***
Pagi itu pukul tujuh, Raina sudah berada di makam Tania, sudah hampir dua bulan ia tidak menyapa ibunya, ternyata benar, setiap kali ia menginjakkan kaki di sana, kerinduan di hatinya kian membuncah, menjalar sekoyong-koyong melintasi hati, Raina benar-benar sangat merindukan Tania; ibunya.
Setelah hampir tiga tahun silam kejadian itu berlalu, saat dimana takdir merenggut nyawa Tania, memisahkan dunia ibu dan dan anak, membuat salah satu berkepung menangung nestapa, sekarang Raina sadar, tidak seharusnya dulu ia terlalu banyak menuntut, semasa hidup ibunya, Raina belum pernah membahagiakan dan membuatnya bangga.
"Ibu, aku kangen banget sama, Ibu." kedua ujung bibir dipaksa untuk tertarik kesamping, melengkungkan senyuman hambar bercampur duka, berharap saat di hari pernikahannya nanti, kedua orangtuanya dapat hadir, memberi selamat atas pernikahan mereka, hadirnya seorang ibu yang dapat mengajarinya bagaimana menjadi seorang istri yang baik, namun sayang angan itu seolah jauh dari jangkauan Raina, bahkan memang sangat jauh tanpa dapat ia gapai, seperti awan putih di langit, bisa dilihat namun tidak untuk digenggam --seperti itulah Raina mendefenisikannya-- sangat mustahil.
"Sebentar lagi, aku akan menikah. Menjadi seorang istri seperti ibu. Andai ibu tau, sebenarnya aku sangat-sangat membutuhkan, Ibu. Aku takut tidak bisa menjalani rumah tanggaku nanti," Raina menunduk, ada yang terlintas di benaknya, "Mamah Arman bilang sama aku, kalau dia sudah membunuh kak, Ian. Tapi, aku nggak pernah menyalahkan dia, Bu. Aku tau, ini sama sekali bukan salah dia, aku tau pasti ibu setuju sama aku, dan aku harap, ibu tetap merestui pernikahan aku sama Arman." Raina mengelus batu nisan bertuliskan nama ibunya, dengan bibir yang sulit sekali untuk melekungkan senyuman.
Ia tidak punya banyak waktu untuk sekedar bercerita, tiga puluh menit lagi jam kuliah akan dimulai, itu artinya ia harus cepat-cepat pergi meninggalkan pemakanan itu, meski jauh di dalam lubuk hatinya masih ingin berada di tempat ini, tapi kuliah jauh lebih penting, ini juga untuk membuat ibunya bangga di surga sana, menyaksikan dari atas langit tentang keberhasilan yang akan segera ia raih, ini semua demi janjinya pada sang ibu, akan menjadi wanita sukses yang dihargai.
"Aku pamit, Bu. Aku janji bakal datang lagi buat ibu. Aku sayang ibu," Dia membungkukkan tubuhnya, mencium nisan itu dengan sayang, cukup kama bibir itu menempel di sana, seolah-olah yang ia cium adalah pipi ibunya, hanya itu yang bisa Raina lakukan sekarang, karena untuk mencium jasatnya itu tidak akan pernah terjadi lagi.
Raina kembali menarik tubuhnya, berdiri lalu pergi meninggalkan pemakaman itu tanpa menoleh, sebab jika ia melakukan itu, akan semakin membuat pertahanannya runtuh sebagai seorang anak gadis.
***
Kevin kembali muncul di kampus, setelah hampir satu bulan menghilang. Ia pergi untuk menemangkan diri, setelah sekian lama Papahnya menutupi segala kebohongan, hingga akhirnya ia menjalin hubungan dengan Annisa yang ternyata adiknya sendiri. Ia tidak pernah menyangka, kalau di luar sana Papahnya memiliki istri lain selain Mamahnya, padahal setau Kevin, Mamahnya adalah wanita yang sempurna, tidak layak untuk disakiti, ini semua salah laki-laki itu, membuat Kevin harus memutuskan hubungan dengan adiknya sendiri, buah perselingkuhan Papahnya dengan Wanita lain.
