala aku, ngajak kamu ketemu" Anissa mengangguk ragu, "Kevin" "Iya kak, aku..." "Kenapa? Kamu takut sama Monika? Buat apa? Disini nggak ada yang paling jago. Ini sekolah, emang sampai kapan kamu mau kayak gitu?" seolah bisa menebak, Raina langsung memberi pertanyaan beruntun, memastikan kalau cewek di hadapannya memang terpaksa menolak kevin begitu saja, raina yakin semua itu sangat kontradiktif dengan hatinya. "Aku nggak punya temen selain mereka, Kak. Dan aku nggak siap di bully" "Kamu tenang aja, nggak usah takut. Kamu pasti banyak temen yang jauh lebih baik, tanpa bikin kamu harus dandan kayak gini, hihi." Raina menyipitkan matanya, memaksa otot pipinya untuk tertawa. Anissa yang mengerti, langsung mengusap lipstick di bibirnya dengan tisu. "Dan kamu nggak usah takut di bully, aku udah denger. Mereka di pertimbangkan untuk naik ke kelas 11. Kamu mau? Tinggal kelas cuman gara-gara ikut sama mereka? Bahkan kamu mau di suruh buat mutusin cowok yang suka sama kamu, kayaknya itu terlalu konyol." Kemudian, Raina memegang kedua bahu Anissa lembut, "percaya deh, yang namanya temen, nggak mungkin bawa temennya ke jalan yang nggak bener. Jadi intinya kamu masih mau? Ngikutin mereka? Aku sih nggak maksa kamu. Cuman kamu ikutin aja, hati kamu. Apa kamu pantas sepatuh itu sama dia? Orang tua kita aja yang ngelahirin kita, belum tentu kita sepatuh itu, bilang A harus A, nggak mungkin." Anissa tercenung lama, otaknya mencerna setiap inci dari ucapan yang tercetus dari bibir Raina, apa yang di katakan kakak kelasnya memang faktanya, semua berawal dari ketidak mampuan nya untuk melawan, terdengar begitu klise. "Kalau kamu mau, coba temuin Kevin. Dia ada di taman sekolah, deket pohon saus." Anissa mengangguk mantap, menegakkan tubuhnya, berjalan meninggalkan kantin, ia akan menemui Kevin, laki-laki yang kemarin menjadikannya seorang kekasih. kali ini, Anissa tidak ingin lagi, berada di bawah tekanan teman sebayanya, menjadi babu tanpa bayaran. Raina masih duduk di kantin, setelah tadi pagi dia tidak lagi melihat Arman. Terakhir kali, ia melihat Arman masuk keruang guru. Tapi, setelahnya, Raina tidak menemukan sosok Arman di manapun. "Arman kemana sih, sms nggak di balas, masa segitunya banget. Masih aja pakek tantangan konyol, padahal kan nggak ketemu gini." Raina kesal sendiri. Berulang kali melihat ponselnya, tak kunjung dapat balasan dari pemilik nomor pujaannya. "Apa dia sakit? Terus pulang?" Raina sudah seperti orang gila, berbicara sendiri, hanya karena seorang Arman. *** Sore itu Raina dan Rafa tiba dirumah Arman, Pagar rumahnya tampak di kunci gembok. seperti tidak ada penghuni. Tapi, Raina yakin, ini adalah alamat rumah Arman, tidak mungkin dia salah. "Kenama sih, pacar gua." rasanya Raina ingin membuat aksi konyol memanjat pagar hitam itu, mungkin, "salah alamat kali, lo" ucap Rafa santai, mendapat sentakan kecil dari Raina. Dia itu mencoba menghubungi nomor Arman berkali-kali, tapi selalu, layanan operatur terus mengatakan bahwa pemilik nomor itu tidak mengaktifkan nomornya. Raina mendegus kesal, tidak biasanya cowok itu hilang kabar. Di atas langit, awan mulai menebal, menimbulkan warna hitam yang mulai pekat. Menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Raina masih tetap berdiri di depan gerbang rumah Arman. Berharap laki-laki itu cepat kembali. Dia berusaha bersikap setenang mungkin, menghilangkan rasa khawatir yang datang secara tiba-tiba. Rasa yang begitu samar, tidak bisa ia jelaskan sendiri, seperti di hadang rasa takut dan curiga yang menyeruak secara kontan. "Udahlah, Raina. Paling tu cowok lagi pergi. Sampe kapan lo nungguin dia, kayak gini" ucap Rafa enteng. Ia merasa alergi, berada di depan rumah laki-laki yang tidak dia suka. "Udah deh, Raf. Kalau lo nggak iklas nungguin gua, mending lo pulang aja sono" jawab Raina ketus. Rafa hanya membalas dengan tatapan mata yang menyimpan kekesalan, cewek itu benar-benar terlalu menyebalkan. Kalau buka cewek itu bukan sahabatnya, Rafa pasti sudah melempar dia ke dasar samudra terdalam, agar tidak ada lagi cewek