Raina mengeluarkan semua isi lemarinya, baju-baju mewah nan bermerek itu berserakan secara bebas, di atas ranjang bermotif putih tanpa corak miliknya. Cewek itu menggerutu kesal, menyelipkan rambut hitam miliknya di daun telinga dengan kesal. Semua baju menurutnya tidak terasa cocok, tidak ada baju yang membuatnya menjadi tampil sempurna.
Tania yang sejak tadi berdiri di lawang pintu, terkekeh pelan, dia menggelengkan kepalanya gemas, melihat anak gadisnya yang tampak kesulitan ketika ingin tampil cantik.
Tania membawa langkah kakinya mendekati Raina, duduk di pinggiran ranjang, mengambil dress merah milik Raina.
"Kamu itu, nggak usah berantakin kamar kayak gitu. Kasian bibik kan, beresinnya"
Raina menghela nafas pendek, menatap Tania dengan ekspresi datar.
"Ibu, plis deh Bu. Sekali aja gitu, ibu bantuin aku? Di bikin kek anaknya tampil cantik, ini ibu malah omelin aku"
"Loh? Omelin gimana, Rain?"
"Duh, ibuku sayang. Bisa ngga ibu sulap aku jadi princess gitu? Jadi putri cantik? Ini Diner pertama aku, Bu. Sama Arman"
Tania mengangguk paham, bibirnya menungingkan senyuman melihat ekspresi Raina yang di anggap berlebihan, ke dua mata anak gadis itu berkilat-kilat, tak terlihat lingkaran hitam pada bola mata bening miliknya, Tania tahu, dia sering melihat di TV-TV gaya berbicara anak muda jaman sekarang memang seperti itu, sampai anak gadisnya pun ikut memperagagan tingkah seperti orang yang terserang penyakit ayan.
"Nggak usah pake baju yang ribet, pake aja yang simple. Kalau kamu pakek nya yang seksi-seksi, nanti kamu kayak tante-tante"
Raina membuka mulutnya lebar, membentuk huruf 'O' . mengalihkan pandangannya pada Tania, menatap Tania dengan bibir yang mengerut.
"Jadi, maksud ibu. Muka aku ini boros? Aku kayak tante-tante. Astagaa, Raina yang secantik ini mana mungkin kayak tante-tante" cerca Raina, Tania tertawa terpingkal. Dia menggelengkan kepalanya, anak perempuannya sudah tumbuh dewasa, tanpa dia sadari ini adalah saat dimana dia harus menjadikan Raina sebagai sahabat. Tania berdiri mendekati Raina, di tangan Tania tersimpan dress merah polos tanpa motif.
"Pakai ini aja, yakin deh sama ibu"
"Tapi ini jelek, Bu"
"Engga jelek kok. Ini lebih cocok sama kamu, buruan ganti, katanya mau di sulap"
Raina mengangguk, mengganti baju yang dipilihkan Tania. Sekarang Raina duduk di depan cermin, matanya memicing geli, bulu kuduknya serasa berdiri, saat benda-benda yang tidak dia tahu namanya menyentuh pipinya. Tania tampak mahir, dengan waktu sekejap make up tipis yang natural berhasil membuat Raina tampak cantik, warna lipstick yang sesuai dengan bibirnya serta bedak yang senada dengan kulitnya, tampak cerah dan tidak terlihat berlebihan.
Raina menatap pantulan wajahnya didepan cermin, sedikit kaget dengan penampilannya, rambutnya yang kini ikut di tata rapi semakin membuat penampilannya menjadi sempurna.
"Ibu... Ibu bener-benar bisa dandanin aku " Tanya Raina kepada Tania, yang haya di balas dengan seyuman. Tania senang bisa melakukan ini, baginya ini adalah moment yang paling langka terjadi, jadi sebisa mungkin dia akan membuat Raina merasa senang.
"Siapa dulu, ibu kan jago"
"Ihhh coba aja ibu sering-sering gini, kan kita gak perlu ribut"
"Gak apa-apa, ribut asalkan gak ada amarah dan dendam kan?" tanya Tania, Raina hanya mengangguk.
"udah yuk, kita kebawah"
Tania dan Raina keluar dari kamar, menuruni satu persatu anak tangga. Di sofa ternyata Arman sudah menunggu, cowok itu duduk bersama Rudi, menjalin obrolan kecil sehingga menimbulkan gelak tawa di ruangan itu.