Semua itu berawal ketika tanpa sengaja mereka bertemu di sebuah mall, saat itu Annisa dan Kevin sedang jalan bersama, merayakan Anniversary untuk ke 3 tahun, mengajaknya bermain tame zoon, karokean bersama dan lainnya, hingga saat dimana mereka bertemu di tempat yang sama, saat Annisa memilih tas-tas bermerek keluaran terbaru dengan harga selangit, saat itu juga Aksel Papah kevin mengantar Desi, perempuan yang tak lain adalah ibu kandung Annisa, semuanya sangat terkejut kala itu, terlebih saat Annisa ikut memanggil pria yang disebutnya Papah sebagai Daddy.
Membayangkan itu, hati Kevin sangat sakit, serasa ingin menghabisi nyawa perempuan yang telah merebut Papahnya, tapi Kevin sadar, melupakan pria b***t itu adalah hal yang lebih baik, harusnya pria itu bisa ia jadikan sebagai panutan, tapi sayangnya ia tidak lebih dari seorang pecundang, merubah cara pandang Kevin terhadap Aksel.
"Lo kemana aja sih, Vin. Ngilang gitu aja tanpa kabar." tanya Rafa tak habis fikir, sebab baik Rafa maupun Raina tidak pernah tahu masalah apa yang sedang menimpa sahabatnya itu.
"Iya, terus gua tanya sama Annisa dia malah menghindar terus, seolah-olah dia nggak ngenalin gua, kalian putus?" tanya Raina hipotesis, karena tidak biasanya Kevin seperti itu, meski terkenal sangat menyabalkan ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, masih terlalu mentah untuk mengambil keputusan.
Melihat Kevin yang tak kunjung merespon, membuat Raina gemas sendiri, serasa berbicara dengan patung, yang hanya bisa diam jika ditanya.
"Gua benci perempuan itu, jadi jangan pernah sebut nama dia di depan gua." kata Kevin ketus, ekspresi mukanya berubah menjadi merah, seperti menahan emosi yang ingin segera meledak,
"Loh, kenapa?" tanya Raina bingung, kening perempuan itu meperlihatkan garis-garis yang sangat kentara, begitupun dengan Rafa, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, setaunya, Kevin sangat menyayangi Annisa, bahkan saat gadis itu melakuka kesalahan pun, Kevin pasti akan selalu mengalah, dan tetap menjaga hubungan mereka.
"Bagaimana mungkin, gua mencintai anak dari perempuan yang udah hancurin keluarga gua?!"
"Maksud, Lo?" tanya Rafa dan Raina serempak, mereka benar-benar belum mengerti,
"Ya, si Annisa adek gua, kita satu ayah."
"Whatss?" kata Raina sedikit berteriak, dia sangat-sangat terkejut, apakah Kevin sedang bercanda?
Rafa sendiri hanya tersenyum Sarkastis, tidak mungkin, Kevin pasti sedang bercanda.
"Kenapa? Kalian kaget? Apalagi gua!"
"Seriusan lo?"
"Terus menurut kalian, gua bisa bercanda soal ini? Untuk apa? Dia anak hasil perselingkuhan bokap gua, dan gara-gara nyokap dia, nyokap gua yang terluka, dan gua benci keluarga itu."
Rafa dan Raina tergemap, apa yang dikatakan Kevin sepertinya tidak main-main, mimik matanya sangat serius, dan bisa dilihat jelas, wajahnya sedang menahan amarah yang teramat.
"Terus, selama satu bulan ini, lo kemana?"
"Gua pergi ke desa, seenggaknya di sana nyokap gua bisa lebih baik, banyak temen-temennya di sana, di desa, nyokap gua gak pernah nangis lagi, dan mikirin masalah ini, karena sebagian temen-temen nyokap gua di sana nggak jauh beda nasibnya dengan nyokap gua. Yaa sekarang dia udah buka usaha baru di sana, ngajak temen-temennya buat bantu usahanya."
"Jadi, selama ini lo pergi buat nenangin diri? Kenapa lo ga cerita sama gua sama Rafa?"
Rafa mengangguk pertanda setuju dengan ucapan, Raina.
"Gua terlalu malu, karena yang kalian tau selama ini keluarga gua baik-baik aja, tapi nyatanya laki-laki b******k itu malah hancurin semuanya. Gua nggak sudi jadi laki-laki kayak dia."