menyebalkan seperti dia di sentora bumi ini. Raina melihat beberapa ibu-ibu kompleks yang baru saja kembali dari pasar, membeli beberapa menu masakan untuk sang majikan nanti malam. Dengan antusias, Raina berlonjak mendekati ketiga ibu-ibu itu. Membuat mereka tersentak kaget seperti melihat arwah penasaran di siang bolong. "Mmhh, maaf buk. Ibu tau nggak? Yang punya rumah ini kemana?" entah Raina yang langsung ingin to the poin, ia lantas menanyakan poinnya. "Ohhh. Majikan si Lehaaa? Itu mah si Leha teman saya mbak" jawab itu dengan kontradiktif. Raina memicing mata masam, "Si Leha mah udah enak mbak, hidupnya. Soalnya majikannya pindah. Nggak tinggal disini lagi." "Haa? Pi--pindah? Maksud ibu?" tanya Raina waswas, "iyaaa mbak, pindah keluar negri. Si Leha di ajak, kan enak benar mbak, hidupnya." ibu itu mengerutkat bibirnya, kedua temannya hanya diam, melihat temannya yang sedikit terlalu lebay. Raina masih ternganga, tidak mungkin pemilik rumah itu pergi. "Ini rumahnya Arman kan?" tanya Raina memastikan, mendapat anggukan dari ibu itu. Rafa yang melihat perubahan wajah Raina langsung turun dari motornya, menghampiri Raina yang nyaris tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Kini ketiga ibu itu sudah pergi, tugas mereka masih terlalu banyak. Tidak akan cukup untuk membahas si ganteng Arman, anak kompleks yang sangat ramah. "Nggak, nggak. Arman nggak mungkin pindah kan Raf?" Rafa bingung ingin menjawab, lidahnya terasa kelu. Melihat Raina yang mulai kalap, dia segera membawa Raina pulang. Di perjalanan, Raina hanya bisa diam, menangis adalah cara dia berekspresi sekarang, membawanya terperosok pada pertanyaan yang tak ada jawaban. Apa salah dia? Kenapa?. Sampai di rumah, Raina masuk begitu saja. Rafa ikut berjalan di belakang Raina. Dia tidak mungkin membiarkan Raina sendiri, cewek itu benar-benar yang terlihat kacau. Rafa ikut tidak terima, Sahabatnya seperti dipermainkan. Bi Atik sedikit berlari dari dalam rumah, masih terdapat sisa-sisa air mata di pipinya, perempuan itu membuat Raina tersentak. "Non... Non, " panggil Bi Atik, dia memeluk Raina. Melanjutkan tangisnya disana, membuat Raina nyaris terjungkal. "Tuan sama nyonya" suara perempuan itu serak, Raina melepas pelukan itu, menatap Bi Atik tajam. "Kenapa?!" "Tuan sama nyonya kecelakaan. Pesawat mereka jatuh, sekarang mereka ada dirumah sakit" Bi atik terisak, kabar duka itu terlalu mengejutkan, majikannya itu terlalu baik, tapi kenapa, dia bisa mengalami hal seburuk ini? Air mata itu melocos begitu saja di pipi Raina, membasahi bagian yang belum sempat kering. apalagi ini? Kedua lutut Raina bergetar, ada yang menghantam dadanya begitu kuat, membuat dia kehilangan seluruh tenaganya, bagaikan nelayan yang terombang ambing di tengah lautan, tidak tentu arah menuju daratan. Raina menjatuhkan tubuhnya di atas ubin yang keras, melanjutkan tangisnya yang kini bertambah. Rafa yang melihat Raina menangis, menjadi tidak tega, lantas ia ikut berjongkok, membawa langsung Raina kedalam pelukannya, membiarkan Raina menangis di dadanya, isakan itu semakin keras di dengar. Membuat Rafa tidak bisa berkata apa-apa, semuanya ini datang secara bersamaan, Rafa hanya mampu mempererat pelukan, begitupun Raina, seolah saling menguatkan. Sekarang, Rafa dan Raina sampai di rumah sakit, begitupun bi Atik. Kini mereka berada di ruang jenazah, di sana Raina menangis meraung, memeluk jasad Tania yang sudah tak bernyawa, wajah perempuan itu pucat pasi, sedikit ada noda-noda darah dan luka memar di wajahnya, wajah yang dulu selalu memberikan senyum, kini menutup segala celah untuk memancarkan hangatnya sebuah senyuman itu. "Ibu... ibu bangun bu, ibu nggak boleh tinggakin aku. Ibuuuuu!!!" Raina meraung sekuatnya, dadanya serasa di himpit beban berat, tercekat. Baju seragam Raina tampak lusuh, dia sudah benar-benar sangat frustasi. Rafa yang melihat Raina seperti itu ikut menangis, melihat Raina yang rapuh seperti itu membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa ia lakukan, hanya terus berdiri di belakang Raina, siap