Arman mengarahkan kelapalanya, matanya menangkap sosok Raina yang tampil sempurna, membuat Arman sedikit pangling. Penampilan cewek itu... 'Ahh perfect'
Raina tersenyum malu, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, membuat tubuh ya sedikit gemetar, terlebih tatapan Arman yang seolah memanah hatinya.
"Om, saya bawa Raina ya. Saya janji bakal balikin dia dalam keadaan utuh"
Radi mengangguk mantap, dia sangat percaya, kalau Arman mampu menjaga Raina, anak laki-laki seperti Arman jarang ditemukan. Dia berani membawa anak gadisnya keluar dengan sopan, meminta izin tanpa harus membawa anak gadisnya secara sembunyi-sembunyi.
Arman dan Raina saling tersenyum manis, berjalan keluar rumah, menaiki motor Arman yang kini meleset jauh meninggalkan perkarangab rumah Raina.
***
Dirumah mewah bernuansa putih itu, terlihat sosok Salsa yang berjalan lunglai.
Langkahnya terseok-seok memasuki kamar, hati dia benar-benar terasa sakit.
Dia menangis meraung-raung, menyandarkan punggungnya di dinding kamar. Bahunya naik turun, hatinya benar-benar terasa sangat sakit. Kini dia menggesekan punggungnya yang sudah tak teggap itu, menjatuhkan tubuhnya ke atas ubin begitu saja.
Isakan kecil terdengar begitu kentara dari mulutnya, membawa luka pilu yang teramat pedih.
Hatinya sangat sakit, orang yang sudah membuatnya kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya bisa hidup bahagia begitu saja, bersenang-senang tanpa beban, sementara dia, dia menjadi anak yang paling menderita, saat dia masih belum sanggup kehilangan kedua orang tuanya, saat dia tau kenyataan yang tak pernah sejalan membuat dadanya semakin sempit, mengingat beberapa fragmen yang masih melekat di otaknya.
Tadi siang dia dan tantenya pergi ke subuah caffe shop, di tempat itu dia tahu siapa yang sudah menyebabkan semuanya. Laki-laki dan perempuan yang tidak punya rasa kasihan itu membuatnya harus menanggung nestapa bertahun-tahun.
Di salah satu meja Salsa dan tantenya duduk, menatap tajam ke arah dua insan yang terlihat sangat bahagia.
"Dia yang udah bikin mamah sama papah kamu meninggal, Sal" Ruri menatap mereka dengan tatapan antipati, merasa marah melihat mereka yang tidak punya rasa bersalah.
"Dulu, orang tua kamu sama mereka bersahabat. Apapun selalu papah kamu lakukan buat mereka"
"Saat itu kondisi papah sama mamah kamu masih susah, kamu tau kan? Saat itu mamah kamu mau melahirkan adik kamu? Papah kamu mencoba pinjem uang sama mereka, tapi mereka nggak bisa pinjakin uang itu, mereka bilang anak mereka kritis dirumah sakit, lagian apa susahnya? Pinjamin uang yang gak seberapa itu? Sampai akhirnya mamah kamu nggak ketolong, mamah dan adik kamu meninggal, dan semenjak itu papah kamu sakit-sakitan, kepergian mamah kamu membuat dia kehilangan semangat hidup, sampai dia harus meninggal" ucap Ruri sesak, dadanya serasa di himpit beban berat, air matanya jatuh menetes andaikan waktu itu dia sudah bekerja pasti dia yang akan membantu kakak laki-laki nya itu, tapi sayang waktu itu dia masih ber umur 17 tahun dan belum bisa membantu, sejak kejadian itulah dia harus bekerja membanting tulang untuk keponakannya Salsa, menjadi ibu pengganti untuk keponakannya.
Salsa mengepalkan tangannya, emosinya naik serasa tak terkendalikan, ingin berteriak memaki manusia tak berhati itu, menatap kedua orang itu dengan tatapan yang berapi-api.
Salsa menjenggut rambutnya, mengatup rapat-rapat kedua giginya, nafasnya memburu, matanya memanas mengeluarkan cairan bening kembali. Dia tahu siapa yang harus membayar itu semua.
"Lo harus bayar perbuatan orang tua lo!"
Isakan terpilu kembali menyelimuti ruangan kamarnya, Salsa melepaskan tubuhnya tidur begitu saja di atas ubin yang dingin.
Otaknya berputar tanpa disuruh mengembalikan memory yang masih sempat teringat di benaknya.