Wajah kekecewaan yang luar biasa terpahat jelas di wajah Kevin, kedua tangannya mulai terkepal, untung emosi itu cepat mereda, sebab jika ia terus menyimpan amarah itu, semuanya akan kembali kacau, dan akan berdampak pada ibunya, yang akan dikomentari tidak bisa mendidik anak.
Lagipula Kevin salah besar, untuk apa dia malu dengan Rafa dan juga Raina, padahal persahabatan mereka sudah lumayan lama.
"Setiap manusia itu punya masalah yang tingkat keberatannya masing-masing sama, hanya saja tergantung pada orang itu sendiri, kuat atau enggaknya dia nerima itu, lo liat Raina, dia malah cuma seorang perempuan, lihat masalah apa aja yang udah pernah dia laluin, tapi dia sabar kan, dan sekarang kesabarannya itu ada bayarannya, hidup dia mulai membaik," kata Rafa menasehati, dia memegang bahu Kevin dengan kawan, menepuknya dengan bangga, berharap sahabatnya itu bisa seperti Raina,
"Tapi gua rasa gua ga bisa, Raf. Gua nggak bisa nahan emosi gua."
"Itu kerena lo belum iklas, coba kalau lo iklas, pasti lo bakal jauh lebih tenang."
"Gimana mungkin gua bisa ihklas dan ngelupain semuanya, sementara gak menutup kemungkinan gua ketemu cewek itu di kampus ini, karena kalau gua ketemu dia, gua cuman inget wajah b***t ibunya dia."
Kevin hanya diam, tidak bisa mencerna denga baik, pikirannya mulai kalang kabut, memencar ke sana kemari, apa yang akan ia lakukan jika berpapasan atau tidak sengaja bertemu perempuan itu, Kevin sendiri tidak bisa tahu, apakah ia masih mencintai Annisa atau malah membencinya, ini semua berat, melepaskan orang yang di cintai karena orang ketiga, atau melepaskan orang yang di cintai karena hubungan terlarang, dan ia rasa point kedua jauh lebih berat.
Dalam beberapa detik, Raina mendapat rangkaian w******p dari Arman, "Arman?" Raina menslide layar Hapenya, lalu membuka pesan dari Arman,
'Aku butuh kamu'
'Raina, Ayo datang, temuin aku. Ini penting.'
'Raina balas pesanku, ini menyangkut Ferrel.'
'Aldi datang, dan dia membawa Ferrel.'
Setelah membaca pesan terakhir kedua mata Raina membelalak kaget, sumuanya datang secara tiba-tiba. Bagaimana mungkin ia pergi begitu saja, meninggalkan Kevin yang sedang kalang kabut, tapi tidak mungkin juga ia tidak datang, sebab ini menyangkut Ferrel, anak yang sangat ia sayangi.
Melihat Raina yang gelisah, Rafa bertanya dengan isyarat wajah, lalu Raina memberikan ponselnya pada Rafa.
Setelah membaca pesan itu, Rafa meminta Raina untuk pergi, biarkan dia yang menemani Kevin.
***
Raina tiba di teras rumah Arman, membuka pintu lalu menyelonong masuk, sampai di ruang tengah, Arman terduduk lesu dengan rambut yang sudah acak-acakan sambil memijit kening yang terasa pening, ia juga sedang menangis. Sementara Tante Irene dan Om Ardi hanya mampu diam, mereka sendiri juga sangat kaget dengan kejadian ini, mereka juga sedih, karena Ferrel selama ini sudah ikut meramaikan rumah mereka dengan tangisan dan tingkah lucunya.
Cepat-cepat Raina melangkahkan kakinya, duduk di samping Arman yang masih menggelugut seperti anak kecil, bahunya naik turun, ulu hatinya terasa nyeri, bayi yang dia asuh sejak lahir kini sudah di ambil oleh ayahnya, banyak waktu yang telah Ia habiskan dengan Ferrel, dan sangat pedih jika harus kehilangan anak itu, segela ketakutannya telah terjadi, begitu cepat tanpa dapat ia cegah.
"Kenapa semuanya bisa kayak gini om, tante, kenapa Aldi bisa tau kalau kalian tinggal di sini?"
Tante Irene dan Om Ardi masih diam.
"Arman?"