menopang tubuh itu jika tumbang. "Ibu bilang sama aku, ibu cuman mau ke Lebanon. Tapi kenapa ibu ninggalin aku kayak gini?! Ibu, banguuuunnnn!" Raina berteriak, ruangan serba putih itu penuh dengan isakan pilu terdalamnya. Kenapa hari ini menjadi hari terburuk baginya? medapatkan dua kabar yang begitu menyakitkan, hingga ia tidak bisa mendefenisikan lagi, bagaimana perasannya saat ini. Arman pergi meninggalkannya tanpa alasan, tanpa pesan, sekarang tuhan ikut membuatnya kehilangan ibunya, kenapa takdir mempermainkannya begitu kejam? Solah semua penderitannya bagaikan samudra tak bertepi. Lamat-lamat ia panangi jasad Tania. Masih terasa pelukan hangat Taina beberapa hari belakangan, saat ibunya mendandaninya, menyisir rambutnya, menyentuh wajahnya. sekarang, dia sudah kehilangan segalanya. ini semua benar-benar tidak bisa Raina terima. Gadis itu tumbang, terlalu syok dengan kejutan yang telah tuhan berikan, Raina menjatuhkan tubuhnya begitu saja. "Raina!!" Rafa dengan sigap menahan tubuh Raina, membawanya pergi dari ruangan jenazah itu. Raina di bawa ke ruangan IGD, disana dia berbaring di atas Brangkar, masih dengan kondisi yang setengah sadar, kadang sempat mengigau memanggil ibunya di alam bawah sadar. Tubuh perempuan itu menjadi demam, nafasnya seolah tersedak-sedak, membuat dia harus membutuhkan alat bantu pernafasan. Suster yang jaga di IGD sudah memberikan Raina alat bantu pernafasan, selang oksigen kini tersemat di hidung Raina. Sediki-sedikit, nafas gadis itu mulai normal, sepertinya dia benar-benar sangat terkejut. "Makasih, Sus" Suster itu tersenyum ramah, dia kembali meninggalkan Rafa dan Raina di rungan itu. Kevin yang baru tiba di rumah sakit, langsung masuk keruangan Raina, setelah Rafa kabarkan. Dia masih belim percaya dengan kabar yang mengejutkan ini. "Raina gimana, Raf." Rafa mengarahkan dagunya kerah Raina yang berbaring tak jauh darinya. "Bokapnya gimana?" "Gua juga belum sempat liat, tapi bokapnya masih hidup kok" Kevin menelan air liurnya yang dirasa menjadi benda padat, sehingga menyulitkan tenggorokannya. Dilangkahkan kakinya mendekati Raina yang terlihat sangat kacau, sisa air matanya masih terlihat begitu kencata. Tangannya dengan lemas menyenyuh kening hingga rambut, Raina. "Baru tadi pagi, gua liat dia cerita banget." Rafa hanya mengangguk pelan, kondisi Raina seperti ini sangat menohok hati Rafa maupun Kevin, "cowok dia, mana?" "Cowok b******k itu? Dia gak bakal dateng!" jawab Rafa dingin. Hatinya ikut sakit, ikut merasakan kepedihan Raina yang di tinggalkan begitu saja. "Lo kapan baik nya si, sama si Arman" "Asal lo tau, dia pergi ninggalin Raina gitu aja, nggak bilang apapun. Coba lo bayangkan! hari ini, dia tau kalau Arman pergi ninggalin dia tanpa alasan, pindah keluar negri! dan sekarang dia juga harus nerima kenyataan kalau ibunya juga pergi untuk selamanya, gimana dia gak sampe kayak gini" ucap Rafa sesuai dengan faktanya, Kevin bembelalak kaget. Dia benar-benar terkejut, setaunya Arman sangat baik, dan tidak mungkin membuat Raina terluka begitu saja, "sumpah ya, itu cowok kurang ajar banget. Harusnya kondisi kayak gini, dia ada di samping Raina" Kevin mendesah resah. "Kebukti kan, cowok b******k itu cuman pingin mainin Raina." Kedua bibir Kevin mengatup rapat, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat hingga menimbulkan buku-buku, ingin melayangkan pukulan itu pada lelaki yang tidak punya hati seperti Arman. "b******k! Cowok itu bener-bener b******k! Sekarang dimana dia! Saat Raina butuh dia, dia malah pergi, b******n!!" mata Kevin berkilat-kita, ia benar-benar ingin membuat perhitungan dengan lelaki itu. "Ibu...." lirih Raina, kontan Rafa dan Kevin membuang muka ke arah Raina, dilihatnya gadis itu berusaha menegakkan tubuhnya duduk, "Rafaaa, Kevin, ya ampun... Gua mimpi buruk, buruk banget." ucap Raina dengan suara serak, kedua lelaki itu nya tersenyum samar, "gua mimpi Arman ninggalin gua, bokap sama nyokap gua kecelakaan, terus nyokap gua meninggal, sumpah. Buruk banget." Kevin mendesah resah lagi, bingung menjawab