"Papah, aku engga sabal deh sebental lagi punya adik. Adik aku halus laki-laki ya Pah, bial bisa nanti gendong aku, kaya papah gendong aku"
Suara cempereng Salsa membuat Alvin tertawa, putrinya sangat bawel, dia begitu perhatian dengan calon adiknya selalu mencium perut Titi dan mengelusnya.
"Kalau adiknya cewek gimana sayang?"
"Yaa gak apa-apa kok mah, kalau cewek adiknya halus cantik kayak aku" Salsa bersedekap d**a, sangat percaya diri dengan setiap apapun yang dia ucapkan.
"Hahaha anak, papah sama mamah emang pinter"
Alvin menciumi pipi Salsa berkali-kali, membuat Salsa kegelian karena kumis tipis milik Alvin, gadis kecil itu memelik dan tertawa merasakan betapa bahagianya dalam pelukan sang Ayah.
"Salsa kalau udah gede mau jadi apa?"
"Mau jadi Altis pah"
"Wah? Artis? Kok gitu"
"Kan bisa masuk TV pah" jawab Salsa denga polosnya, menatap Alvin dengan wajah yang datar.
"Emang Salsa bisa acting?"
"Bisaa pah, Salsa bisa ating kaya bawang melah, pah. Malah-malah gitu"
Alvin kembali tertawa renyah, anaknya itu benar-benar sangat polos
"Bukan ating sayang tapi Acting"
"Iya pah, maksud Salsa ating"
Titi dan Alvin kembali tertawa, anaknya itu selalu bisa membuat suasana menjadi hangat.
Ruri yang berdiri di lawang pintu tak mampu melihat kondisi Salsa yang ternyata serapuh itu, yang dia tau Salsa adalah gadis yang jarang menangis, bahkan dia bisa di bilang sedikit antagonis, dia sangat cerewet
"Maafin tante , Sal." lirih Ruri dari jauh, tangannya seolah jauh untuk menggapai Salsa, membawanya keladam pelukannya, menghentikan tangisnya yang tak tertahankan.
---
"Makasih ya, Man. Pokoknya malam ini aku seneng banget"
"Sama-sama pacar"
"Kamu itu bener-bener selaku bikin aku bahagia, Man. Kamu itu satu-satunya orang yang selalu bikin aku bahagia dan selalu ada buat aku"
Arman tersenyum, dia menggelengkan kepalanya, menurutnya Raina terlalu berlebihan.
"Nggak, Rain. Kamu salah, kebahagiaan itu kita yang tentuin. Bukan orang lain, kamu bahagia karna diri kamu sendiri, kamu yang menerima aku sebagai cowok kamu, dan kamu ciptain bahagia kamu sendiri bukan aku"
Raina berdecak lidah, kata-kata Arman selalu menyentil hatinya , menggelitik secara agresif membuat perut Raina menjadi geli.
Suasana restorant itu memang sangat ramai, tapi bagi Raina di tempat ini dia tetap merasa berdua dengan Arman.
"Kamu mau denger gak?"
"Humm?"
Arman sedikit menajukan tubuhnya menyimpan mulutnya di telinga Raina.
"Malam ini, kamu bener-bener cantik" ucap Arman, dan di balas senyuman penuh arti di bibir Raina, seperti dikelilingin Euforia, rasanya Raina ingin terbang melayang kelangit tinggi.
Selanjutnya sesuatu nan hangat mendarat di pipi Raina, membuat sekujur tubuh Raina menegang kaku, Raina membulatkan kedua matanya, masih belum percaya dengan kejadian beberapa detik yang lalu, Arman menciumnya? Oh, Raina benar-benar ingin pingsan dibuatnya.
Cewek itu ingin berteriak kencang, tapi entah bagaimana tiba-tiba suaranya mendadak hilang, seolah tak mampu berkutik bahkan hanya untuk sekedar mengukir senyum, semuanya benar-benar terasa kaku.
"Nggak usah kikuk"
"Ahh"
Arman tertawa, matanya bisa melihat jelas tangan Raina yang bergetar, membuat Arman gemas sendiri, baru pertama di cium cewek itu sudah gelagapan.
"Ternyata seorang Riana gitu ya? Kalau di cium?"
"Ihhh Arman"
Suasana malam itu benar-benar menjadi momen terindah di sepanjang hidup Raina, akhirnya setelah melepas masa jomblo yang terbilang akut, dia bisa merasakan moment seperti ini, merasakan Diner bersama lelaki pujaan hati, Raina berjanji tidak akan melepaskan Arman, dia siap pasang badan jika ada cewek centil yang berusaha mendekati Arman, terlebih menjaga Arman dari Salsa, perempuan yang selalu menjadi penguntit dalam hubunganya dengan Arman.
