***
"Lo nggak cocok sama Raina, Raf. Muka lo pas-pasan, dan untuk jalan sama Raina aja, lo kayak Om nya."
Rafa tersedak mendengar pernyataan Kevin, bakso bulat yang ada dimulutnya taris tertelan. Rafa segera mengambil segelar air putih, meminumnya seperti orang kesetannya. Om-om dia bilang? kevin benar-benar kertelaluan.
"Apa lo bilang? Kalau mau ngomong mulut nggak usah ngejeplak sembarangan!" ucap Rafa geram, rasanya ia sangat ingin mencokel bola mata Rafa dengan garpu, setelah menggelinding di lantai, dia akan segera menginjaknya hingga pecah.
Kevin hanya berwajah acuh, dan itu membuat Rafa merasa semakin terpojok. "Emang, apa urusannya sama lo sih," Rafa menatap Kevin dengan tatapan antipati, lelaki itu terlau menyebalkan, membuat Rafa ingin menonjok bibirnya yang tidak bisa di kontrol.
Rafa beranjak, keluar dari meja kantin, rasa laparnya mendadak hilang. Kevin mengangkat kedua alisnya acuh,
Pelan-pelan, Rafa berjalan di koridor sekolah. Memijit kepalanya yang dirasa pening, menghadapi Kevin satu hari benar-benar telah membuat emosinya naik, memicu darah tinggi di usia muda.
Samar-samar di ujung koridor sekolah Rafa melihat Raina berjalan dengan seorang lelaki, terlihat begitu akrab. Lelaki itu bukan anak sekolah sini. Dan jelas, dia pria yang sangat terpelajar. Ada sesuatu yang tak nyata menjalar di d**a Rafa, sesuatu yang begitu tidak nyata, tapi berhasil membuat d**a sesak.
Rafa mendesis. Dasar, s**l.
Semenjak dia memiliki rasa aneh bernama cinta itu, semua menjadi kacau. Pelan-pelan dia mengikuti Raina dan lelaki itu, tiba-tiba dihadang rasa curiga, takut-takut lelaki itu adalah kekasih baru Raina.
"Eh mau kemana, lo?" belum sempat melangkah, Rafa merasa seseorang menarik kerah baju bagian belakang, membuat Rafa terhenti mendadak, dia nyaris terjengkal.
"Apaan sih, lo Vin. Kepo lo itu udah bener-bener stadium akhir. Gua mau kemana kek, buka urusan lo. Apa harus? Setiap saat gua laporan sama lo? Gua makan, gua minum, gua mandi, gua pake baju apa gua pake dalaman apa sampek gua mau boker harus laporan? Iya?" cerca Raf tak tertahankan, dia menatap Kevin dengan tatapan tak terduga. Wajah Kevin bergedik ngeri, bibir bagian atasnya terangkat sedikit sebagai ekspresi jijik.
"Ya kali, buat apaan gua kepoin lo sampek segitunya? Najis gua!" Kevin mengeluarkan lidahnya sebagai respons, ingin muntah.
"Terus? Ngapain juga lo selalu muncul di depan gua? Nanya-nanyain gua mau apa? Terserah gua lah, lo nggak usah kepo jadi orang, lama-lama lo bener-bener ngeselin ya, kayak Raina dulu."
"Oh ya? Terus menurut lo? Lo ngga ngeselin? Ahhh lo coba mikir deh bro, emang lo selama ini nggak pernah bikin orang kesal?"
Perdebatan mereka semakin panas, tidak ada yang ingin mengalah, begitupun Rafa, yang menatap Kevin dengan mata berkilat-kilat.
Para siswa yang lain menatap keduanya dengan tatapan tak mengerti, keduanya sudah seperti cewek yang memperebutkan satu lelaki yang sama, besanya, mereka tidak melakuka aksi jambak-menjambak sepertri tradisi para perempuan.
"Nggak usah lo ikutin gua lagi!" Rafa memperingati, selanjutnya Rafa meninggalkan Kevin yang masih bersikap biasa saja. Kemudian Kevin ikut beranjak, bukan untuk menyusul Kevin melainkan menemui Annisa, kekasihnya.
Di gerbang sekoloah, Raina tampak berdiri, melambaikan tangan pada lelaki misterius yang menjadi tanda tanya di benak Rafa, sudah yakin, lelaki itu pasti punya hubungan dengan Raina, buktinya, cewek itu malah ikut memberi sambutan yang baik, hati Rafa berkoar sendiri, ternyata rasa sakit cemburu memang luar biasa, membuat jantung berdetak sakit, d**a panas, dan Rafa sudah tidak bisa mendefenisikan perasannya saat ini.
***
Salsa dan Raina berjalan lamban menuju kantin, sedikit percakapan kecil terjalin hangat di antara keduanya, tak jarang, mulut mereka di temani tawa-tawa kecil. Merekabyang dulu selalu ribut kini berbanding terbalik, seperti sapi yang akan bertelur, sangat mustahil. Tapi, nyatanya, sekarang terjadi, mereka menjalin pertemanan yang sangat baik.