pertanyaan Raina, kedua lelaki itu tergugu lemah, serasa seluruh organ tubuhnya kehilangan fungsi, nyaris tidak bisa berkutik. "Rain, ini bukan mimpi." tukas Rafa pelan, dia memegang kedua bahu Raina lembut, membawa gadis itu kedalam pelukannya. Sontak, Raina mendorong d**a Rafa dengan telak. Mengenggelengkan kepalanya lemah, "maksud lo apa?!" tanya Raina dengan suara setengah membentak, Raina mulai sadar, ada yang aneh, ruangan ini bukan kamarnya, dan ada yang menempel di hidungnya, itu artinya... "Nggak.. nggak, ini nggak mungkin Raf, Vin. Gua cuman mimpi! Ayokkkk bangunin guaaaa!" Raina mulai mengamuk, "Raina! Berhenti kayak gini! Ini smua udah terjadi!" sentak Rafa kuat. Dia memegang keras kedua bahu Raina yang mulai menggelugut, perempuan itu sudah seperti orang gila. Sentakan itu berhasil membuar Raina terdiam, melanjutkan tangis pilu yang terdengar mengikis hati, air mata Rafa yang jarang sekali turun sekarang ikut jatuh bertetesan. Lelaki itu benar-benar teramat merasakan kepedihan, Raina. "Lo harus ihklas, kasian nyokap lo." Rafa memeluk erat bahu Raina, setengah mengelusnya, dia tahu saat ini Raina butuh penguatan. "Lo jangan bikin nyokap lo sedih, Rain. Belajar ihklas, karna itu satu-satunya cara, yang bisa lo tunjukin ke nyokap lo, kalau dia bisa tenang ninggalin lo." Raina masih belum mampu merespon, yang dia lakukan hanya menangis. Diluar, hujan turun dengan derasnya, entah tangis apa yang Raina lakukan, hingga mampu mengetuk pintu lagit, lagit-pun ikut menangis, menyaksikan kepedihan yang Raina rasakan. *** Raina menatap lamat-lamat batu nisan bertuliskan nama ibunya. Dia tidal pernah membayangkan, kehilangan sosok ibu untuk selama-lamanya, selama ini, dia sangat jarang mendapatkan belaian tangan ibunya, sekarang tuhan telah mengambilnya dari sisi Raina untuk selama-lamanya. Tapi, Raina masih bersyukur. Tuhan masih menyisakan nyawa ayahnya, cukup tuhan mengambil kakak, dan ibunya. Hanya, Rudi yang tania punya, satu-satunya keluarga yang masih tersisa. "Ibu tau nggak?, Arman ninggalin aku. Kalau ibu masih disini, pasti ibu bisa peluk aku. Dengerin curhatan aku, hapus air mata aku. Tapi, sekarang... Ibu..." ucap Raina sesak, ada sesuatu yang tak nyata menyerang dadanya, tapi mampu membuat d**a pengap. "Ibu tinggalin aku, ibu lupa? Ibu pernah janji sama aku, kalau aku menikah nanti, ibu bakal bikinin aku desain baju pengatin yang sangat cantik, ibu lupa sama janji ibu sendiri?" air mata Raina kembali jatuh bertetesan, tangannya yang gemetar kini bertengger dibatu nisan Tania. "Ibu kan desaigner terkenal, pasti bajunya bagus banget, bu." bahu perempuan itu kini naik turun, dia mulai menggelugut, pertahanannya goyah, tidak bisa menahan tangis yang semakin menyesakkan d**a. ibunya segalanya untuknya. Masih terbayang pesan sms yang dikirim Tania di malam -malam kemarin, sesuatu pesan yang ternyata pesan terakhir, megandung makna, kalau dia harus mampu sendiri. kenapa dia bisa tidak sadar? "Jadi, ini maksud ibu? Aku harus bisa jaga diri aku sendiri, aku harus nurut apapun kata bi Atik untuk kebaikan aku?" Raina tertawa Satkastis, "ibu salah, aku nggak bisa tanpa ibu, aku pingin berantem sama ibu, aku pingin berdebat sama ibu, nanti aku mau berdebat sama siapa? Ayah? Enggak mungkin bu, ayah udah beda, ayah nggak kayak dulu, ayah cuek. Mungkin karna aku anak gadis ibu, makanya ayah sungkan sama aku," Raina sudah seperti orang gila, kehilangan setengah kesadarannya. Rafa dan Kevin hanya bisa menatap Raina dengan iba, ikut menangis mendengar suara terpilu perempuan itu. "Sumpah, Vin. Gua nggak kuat liatnya." "Apa bedanya ,Raf. Andai aja, gua bisa bikin dia lupain kesedihannya. Pasti akan gua lakuin, demi dia." Setelah cukup lama berada di pemakanan, Rafa mengantar Raina pulang. sementara Kevin, kembali kerumah sakit, menemui Rudi yang dikabarkan sudah siuman. Raina sengaja dibawa pulang, kondisi gadis itu sering jatuh pingsan. Tidak memungkinkan jika harus kembali kerumah sakit. Di dalam kamar, Raina menatap foto Arman nanar, mengelus wajah laki-laki yang tersenyum