"Oh iya, tadi Rafa datengin aku"
"Rafa? Kok bisa"
"Iyaa, dia minta aku putusin kamu ?"
"Apa? Terus kamu mau?" pekik Raina, mengundang pengunjung Restoran menatap ngeri pada Raina.
"Ya enggak lah, kalau aku penuhi permintaan dia, mana mungkin kita disini? Lagian aku juga gak mungkin kan putusin kamu gitu aja. Aku udah bawa kamu ke dunia aku, dan aku gak akan mungkin biarin kamu sendiri di dunia aku"
"A--aku ngga tau harus bilang gimana lagi, Sayang. Yang jelas aku bener-benar beruntung punya kamu. Kamu itu baik"
Arman menggenggam tangan Raina, mengelusnya pelan.
"Aku juga"
----
***
???
"Aduhh, Kevin. Lo itu kenapa sih? Jangan bikin gua bingung lo kenapa?" tanya Rafa heran, Kevin hanya membuang wajahnya, enggan menatap wajah Rafa. Hatinya benar-benar terlalu patah, Dia benar-benar sedang galau tingkat akut. membuat ia malas untuk membuka suara.
"Eh, k*****t. Lo kalau di tanya jawab kek, nyaut dong!" Rafa memprotes, Rafa kesal sendiri, melihat Kevin yang tak kunjung bercerita.
"Ck, lo jadi temen nggak ada lembut-lembutnya lo. Gua baru putus sama cewek gua!"
Rafa membeliak kaget, pengakuan yang tercetus dari mulut Kevin barusan benar-benar di luar ekspetasi, dia tidak percaya, Kevin mempunyai seorang perempuan. Padahal, setaunya, cowok itu paling susah untuk berkomunikasi dengan seorang gadis, apalagi untuk berkencan, hingga mengungkapkan perasaan hati. Bagaimana caranya?
"Lo, punya cewek?" tanya Rafa menginterogasi. Kevin hanya menunjukan ekspresi datar, wajahnya benar-benar khas seperti seorang frustasi tingkat tinggi, rambut gondrong cowok itu, ikut berantakan, sudah persis seperti preman pasar yang gagal memalak mangsanya.
"Oke-oke, kok lo nggak pernah cerita sama gua? Kalau lo punya cewek?"
"Gimana gue mau cerita? Orang gua pacaran belum sehari aja, udah putus." Kevin berekspresi cemberut, ingin bertetiak, tidak mungkin, itu terlalu alay, berekspresi menangis? Lebih tidak mungkin, Rafa bisa mencaci dan mencecarnya dengan suka rela.
"Loh kok bisa!" Tanya Rafa heran,
"Lo tau kan? Salah satu genk pink, anak kelas 10 itu. Gua barusan aja nembak yang namanya Anissa, tapi si ketua genk yang bahenol itu, minta si Anissa buat putusin gua, dan dia mutusin gua gitu aja?! Lo tau gak? Seberapa gede nyali gua buat nembak dia? Gua sampe tahan kentut! Saking gak kuatnya gua ngomong sama cewek. Tapi, karena gua benar-benar suka, gua rela lakuin itu, lawan ketakutan gua! Tapi, cewek sinting itu malah bikin semuanya hancur" celoteh Kevin tak tertahankan, dalam hitungan jam, cewek gila itu sudah berhasil, merubah status pujaan hatinya menjadi seorang mantan. Rafa tertawa sarkastis, ternyata Kevin sendiri yang menyukai salah satu cewek dari genk norak itu, dan itu artinya, Kevin bertemu pepatah s*****a makan tuan.
"Lo kenapa malah ketawain gua?!" tanya Kevin menatap begis pada Rafa, bukannya ikut membentak, cowok itu hanya memblas dengan senyum tipis.
"Lo lupa? Lo sendiri yang ngotot, bilang kalau gua bakal jadian sama salah satu cewek cabe itu, nyatanya lo sendiri yang suka sama mereka."
"Bukan mereka, tapi Anissa doang!" bantah Kevin mengingatkan.
"Ya sama aja, dan sekarang terbukti, lo yang doyan sama cewek begitu" Rafa bersedekap d**a, engan kalah berdebat dengan Kevin. Rafa merasa kalau dia tidak pantas di salahkan, dan itu sebabnya, yang harus disalahkan memang Kevin, dia yang mengagumi orang yang pernah di anggap sebagai cewek yang menjijikan.