"Yaa emang gitu, Sal. Dan lo tau nggak? Si Rafa dan Kevin malah justru ngelakuin itu, parah kan..." Raina memicingkan mata, seperti habis menggigit buah jeruk yang sangat asam.
"Hahah.. Parah, kedua temen lo, nyatanya juga rada-rada ya,,"
"Yaa gitu deh, tapi mereka baik. Mereka yang selalu ada buat gua, ngebagun kebahagiaan yang harganya tak ternilai. Mereka udah kayak 2 sodara laki-laki gua." Raina tersenyum, dia sangat bahagia, memeliki sahabat seperti Rafa dan Kevin, kedua lelaki baik yang dia percaya setelah ayahnya. Lelaki paling tulus yang pernah Raina temukan. Dulu, Raina nyaris lupa dengan kedua lelaki itu, hanya karena lelaki yang dia targetkan sebagai lelaki tempat terakhir penitipan hatinya, nyatanya dia salah, salah mempercayai kebaikan yang hanya manis sesaat, Raina memang tahu, sebanyak-banyaknya mahkluk tuhan yang baik, maka sebanyak itu pulalan mahkluk tuhan yang kurang baik. Bahkan fitrah kasih sayang yang telah tuhan titipkan dihatinya sirna tanpa sebab.
"Lo bener-bener cewek paling beruntung Rain, di saat lo ngalamin patah hati luar biasa, saat lo kehilanga ibu lo, lo punya 3 malaikat, Ayah lo dan kedua sahabat lo, kok gua jadi iri ya sama lo." tawa Salsa dengan wajah setengah bercanda. Raina ikut tertawa, "kadang, manusia cuman bisa berencana, Sal. Dan kita nggak tau, apa mau tuhan untuk hidup kita, yang harus kita lakuin cuman satu, tetap bersyukur meski harus menerima yang buruk. Kadang, ketika kita ihklas menerima sakit, tuhan malah mendatangkan penyejuk yang nggak bisa kita duga."
"Ya, benar. Kita cuman bisa pasrah, nikmatin rasa sakit bersama."
Raina mengangguk-anggukan kepalanya, sebagai jawaban, kalau dia sangat menyetujui perkataan Salsa. Begitupun Salsa, ikut tersenyum hagat sebagai respons.
"Ketauan, kalian lagi ngomongin gua... Wahh sumpah, nggak nyangka, ya. Ternyata disekolah ini ada diam-diam yang ngefans sama gua. Astagaaa, Ckckckk..." Rafa berdecak lidah, menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia langsung berdiri didepan Raina dan Salsa yang masih berjalan maju, semntara Rafa, berjalan mundur kebelakang.
"Kalau ngefans, bilang. Biar gua bisa kasih tanda tangan yang banyak."
"Kayaknya, ada yang salah deh." Salsa menatap Rafa dengan tatapan tak mengerti, "lo jangan kePD an jadi orang. Kata siapa? Kita ngomongin lo?"
"Oh ya? Masa?" tanya Rafa dengan nada menggoda
Raina dan Salsa saling memberi kode, selanjutnya, Rafa bisa merasakan, dua pukulan tinju mendarat di kedua pipinya, Rafa meringis, membungkuk menahan rasa nyeri.
Kedua cewek gila itu saling tertawa, lalu berlari menunggalkan Rafa yang masih sibuk meratapi nasih pipinya yang hampir bonyok. Pukulan kedua cewek itu masih terasa, tangan-tangan mungil itu ternyata punya kekuatan bak tawon yang berbisa.
"Aarrghhh..... s**l! Berasa bonyok muka gua!" Rafa meringis, membalik badannya kebelakang, disana Raina dan Salsa sudah berlari jauh meninggalkannya, hingga akhirnya keduanya hilang saat masuk kedalam kantin, Rafa tersenyum. Sekarang, Raina sudah kembali, dia tidak lagi memperlihatkan raut sedihnya, dia sudah kembali tersenyum, membuat Rafa kesal, dan itu sangat membuat Rafa bahagia, bahagia yang tidak bisa di jelaskan secara rinci.
Di Kantin, Raina dan Salsa sudah memesan makanan, menyantapnya dengan lahap.
"Hai, kalian." lelaki itu tersenyum t***l, lalu duduk tanpa izin di depan keduanya, ahh lelaki itu.
Raina mendelikan mata,
Davin, lelaki yang dulu pernah nyaris dibuat babak belur oleh Raina dan Salsa, lelaki yang sudah benar-benar fix menetapkan hatinya pada Raina dan Salsa. Sudah lama rasanya dia tidak bertemu, setelah hampir 2 bulan tidak masuk sekolah, dan dia baru tau kabar Raina ditinggalkan Arman dan perihat kematian ibu Raina, calon mertuanya.
"Ngapain lo kesini?" Sentak Raina garang, menatap Davin dengan bengis.
"Jangan gitu, kalian berdua nggak kangen sama pangeran yang tampan ini?"
Raina menjulurkan lidahnya sebagai respons, ingin muntah dengan ucapan yang tercetus dari mulut lelaki t***l itu.