ke arahnya, menimbulkan rasa nyeri yang teramat di ulu hati Raina. "Kamu bohong Arman, kamu pembohong..." isak Raina, "kamu bawa aku kedunia kamu, kamu yakinin aku kalau dunia kamu lebih indah dari dunia aku. Tapi setelah aku terjebak didunia kamu, kamu tinggalin aku sendiri. Dunia kamu terlalu asing buat aku, sampai aku sadar, ternyata dunia yang kamu bilang menyenangkan, lebih menyeramkan dari dunia yang aku punya, kamu udah bersandiwara, Arman.." tangis Raina lirih, telak dia melempar foto lelaki itu, hingga menimbulkan bunyi bising didalam kamarnya, dia menggosokan peunggungnya yang susah tak tegak disisi ranjang, memeluk lutuhnya yang bergetar. Benaknya kembali mengingat, kenangan-kenangan singkat bersama Arman, di saat seperti ini, dia membutuhkan sosok Arman, sebagai sumber penguatan. tetapi, lelaki itu malah hilang tanpa kabar, tidak ada perselisihan sedikitpun, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang salah di hari-hari sebelumnya. Bahkan, hari ini seharusnya merela houngout bersama, menelusuri kota Malioboro. Tapi, semua itu hanya fiktif belaka, laki-laki itu pergi tanpa memperlihatkan punggungnya. Rafa yang berdiri dibalik tembok, menggepalkan kedua tangannya. Memendam amarah yang datang secara tiba-tiba. Dia merasa sakit, melihat Raina yang menangis dan tergolek lemah karena lelaki yang tak bertanggung jawab itu. "b******k! Lo udah berani sakitin hati sahabat gua! Lo benar-benar b******n, Arman. Lo pecundang!" hidung Rafa kempang kempis, dadanya terasa panas, ingin menghajar laki-laki itu. Ada yang tidak bisa dia jelaskan, semuanya seperti amarah yang sudah lama terpendam, kini meledak dengan dasyat, membuat Rafa seolah ingin menghabisi nyawa laki-laki itu. **** ??? "Om berterima kasih sama kalian berdua. Kalau bukan karena kalian yang nemenin Raina, mungkin dia nggak bisa ngelewatinnya sendirian." pria itu tersenyum manis, sebagai ucapan terimakasih yang teramat, karena telah menjaga putrinya selama dia koma beberapa hari, setelah melakukan operasi pasca kecelakaan beberapa hari belakangan. Bibir pria itu masih terlihat pucat, rasa sakit di bagian kepalanya masih terasa sangat berdenyut, membuat pria itu tidak bisa bergerak banyak. Hanya ucapan terimakasih yang bisa dia lakukan sekarang, kepada dua pemuda baik yang selalu ada untuk anaknya. Dia berjanji, akan memberikan seluruh waktunya untuk anak gadisnya, mengacuhkan masalah pada perusahannya di negri Lebanon. Sekarang, dia akan memberikan apapun yang Raina butuhkan, termasuk kasih sayang yang penuh. Ulu hati Rudi terasa sangat nyeri, perempuan yang dia cintai selama 25 tahun kini sudah pergieninggalkannya untuk selamanya, meninggalkan titipan yang harus ia jaga. "Iya, Om. Raina itu sahabat kami. Jadi, udah sewajarnya kami menjaga dia." Raina baru saja tiba di ruangan Rudi. Kedua mata mereka kontan saling beradu, ada keharuan yang tersimpan didalam mata Raina, melihat pria itu sudah siuman dari komanya. Raina melangkahkan kakinya terseok-seok. Ingin segera memeluk pria itu, menangis kembali, tangis haru berbalut kebahagiaan "a..yahhh..." Raina kontan memeluk tubuh Rudi, menangis hari didada pria itu, tidak menyangka hari ini ayahnya kembali memeluknya. "Kemarin, kamu kemana? Kenapa mggak jenguk ayah?" Raina melepas pelukannya sejenak, "aku fikir mereka bohong, aku ngga percaya ayah udah sadar." Raina duduk di atas kursi, yang tersimpan disamping brangkar. Telak tangan Rudi yang masih memegang tangan Raina. Sekarang, bibir Raina jarang tersenyum, pancaran matanya redup, tidak ada kehidupan di dalamnya, semua tampak kosong. Sejak kejadian kemarin, telah mengubah drastis hidup Raina, memporak porandakan hidupnya tanpa jeda. Menurunkan hujan yang membuatnya mengangis sendiri, menahan hawa dingin tampa pelukan tangan hangat. Pria muda berjas putih itu memasuki ruangan rawat Rudi, dia datang untuk mengecek kondisi pasien pasca operasi, semua normal, tidak ada yang harus di khawatirkan, awalnya operasi yang di anggap gagal, saat tak di temukan detak jantung pada Rudi, tapi itu tidak berlangsung