Kevin memilih diam, dengan suasana hati yang kontra, tidak mungkin dia meladeni Rafa yang berbicara menyaki hati, perdebatan yang akhirnya hanya akan merugikan keduanya.
"Coba aja ada, Raina. Pasti dia yang bakal bikin hati gua tenang, nggak kayak lo. Yang bikin suasana hati makin panas."
"Loh? Kok lo jadi bawa-bawa Raina? Ya kali. Dia noh sibuk sama cowok nya. Jadi, lu gak usah ngarep lagi di perhatiin sama dia."
Bibir Kevin kembali mengerut. Curhat dengan Rafa tidak menemukan solusi apapun, cowok itu justru malah makin menyorakinya.
***
Di dalam kamar, Raina uring-uringan di atas ranjang, sibuk membolak balik tubuhnya ke kiri dan kenanan, ucapan Salsa tadi siang benar-benar telah berhasil mengusik ketenangan hidupnya. Masih belum mengerti, semua ancaman perempuan itu berhasil menyentil hatinya. Ada rasa takut yang tidak bisa ia jelaskan. Raina merasa, perempuan itu tiba-tiba berubah menjadi monster yang paling menakutkan, dalam hidupnya.
Raina menggelengkan kepalanya, mencoba tenang dan membuang jauh-jauh rasa khawatir yang berlebihan. Kata-kata itu masih terdengar jelas di telinganya, membuat Raina memicingkan matanya masam, sedikit ngeri. Otaknya kembali memaksa, mengingat kejadian tadi siang, di Sekolah.
'Lo nggak usah bermimpi deh, jadi seorang putri. Karna, hidup lo yang lo anggap bahagia itu, bakal hilang dari hidup lo. Gua pastiin itu, lo belum tau siapa gua, dan gua bisa dengan mudah dapetin Arman kembali.'
Raina berdecak lidah, menurutnya perempuan itu terlau percaya diri, menganggap dirinya yang paling mampu mendapatkan apa yang dia mau, dan menurut Raina itu hal yang wajar, karna setiap orang berhak untuk bermimpi. Tapi, Raina berjanji, tidak akan pernah ingin melepaskan apapun yang telah dia miliki, jika sampai Salsa mengambil Arman dari sisinya, Raina berjanji, segala sisi baiknya akan sirna sekejab, mengubakan menjadi wanita jahat yang siap mencelakakan siapapun yang mengusik hidupnya.
'Nggak usah mimpi lo, Sal.' Raina mendelik geli, mengangkat setengah dagunya, lalu berekspresi menantang.
'Guaa? Mimpi?' Salsa tertawa Sarkartis, kedua tangannya dilipat di atas d**a, menatap Raina dengan ambigu menantang, tatapan tajam penuh ketidak sukaan, perempuan itu tidak akan dia biarkan menang, Salsa berjanji, akan membuat Raina enyah, dan melupakan lelaki bernama Arman. Bahkan, Salsa akan membuat Raina melupakan bagaimana rasa untuk mencintai, membuatnya tidak ingin mengenal cinta, bahka enggan untuk mendengar kata-kata mencintai.
'Lo boleh sekarang seneng-seneng, Rain. Tapi ingat, di saat seseorang sudah lelah untuk tersakiti, tidak ingin lagi hidup dalam bilur luka yang terlalu dalam, di saat itu, dia akan berubah menjadi apa yang tidak akan terduga, lo tinggal tunggu, apa kejutan yang akan lo dapat di hari berikutnya!'
Raina tercenung lama, tidak ada main-main dari ucapan yang di lontatkan perempuan itu, membuat bulu kuduk Raina berdiri, meski Raina mencoba biasa saja, tapi tetap, ia tidak bisa memungkiri, pernyataan itu seolah mengintimidasinya, dan berhasil membuat Raina sedikit merasa takut.
Salsa melangkah pergi, meninggalkan Raina yang masih membatu di lorong sekolah. Jantungnya berdegup kencang, sangat diluar kendali. Tanpa Raina tahu, Salsa pergi membawa Air mata yang pilu, tak ada yang tahu, perempuan itu menangis. Salsa ingin bersahabat dengan Raina, meski selalu terjadi perdebatan, tapi ucapan yang terlontar tak pernah menyakiti hati. Tapi, ia juga terlalu lelah melepaskan Arman, dia juga ingin di cintai Arman seperti dulu, menjadi kekasih pujaan dalam hati Arman, ia benar-benar sangat membutuhkan Arman.