Arman tidak bisa berbicara, pikirannya kembali kebelakang, mengingat insiden tadi.
Arman dan Ferrel duduk di teras rumah, Ferrel di letakkan di atas kereta roda, di sana Ferrel bisa melangkah sesuka hatinya, ia melangkah kesana kemari dengan bantuan roda-roda kereta itu, telak anak laki-laki itu berteriak heboh, bergumam semaunya memukul-mukulkan tangannya pada mainan yang ada di atas meja kereta itu.
Ferrel terus melangkah, hingga kereta itu terhenti di kaki seseorang, dia tersenyum menatap Ferrel, berjongkok lalu mengelus kepalanya sayang.
"Maaf, Anda siapa?"
"Bisa kita berbicara di dalam?"
"Anda ingin masuk ke rumah saya?"
"Ini penting, menyangkut Ferrel."
Arman menegguk salivanya yang dirasa menjadi benda padat, mendadak dihadang rasa curiga dan takut.
"Bisa?"
Arman mengangguk, dia segera mengngkat tubuh Ferrel dan melangkah masuk ke dalam rumah, kebutulan di ruang tengah Tante Irene dan Om Rudi sedang berbincang membahas masalah pernikahan putra mereka yang tinggal beberapa bulan.
"Loh, Arman, ini siapa?"
Arman hanya mengangkat bahunya, ia juga tidak tahu. Setelah di persilahkan duduk Aldi mulai bersuara.
"Kamu sangat menyayangi Ferrel sepertinya."
Arman tersenyum, menengkok kebawah menatap Ferrel yang kini ia pangku.
"Setelah hampir satu tahun, aku mencarinya, sekarang aku telah menemukannya.
Aku Aldi, ayah kandung Ferrel, dan maksud kedatanganku kesini, untuk menjemput anakku."
Jantung Arman berdentam kuat, laki-laki itu mendadak datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
Tante Irene dan Om Ardi tidak kalah kaget, tapi mereka tidak bisa percaya segapang itu,
"Tidak bisa, kami tidak bisa semudah itu percaya." bantah Om Ardi sengit,
"Saya benar-benar Aldi, sebentar." Pria itu mengorek saku jeansnya, lalu mengekuarkan sebuah dompet, di ambilnya selembar foto yang memampangkan dirinya dan juga Kanaya di foto itu.
"Ini fotoku bersama Kananya, dan selama ini aku pergi ke Australia, setelah sempat hilang kabar, sebab aku mengalami kecelakaan saat aku ingin pulang ke bengkulu, karena rumahku di jakarta sudah dijual. Aku sempat lumpuh, itu sebabnya aku tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ponselku pun hilang saat kecelakaan bis itu, itu sebabnya aku tidak bisa menghubungi Kanaya yang telah aku janjikan untuk kunikahi, aku tahu, Kanaya sulit melewati masa hamilnya, itu sebabnya izinkan aku untuk menebus kesalahanku dengan merawat Ferrel...
Saat aku datang ke Australi, aku mencari Kanaya, sampai aku mendapatkan Informasi kalau dia sudah meninggal saat melahirkan anak kami. Dan aku juga mencari Informasi siapa yang membawa anakku, setelah cukup lama, aku menenukan Rose, teman Kanaya, dia memberi tahuku, bahwa anakku di bawa ke indonesia oleh seorang laki-laki, dan aku tau, kamu membawa anakku ke sini, untuk diberikan kepadaku, bukan?"
Setelah mendengar rangkaian cerita panjang dari Aldi, membuat Arman lemas, haruskah ia melepaskan Ferrel saat ini? Anak yang sangat ia sayangi.
"Aku harap kamu mengerti, bagaimana pun, dia anakku. Darah dagingku, jika kamu sudah menikah nanti, dan memiliki seorang anak, pasti kamu akan tahu, apa yang aku rasakan, kamu pasti tidak akan rela siapa pun mengambil anakmu."
Tante Irene baik pun Om Ardi tidak bisa berkomentar apa-apa, semuanya sudah benar-benar buntu untuk menemukan jalan.
"Aku minta pengertian kamu sebagai seorang Ayah, bukan seorang lelaki. Aku tahu, dirimu sangat menyayangi Ferrel. Tapi dia anakku."