lama, setelah 20 detik, jantungnya kembali merespon, seolah ke inginan hidupnya terlalu kuat, membayar hutang dibumi yang harus ia emban. "Kondisi Bapak semakin membaik. Bapak tidak merasakan, mual ataupun keluhan lain?" tanya lelaki itu pelan, dia menempelkan stetoskop di d**a Om Rudi. Rudi menggeleng pelan, "tidak dokter, hanya saja, kepala saya sedikit terasa berat." "Itu hal yang wajar pak. Nanti, saya akan berikan obat untuk Bapak." "Terimakasih, Dok" Dia mengangguk ramah, menatap ketiga keluarga pasiennya secara bergantian. "Yasudah, saya masih ada pasien yang harus saya cek." Detik selanjutnya, ia melangkahkan kakinya, meninggalkan ruangan Rudi, setelah sebelumnya mendapat anggukan dari Rafa dan Kevin sebagai respons. "Lo liat kan? Gua nggak bohong sama lo, Rain." "Iya, sorry.." lirih Raina pelan, sangat pelan. Nyaris tidak terdengar, sifatnya mendadak benar-benar berubah total, dingin dan sangat cuek. Biasanya, saat Rafa selalu mengejeknya, cewek itu tidak pernah diam, dia nyaris tidak akam berhenti berceloteh, membalas semua ocehan Rafa yang sangat tidak berbobot. Ada yang aneh. rasanya, Rafa bnar-benar sangat merindukan Raina yang dulu, meski sangat menjengkelkan, tapi cewek itu selalu bahagia di dunianya. *** Pagi itu, awan kembali terangkai dengan warna putih yang sempurna. Sang raja siang mulai memancarlan sinarnya, menyilaukan sentero dunia. Kicauan burung nan merdu, kini mulai bergantian. Dikalahkan dengan deruman mesin kenderaan, sebagai pertanda, bahwa kehidupan bumi, kini sudah kembali dimulai. Langkah Raina terhenti digerbang sekolah, tempat itu seolah menjadi daya tarik tersendiri baginya. Dulu disana, adalah awal matanya menangkap sosok Arman, lelaki yang menjadi sosok misterius di hidupnya, hingga akhirnya, ia jatuh pada cinta yang salah. Cinta yang hanya datang sesaat, memberinya rasa manis yang teramat sampai akhirnya menimbulkan penyakit yang tak pernah ada obatnya. Hingga sakit itu, masih terasa kentara hingga saat ini. 'Aku percaya, didunia ini banyak orang baik. Memberikan cinta untuk pasangan yang dia sayangi. Tapi, yang bersunguh-sungguh, aku masih meragukannya' Raina membatin sendiri, sekelebat bayangan muncul begitu saja di otaknya, mencoba mendobrak ingatan yang sudah di tutup rapat. Tidak ada lagi gunanya mengingat kisah yang hanya membuat penyakit hati, percuma. Orang yan dirindukanpun telah leluasa membabi butakan hatinya, terhenyak pada dasar bumi terdalam. Raina membuang pandangannya kebelakang, didalam mobil Rudi duduk di kursi kemudi, dia tersenyum bangga menatap Raina. Semenjak katian Tania; ibu Raina, Rudi lebih banyak habiskan waktunya bersama Raina. Berusaha membuat putrinya terus tersenyum, membayar luka dengan kebersamaan yang akan dia lakukan sampai kapanpun. Bagi Raina, pria itu adalah satu-satunya lelaki yang tak pernah mematahkan hatinya, lelaki yang paling berjasa dalam hidupnya, baginya, ayah adalah segalanya. Dia tidak bisa lagi mendefenisikan bagaimana hidup didunia jika pria itu direnggut dari sisinya. Selanjutnya, Raina melangkah masuk, menelusuri koridor sekolah yang terasa sepi. Ini aneh, padahal lorong panjang itu terlihat sangat ramai, bahkan tubuh Raina sempat bertubrukan dengan beberapa siswa lainnya.Tapi, hatinya tetap merasa sepi, sepi yang tidak bia ia jelaskan dengan rinci. "Raina?!" Gadis itu terhenyak, saat sebuah tangan berhasil mengamit tangannya. Kontan, ia menatap tangan yang terlebih dahulu menggenggam tangannya. "Lo kenapa?" "G..gue, gak apa-apa. Kevin mana?" Rafa tertawa "malah nanyain Kevin, kayak gak tau aja. Ya sama ceweknya lah." rancau Rafa, Raina hanya tersenyum sebagai respons. "Kekalas yuk?" "Iya..." Wajah Rafa membersut, ada rasa kecewa yang menyentil hatinya. Padahal, dulu, setiap kali bertemu mereka selalu menjadi objek yang paling heboh. Terlebih jika Rafa menggenggam tangannya seperti itu, Raina akan tersentak, dan mencecar Rafa dengan ambigu wajah menantang. Sekarang, semua berbeda, sangat berbeda, membuat Rafa merasa menjadi orang asing. Dalam hati Rafa ada yang membuatnya selalu