Malam itu Rafa dan Kevin tiba di rumah Raina, mencoba kembali menjalin hubungan seperti dulu. Semenjak Raina bergaul dan menjalin hubungan dengan Arman, dia menjauh, membuat Rafa selalu dibuat jengkel.
Rafa mengetuk pintu kamar Raina secara kasar, mengejutkan Raina di dalam. ketukan itu sudah seperti rentenir penagih hutang, yang mendatanginya secara bengis, membawa berang yang teramat. Suara cowok itu ikut terdengar berteriak.
"Ehhh, Raina. Lo buka ngapah, lo ngapain! Lama bener lu! Lagi bertapa? Buat apaan? Buat bikin si Arman betah sama lo?" Tanya Rafa beruntun, membuat mata Raina membeliak. Cowok itu benar-benar sudah seperti orang gila yang overdosis.
"Ngapain lo kesini?!" tanya Raina mengintimidasi. Cewek itu muncul dibalik pintu, matanya ikut menatap Rafa dengan bengis.
"Gua kesini bawain lo racun! Gua mau bunuh lo!" jawab Rafa ketus, dia mengatup kedua giginya hingga menimbulkan gemeletuk yang membuat gigi Raina ngilu.
Kevin terkikik pelan, melihat Raina dan Rafa sudah seperti tikus dan kucing. 2R itu dari dulu selalu berdebat seperti itu, berbicara sesuka hati, tanpa mereka sadar, mereka selalu menjadi topik yang selalu hangat, tontonan konyol nan gratis, sebuah aksi yang paling t***l yang mampu mencairkan suasana.
"s****n lo! Kalau lo bunuh gua, lo bisa gua cekek!" Raina memperlihatkan wajah kesalnya.
"Mana bisa! Dunia lo dan gua kan udah beda." Rafa masuk nyelonong ke dalam kamar Raina, membuat Raina menganga. Rafa mengutak atik seluruh kamar Raina sesuka hatinya, bagaikan seorang yang panik mencari uang yang terselip.
"Eh! Lo ngapain nyakar di kamar gua? Mau maling?" Raina menjepit kerah baju Rafa dari belakang, seolah-olah Rafa adalah anak kucing.
"Mau cari hati lo! Gua ikat biar gak lari ke Arman lagi!"
"Ehhh bocah! Kalian ribut mulu, kapan akurnya? Lama-lama bisa jadi cinta loh kalian." ucap Kevin terkikik. Raina dan Rafa yang mendengar kata yang tercetus dari mulut Kevin, segera mengenyampingkan perdebatan mereka. Saling membuang wajah ke arah Kevin, ekspresi yang mereka paparkan sama, lihatlah betapa lucunya mereka, kedua mulut mrreka saling terbuka lebar.
Raina bernafas lewat mulut, kembali menatap Rafa dengan ekspresi jijik, "gua? Suka sama dia? Eohhhhhh ogah, gak bakal. Sampe si bisu, bisa bilang I love you aja, gua gak bakal sudi, suka sama cowok kayak dia!" cecar Raina, dia bergedik jijik, tidak akan pernah mau berpasangan dengan cowok seperti Rafa, lebih baik dia jomblo seumur hidup. Lagi pula, sebisu-bisunya seorang tunawicara, juga tidak akan bisa berucap kata I love you ( --_--•).
"Eh, lu kira gua juga mau? Jadi temen aja lu nyusahin minta ampun. Apalagi jadi cewek gua! Cuman cowok sinting ya mau sama lo, kayak si Arman noh. Dia lagi nggak waras, makanya dia mau aja sama lo, paling nanti kalau dia normal lagi, lo juga di tinggal" cecar Rafa tak kalah panasnya, mulut cowok sudah seperti ibu-ibu kompleks yang suka ngerumpi di sore hari. Mulut yang sudah berhasil mendidihkan emosi Raina hingga ke ubun-ubun.
Tukkk!!!!
Raina menjitak kening Rafa keras, membuat cowok itu nyaris terjungkal. Akibat jitakan Raina, kening Rafa berdenyut, terasa panas hingga menimbulka bekas merah yang tidak terlalu kentara.
"Lo itu datang kerumah gua. Lu itu, Jailangkung. Dasar tamu yang gak di undang lo!"
"Eh, lo hati-hati ya kalau ngomong. Sumpah ya Raina, lo bener-bener nyebelin banget, pengen gua pites lu kaya kutu rambut!"