"Lo mau? Gua mauskin sendok ke mulut lo? Biar lo keselek?" tanya Salsa kontan.
"Jangan dong, nanti, kalau gua mati, siapa yang cinta sama kalian lagi?"
"Lama-lama ini orang gua gampar pakek kapak gede -_-."
"Jangan juga dong, nanti kalau gua cacat, gua gak bisa cari nafkah, terus kalian gimana?"
Salsa menggerutu geram. sungguh, laki-laki itu sangat menyebalkan, dia menatap Davin dengan mata melotot lebar, nyaris membuat bola mata Salsa melompat keluar. Davin menelan air liur yang mendadak menjadi benda padat, dan itu membuat dia menjadi gugup, ciut, dan sedikit ngeri. Seolah mengerti, cepat-cepat Davin beranjak, meninggalkan Raina dan Salsa, dia belum siap, menerima aksi gila yang akan dilakukan kedua wanita sinting itu.
"Sumpah ya, kenapa itu anak gak sekalian aja pindah sekolah! Untung nggak satu kelas sama dia! Kalau iya? Duhh bisa stress gua!"
"Awas... Hati-hati, nanti lo bisa suka loh sama dia, jangan kelewat benci sama dia, karna cinta itu berawal dari kebencian, dan sebaliknya."
"Mulai nih, kayaknya gua tau nih arah pembicaraan lo kemana." tanya Salsa penuh selidik, Raina mulai gelagap, wajah nya mulai berubah.
"Ma..maksud lo?"
"Alah, pakek acara sok polos lo, Rain. Nggak cocok deh,"
"Hmm.." Desis Raina pelan,
"Sampe sekarang, masih belum ada kabar?"
"Nggak.." Seolah mengerti dengan pernyataan Salsa, jawaban itu tercetus begitu saja dari mulut Raina, asa untuk memiliki derasa sudah pupus, membuat Raina berfikir harus berhenti, berhenti mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Hati adalah jembatannya sendiri menuju jurang kehancuran, sekarang dia telah jatuh sendiri, memeluk hati yang sudah hancur berkeping, hati yang tak akan pernah bisa utuh, sakit yang tak pernah ada obatnya, kecuali orang yang sama.
Salsa mengangguk, dia sudah salah mempertanyakan hal yak tak penting, dia kembali memilih diam, membiarkan Raina hanyut pada pikirannya sendiri
***
Dimeja makan, Rudi dan Raina duduk berdua, menyantap makan malam yang sudah disiapkan Bi Atik. Sedari tadi, Raina hanya mengaduk-aduk nasi dipiringnya dengan sendok, sedikitpun nasi itu belum masuk kedalam mulutnya, tindakannya mengundang pertanyaan di benak Rudi.
"Kamu kenapa? Kok makannya nggak dimakan? Atau, kamu mau makanan yang lain?"
Raina tersenym, dan menggeleng.
"Nggak yah,"
"Terus kenapa? Ayah perhatiin kamu cuman ngelamun aja."
"Beneran Ayah, aku nggak pa-pa." jawab Raina dengan wajah meyakinkan "aku lagi capek aja, mikirin tugas yang banyak banget."
Wajah Rudi berkerut, sebagai ekspresi tidak percaya. Rudi tahu, Raina pasti menyembunyikan sesuatu, tapi dia tidak akan memaksa Raina untuk berbicara, Om Rudi percaya, disaat yang tepat, anak itu sendiri yang memulai untuk bicara.
"Kamu mau denger cerita nggak?"
"Ceritaa?"
"Iya..." Rudi mengambil segelas air, lalu meneguknya pelan, setelah setengah gelas habis, Rudi kembali meneguknya.
"Dulu, Ayah sama ibu pernah terpisah."
Jantung Raina serasa di hantam, pernyataan yang tercetus dari bibir ayahnya, seolah sedang menceritakan dirinya.
"Dulu ayah terpisah sama ibu kamu, karena satu hal, ayah pergi meninggalkan ibu kamu sebelum kami menikah, saat itu kami baru saja lulus SMA, ayah terpaksa harus meninggalkan ibu kamu, ayah tidak pernah mengabari ibu kamu, sampai akhirnya, ibu kamu menikah dengan pria lain.."
Raina masih belum bicara, dia masih terlalu kaget, cerita macam apa yang dia dengar, apa dia bukan anak kandung pria itu?
"Lelaki itu jahat, dia selalu menyakiti ibu kamu, sampai ibu kamu sempat terbaring dirumh sakit. Ayah merasa bersalah, sangat bersalah. Membiarkan ibu kamu jatuh di tangan laki-laki itu."
Tangan Raina mulai basah, dan terkepal,
"Tapi, ayah berhasil, merebut ibu kamu kembali, laki-laki itu meninggal, saat kabur dari penjara. Sampi akhirnya, ayah dan ibu menikah, lahirlah dua anak kami yang kami beri nama Fabian dan Raina, kami sangat bahagia, tidak pernah terfikirkan akan mengalami hal seperti ini, terpisah karena maut, setelah perjuangan kami untuk bersatu, bahkan sampai saat ini, masih berat buat ayah menerima kenyataan kalau ibu sudah tidak bersama kita, mengingat kesalahan ayah yang dulu, ayah benar-benar minta maaf."