terperosok pada pertanyaan yang tak ada jawaban, ada keinginan yang datang secara tidak sengaja. Keinginan untuk merubah Raina kembali seperti dulu, dan keinginan untuk memiliki. Memiliki? Untuk apa? Semuanya terasa begitu samar, Salsa yang berada di dalam kelas menunggu dengan harap-harap cemas, dia sudah mendengar, hari ini Raina akan kembali kesekolah. Setelah hampir satu bulan, ternyata Salsa merindukan sosok Raina, perempuan yang selalu menjadi lawan bicaranya, mengeyampingkan amarah yang bersarang di rongga hatinya. Cewek itu sudah kehilangan orang ibunya, dan Salsa tau, itu adalah hal yang paling menyakitkan, hatinya menjadi ciut, rasanya ingin menghibur Raina, semampunya. *** Om Rudi sudah berada di kantornya, mengumpulkan seluruh karyawan-karyawan, ada hal penging yang harus dia sampaikan. Ini sudah menjadi keputusannya, "untuk sekarang, saya akan memilih bekerja di rumah. Kalau ada file-file penting, data-sata keuangan perusahaan, kirimkan ke saya lewat email. Dan mulai hari ini, saya akan mengangkat Arfa, sebagai di rektur pengganti saya. Saya yakin, keponakan saya ini, tidak akan mengecewakan saya." lantang Om Rudi lugas, dia menepuk bahu Arfa bangga. Arfa masih tergugu, ia tidak menyangka, akan diberikan tanggung jawab yang berat. Meski sudah lama berbagung di perusahaan Om nya sendiri. Tetap, sia masih merasa canggung dan tidak pantas untuk duduk menggantikan Om Rudi. "Tapi, om. Saya rasa, om tidak perlu menyerahkan jabatan om ke saya, aaya tidak pantas om." "Arfa, kamu itu keponakan saya. Dan kamu pantas membantu saya. Ohh tidak, maksud saya dunia kerja kamu adalah karyawan saya, dan saya adalah atasan kamu, jadi.. Anggap ini sebagai perintah." pria itu tersenyun hangat, dia yakin, perusahaannya akan semakin berkembang, jika di pinoin oleh Arfa, lelaki itu memang masih terbilanh lebih muda, tapi pengetahuannya jauh lebih canggih. "Memangnya, kenapa? Om tiba-tiba meminta saya untuk menggantikan om? Lalu, bagaimana dengan perusahaan yang di Lebanon?" tanya Arfa dengan wajah tak mengerti, "om sudah memutuskan, akan menutup perusahaan disana. Tidak ada harfanya jutaan dolar sekalipun, sekarang. Om hanya ingin fokus pada Raina, om tidak ingin dia merasa kehilanga segalanya." Arfa mengangguk mengerti, sudah lama dia tidak melihat Raina, terakhir ketika gadis itu masih duduk di bangku SMP sementra dia sibuk mengurus skripsi kuliah, masih membayang kejadian beberapa tahun silam, saat gadis itu sangat jail mengerjainya, menyembunyikan hasil-hasil laporannya, membuatnya nyaris membuang satu tahun masa kuliahnya, san sekarang. Dia sudah tumbuh menjadi gadis remaja. "Baiklah Om, saya akan berusaha semaksimal mungkin." Om Rudi kembali mengangguk, ia cukup lega, menyerahkan perusahannya kepada anggota keluarga jauh lebih baik dari pada menyerahkan pada orang lain, andai saja anak lelakinya masih hidup, mungkin saat ini dialah yang akan mengurus perusahannya. Tapi sayang, istri dan anak lelakinya sudah bahagia di atas sana, berkumpul bersma para bidadari surga dan nabi-nabi. "Kalian setuju kan?" tanya Rudi dengan telak, memandang para karyawannya secara bergantian, mereka saling mengangguk, sebagai respons bahwa mereka sangat setuju, Arfa terkenal cukup baik, ramah dan mau bergaul dengan karyawan lain, wajahnya tidak hanya tampan, tetapi, hatinya juga sangat baik, dia perduli dengan semua orang yang membutuhkan bantuan, pria itu juga taat beribadah, menbuat perempuan yang memilikinya kelak, sangat beruntung. "Kami setuju pak, pak Arfa pantas menjadi pimpinan di berusahaan ini." jawab salah satu karyawan dengan bangga. Rudi tersenyum, semuanya tidak ada yang keberatan, itu artinya, Arfa kini resmi menjadi direktur, untung menggantikannya. ** "Sorry, Rain. Gua nggak bermaksud buat doain yang jelek-jelek waktu itu, gua bener-bener nggak nyangka, kalau Arman bakal ninggalin lo gitu aja." keluh Salsa, dia sudah bercerita banyak dengan Raina, dan sekarang ke akrapan mulai terjalin di antara keduanya, "nggak apa-apa kok, Sal. Mungkin emang jalan cinta gue yang nggak mulus kayak