Kevin yang berdiri di lawang pintu tertawa terpingkal, aksi adu mulut mereka seperti tidak ada endingnya. membuat cowok itu memilih menonton secara gratis, setidaknya tontonan t***l, itu bisa mengobati sedikit hatinya yang galau.
"Keluar lo dari rumah gua!" bentak Raina, tapi sepertinya bentakan itu tidak di dengar Rafa. Cowok itu malah duduk di atas ranjang Raina, mengacuhkan sentakan Raina beberapa detik berlalu, menurutnya ini bukan rumah cewek itu, tapi rumah milik orang tuanya.
"Rumah lo? Rumah bokap sama nyokap, lo kali."
"Eh, dodol. Gua kan anaknya, jadi rumah ini nanti juga buat gua."
"Berarti ini belum jadi rumah lo, bego."
Raina greget sendiri, ingin mencubit keras seluruh tubuh Rafa. Terlebih bibir cowok itu, jika dia seorang dokter, pasti dia sudah menggunting lalu menjahit bibir jelek cowok itu, hingga tidak bisa berkutik lagi.
"Sumpah, Rain. Gua kangen berantem kayak gini sama lo." ucap Rafa memecahkan suasana yang sempat hening selama beberapa detik.
Raina bersandar di dinding kamar, menggosoka tubuhnya yang kini sudah tak tegap lagi, dia duduk begitu saja di atas lantai. Kepalanya terangkat, menegadah menatap Rafa yang duduk di atas ranjang.
"Iya, ya. Udah lama, kapan ya terakhir."
"Kayaknya nggak enak deh, nongkrong dikamar, ntar kalau mak sama bapak dia pulang, bisa-bisa kita di cekek, di tuduh ngapa-ngpain anaknya." potong Kevin, Rafa mengangguk setuju. mereka berjalan meninggalkan kamar. Di taman belakang tempat biasa mereka berkumpul, di sana ada rumah pohon yang di buat Rafa dan Kevin, tempat favorit mereka.
"Tuh katanya si Kevin mau curhat." kepala Rafa tertuju menunjuk Kevin, Raina mengangkat sebelah halisnya, "curhat?"
Rafa mengangguk pelan, "mau curhat apaan?" tanya Raina.
"Gua lagi potek, hatinya"
"Haa?" kening Raina berkerut bingung, Rafa yang sudah tau memilih diam. Sibuk dengan teleskop melihat benda-benda di luar angkasa. Berharap ada bintang jatuh membawakannya bidadari yang cantik rupan, lemah lembuh sifatnya, hingga melepas masa lajang yang Rafa pertahankan.
"Biasa, urusan soal cewek. Lo kan pacaran, nah gua baru pacaran aja udah putus, gimana gua gak galau,"
"Tunggu-tunggu, pacaran? Sama siapa? Kok gua gak tau?"
"Gimana lo mau tau? Lo aja sibuk sama cowok nggak jelas itu" potong Rafa tapa melihat Raina.
"Diem lo," Raina menatap Rafa sekilas, dengan tatapan antipati.
Rafa hanya mengangkat bahunya acuh, "Gua pacaran sama anak genk pink, itu tu. Baru juga belum sehari gua jadian udah putus, bayangin coba! Itu semua gara-gara si norak monika. Si tante-tante lipstick tebal. Gara-gara dia, pacar gua lagsung jadi mantan."
"Anak kelas 10 itu?"
"Hmmm..."
"Tapu sih kalau menurut gua, kalau emang dia bener-bener suka sama lo, ada rasa sama lo. Ya seenggaknya dia pasti bilang lah sama si--"
"Monika" jawab Kevin mantap, saat tahu, Raina tidak tahu nama cewek sinying itu.
"Iya, maksud gua itu. Ya dia coba yakinin lah si Monika itu, biar dia nggak putus sama lo. Ya setakut-takut nya dia sama Monika itu, yaa nggak sampe korbanin urusan pribadi juga kali, emang bisa gitu, di larang-larang. Enggak kan?" Tanya Raina. Kevin menganggukan kepalanya, dia sangat yakin, putusnya hubungan mereka pasti mendapat bantahan di hati kecil perempuan itu.
"Lo tenang. Besok, biar gua temuin dia. Gua bantu lu balikan sama dia"
Kevin sumbringah, seperti di kelilingi euforia. Ucapan Raina benar-benar bisa membuat dia senang. Mungkin benar, kalau kebanyakan lelaki memakai logikanya, sementara perempuan memakai hatinya, dari sudut pandang Rafa dan Raina, Kevin sudah bisa menyimpulkan. mempunyai sahabat perempuan memang paling senang, ketika berbicara soal hati.