"Apa kamu nggak bisa biarin aku untuk bersama Ferrel dulu? Aku belum siap, aku harap kamu juga ngerti." kata Arman menolak, berharap lelaki itu mau mendengarnya.
Aldi mendesah resah, "kamu sudah lama bersamanya, dan aku rasa itu sudah cukup. Kamu boleh menganggupku tidak tahu diri, tapi aku sangat ingin berkumpul bersama anakku, aku ingin dia juga mengenalku sebagai ayahnya, bukan cuma dirimu."
Setelah bersusah payah membujuk, namun Aldi tetap pada keinginannya, jika Arman tidak mau memberikan Ferrel, Aldi mengancam membawa masalah ini ke jalur hukum, dan pada akhirnya pun, Arman tidak akan pernah bisa menang, sebab ia tidak memiliki surat resmi untuk mengadopsi Ferrel, merelakan adalah satu-satunya cara yang bisa Arman lalukan, sebenarnya hati Arman perih saat mendengar tangisan Ferrel ketika Aldi membawanya, sepertinya Ferrel tidak ingin berpisah dengan Arman. Tapi setidaknya Arman bisa lega, Aldi mau berjanji akan membiarkan Arman bertemu dengan Ferrel, asalkan Arman mau datang ke Australia, karena Aldi memutuskan untuk menetap di sana, mengenang kisah yang sangat manis bersama Kanaya, temat dimana dia karuniai seorang putra.
Raina kembali menyadarkan Arman, membuat pria itu tersentak, matanya masih merah menahan tangis, baru tadi pagi dia menyuapi anak itu makan, andai saja ia membiarkan Raina membawa Ferrel malam tadi, pasti Aldi tidak akan mungkin membawanya secepat itu.
"Dia datang, dan membawa Ferrel sesukanya. Aku tau dia ayah kandung Ferrel, tapi aku, aku ayah yang sudah merawatnya sejak masih bayi, dia anak kita, Rain."
Sebenarnya Raina juga sangat sedih, itu artinya ia tidak akan bisa lagi bertemu dengan anaknya, melihat Arman yang begitu terpukul, membuat ulu hati Raina nyeri, lelaki itu adalah sosok ayah yang sempurna.
"Mamah tau ini emang susah buat kamu Arman, tapi mamah harap kamu jangan berlarut dalam kesedihan, mungkin kamu kehilangan hari-hari kamu bersama Ferrel, tapi kamu nggak kehilangan Ferrel selamanya." kata Tante Irene, malasah ini terlalu berat untuk anaknya, keadaan Arman seperti ini mengingatkan Tante Irene pada kejadian satu tahun yang lalu, saat Raina menolak Arman untuk kembali.
"Papah tau apa yang kamu rasain Arman. Tapi kamu harus bisa ihklas, ini juga untuk kebaikan Ferrel, kalau kamu mempertahankan Ferrel kamu emang sayang sama dia, tapi, kalau kamu rela memberikan dia pada Aldi, kamu justru lebih menyayanginya. Karena kamu bukan seorang ayah yang egois."
"Apa yang dibilang papah kamu itu benar Arman, aku tau, nggak akan ada yang bisa ngegantiin Ferrel di hati kita. Tapi kamu nggak usah khawatir, sebentar lagi kita menikah, dan kita akan punya anak sendiri, seenggaknya anak itu bisa ngobatin rasa kehilangan kita karena Ferrel."
Arman masih belum bisa merespons, sepertinya Arman benar-benar sangat bersedih, dan belum bisa mencerna apapun yang dikatakan orang sekitar, yang bisa Arman lakukan hanya diam, dan merasa gagal karena telah gagal mempertahankan Ferrel.
Raina sendiri tidak mungkin pergi terburu-buru, dia akn menemani Arman di sini, sampai kapan pun, selagi Arman masih membutuhkannya, kalau bisa, Raina akan menginap di sini, seperti sebelumnya, setidaknya dengan begitu Arman tidak akan merasa sendiri, Raina tak menyangka kalau kemarin adalah pertemuanbterakhirnya bersama Ferrel, dan tiak akan melihat lagi seperti apa kelucuan anak itu, perasaan rindu kini sudah menjalar negitu saja, menyusup tanpa permisi, membuat Raina ingin menangis seperti, Arman.
***
Bersambung