Sekarang, Raina tahu. Apakah ia sedang menerima karma ayahnya? Yang dulu pernah meninggalkan ibunya, dan sekarang, dia mengalami hal yang sama. Raina merasa terpojok, tidak pernah tahu, ibunya mengalami hidup yang jauh lebih pedih, terpaksa menikah dengan pria yang tidak dia cinta, bahkan harus menerima k*******n.
"Sekarang, cuman tinggal kita berdua. Ayah minta maaf, ayah nggak mau kamu bersedih, ayah akan berusaha buat kamu selalu tersenyum. Anggap ini sebagai tugas ayah sebagai Orangtua kamu, dan sebagai penebus dosa ayah sama ibu. Dan ayah mohon, jangan buat ayah sia-sia melakukan itu, kamu satu-satunya putri ayah, dan ayah merasa tidak terima jika kamu terasakiti, karna itu sebuah penghinaan buat, Ayah."
Sangat tepat, cerita ayahnya benar-benar seolah menyindir hidup Raina, semuanya hampir sama, pergi ditinggalkan tanpa Alasan, tapi setelah mendengar cerita ini, Raina yakin, Arman mungkin pergi karna sesuatu yang tidak bisa dia sampaikan, dan Raina memaafkannya.
"Makasih, Ayah. Tapi ayah nggak perlu minta maaf, itu masa lalu ayah dan ibu, anggap itu ujian cinta. Dan ayah sama ibu lulus melewatinya, buktinya, ayah dan ibu sama-sama bahagiakan? Sampa akhirnya kami lahir. Coba disini ada kak Fabian, pasti aku seneng banget, karna aku punya ayah dan kak Ian."
"Sekrang, Ibu dan kak Ian udah tenang disana, mereka bahagia berkumpul berdua, dan disini kita berdua juga harus bahagia, sama seperti mereka."
"Iya ayah, tapi ayah jangan cari ibu baru yaaa..." Raina menunjuk Rudi denga waja mendelik,
"Hahah, emang kamu nggak mau?"
"Nggak..."
"Tenang, Ibu kamu tidak aka tergantikan, tidak ada yang sebaik dia."
Raina mengangguk-anggukan kepalanya, sebagai respons kalau dia sangat setuju dengan ucapan Rudi, Tania sampai kapanpun tidak akan tergatikan, sosok Tania sangat sempurna, meski dia sibuk, tapi saat waktu luang dia selalu memperhatikan Raina, dan sekarang, setelah Tania pergi, Raina baru mereasakan, hal kecil itu sangat luar biasa. Benar, kehilangan seorang ibu ataupun ayah bagaikan kehilangan separuh jiwanya, dan Raina setuju dengan ucapan itu.
"Ingat, calon mantu ayah harus baik."
Raina nyaris tersedak, ucapan Rudi seolah memojokannya. Rudi sengaja tidak menyebutkan nama lelaki itu, lelaki yang pernah pergi meninggalkan anaknya, dan itu sebabnya, dia berani membuka kisah lama yang sudah berusaha untuk dia lupakan, agar Raina bisa berfikir jernih, bahwa kepergian tak selamanya meninggalkan tanggung jawab.
"Ayah, udah ahhh, ayo makan, aku mau cepat-cepat tidur."
Raina langsung menyantap makanannya, Rudi hanya menggelengkan kepalanya, Raina sangat mirip dengan Tania.
***
Di dalam kamar, Raina berbaring di atas ranjang, jam sudah menunjukan pukul 11 malam, tapi nyatanya, ia masih belum bisa memejamkan mata mata, banyak yang menganggu fikirannya, semua seolah menyiksa otaknya. Padahal di luar, hujan turun dengan derasnya, udara dingin menyerang permukaan kulit, harusnya dia bisa tertidur nyaman di balik selimut tebal seperti kebanyakan orang-orang yang menikmati tidurnya di kamar mewah.
"Shhh..." Raina mendesis, menarik badcover putih membalut tubuhnya hingga dagu, ada yang melintas difikirannya.
'Ada hari dimana semuaya dimulai, tentu akan ada hari dimana semuanya alan berakhir, begitu pula kisahku dengan Arman, berawal dari sebuah hal yang manis, tentang kenangan yang indah, dia yang tak pernah mengirimpan pesan romantis padaku, dia yang tak pernah menelfonku disaat malam hari, dia yang tak pernah mengucapkan selamat malam dan sekedar ciuman lewatedia sosiak manapun. Yang dia lakukan adalah hal yang nyata, tidak dengan kata, awal kami saling cinta, saat pertama kali aku aku jatuh hati padanya, dia baik, salah satu alasan aku mencintainya, hingga kami menjalin hubungan kekasih, tapi akhirnya, semua berakhir tanpa kepastian, tanpa sebab, semuanya terasa sangat sakit, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh., kecuali dengan orang yang sama'
***
???
***
"Lo nggak cocok sama Raina, Raf. Muka lo pas-pasan, dan untuk jalan sama Raina aja, lo kayak Om nya."
Rafa tersedak mendengar pernyataan Kevin, bakso bulat yang ada dimulutnya taris tertelan. Rafa segera mengambil segelar air putih, meminumnya seperti orang kesetannya. Om-om dia bilang? kevin benar-benar kertelaluan.
"Apa lo bilang? Kalau mau ngomong mulut nggak usah ngejeplak sembarangan!" ucap Rafa geram, rasanya ia sangat ingin mencokel bola mata Rafa dengan garpu, setelah menggelinding di lantai, dia akan segera menginjaknya hingga pecah.
Kevin hanya berwajah acuh, dan itu membuat Rafa merasa semakin terpojok. "Emang, apa urusannya sama lo sih," Rafa menatap Kevin dengan tatapan antipati, lelaki itu terlau menyebalkan, membuat Rafa ingin menonjok bibirnya yang tidak bisa di kontrol.
Rafa beranjak, keluar dari meja kantin, rasa laparnya mendadak hilang. Kevin mengangkat kedua alisnya acuh,
Pelan-pelan, Rafa berjalan di koridor sekolah. Memijit kepalanya yang dirasa pening, menghadapi Kevin satu hari benar-benar telah membuat emosinya naik, memicu darah tinggi di usia muda.
Samar-samar di ujung koridor sekolah Rafa melihat Raina berjalan dengan seorang lelaki, terlihat begitu akrab. Lelaki itu bukan anak sekolah sini. Dan jelas, dia pria yang sangat terpelajar. Ada sesuatu yang tak nyata menjalar di d**a Rafa, sesuatu yang begitu tidak nyata, tapi berhasil membuat d**a sesak.
Rafa mendesis. Dasar, s**l.
Semenjak dia memiliki rasa aneh bernama cinta itu, semua menjadi kacau. Pelan-pelan dia mengikuti Raina dan lelaki itu, tiba-tiba dihadang rasa curiga, takut-takut lelaki itu adalah kekasih baru Raina.
"Eh mau kemana, lo?" belum sempat melangkah, Rafa merasa seseorang menarik kerah baju bagian belakang, membuat Rafa terhenti mendadak, dia nyaris terjengkal.
"Apaan sih, lo Vin. Kepo lo itu udah bener-bener stadium akhir. Gua mau kemana kek, buka urusan lo. Apa harus? Setiap saat gua laporan sama lo? Gua makan, gua minum, gua mandi, gua pake baju apa gua pake dalaman apa sampek gua mau boker harus laporan? Iya?" cerca Raf tak tertahankan, dia menatap Kevin dengan tatapan tak terduga. Wajah Kevin bergedik ngeri, bibir bagian atasnya terangkat sedikit sebagai ekspresi jijik.
"Ya kali, buat apaan gua kepoin lo sampek segitunya? Najis gua!" Kevin mengeluarkan lidahnya sebagai respons, ingin muntah.
"Terus? Ngapain juga lo selalu muncul di depan gua? Nanya-nanyain gua mau apa? Terserah gua lah, lo nggak usah kepo jadi orang, lama-lama lo bener-bener ngeselin ya, kayak Raina dulu."
"Oh ya? Terus menurut lo? Lo ngga ngeselin? Ahhh lo coba mikir deh bro, emang lo selama ini nggak pernah bikin orang kesal?"
Perdebatan mereka semakin panas, tidak ada yang ingin mengalah, begitupun Rafa, yang menatap Kevin dengan mata berkilat-kilat.
Para siswa yang lain menatap keduanya dengan tatapan tak mengerti, keduanya sudah seperti cewek yang memperebutkan satu lelaki yang sama, besanya, mereka tidak melakuka aksi jambak-menjambak sepertri tradisi para perempuan.
"Nggak usah lo ikutin gua lagi!" Rafa memperingati, selanjutnya Rafa meninggalkan Kevin yang masih bersikap biasa saja. Kemudian Kevin ikut beranjak, bukan untuk menyusul Kevin melainkan menemui Annisa, kekasihnya.
Di gerbang sekoloah, Raina tampak berdiri, melambaikan tangan pada lelaki misterius yang menjadi tanda tanya di benak Rafa, sudah yakin, lelaki itu pasti punya hubungan dengan Raina, buktinya, cewek itu malah ikut memberi sambutan yang baik, hati Rafa berkoar sendiri, ternyata rasa sakit cemburu memang luar biasa, membuat jantung berdetak sakit, d**a panas, dan Rafa sudah tidak bisa mendefenisikan perasannya saat ini.
***
Salsa dan Raina berjalan lamban menuju kantin, sedikit percakapan kecil terjalin hangat di antara keduanya, tak jarang, mulut mereka di temani tawa-tawa kecil. Merekabyang dulu selalu ribut kini berbanding terbalik, seperti sapi yang akan bertelur, sangat mustahil. Tapi, nyatanya, sekarang terjadi, mereka menjalin pertemanan yang sangat baik.
"Yaa emang gitu, Sal. Dan lo tau nggak? Si Rafa dan Kevin malah justru ngelakuin itu, parah kan..." Raina memicingkan mata, seperti habis menggigit buah jeruk yang sangat asam.
"Hahah.. Parah, kedua temen lo, nyatanya juga rada-rada ya,,"
"Yaa gitu deh, tapi mereka baik. Mereka yang selalu ada buat gua, ngebagun kebahagiaan yang harganya tak ternilai. Mereka udah kayak 2 sodara laki-laki gua." Raina tersenyum, dia sangat bahagia, memeliki sahabat seperti Rafa dan Kevin, kedua lelaki baik yang dia percaya setelah ayahnya. Lelaki paling tulus yang pernah Raina temukan. Dulu, Raina nyaris lupa dengan kedua lelaki itu, hanya karena lelaki yang dia targetkan sebagai lelaki tempat terakhir penitipan hatinya, nyatanya dia salah, salah mempercayai kebaikan yang hanya manis sesaat, Raina memang tahu, sebanyak-banyaknya mahkluk tuhan yang baik, maka sebanyak itu pulalan mahkluk tuhan yang kurang baik. Bahkan fitrah kasih sayang yang telah tuhan titipkan dihatinya sirna tanpa sebab.
"Lo bener-bener cewek paling beruntung Rain, di saat lo ngalamin patah hati luar biasa, saat lo kehilanga ibu lo, lo punya 3 malaikat, Ayah lo dan kedua sahabat lo, kok gua jadi iri ya sama lo." tawa Salsa dengan wajah setengah bercanda. Raina ikut tertawa, "kadang, manusia cuman bisa berencana, Sal. Dan kita nggak tau, apa mau tuhan untuk hidup kita, yang harus kita lakuin cuman satu, tetap bersyukur meski harus menerima yang buruk. Kadang, ketika kita ihklas menerima sakit, tuhan malah mendatangkan penyejuk yang nggak bisa kita duga."
"Ya, benar. Kita cuman bisa pasrah, nikmatin rasa sakit bersama."
Raina mengangguk-anggukan kepalanya, sebagai jawaban, kalau dia sangat menyetujui perkataan Salsa. Begitupun Salsa, ikut tersenyum hagat sebagai respons.
"Ketauan, kalian lagi ngomongin gua... Wahh sumpah, nggak nyangka, ya. Ternyata disekolah ini ada diam-diam yang ngefans sama gua. Astagaaa, Ckckckk..." Rafa berdecak lidah, menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia langsung berdiri didepan Raina dan Salsa yang masih berjalan maju, semntara Rafa, berjalan mundur kebelakang.
"Kalau ngefans, bilang. Biar gua bisa kasih tanda tangan yang banyak."
"Kayaknya, ada yang salah deh." Salsa menatap Rafa dengan tatapan tak mengerti, "lo jangan kePD an jadi orang. Kata siapa? Kita ngomongin lo?"
"Oh ya? Masa?" tanya Rafa dengan nada menggoda
Raina dan Salsa saling memberi kode, selanjutnya, Rafa bisa merasakan, dua pukulan tinju mendarat di kedua pipinya, Rafa meringis, membungkuk menahan rasa nyeri.
Kedua cewek gila itu saling tertawa, lalu berlari menunggalkan Rafa yang masih sibuk meratapi nasih pipinya yang hampir bonyok. Pukulan kedua cewek itu masih terasa, tangan-tangan mungil itu ternyata punya kekuatan bak tawon yang berbisa.
"Aarrghhh..... s**l! Berasa bonyok muka gua!" Rafa meringis, membalik badannya kebelakang, disana Raina dan Salsa sudah berlari jauh meninggalkannya, hingga akhirnya keduanya hilang saat masuk kedalam kantin, Rafa tersenyum. Sekarang, Raina sudah kembali, dia tidak lagi memperlihatkan raut sedihnya, dia sudah kembali tersenyum, membuat Rafa kesal, dan itu sangat membuat Rafa bahagia, bahagia yang tidak bisa di jelaskan secara rinci.
Di Kantin, Raina dan Salsa sudah memesan makanan, menyantapnya dengan lahap.
"Hai, kalian." lelaki itu tersenyum t***l, lalu duduk tanpa izin di depan keduanya, ahh lelaki itu.
Raina mendelikan mata,
Davin, lelaki yang dulu pernah nyaris dibuat babak belur oleh Raina dan Salsa, lelaki yang sudah benar-benar fix menetapkan hatinya pada Raina dan Salsa. Sudah lama rasanya dia tidak bertemu, setelah hampir 2 bulan tidak masuk sekolah, dan dia baru tau kabar Raina ditinggalkan Arman dan perihat kematian ibu Raina, calon mertuanya.
"Ngapain lo kesini?" Sentak Raina garang, menatap Davin dengan bengis.
"Jangan gitu, kalian berdua nggak kangen sama pangeran yang tampan ini?"
Raina menjulurkan lidahnya sebagai respons, ingin muntah dengan ucapan yang tercetus dari mulut lelaki t***l itu.
"Lo mau? Gua mauskin sendok ke mulut lo? Biar lo keselek?" tanya Salsa kontan.
"Jangan dong, nanti, kalau gua mati, siapa yang cinta sama kalian lagi?"
"Lama-lama ini orang gua gampar pakek kapak gede -_-."
"Jangan juga dong, nanti kalau gua cacat, gua gak bisa cari nafkah, terus kalian gimana?"
Salsa menggerutu geram. sungguh, laki-laki itu sangat menyebalkan, dia menatap Davin dengan mata melotot lebar, nyaris membuat bola mata Salsa melompat keluar. Davin menelan air liur yang mendadak menjadi benda padat, dan itu membuat dia menjadi gugup, ciut, dan sedikit ngeri. Seolah mengerti, cepat-cepat Davin beranjak, meninggalkan Raina dan Salsa, dia belum siap, menerima aksi gila yang akan dilakukan kedua wanita sinting itu.
"Sumpah ya, kenapa itu anak gak sekalian aja pindah sekolah! Untung nggak satu kelas sama dia! Kalau iya? Duhh bisa stress gua!"
"Awas... Hati-hati, nanti lo bisa suka loh sama dia, jangan kelewat benci sama dia, karna cinta itu berawal dari kebencian, dan sebaliknya."
"Mulai nih, kayaknya gua tau nih arah pembicaraan lo kemana." tanya Salsa penuh selidik, Raina mulai gelagap, wajah nya mulai berubah.
"Ma..maksud lo?"
"Alah, pakek acara sok polos lo, Rain. Nggak cocok deh,"
"Hmm.." Desis Raina pelan,
"Sampe sekarang, masih belum ada kabar?"
"Nggak.." Seolah mengerti dengan pernyataan Salsa, jawaban itu tercetus begitu saja dari mulut Raina, asa untuk memiliki derasa sudah pupus, membuat Raina berfikir harus berhenti, berhenti mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Hati adalah jembatannya sendiri menuju jurang kehancuran, sekarang dia telah jatuh sendiri, memeluk hati yang sudah hancur berkeping, hati yang tak akan pernah bisa utuh, sakit yang tak pernah ada obatnya, kecuali orang yang sama.
Salsa mengangguk, dia sudah salah mempertanyakan hal yak tak penting, dia kembali memilih diam, membiarkan Raina hanyut pada pikirannya sendiri
***
Dimeja makan, Rudi dan Raina duduk berdua, menyantap makan malam yang sudah disiapkan Bi Atik. Sedari tadi, Raina hanya mengaduk-aduk nasi dipiringnya dengan sendok, sedikitpun nasi itu belum masuk kedalam mulutnya, tindakannya mengundang pertanyaan di benak Rudi.
"Kamu kenapa? Kok makannya nggak dimakan? Atau, kamu mau makanan yang lain?"
Raina tersenym, dan menggeleng.
"Nggak yah,"
"Terus kenapa? Ayah perhatiin kamu cuman ngelamun aja."
"Beneran Ayah, aku nggak pa-pa." jawab Raina dengan wajah meyakinkan "aku lagi capek aja, mikirin tugas yang banyak banget."
Wajah Rudi berkerut, sebagai ekspresi tidak percaya. Rudi tahu, Raina pasti menyembunyikan sesuatu, tapi dia tidak akan memaksa Raina untuk berbicara, Om Rudi percaya, disaat yang tepat, anak itu sendiri yang memulai untuk bicara.
"Kamu mau denger cerita nggak?"
"Ceritaa?"
"Iya..." Rudi mengambil segelas air, lalu meneguknya pelan, setelah setengah gelas habis, Rudi kembali meneguknya.
"Dulu, Ayah sama ibu pernah terpisah."
Jantung Raina serasa di hantam, pernyataan yang tercetus dari bibir ayahnya, seolah sedang menceritakan dirinya.
"Dulu ayah terpisah sama ibu kamu, karena satu hal, ayah pergi meninggalkan ibu kamu sebelum kami menikah, saat itu kami baru saja lulus SMA, ayah terpaksa harus meninggalkan ibu kamu, ayah tidak pernah mengabari ibu kamu, sampai akhirnya, ibu kamu menikah dengan pria lain.."
Raina masih belum bicara, dia masih terlalu kaget, cerita macam apa yang dia dengar, apa dia bukan anak kandung pria itu?
"Lelaki itu jahat, dia selalu menyakiti ibu kamu, sampai ibu kamu sempat terbaring dirumh sakit. Ayah merasa bersalah, sangat bersalah. Membiarkan ibu kamu jatuh di tangan laki-laki itu."
Tangan Raina mulai basah, dan terkepal,
"Tapi, ayah berhasil, merebut ibu kamu kembali, laki-laki itu meninggal, saat kabur dari penjara. Sampi akhirnya, ayah dan ibu menikah, lahirlah dua anak kami yang kami beri nama Fabian dan Raina, kami sangat bahagia, tidak pernah terfikirkan akan mengalami hal seperti ini, terpisah karena maut, setelah perjuangan kami untuk bersatu, bahkan sampai saat ini, masih berat buat ayah menerima kenyataan kalau ibu sudah tidak bersama kita, mengingat kesalahan ayah yang dulu, ayah benar-benar minta maaf."
Sekarang, Raina tahu. Apakah ia sedang menerima karma ayahnya? Yang dulu pernah meninggalkan ibunya, dan sekarang, dia mengalami hal yang sama. Raina merasa terpojok, tidak pernah tahu, ibunya mengalami hidup yang jauh lebih pedih, terpaksa menikah dengan pria yang tidak dia cinta, bahkan harus menerima k*******n.
"Sekarang, cuman tinggal kita berdua. Ayah minta maaf, ayah nggak mau kamu bersedih, ayah akan berusaha buat kamu selalu tersenyum. Anggap ini sebagai tugas ayah sebagai Orangtua kamu, dan sebagai penebus dosa ayah sama ibu. Dan ayah mohon, jangan buat ayah sia-sia melakukan itu, kamu satu-satunya putri ayah, dan ayah merasa tidak terima jika kamu terasakiti, karna itu sebuah penghinaan buat, Ayah."
Sangat tepat, cerita ayahnya benar-benar seolah menyindir hidup Raina, semuanya hampir sama, pergi ditinggalkan tanpa Alasan, tapi setelah mendengar cerita ini, Raina yakin, Arman mungkin pergi karna sesuatu yang tidak bisa dia sampaikan, dan Raina memaafkannya.
"Makasih, Ayah. Tapi ayah nggak perlu minta maaf, itu masa lalu ayah dan ibu, anggap itu ujian cinta. Dan ayah sama ibu lulus melewatinya, buktinya, ayah dan ibu sama-sama bahagiakan? Sampa akhirnya kami lahir. Coba disini ada kak Fabian, pasti aku seneng banget, karna aku punya ayah dan kak Ian."
"Sekrang, Ibu dan kak Ian udah tenang disana, mereka bahagia berkumpul berdua, dan disini kita berdua juga harus bahagia, sama seperti mereka."
"Iya ayah, tapi ayah jangan cari ibu baru yaaa..." Raina menunjuk Rudi denga waja mendelik,
"Hahah, emang kamu nggak mau?"
"Nggak..."
"Tenang, Ibu kamu tidak aka tergantikan, tidak ada yang sebaik dia."
Raina mengangguk-anggukan kepalanya, sebagai respons kalau dia sangat setuju dengan ucapan Rudi, Tania sampai kapanpun tidak akan tergatikan, sosok Tania sangat sempurna, meski dia sibuk, tapi saat waktu luang dia selalu memperhatikan Raina, dan sekarang, setelah Tania pergi, Raina baru mereasakan, hal kecil itu sangat luar biasa. Benar, kehilangan seorang ibu ataupun ayah bagaikan kehilangan separuh jiwanya, dan Raina setuju dengan ucapan itu.
"Ingat, calon mantu ayah harus baik."
Raina nyaris tersedak, ucapan Rudi seolah memojokannya. Rudi sengaja tidak menyebutkan nama lelaki itu, lelaki yang pernah pergi meninggalkan anaknya, dan itu sebabnya, dia berani membuka kisah lama yang sudah berusaha untuk dia lupakan, agar Raina bisa berfikir jernih, bahwa kepergian tak selamanya meninggalkan tanggung jawab.
"Ayah, udah ahhh, ayo makan, aku mau cepat-cepat tidur."
Raina langsung menyantap makanannya, Rudi hanya menggelengkan kepalanya, Raina sangat mirip dengan Tania.
***
Di dalam kamar, Raina berbaring di atas ranjang, jam sudah menunjukan pukul 11 malam, tapi nyatanya, ia masih belum bisa memejamkan mata mata, banyak yang menganggu fikirannya, semua seolah menyiksa otaknya. Padahal di luar, hujan turun dengan derasnya, udara dingin menyerang permukaan kulit, harusnya dia bisa tertidur nyaman di balik selimut tebal seperti kebanyakan orang-orang yang menikmati tidurnya di kamar mewah.
"Shhh..." Raina mendesis, menarik badcover putih membalut tubuhnya hingga dagu, ada yang melintas difikirannya.
'Ada hari dimana semuaya dimulai, tentu akan ada hari dimana semuanya alan berakhir, begitu pula kisahku dengan Arman, berawal dari sebuah hal yang manis, tentang kenangan yang indah, dia yang tak pernah mengirimpan pesan romantis padaku, dia yang tak pernah menelfonku disaat malam hari, dia yang tak pernah mengucapkan selamat malam dan sekedar ciuman lewatedia sosiak manapun. Yang dia lakukan adalah hal yang nyata, tidak dengan kata, awal kami saling cinta, saat pertama kali aku aku jatuh hati padanya, dia baik, salah satu alasan aku mencintainya, hingga kami menjalin hubungan kekasih, tapi akhirnya, semua berakhir tanpa kepastian, tanpa sebab, semuanya terasa sangat sakit, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh., kecuali dengan orang yang sama'
***
Bersambung