"Lo serius Rain?" Kevin mengguncang kedua bahu Raina dengan gerakan biadab, membuatnya hampir terjengkal jatuh Kebelakang.
"Biasa aja kali, lo ngga usah segitunya. Lo mau bunuh gua? Kalau jantung gua koncat keluar lo mau tanggung jawab?" ucao Raina konyol Kevin mengatup kedua giginya, tersenyum ngacir seperti kuda. Dia menggeleng pelan.
"Dasar, cowok sama cewek sama aja lebaynya" Rafa akhirnya membuka suara, dia merasa tidak di anggap. Mentang-mentang jomblo, dia di anggap tidak mengerti soal hati, sungguh kertelaluan.
"Sewot lo!"
"Bodo ?!"
"Kalau gini gua jadi kangen Arman deh"
"Heuhhh! Arma lagi, Arman lagi" Rafa turun dari rumah pohon, telinganya begitu alergi jika mendengar satu nama itu, membuat dia enggan berlama-lama di samping Raina. Cewek itu memang terlalu lebay, cewek itu emang terlalu ribet, sekali pacaran pasti alay. Begitulah kira-kira Rafa menafsirkan sosok seorang cewek di matanya.
****
"Ayah yakin? Nggak pulang dulu. Kita pamit sama Raina" tanya Tania waswas, wajahnya harap-harap cemas. Ini terlalu mendadak, mereka harus pergi keluar negri malam ini. Di lebanon, cabang perusahaan mereka mengalami kebangkrutan total. Setau Rudi, perusahaan itu sudah di pegang oleh orang kepercaaannya sendiri, tidak mungkin mengalami penurunan total seperti itu.
"Enggak bisa, Bu. Pesawat kita berangkat jam 9 malam. Waktu yang kita punya cuman 20 menit, nggak mungkin harus pulang dulu. Ibu sms aja lah anak itu, dia juga pasti ngerti" tegas Rudi. Tania hanya mengangguk pelan, ia tahu, jika sudah seperti ini suaminya memang tidak bisa bertele-tele. Sebenarnya bisa saja Rudi berangkat sendiri, tapi Tania juga tidak mungkin membiarkan suaminya sendiri menyelesaikan masalah yang cukup besar dan mendadak ini.
"Ibu kabarin Raina dulu"
Tania mengirim pesan ke no Raina. entah kenapa, benar-benar berat bainya untuk meninggalkan Raina malam itu. Seolah ada yang menganggal di hatinya.
'Sayang, maaf ibu sama ayah mendadak harus pergi ke Lebanon. Mungkin ibu disana 1-2 dua minggu. Kamu jaga diri kamu baik-baik, jangan sampai kamu salah bergaul. Apapun yang terjadi, kamu harus bisa jaga diri kamu. Kalau ibu nggak ada disamping kamu, kamu tetap harus bisa, terima nasehat apapun dari bik Atik. Ibu sayang kamu'
Tania lega, pesan itu telah sampai pada nomor Raina. Beberapa menit berlalu pesawat yang akan membawanya pergi telah lepas landas, siap meninggalkan Indonesia.
Kening Raina berkerut, dia mengeluh pelan. Selalu seperti itu. Mereka pergi meninggalkan Raina begitu saja, semua alasan selalu mendadak, membuat Raina terkadang muak.
"Kenapa lo begitu?"
"Biasa! Gua sebel nyokap bokap gua pergi gitu aja. Udah mending lu pada pulang deh,"
"Iya-iya. Baru kelar makan udah main usir aja. Hati-hati lo ada setan"
"Udah biasa, mereka temen gua, lo aja jalangkung!"
Rafa menggerutu kesal, meninggalkan rumah Raina dengan ocehan yang terdengar tidak kentara dari mulut.
"Udah, nggak usah gitu lu. Rempong amat mulu lu" ucap Kevin, Rafa membalas menatap tajam Kevin, "terus masalah buat lo! Lo kapan belain gua sih? Perasaan lo belain cewek kutu kupret itu doang."
"Lah, siapa yang belain." tanya Kevin memperlihatkan wajah tololnya.
Rafa memilih diam, menjawab pertanyaan yang tak pantas untuk di lontarkan, selanjutnya, cowok itu pergi meninggalkan Kevin yang mengerutkan keningnya bingung.
****
Bersambung.