jerawat." Raina tertawa Sarkastis, sangat hambar, dan terlihat kaku. "Kalau dia ninggalin gua, gua paham, tapi kalau dia ninggalin lo tanpa perdebatan kayak gitu, gua rasa... Mungkin dia emang bukan cowok yang baik." Salsa berasumsi tepat. "Humm..." "Lo tenang aja, kita lupain laki-laki itu, kita pernah menyayangi laki-laki yang sama, sekarang, kita saling ngisi satu sama lain, sorry kalau gua selau bikin lo jengkel, lo juga yang bikin gua jengkel, tapi.. Sekarang, kalau kita bersahabat, kayaknya gak ada yang salah kan?" "Sahabat?" kedua alis Raina menyatu, selanjutnya bibir Raina melengkung, sebagai pertanda kalau dia sangat setuju "jadi, gua ngga punya musuh lagi dong?" "Ck... Musuh rasa sahabat, gua rasa lebih enak dehh, haha." "Okeh... Sahabat rasa musuh," Keduanya kembali terawa, sangat akrab. Dari kejauhan, Rafa menatap kedua dari kejauhan. Sekarang, Rafa mencabut semua ucapannya yang pernah dia lontarkan, tidak akan pernah mencintai Raina, nyatanya sekarang, setelah hampir menghabiskan waktu bersama membuat Rasa aneh muncul tanpa disengaja, nyatanya sekarang, dua jatuh hati pada sosok seorang Raina. Ya Rafa sudah menemukan jawaban dari pertanyaan yang bersarang di otaknya, dari google, orang-orang yang memiliki pasangan, semua jawabannya sama 'Rafa sedang jatuh cinta, Rafa mencintai Raina' "Gua tau, gimana perasaan lo sekarang ke dia." Kevin datang secara mendadak, seperti jelangkung , yang muncul tanpa mendapat undangan, gara-gara Kevin, jantung Rafa nyaris melompat keluar "Nggak usah sok, Lu." Rafa gemas sendiri, menurutnya Kevin pantas menjadi seorang perempuan, dia tidak cocok menjadi seorang lelaki, karena mulutnya begitu kontra dengan jenis kelaminya. "Mending lo, jadi cewek aja. Mungkin lo salah jalan kali, atau jangan-jagan lo punya kelamin ganda? Omaygod!" Rafa berwajah Shock, kedua tangan dia tempelkan di kedua pipi. Membuat Kevin bergedik jijik. "Sok iya, lu mbing!" Tangan Kevin terkepal, nyaris menonjok wajah Rafa, tapi, tangan itu hanya mengantung di udara, itu hanya sebagai sentakan, tidak bermaksud untuk untuk menyakiti. "Untung seribu untung lo temen gua, kalau kagak, gua udah bantai lo." "Emang gua takut? Jangan mentang-mentang badan lo gede dari gue, gua takut ya!" tatang Rafa dengan wajah menantang, menatap Kevin dengan tatapan permusuhan, kedua matanya menyipit kecil, tapi sayang, itu tidak berpengaruh apapun, Kevin sepertinya benar-benar ingin di ajak ke ring tinju, membuat wajah cowok itu babak belur, karna dia sudah berhasil membuat Rafa berada pada emosi tingkat tinggi. Baiklah, sepertinya memang. Ini sudah menjadi cobaan bagi Rafa, setelah otak Raina normal, dia harus meruqiyah Kevin, agar jin perempuan yang menempel di mulutnya segera keluar, meninggalkan badan Kevin agar dia kembali normal. "Oh? Jadi lo nantangin gua?" Tanya Kevin bengis, matanya berapi-api, enggan kalah dari Rafa. "Kalau iya lo mau apa?, jadi lo sekarang mau dudukin prestasi Raina? Nggak nggak mau kalah sama gua!" "Eh! Lo itu pencinta jomnlo! Harusnya loe itu ciba denh ngaca di ceemin yang gedek, lo amati baik baik, kenapa idup lo nggak lepas-lepas dari status jomblo? Karna lo jelek, alias ngga laku." Kevin tertawa, dia merasa puas telah berhasil mengejek Rafa, dan itu artinya, dia harus terima kekalahan. "Oh ya? Di luar sana! Tanpa lo tau, banyak cewek yang ngantri, ngejer-ngejer cinta gua!" kedua tangan Rafa di lipas di atas perut, memperlihatkan wajah sok laku. "Ngantri ngejer cinta, apa ngantri nangih utang?" Kevin mencibir, kontan membuat kedua bola mata Kevin membelalak, nyaris keluar dari sarangnya. Kevin benar-benar suda kertelaluan, penghinaannya benar-benar menohok hati Rafa. "Gua sumpahin! Lo di putusin sama cewek lo lagi!" Rafa berbalik, meninggalkan Kevin yang masih membatu di tempat, dia baru saja merayakan Anniversay yang pertama, dan tidak logis hafus putus lagi. Tiba-tiba wajah Kevin membersut sedih, dia tidak lagi betah menjomblo, bisa-bisa dia tidak punya alasan lagi untuk menang dari Rafa. **** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD